Evanna menguap pagi itu. Ia menjangkau ponselnya yang terletak di atas meja. Sudah hampir pukul tujuh. Evanna menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia melirik ke samping tempat tidurnya yang kosong. Suaminya itu semalaman tak kembali ke kamar, entah ke mana dia.
Sekarang sudah hari ketiga setelah ia menyandang gelar istri. Dan selama itu pula, suaminya tidak pernah menjenguknya di kamar.
Evanna seperti orang bodoh. Ia hanya berdiam di kamarnya. Evanna tak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa. Menghubungi keluarganya jelas tak mungkin. Diva dan Reni pasti akan tertawa mengejeknya. Mana ada istri yang ditinggalkan suaminya setelah pesta pernikahan.
Menghubungi Khandra lebih mustahil lagi. Evanna tak tahu nomor telepon suaminya itu. Apa ia benar-benar dibuang setelah pernikahan? Apakah Khandra langsung akan menceraikannya setelah menikah. Kalau seperti itu, lalu untuk apa menggelar pesta pernikahan di hotel mewah? Sungguh tak masuk akal.
Evanna tersadar dari lamunannya saat mendengar ketukan di pintu kamar hotelnya. Ia cepat-cepat bangun dan menguncir rambutnya. Evanna mengintip dari door viewer dan melihat seorang perempuan tengah berdiri di depan pintu.
“Ya?” tanya Evanna setelah membuka pintu.
Perempuan dengan rambut sebatas bahu itu tersenyum ramah kepada Evanna.
“Evanna Laura? Perkenalkan, aku Angela. Boleh masuk?” tanya perempuan ramah itu.
Perempuan itu melangkah mendekati Evanna, memeluknya, dan mencium pipinya. Evanna mengerutkan keningnya dan berusaha melepaskan pelukannya. Ia tak mengenal wanita itu. Dan terhadap orang yang tidak dikenalnya, Evanna selalu waspada.
“Ah, aku Tante Khandra. Ia memintaku untuk menjemputmu,” jelas Angela saat sadar Evanna mencoba menjaga jarak dengannya.
Tanpa sadar Evanna mengembuskan napas lega. Ternyata Khandra masih ingat kalau ia sudah memiliki istri. Meski tak menjemput langsung, paling tidak ada keluarganya yang menjemputnya.
“Oh, maaf, Tante, saya tidak tahu,” jawab Evanna yang merasa tak enak hati karena tidak menyambut Angela dengan ramah.
“Tak apa. Aku maklum. Oh, ya, Kau sudah siap untuk check out?” terang Angela saat melihat wajah Evanna yang tampak kusut masai.
“Sebentar, saya mandi dulu,” jawab Evanna malu.
Angela tertawa kecil mendengarnya. Melihat Evanna yang masih mengenakan piyama dan rambut yang dikuncir asal-asalan, ia sudah bisa menerka kalau gadis itu baru saja bangun tidur.
“Tak apa, aku bisa menunggu. Boleh aku masuk? Kau bisa mandi dan bersiap-siap dulu. Tak perlu buru-buru. Aku punya banyak waktu seharian ini,” ujar Angela yang masih dengan senyum yang menghiasi wajah ramahnya.
Evanna menggeser tubuhnya supaya Angela bisa masuk ke dalam kamarnya. Ia cepat-cepat melesat ke kamar mandi supaya Angela tidak menunggunya terlalu lama.
Angela duduk di atas sofa dan sibuk dengan ponselnya. Sepuluh menit kemudian, Evanna sudah keluar dari dalam kamar mandi dengan memakai pakaian kasual favoritnya.
“Oh, ya, Evanna, apa kau akan mampir ke rumahmu dulu sebelum pulang ke apartemen Khandra?”
“Kenapa saya harus pulang ke rumah dulu?” tanya Evanna linglung.
“Kau tidak mengambil barang-barangmu dulu di rumah?” tanya Angela yang sama tidak mengertinya dengan istri keponakannya itu.
“Oh, tidak, saya tidak perlu kembali ke rumah itu. Barang-barang saya sudah ada di sini,” jawab Evanna yang membuat Angela memicingkan matanya.
Angela menolah ke sudut ruangan. Hanya ada satu koper besar dan beberapa kardus. Cukup aneh baginya kalau barang Evanna hanya sebanyak itu.
“Kau yakin sudah membawa semua barang-barangmu? Kau akan tinggal dengan Khandra setelah menikah. Apa kau berpikir akan tinggal bersama orang tuamu setelah menikah?” tanya Angela menegaskan.
Khandra sudah berpesan pada Angela kalau Evanna akan tinggal di apartemen Khandra. Ia tak menerima pesan yang lain. Keponakannya sudah terbang ke Singapura setelah menikah. Membuat Angela harus mengomelinya panjang lebar karena meninggalkan istrinya begitu saja.
“Saya tidak kembali ke rumah orang tua saya. Dan, yah, memang hanya itu barang-barang saya. Saya tak punya banyak barang. Paling hanya sedikit pakaian dan buku-buku kuliah,” jelas Evanna.
“Oh, ya,? Kalau memang begitu tak jadi soal. Aku akan panggil bellboy sekarang untuk membawa barang-barangmu ke mobil,” ujar Angela.
Tiga puluh menit kemudian Evanna sudah duduk di dalam mobil yang dibawa Angela. Barang-barangnya sudah tertata rapi di dalam bagasi.
“Khandra tinggal dimana?” tanya Evanna saat mobil sudah melaju membelah lalu lintas yang mulai padat.
“Imperium Royal Apartement. Keterlaluan anak itu. Kemarin lusa setelah menikah, ia langsung terbang ke Singapura. Katanya urusan bisnis. Heran, bisnis macam apa yang membuatnya harus segera ke sana dan meninggalkanmu sendirian di hotel,” gerutu Angela.
Evanna hanya tersenyum miris. Khandra tak bicara apa-apa padanya selama resepsi. Bahkan menatapnya pun tampaknya Khandra juga segan. Evanna heran apa yang membuat laki-laki itu mau menikah dengannya. Apa juga ia sama terpaksanya seperti Evanna?
“Tante Angela, apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan kami?” tanya Evanna, mencoba memecah keheningan dalam mobil.
Angela menggumam pelan, “Mungkin lebih baik kalau Khandra sendiri yang memberitahumu. Ia memang laki-laki yang sulit, tapi sebenarnya ia anak yang baik.”
Mereka akhirnya sampai di depan Imperium Royal Apartment. Gedung tinggi dengan arsitektur modern yang megah menjulang di hadapan mereka. Angela memarkir mobil dengan hati-hati, lalu membuka pintu untuk Evanna.
Evanna melangkah keluar dan mengamati gedung tersebut. Khandra, suaminya, tinggal di tempat semegah ini. Suasana hatinya tengah berkecamuk, tetapi dia memilih untuk menyimpannya sendiri.
Di dalam lift menuju apartemen Khandra, Angela memberi semangat pada Evanna, “Siap-siap, Sayang. Kau harus siap menghadapi apa pun yang terjadi. Kau bisa bilang padaku kalau Khandra menyulitkanmu. Kau tenang saja, aku ada di pihakmu.”
Evanna mengangguk, mencoba menyiapkan diri untuk pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya. Tante Khandra ini tampaknya sangat ramah dan baik hati. Membuat Evanna merasa nyaman di dekatnya.
Pintu lift terbuka, Evanna melangkah pelan mengikuti Angela. Tante suaminya itu tampaknya sangat mengenal Khandra. Bahkan, ia bisa membuka password pintu apartemen Khandra dengan mudah.
“Nah, Evanna, selamat datang di apartemen Khandra. Kau akan tinggal bersamanya sebagai suami istri sejak saat ini,” ucap Angela pada Evanna yang melangkah ragu memasuki tempat tinggal Khandra, suaminya.
٭٭٭
Braaakkk!
Suara benda yang dibanting dengan keras membuat Evanna terjaga dari tidurnya malam itu. Dari arah balkon kamar tidurnya, Evanna mendengar suara laki-laki yang tampaknya sedang bicara entah denngan siapa.
Evanna beringsut mendekati pintu balkon dan menyibak korden penutupnya. Evanna melihat punggung Khandra yang berbicara melalui telepon memunggunginya.
Suara kerasnya membahana. Tampaknya suaminya itu tengah bertengkar dengan lawan bicaranya. Akhirnya Khandra pulang juga. Entah jam berapa ia pulang. Seingat Evanna, saat ia masuk kedalam kamar jam sepuluh tadi Khandra belum pulang.
“Yang penting aku kawin, kan? Apa ada yang lain lagi?”
Suara Khandra yang masih berteriak terdengar oleh Evanna. Ia tersenyum kecut saat mendengar bahwa bagi Khandra yang penting ia sudah menikah.
“Apa pentingnya aku menikah sebulan, dua bulan atau setahun dua tahun? Bagi Papa aku menikah dan kelihatan baik sudah cukup kan? Tak usah sibuk mengurusi bagaimana aku dan istriku. Toh, kami sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.”
Evanna tertunduk lesu. Tampaknya Khandra sangat tidak menginginkannya sebagai istrinya. Evanna merasa dadanya sesak. Ternyata di mana pun ia berada, ia tidak diinginkan. Tidak di rumah ayahnya, tidak pula di rumah suaminya.
Evanna berjengit terkejut saat didengarnya gerungan penuh amarah kembali terucap dari bibir Khandra. Tanpa sadar ia melangkah mundur, namun punggungnya menabrak meja rias yang ada di dekatnya.
Botol parfumnya terjatuh dari atas meja. Botol kaca itu pecah berkeping-keping saat menghantam lantai marmer di bawahnya. Evanna cepat-cepat mengambil tissue untuk membersihkan pecahan botol itu.
Belum juga Evanna membersihkan pecahan kaca yang terserak, pintu kaca yang mengarah ke balkon menjeblak terbuka. Evanna mendongak dan melihat wajah Khandra yang memerah seperti ingin menerkamnya. Evanna merasa napasnya tersangkut di tenggorokan saat Khandra menatapnya dengan mata nyalang.
"Kau mengupingku?" bentak Khandra pada Evanna yang tengah berjongkok di dekat meja rias.
Evanna menggeleng dengan cepat, mencoba menyingkirkan rasa takutnya.
“Aku tidak menguping,” jawab Evanna dengan suara bergetar.
Melihat suaminya dengan wajah menyeramkan seperti itu membuat nyali Evanna hilang seketika. Evanna seperti melihat monster bertanduk dengan mata merah menyala menyeramkan.
Khandra berjongkok di dekat Evanna. Ia meraih dagu Evanna dan menariknya mendekat.
“Kau mengupingku?" Khandra mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan suara seraknya yang intonasinya lebih tajam.
Evanna menggeleng dengan cepat. Evanna hanya bisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat tanpa bisa bicara sepatah kata pun. Ia mencoba menyingkirkan ketakutannya yang semakin memuncak.
"Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak sengaja mendengarmu berteriak tadi. Dan aku… Aku hanya... hanya khawatir," kata Evanna terbata-bata dengan suara lirih. Ia mencoba meyakinkan suaminya yang masih menetapnya marah.
Khandra melepaskan genggamannya pada dagu Evanna kasar, tetapi tatapannya tetap tajam mengarah pada wajah Evanna yang pucat pasi.
"Khawatir? Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Jadi, buat apa kau khawatir. Jangan suka mencampuri urusanku!" hardik Khandra yang membuat hati Evanna mencelos.
Evanna merasa tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus berucap apalagi. Evanna takut setiap kata yang terucap dari bibirnya bukannya meredakan amarah Khandra, tapi justru semakin membuat suaminya itu murka.
"Satu hal yang harus kauingat, Evanna. Jangan suka mencampuri urusanku. Kalau masih ingin hidup dengan damai, jangan melanggar batas yang aku buat untukmu," tegas Khandra sambil berdiri, meninggalkan Evanna yang masih terdiam di tempat.
Evanna mendengar pintu kamar yang dibanting saat Khandra melangkah meninggalkannya. Evana terduduk lemas di lantai. Ia biarkan air mata luruh di sepanjang pipi tirusnya. Ia meratapi nasibnya yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Membayangkan betapa mengerikannya hari-harinya setelah ini.
Bersambung
Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya. Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna. Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal? Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tin
“Oh, kau belum tahu? Padahal skandalnya menjadi berita besar tiga bulan lalu. Skandal itu bahkan menjadi topik utama berita nasional, bahkan akun-akun gosip pun juga membuat beritanya semakin heboh,” jelas Rakha penuh semangat.Evanna berpikir keras sampai dahinya berkerut. Tapi, tak sekilas pun ia bisa mengingat tentang skandal yang melibatkan Khandra Anantara. Atau jangan-jangan memang dia yang kurang update tentang berita mengenai skandal dan selebritis.“Skandal apa? Nampaknya ada berita besar yang terlewat olehku,” ucap Evanna akhirnya setelah menyerah mengorek memori otaknya.“Ke mana saja kau ini, Kakak Ipar? Pantas saja, Khandra nggak pernah protes lagi setelah menikah denganmu. Ternyata kau memang tinggal di dalam gua sebelum ini sampai-sampai tak tahu berita heboh seperti itu,” seloroh Rakha sambil tertawa keras sampai-sampai pengunjung di sekelilingnya menatap ke arah meja mereka.“Tiga bulan yang lalu aku masih sibuk dengan ujian skripsiku, mana sempat memperhatikan berita
Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Evanna memasuki aparteman Rakha yang ukurannya jauh lebih kecil daripada penthouse yang ditinggalinya bersama Khandra. Interior apartemen ini juga lebih minimalis. Meskipun begitu, Rakha cukup pandai memilih warna, sehingga isi apartemennya tidak terkesan suram seperti milik Khandra.”Apartemenku lebih kecil kan dibandingkan dengan punya Khandra?” tanya Rakha saat Evanna memperhatikan seluruh isi ruangan apartemen miliknya.”Kau punya apartemen bagus begini, tapi tidak kautinggali. Lalu buat apa apartemen ini?” tanya Evanna sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa coklat susu.”Dari sini ke kantor lebih dekat. Kalau aku banyak kerjaan, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini daripada pulang ke rumah,” jelas Rakha.Rakha berjalan ke arah jendela. Dibukanya tirai lebar-lebar juga pintu kaca yang mengarah ke balkon.”Kau mau minum apa? Kelihatannya masih ada beberapa softdrink di kulkas,” tawar Rakha lagi.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia sudah minum cukup banyak waktu di kafe tad
Suara sirine ambulans meraung-raung memecah keheningan pagi itu. Langit kelabu seolah ikut berkabung. Mobil sport mewah berwarna merah itu kini tak lebih dari rangkaian besi yang remuk, terpelanting beberapa meter dari tepi jurang. Asap masih mengepul dari mesinnya yang hancur, sementara beberapa petugas kepolisian sibuk mengamankan TKP."Bagaimana hasilnya?" tanya Inspektur Made kepada seorang petugas forensik yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan awal."Korban tewas seketika, Pak. Benturan sangat keras, kemungkinan besar mobil melaju dengan kecepatan di atas 120 kilometer per jam. Korban atas nama Rakha Jumantara, buronan yang kita cari."Inspektur Made menghela napas panjang. Ironis memang. Rakha Jumantara, pria yang menjadi buronan utama kepolisian dalam kasus pembunuhan Diva, kini tewas dalam kecelakaan tunggal. Lolos dari hukuman manusia, tetapi tidak dari hukuman Ilahi."Beritahu tim, kita perlu pengamanan ekstra. Media pasti akan membuat ini jadi berita besar," perintah
Matahari terbenam di ufuk barat Pulau Bali, memoles langit dengan warna jingga yang memesona. Namun bagi Rakha Jumantara, keindahan senja itu tak lagi berarti apa-apa. Pikiran dan jiwanya kini dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan yang mendalam.Dua hari yang lalu, ia tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai tanpa menyadari bahwa setiap langkahnya telah diawasi ketat oleh pihak kepolisian. Nama Rakha Jumantara kini menjadi buronan utama, tersangka dalam kasus pembunuhan.Ia berbaring di tempat tidur kamar hotelnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu berputar-putar di benaknya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa kesalahannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban.Rakha Jumantara menatap layar televisi di kamar hotelnya. Berita tentang dirinya sudah menyebar ke seluruh negeri. Wajahnya terpampang jelas di layar, dengan tulisan besar: "PUTRA KONGLOMERAT, OTAKI KASUS PEMBUNUHAN."Ia mengacak rambutnya kasar, lalu menyesap kopi hitamnya yan
Polisi bergerak cepat. Laporan dari Diva dan bukti yang dibawa Maira menjadi landasan kuat untuk segera bertindak. Mereka tahu waktu adalah hal yang paling krusial dalam kasus ini.Deki bukanlah sosok yang asing dalam catatan kepolisian. Seorang residivis dengan berbagai kasus kejahatan yang belum pernah terungkap sepenuhnya. Ia ibarat bayangan yang selalu lolos dari jerat hukum, dengan kemampuan menyembunyikan bukti yang luar biasa.Kurang dari dua kali 24 jam, tim khusus berhasil melacak pergerakan Deki. Polisi mendapatkan informasi bahwa Deki terlihat di sekitar Pelabuhan Bakauheni. Rencananya untuk melarikan diri melalui Bakauheni harus segera digagalkan.Tim penyelidik khusus sudah mempersiapkan sejak malam. Koordinasi antara unit mobil dan tim di lapangan berjalan ketat. Setiap pergerakan Deki sudah dipetakan, setiap rute pelarian sudah diblokir.Deki bergerak gesit, memanfaatkan setiap celah dan koneksi yang ia miliki. Ia menggunakan jaringan bawah tanah yang selama ini membuat
Malam semakin larut. Hampir jam satu dini hari, tetapi Nisya tak mampu memejamkan mata. Teleponnya yang kesepuluh kali ke nomor Rakha masih belum mendapat jawaban. Layar ponselnya menampilkan foto Rakha, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Foto setahun lalu, sebelum semua kekacauan ini dimulai."Ayo, angkat teleponnya, Nak," bisik Nisya, berjalan mondar-mandir di kamarnya.Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ditemani detak jam dan deru pendingin udara. Beni, suaminya, tak ada di rumah. Begitu pula dengan Khandra dan Evanna.Mereka memilih pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Bukan hanya meninggalkan rumah malam ini, tapi juga meninggalkan Rakha dalam masalahnya. Nisya masih tak percaya suaminya tega melakukan itu pada anak kandungnya sendiri." Rakha harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Beni sebelum pergi, wajahnya mengeras oleh amarah. "Rakha mencoba membunuh seseorang. Diva hilang, dan semua bukti mengarah padanya!"N
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi
Diva tertegun, kedua kakinya seolah terpaku ke aspal. Di hadapannya berdiri Rakha, pria yang selama ini mengingkari keberadaan nyawa yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Sorot mata Rakha sedingin es, sangat berbeda dari tatapan lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta."Rakha?" Diva terengah-engah, masih berusaha menormalkan napasnya. Darah mengalir dari luka gores di lengan dan pipinya akibat ranting-ranting tajam yang menyayat kulitnya selama berlari menembus hutan."Diva," suara Rakha terdengar datar, tanpa emosi. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini."Di kejauhan, Diva masih bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Pria yang mengejarnya tadi belum menyerah. Dalam keputusasaan, Diva berlari ke arah Rakha."Tolong aku," pintanya dengan suara gemetar. "Ada seseorang yang mengejarku di hutan. Dia—dia mencoba menyakitiku."Rakha tidak bergeming. Tatapannya masih dingin, seolah Diva hanyalah orang asing yang tidak berarti."Masuklah," ujar Rak
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha