Setelah dipindahkan ke ruang rawat yang sama, akhirnya Julia dan Yudhistira dirawat satu dalam satu ruangan.Dengan dua ranjang tidur yang terpisahkan oleh tiang infus, keduanya diharuskan rawat inap satu malam untuk pemulihan.Segala administrasi sudah diurus oleh Arjuna. Ketiga teman-temannya tengah menunggu di luar koridor, sementara Yudhistira masih saja mendampingi Julia.Ada banyak rasa khawatir yang kini bercokol di hatinya. Membuat Yudhistira enggan meninggalkan Julia meskipun hanya barang sejenak."Ngerasain apa sekarang?" tanya Yudhistira dengan suara pelan. Tangannya masih terlilit selang infus, dia masih membutuhkan cairan untuk pemulihan.Julia menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya baik-baik saja."Yudhistira mengusap wajah Julia yang terlihat memar, sudut bibirnya masih meninggalkan luka di sana. Pria itu lantas mendaratkan kecupan singkat di wajahnya."Kenapa nggak bilang kalau kamu… hamil, Julie?""Saya juga baru tahu tadi, Pak. Tadinya saya pengen nyusulin Bapak ke rumah
"Good morning, Bee." Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia, lalu kembali memeluk perempuan itu dengan erat.Semenjak percakapannya dengan ketiga sahabatnya semalam. Akhirnya Yudhistira memilih untuk beristirahat saat waktu sudah cukup larut. Alih-alih tidur di ranjang tidurnya sendiri, pria itu memilih untuk tidur di ranjang yang sempit bersama dengan Julia."Good morning, Mas."Julia menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya, masih saja tidak percaya jika dia di sini bersama Yudhistira."Kenapa, sih pakai ditutupi segala, Bee?"Yudhistira menarik selimutnya ke bawah, tapi Julia lagi-lagi menahannya hingga memperlihatkan matanya yang kini tengah menatap pria itu."Malu," bisik perempuan itu."Astaga, malu kenapa coba? Semalaman kita tidur begini, lho.""Iya tahu. Tapi… entahlah."Yudhistira tersenyum. Lalu menarik selimut itu lebih rendah. Tatapan keduanya kembali beradu."Bobonya nyenyak, kan? Badannya ada yang sakit?"Julia menggeleng. "Nggak ada, Mas. Mas gimana?
"Hei, Bee, how do you feel?" Yudhistira lantas bangkit dari duduknya, lalu agak membungkuk saat melihat Julia bergerak di sana.Julia lantas mengerjapkan matanya, lalu mengedar ke sekitar. Efek obat bius yang disuntikkan dalam tubuhnya, masih bisa dirasakannya."Haus, Mas. Haus…""Wait a minute, Bee." Dengan cepat Yudhistira meraih segelas air putih di atas nakas, lalu kembali mendekati Julia dan membantunya untuk meneguk minumannya."Pusing, Mas.""Iya, nggak apa-apa. Kamu balik tidur lagi, ya."Yudhistira kembali menidurkan Julia, sesekali mengusap wajahnya yang terlihat berkeringat."Ngerasain apa sekarang?"Julia menggeleng. "Nggak ada, Mas." Lalu perempuan itu meraih tangan Yudhistira, kemudian menggenggamnya dengan erat.Jeda selama beberapa saat keduanya saling berdiaman. Julia masih berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya yang sempat menghilang."Feel better?"Julia mengangguk. "Aku nggak tahu kalau bakalan dibius total tadi, Mas. Aku cuma dengar dokter bilang, kalau aku ngan
Mereka baru saja menginjakkan kaki di kediaman Julia. Setelah mendapatkan izin dari Dokter Wilson, akhirnya Julia diperbolehkan untuk pulang."Bee, kamu butuh sesuatu?" tanya Yudhistira saat sudah tiba di kamar perempuan itu.Julia menggeleng. Entah mengapa semenjak dia dirawat di rumah sakit, Yudhistira benar-benar banyak bicara sekarang."Mas, aku udah nggak apa-apa. Jangan berlebihan, deh.""Tapi kamu baru aja pulang dari rumah sakit, Bee. Udah, deh jangan ngeyel. Kamu istirahat, okay? Kalau perlu apa-apa, bilang aja. Aku mau nyiapin makan malam buat kamu.""Eh? Mas mau nyiapin apa?" cegah Julia saat pria itu hendak berdiri."Apa lagi memangnya? Bubur atau sup misalnya?""Emang kamu bisa masak, Mas? Jangan aneh-aneh, deh. Kalau aku malah jadi keracunan gimana?""Nggak akan, Bee. Mana mungkin aku ngeracunin kamu. Daripada aku racun, mending aku nikahin, kan?""Bisaan banget, sih?"Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut."W
"Mas, apaan sih pakai video call segala?"Suara teguran Julia dari seberang sana, membuat Yudhistira lantas terkekeh. Pria itu menerbitkan senyumannya begitu melihat wajah Julia."Kangen, Bee. Emang nggak boleh video call, ya?"Julia terkekeh. "Ya boleh. Mas lagi sarapan, ya?""Iya, Bee. Kamu sendiri yang nyuruh aku buat mengatur pola makanku, kan? Sekarang aku selalu nurutin apa kata kamu. Kamu lagi di mana, sih?"Aku lagi di belakang rumah, Mas. Tadi habis lihat Mbak Ira nyiramin tanaman-tanaman di belakang rumah, akunya jadi pengen ikut gerak.”“Astaga, Bee. Kamu bukannya harus istirahat, ya? Jangan melakukan apa-apa, biar Mbak Ira yang melakukannya.”“Iya, iya. Ini aku juga udah duduk, kok Mas. Sebenarnya aku udah sehat, Mas. I swear, I feel better right now” Julia tersenyum kecil. Meskipun dia diharuskan beristirahat di rumah, Julia merasa tak lagi kesepian lantaran ada Mbak Ira yang sementara waktu menemaninya di rumah. Yudhistira sengaja menyewa seorang asisten rumah tangga sej
“Kenapa muka lo ditekuk kayak lipatan lemak gitu?” Yudhistira menghela napas. Membiarkan Arjuna, Bayusuta, dan Antasena duduk di sofa ruangannya dengan satu tangannya yang memegang segelas kopi masing-masing. Ketiganya baru saja selesai waktu istirahatnya di Despresso Coffee, sementara Yudhistira memilih untuk tidak bergabung dengan mereka lantaran masih ada laporan yang harus dikerjakannya.“Semenjak Julia nggak masuk, nggak ada yang beliin kopi gue,” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Beli sendiri lo!” sungut Yudhistira terlihat kesal.“Iye, iyeee. Nyebelin amat lo lama-lama. Emang biasanya Julia yang beliin kita kopi, kan?”“Kalian ngapain di sini, sih? Nggak ada kerjaan apa?” tanya Yudhistira heran.“Mau ngehibur lo yang lagi bete,” jawab Bayusuta dengan enteng. “Itu si Nenek Sihir pagi-pagi ngapain nemuin lo tadi?”“Nggak apa-apa.” Yudhistira mendesah lelah, lalu bangkit dari duduknya dan langsung bergabung dengan sahabatnya di sofa. “By the way, kapan project dengan Pak Anwar
"Julie seharian ini baik-baik saja, kan Mbak?" tanya Yudhistira kepada Mbak Ira, pria itu baru saja membereskan piring-piring yang digunakan untuk makan malamnya tadi."Baik, kok Mas Yudhistira. Malah udah kelihatan bugar dan segar habis potong rambut tadi,” jawab Mbak Ira kemudian.Yudhistira mengangguk, lalu menoleh ke arah Julia yang saat ini tengah duduk di sofa dengan setoples keripik kentang di pangkuannya, dengan tatapannya terarah pada kotak catur di atas mejanya. Perempuan itu sedang menyusun papan tersebut, lantaran setelah ini mereka akan bermain."Makasih banyak udah bantu saya jagain Julie, ya Mbak.""Sama-sama Mas Yudhistira, lagian saya kalau di rumah juga nggak banyak yang dikerjakan. Sekarang di sini saya bisa melakukan banyak kerjaan, rasanya senang. Mbak Julie ini pacarnya Mas Yudhistira gitu, ya?”"Iya, Mbak Ira. Rencananya saya pengen ngajak dia nikah.”"Wah, saya ikut bahagia, Mas. Semoga juga Ibu lekas pulih dan membaik, ya Mas. Rasanya kangen sekali, sudah bert
YUDHISTIRA sadar betul apa yang harus dilakukannya saat ini. Biar bagaimanapun Julia adalah tujuan hidupnya sekarang. Maka dia perlu memastikan apa yang hendak dilakukannya nanti bisa berjalan sesuai dengan rencananya.Yudhistira mengangkat tangannya ke depan. Lalu mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Tak berselang lama, suara langkah seseorang dari dalam terdengar. Yudhistira mundur selangkah, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Memunculkan Sasi yang tengah berbadan dua, dengan senyuman memukaunya."Mas Yudhistira?""Hai, Sasi. Apa kabar?""Baik, Mas. Mas Yudhistira apa kabar?""Baik juga. Mahesa ada?"Sasi mengangguk kecil. "Ada, Mas. Barusan banget kami baru selesai sarapan. Sekarang Mas Mahesa lagi di taman belakang sambil baca koran. Masuk, Mas.""Iya."Sasi mendorong pintu ke belakang dan membiarkan Yudhistira melangkah masuk ke dalam. Semenjak Mahesa dirawat di rumah sakit selama sebulan, lalu dia diizinkan untuk pulang, ini pertama kalinya Yudhistira meng