Evanna menatap bayangan dirinya dalam cermin. Ia tersenyum, tapi bukan senyum bahagia yang terpancar. Bibirnya membentuk lengkungan ke atas tapi sorot matanya yang sayu membuat senyumannya itu terlihat menyedihkan.
“Cantik sekali!” puji make up artist yang merias Evanna sore itu.
Memang benar ia terlihat cantik. Siapa saja juga tahu kalau Ganda Rasena memiliki dua putri cantik. Sayangnya yang satu diperlakukan seperti putri kesayangan, sedangkan yang lainnya hanya serupa bayangan yang tak terlihat.
Evanna mengenakan gaun pengantin sutra yang indah dengan garis pinggang yang pas memeluk pinggang hingga pinggulnya. Lehernya melebar dengan lipitan yang saling menumpang. Gaunnya melebar secara lembut hingga ke bawah dengan ekor menjuntai di bagian belakang. Detail renda halus menghiasi bagian bahu dan punggungnya.
Sekuat hati Evanna menahan air mata yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya dan berlomba hendak jatuh di sepanjang pipinya yang tirus.
Ketika periasnya memakaikan kerudung, Evanna mendengar pintu kamarnya dibuka. Melalui cermin, Evanna melihat ibu tirinya memasuki kamarnya dengan senyum palsunya yang seakan mengejek Evanna. Di belakangnya ada Diva yang mengikuti ibunya dengan tatapan penuh ingin tahu.
“Kalian boleh keluar kalau sudah selesai!” perintahnya dan segera saja dua orang yang merias Evanna itu keluar.
Reni Susanti berjalan mendekati Evanna. Ia mengelilingi Evanna dan melihat setiap detail riasan dan gaun pengantin yang dipakai Evanna.
“Pengantin yang cantik. Calon suamimu pasti akan sangat takjub melihatmu,” ujarnya kemudian sambil tertawa mengejek.
Evanna tertawa sumbang. Kata-katanya terkesan memuji. Namun, Evanna tahu setiap kalimat yang keluar dari bibir perempuan itu bukan pujian untuknya, melainkan sebuah hinaan.
“Jangan pasang muka surammu itu! Kau tahu bahwa setiap pengantin harus tersenyum bahagia. Termasuk dirimu,” ucap Reni sekali lagi.
“Jangan kelihatan terpaksa juga. Kalau calonmu nanti melihat wajahmu yang kusut, lalu membatalkan pernikahan bagaimana? Mau ditaruh di mana muka kita semua?” kecam Diva menambahi kalimat ibunya.
Kakak tiri Evanna itu mengenyakkan tubuhnya yang dibalut mermaid dress merah maroon ke atas bedside sofa dan menjentikkan kuku lentiknya.
“Kau harus ingat, pernikahan ini untuk menyelamatkan keluarga kita. Kalau kau lebih suka tinggal di kolong jembatan silakan, itu memang tempat yang cocok untukmu. Kalau aku, ya, mana cocok tinggal di tempat seperti itu,” tambah Diva semakin menyebalkan.
Evanna meremas jemari tangannya supaya emosinya tidak meledak tanpa terkendali. Evanna tahu hari pernikahan memang hari yang paling membahagiakan bagi seorang perempuan.
Evanna seringkali memimpikan pernikahan yang sempurna. Bersanding di pelaminan dengan laki-laki yang dicintainya tentu akan membuatnya sebagai wanita paling bahagia.
Namun, takdir berkata lain. Dua bulan yang lalu Evanna harus menerima kenyataan bahwa ia harus mau menikah dengan laki-laki yang bukan pilihan hatinya.
‘Menikahlah dengan teman baik Papa untuk menutup utang perusahaan atau seluruh aset kita akan disita!’
Bak petir di siang hari, Evanna tak bisa menolak. Alasan apa pun yang diberikannya tak bisa mengubah keputusan ayahnya. Bahkan sampai Evanna memohon di bawah kaki ayahnya pun, tidak membuat laki-laki itu tergerak hatinya untuk mengabulkan permohonannya.
Laki-laki yang menjadi calon suami Evanna adalah teman lama ayahnya semenjak SMA. Elfandy namanya. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Evanna tak pernah tahu apa alasannya sehingga Elfandy meminta ayahnya supaya menyerahkan salah satu anak gadisnya untuk dinikahi.
Mungkin untuk meneruskan garis keturunannya karena yang Evanna tahu istri Elfandy sudah meninggal lima tahun yang lalu tanpa memberinya keturunan.
“Kau tak usah berlagak seperti pesakitan. Zaman sekarang menikah dengan laki-laki uzur pun bukan hal tabu. Banyak artis dan selebritis yang menikah dengan laki-laki tua dan mereka bahagia,” ucap Reni yang membuat darah Evanna semakin mendididh.
“Kalau bukan hal tabu kenapa bukan Diva yang disuruh menikah? Usianya juga lebih tua dariku, sudah hampir 25 tahun,” serang Evanna yang tak bisa lagi membendung emosinya.
“Kau kira aku perempuan apa? Masih banyak pemuda yang mau denganku. Buat apa aku mau menikah dengan tua bangka seperti itu. Kau yang lebih cocok dengannya bukan aku,” balas Diva sengit.
“Aku tak akan pernah menjerumuskan anakku sendiri. Diva jauh berbeda denganmu. Dia anak kandungku dengan suamiku yang sah. Lalu kau, bukankah kau anak yang tak pernah diharapkan? Kau hanya anak haram pembawa sial dari wanita murahan yang berharap naik derajatnya dengan menggoda laki-laki kaya seperti suamiku,” gerung Reni murka.
“Aku tidak pernah minta untuk dilahirkan. Aku lahir karena kesalahan papa. Seharusnya ia yang menanggung akibatnya, bukan aku,” teriak Evanna yang tak kalah berangnya. Ia sudah tak bisa lagi menahan emosinya.
Reni mengepalkan tangannya erat-erat. Kalau tak ingat di mana mereka sekarang, sudah ia koyak habis wajah gadis yang berdiri menantangnya itu. Reni mendekati Evanna dan mencengkeram dagunya erat.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku karena mau menampung anak haram sepertimu. Kau tak harus merasakan tinggal di panti asuhan atau keleleran di jalan. Sudah cukup bagus kami memberimu makan, pakaian, juga menyekolahkanmu sampai universitas,” ejek Reni yang mengigatkan kembali akan ‘jasa-jasanya’ selama ini.
Evanna mendengus kesal. Ia lebih baik tinggal di panti asuhan daripada tinggal di neraka bersama orang-orang yang menyebutnya sebagai keluarga. Selama ini mereka memperlakukannya tak ubahnya seperti sampah.
“Sekarang waktunya kau membalas budi. Tak usah muluk-muluk, kau cukup menikah, dan utang papamu lunas. Cukup mudah bukan? Lihat, kau juga menikah di hotel berbintang dengan gaun pengantin mahal pula. Calon suamimu kaya. Kau tinggal duduk manis menjadi istrinya dan menikmati kekayaannya. Mudah sekali bukan?” lanjut Reni dengan nada sinisnya yang memuakkan.
“Mama benar. Kau harus tahu posisimu. Jangan berlagak yang paling tersakiti. Kami sudah terlalu baik hati padamu, apalagi Mama. Kalau aku jadi Mama, kau sudah aku buang ke selokan,” ucap Diva sambil terkekeh.
Melihat wajah Evanna yang terluka menyedihkan seperti itu adalah hiburan tersendiri baginya. Diva sangat membenci Evanna, adik tirinya yang menurutnya tak tahu diuntung itu.
Ingin sekali Evanna berteriak menantang ibu dan kakak tirinya itu. Selama hidupnya, Evanna hanya dianggap menumpang. Reni sangat jelas membedakan antara dirinya dengan Diva, kakak tirinya. Diva selalu mendapat perhatian utama dan mendapatkan kasih sayang yang istimewa. Sedangkan Evanna, ia hanya mendapatkan apa yang tersisa.
Evanna tak pernah diberi kesempatan menunjukkan siapa dirinya. Ia juga tak pernah bisa mengatakan semua yang ada di benaknya. Sejak kecil Evanna harus berlapang dada menerima apa yang dikatakan atau yang harus dia lakukan.
Evanna benci dengan dirinya yang tak pernah bisa memberontak. Evanna benci dengan semua kelemahannya. Evanna benci harus selalu menjadi yang kalah dan tersingkirkan.
“Semua sudah siap?”
Kepala Rasena, ayah Evanna, yang menyembul dari balik pintu mengalihkan pandangan Evanna dari wajah ibu tirinya yang memuakkan.
Evanna mengela napas panjang, lalu mengangguk pelan dan berjalan mendekati ayahnya menuju lorong kamar hotelnya. Ia melangkah cepat menghindari Reni dan Diva yang hanya menguras emosinya saja.
Ballroom Quantum Hotel terletak tiga lantai di bawah mereka. Evanna berjalan di samping ayahnya menuju ballroom.
Keluar dari lift yang membawanya, Evanna melihat laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya berdiri di depan pintu ballroom yang masih tertutup.
Evanna mengeluh dalam hati. Sisa hidupnya akan ia habiskan dengan laki-laki yang lebih pantas dipanggilnya ayah.
Elfandy, calon suami Evanna, memakai setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu yang melingkari leher pendeknya. Laki-laki setengah baya itu makin terlihat tua dengan kacamata tebal yang membingkai matanya.
Laki-laki itu tampaknya sedang fokus dengan telepon genggamnya hingga tak menyadari jika Evanna dan keluarganya sudah ada di depan pintu ballroom. Wajahnya terlihat cemas. Berulang kali ia mengusap dan menekan ponselnya, lalu mendekatkannya ke telinga.
“Sudah siap, Fan?” tanya ayah Evanna pada laki-laki yang masih berkutat dengan ponselnya itu.
Elfandi menurunkan ponselnya dan menatap Rasena. Ia kemudian ganti menatap Evanna dan tersenyum lebar melihatnya. Membuat Evanna mual seketika.
“Kau cantik sekali, Evanna,” pujinya terus terang yang membuat Evanna semakin mengeluh dalam hati. Bukannya tersanjung Evanna merasa jijik mendengarnya.
“Kita masuk sekarang?” tanya Rasena saat dilihatnya Efandy kembali sibuk dengan ponselnya.
“Tunggu, tunggu sebentar lagi,” jawabnya singkat, “Ke mana mereka,” gerutu Elfandy entah pada siapa.
“Pengantin sudah siap? Silakan berdiri berdampingan menuju ballroom. Orang tua dan keluarga yang lain bisa berjalan di belakangnya,” atur seorang staff wedding organizer.
“Sebentar, tunggu sebentar lagi!” jawab Elfandy yang tak bisa lagi menyembunyikan kepanikannya.
“Kau menunggu siapa lagi, Fan? Ini sudah terlambat hampir tiga puluh menit. Para tamu juga sudah menunggu di dalam,” ujar Rasena mengingatkan temannya itu.
“Aku tahu. Tapi pernikahan tak bisa dilangsungkan kalau calon pengantinnya belum datang. Ah, itu dia!” tunjuk Elfandy dengan senyum lega dan bahagianya.
Sontak Evanna dan keluarganya menoleh ke arah yang dilihat Elfandi. Seorang laki-laki tinggi tegap tanpa senyum berjalan ke arah mereka. Ia memakai jas hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Di saku atas jasnya terselip boutonniere.
Di belakangnya berjalan seorang pemuda yang usianya kelihatan lebih muda. Wajah pemuda itu tampak ceria, berbeda sekali dengan lelaki yang berjalan di depan.
“Evanna, ini Khandra Anantara. Ia yang akan menikah denganmu.”
Bersambung
Evanna terperangah mendengarnya. Tunggu dulu, apa ia tidak salah dengar? Benarkah laki-laki yang berdiri angkuh di sampingnya ini yang akan menjadi suaminya? Kalau begitu calon suami Evanna bukan laki-laki tua itu?“Tu..tunggu dulu! Jadi, bukan Fandy yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni terbata-bata.Diva yang berdiri di belakang ibunya, malah tampak lebih syok lagi.Bagaimana tidak, sudah sejak bulan lalu ia mengejek Evanna tentang calon suaminya yang tua bangka. Ia kerap kali menghina Evanna dan paling suka melihat adik tirinya itu terpuruk.Namun, sekarang yang berdiri di samping Evanna bukan laki-laki setengah baya dengan rambut beruban dan kaca mata tebal. Yang berdiri di samping Evanna adalah laki-laki tampan dengan badan tegap dan tinggi menjulang. Matanya yang tajam dibingkai alis lebat. Wajahnya seperti pahatan patung dewa Yunani dengan dagu terbelah.“Mama,” bisik Diva pelan di telinga ibunya,”ini benar calon suami Evanna. Apa enggak salah?” lanjutnya.Mata Diva mena
Evanna menguap pagi itu. Ia menjangkau ponselnya yang terletak di atas meja. Sudah hampir pukul tujuh. Evanna menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia melirik ke samping tempat tidurnya yang kosong. Suaminya itu semalaman tak kembali ke kamar, entah ke mana dia.Sekarang sudah hari ketiga setelah ia menyandang gelar istri. Dan selama itu pula, suaminya tidak pernah menjenguknya di kamar.Evanna seperti orang bodoh. Ia hanya berdiam di kamarnya. Evanna tak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa. Menghubungi keluarganya jelas tak mungkin. Diva dan Reni pasti akan tertawa mengejeknya. Mana ada istri yang ditinggalkan suaminya setelah pesta pernikahan.Menghubungi Khandra lebih mustahil lagi. Evanna tak tahu nomor telepon suaminya itu. Apa ia benar-benar dibuang setelah pernikahan? Apakah Khandra langsung akan menceraikannya setelah menikah. Kalau seperti itu, lalu untuk apa menggelar pesta pernikahan di hotel mewah? Sungguh tak masuk akal.Evanna tersadar dari lamunannya saa
Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya. Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna. Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal? Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tin
“Oh, kau belum tahu? Padahal skandalnya menjadi berita besar tiga bulan lalu. Skandal itu bahkan menjadi topik utama berita nasional, bahkan akun-akun gosip pun juga membuat beritanya semakin heboh,” jelas Rakha penuh semangat.Evanna berpikir keras sampai dahinya berkerut. Tapi, tak sekilas pun ia bisa mengingat tentang skandal yang melibatkan Khandra Anantara. Atau jangan-jangan memang dia yang kurang update tentang berita mengenai skandal dan selebritis.“Skandal apa? Nampaknya ada berita besar yang terlewat olehku,” ucap Evanna akhirnya setelah menyerah mengorek memori otaknya.“Ke mana saja kau ini, Kakak Ipar? Pantas saja, Khandra nggak pernah protes lagi setelah menikah denganmu. Ternyata kau memang tinggal di dalam gua sebelum ini sampai-sampai tak tahu berita heboh seperti itu,” seloroh Rakha sambil tertawa keras sampai-sampai pengunjung di sekelilingnya menatap ke arah meja mereka.“Tiga bulan yang lalu aku masih sibuk dengan ujian skripsiku, mana sempat memperhatikan berita
Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Suara sirine ambulans meraung-raung memecah keheningan pagi itu. Langit kelabu seolah ikut berkabung. Mobil sport mewah berwarna merah itu kini tak lebih dari rangkaian besi yang remuk, terpelanting beberapa meter dari tepi jurang. Asap masih mengepul dari mesinnya yang hancur, sementara beberapa petugas kepolisian sibuk mengamankan TKP."Bagaimana hasilnya?" tanya Inspektur Made kepada seorang petugas forensik yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan awal."Korban tewas seketika, Pak. Benturan sangat keras, kemungkinan besar mobil melaju dengan kecepatan di atas 120 kilometer per jam. Korban atas nama Rakha Jumantara, buronan yang kita cari."Inspektur Made menghela napas panjang. Ironis memang. Rakha Jumantara, pria yang menjadi buronan utama kepolisian dalam kasus pembunuhan Diva, kini tewas dalam kecelakaan tunggal. Lolos dari hukuman manusia, tetapi tidak dari hukuman Ilahi."Beritahu tim, kita perlu pengamanan ekstra. Media pasti akan membuat ini jadi berita besar," perintah
Matahari terbenam di ufuk barat Pulau Bali, memoles langit dengan warna jingga yang memesona. Namun bagi Rakha Jumantara, keindahan senja itu tak lagi berarti apa-apa. Pikiran dan jiwanya kini dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan yang mendalam.Dua hari yang lalu, ia tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai tanpa menyadari bahwa setiap langkahnya telah diawasi ketat oleh pihak kepolisian. Nama Rakha Jumantara kini menjadi buronan utama, tersangka dalam kasus pembunuhan.Ia berbaring di tempat tidur kamar hotelnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu berputar-putar di benaknya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa kesalahannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban.Rakha Jumantara menatap layar televisi di kamar hotelnya. Berita tentang dirinya sudah menyebar ke seluruh negeri. Wajahnya terpampang jelas di layar, dengan tulisan besar: "PUTRA KONGLOMERAT, OTAKI KASUS PEMBUNUHAN."Ia mengacak rambutnya kasar, lalu menyesap kopi hitamnya yan
Polisi bergerak cepat. Laporan dari Diva dan bukti yang dibawa Maira menjadi landasan kuat untuk segera bertindak. Mereka tahu waktu adalah hal yang paling krusial dalam kasus ini.Deki bukanlah sosok yang asing dalam catatan kepolisian. Seorang residivis dengan berbagai kasus kejahatan yang belum pernah terungkap sepenuhnya. Ia ibarat bayangan yang selalu lolos dari jerat hukum, dengan kemampuan menyembunyikan bukti yang luar biasa.Kurang dari dua kali 24 jam, tim khusus berhasil melacak pergerakan Deki. Polisi mendapatkan informasi bahwa Deki terlihat di sekitar Pelabuhan Bakauheni. Rencananya untuk melarikan diri melalui Bakauheni harus segera digagalkan.Tim penyelidik khusus sudah mempersiapkan sejak malam. Koordinasi antara unit mobil dan tim di lapangan berjalan ketat. Setiap pergerakan Deki sudah dipetakan, setiap rute pelarian sudah diblokir.Deki bergerak gesit, memanfaatkan setiap celah dan koneksi yang ia miliki. Ia menggunakan jaringan bawah tanah yang selama ini membuat
Malam semakin larut. Hampir jam satu dini hari, tetapi Nisya tak mampu memejamkan mata. Teleponnya yang kesepuluh kali ke nomor Rakha masih belum mendapat jawaban. Layar ponselnya menampilkan foto Rakha, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Foto setahun lalu, sebelum semua kekacauan ini dimulai."Ayo, angkat teleponnya, Nak," bisik Nisya, berjalan mondar-mandir di kamarnya.Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ditemani detak jam dan deru pendingin udara. Beni, suaminya, tak ada di rumah. Begitu pula dengan Khandra dan Evanna.Mereka memilih pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Bukan hanya meninggalkan rumah malam ini, tapi juga meninggalkan Rakha dalam masalahnya. Nisya masih tak percaya suaminya tega melakukan itu pada anak kandungnya sendiri." Rakha harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Beni sebelum pergi, wajahnya mengeras oleh amarah. "Rakha mencoba membunuh seseorang. Diva hilang, dan semua bukti mengarah padanya!"N
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi
Diva tertegun, kedua kakinya seolah terpaku ke aspal. Di hadapannya berdiri Rakha, pria yang selama ini mengingkari keberadaan nyawa yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Sorot mata Rakha sedingin es, sangat berbeda dari tatapan lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta."Rakha?" Diva terengah-engah, masih berusaha menormalkan napasnya. Darah mengalir dari luka gores di lengan dan pipinya akibat ranting-ranting tajam yang menyayat kulitnya selama berlari menembus hutan."Diva," suara Rakha terdengar datar, tanpa emosi. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini."Di kejauhan, Diva masih bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Pria yang mengejarnya tadi belum menyerah. Dalam keputusasaan, Diva berlari ke arah Rakha."Tolong aku," pintanya dengan suara gemetar. "Ada seseorang yang mengejarku di hutan. Dia—dia mencoba menyakitiku."Rakha tidak bergeming. Tatapannya masih dingin, seolah Diva hanyalah orang asing yang tidak berarti."Masuklah," ujar Rak
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha