Jeda selama beberapa saat, Julia mencoba memahami situasi yang kini tengah terjadi. Sesekali wajahnya menunduk, menatap nanar pada alat tespek yang kini terlihat bergaris dua.Julia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Mendadak kepalanya terasa pening, saat bayangan Yudhistira dan Lalisa yang tengah berpelukan tadi kembali terngiang di kepalanya.Tangan Julia bergerak ke bawah, mengusap perutnya yang terlihat datar. Perempuan itu mengulas senyuman kecil, lalu dia bergumam lirih."Hei, Dede. Kita kasih tahu Papa nanti, ya? Nggak sekarang, Mama lagi kecewa sama Papa kamu soalnya," gumam Julia saat itu.Setelah menyimpan alat tespeknya itu ke dalam tasnya, Julia lantas bergegas kembali ke ruangannya. Dia melangkah dengan gontai, rasa sesak sekaligus kesal yang kini teraduk menjadi satu, membuatnya bingung harus bersikap seperti apa sekarang.Katanya udah nggak punya perasaan, kok peluk-pelukan?Katanya udah mantan, tapi kenapa hp-nya dibawa sama mantan?Katany
Julia mengayunkan langkahnya meninggalkan Diamond Group saat waktu sudah menunjuk angka tiga sore.Perempuan itu juga menyempatkan diri untuk berpamitan dengan Arjuna dan Bayusuta sebelum dia meninggalkan kantor."Pak, kalau butuh sesuatu tapi ponsel saya nggak aktif, cari saya lewat email, ya?""Astaga, Jul. Saya nggak mungkin setega itu minta kamu tetap bekerja disaat kamu sedang sakit begini.""Tapi juga jangan lama-lama sakitnya, Jul.""Iya, Pak." "Jangan lupa ke dokter juga, minta adikmu itu buat nganterin periksa dulu.""Iya, Pak. Kalau gitu saya pulang dulu, ya? Jangan pada kangen.""Nye nye nye nye…" cibir Bayusuta. "Eh, by the way, udah sampai sore gini si Kampret belum pulang juga. Dia ke mana, sih?""Coba lo telepon.""Awas aja kalau doi masih berduaan sama si Nenek Lampir, ya!"Julia yang mendengarnya, memilih untuk tidak mengacuhkannya. Perempuan itu meninggalkan ruangan tersebut, dengan sisa-sisa rasa kesalnya dengan tidak adanya kabar dari Yudhistira.Setibanya Julia d
Setelah mengalami pergulatan hebat dalam dirinya, Yudhistira yang tiba-tiba tak sadarkan diri, membuat Lalisa lantas cemas.Beruntung mereka sedang berada di rumah sakit. Lalisa bisa langsung meminta bantuan medis untuk segera memeriksakan kondisinya."Bagaimana kondisinya, Dok?""Pasien hanya mengalami syok, dan hal itu membuat kondisinya jadi drop, hingga jatuh pingsan. Kami sudah memberikan infus agar pasien tetap mendapatkan asupan cairan di dalam tubuhnya. Ditunggu saja sampai pasien sadarkan diri.""Baik, Dok. Terima kasih."Lalisa lantas kembali mendekati brankar di mana Yudhistira kini tengah terlelap di sana. Ada perasaan cemas yang kini tengah menyelimutinya lantaran sudah beberapa jam lamanya pria itu tak kunjung sadarkan diri."Mas?" Lalisa bangkit dan mendekati Yudhistira saat melihat pria itu bergerak. "Mas, kamu udah bangun?"Yudhistira mengerjapkan matanya. Dia lantas mengedarkan pandangan ke sekitar, sembari mengumpulkan kesadarannya."Saya di mana, Lalisa?""Mas Yudh
Setelah dipindahkan ke ruang rawat yang sama, akhirnya Julia dan Yudhistira dirawat satu dalam satu ruangan.Dengan dua ranjang tidur yang terpisahkan oleh tiang infus, keduanya diharuskan rawat inap satu malam untuk pemulihan.Segala administrasi sudah diurus oleh Arjuna. Ketiga teman-temannya tengah menunggu di luar koridor, sementara Yudhistira masih saja mendampingi Julia.Ada banyak rasa khawatir yang kini bercokol di hatinya. Membuat Yudhistira enggan meninggalkan Julia meskipun hanya barang sejenak."Ngerasain apa sekarang?" tanya Yudhistira dengan suara pelan. Tangannya masih terlilit selang infus, dia masih membutuhkan cairan untuk pemulihan.Julia menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya baik-baik saja."Yudhistira mengusap wajah Julia yang terlihat memar, sudut bibirnya masih meninggalkan luka di sana. Pria itu lantas mendaratkan kecupan singkat di wajahnya."Kenapa nggak bilang kalau kamu… hamil, Julie?""Saya juga baru tahu tadi, Pak. Tadinya saya pengen nyusulin Bapak ke rumah
"Good morning, Bee." Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia, lalu kembali memeluk perempuan itu dengan erat.Semenjak percakapannya dengan ketiga sahabatnya semalam. Akhirnya Yudhistira memilih untuk beristirahat saat waktu sudah cukup larut. Alih-alih tidur di ranjang tidurnya sendiri, pria itu memilih untuk tidur di ranjang yang sempit bersama dengan Julia."Good morning, Mas."Julia menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya, masih saja tidak percaya jika dia di sini bersama Yudhistira."Kenapa, sih pakai ditutupi segala, Bee?"Yudhistira menarik selimutnya ke bawah, tapi Julia lagi-lagi menahannya hingga memperlihatkan matanya yang kini tengah menatap pria itu."Malu," bisik perempuan itu."Astaga, malu kenapa coba? Semalaman kita tidur begini, lho.""Iya tahu. Tapi… entahlah."Yudhistira tersenyum. Lalu menarik selimut itu lebih rendah. Tatapan keduanya kembali beradu."Bobonya nyenyak, kan? Badannya ada yang sakit?"Julia menggeleng. "Nggak ada, Mas. Mas gimana?
"Hei, Bee, how do you feel?" Yudhistira lantas bangkit dari duduknya, lalu agak membungkuk saat melihat Julia bergerak di sana.Julia lantas mengerjapkan matanya, lalu mengedar ke sekitar. Efek obat bius yang disuntikkan dalam tubuhnya, masih bisa dirasakannya."Haus, Mas. Haus…""Wait a minute, Bee." Dengan cepat Yudhistira meraih segelas air putih di atas nakas, lalu kembali mendekati Julia dan membantunya untuk meneguk minumannya."Pusing, Mas.""Iya, nggak apa-apa. Kamu balik tidur lagi, ya."Yudhistira kembali menidurkan Julia, sesekali mengusap wajahnya yang terlihat berkeringat."Ngerasain apa sekarang?"Julia menggeleng. "Nggak ada, Mas." Lalu perempuan itu meraih tangan Yudhistira, kemudian menggenggamnya dengan erat.Jeda selama beberapa saat keduanya saling berdiaman. Julia masih berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya yang sempat menghilang."Feel better?"Julia mengangguk. "Aku nggak tahu kalau bakalan dibius total tadi, Mas. Aku cuma dengar dokter bilang, kalau aku ngan
Mereka baru saja menginjakkan kaki di kediaman Julia. Setelah mendapatkan izin dari Dokter Wilson, akhirnya Julia diperbolehkan untuk pulang."Bee, kamu butuh sesuatu?" tanya Yudhistira saat sudah tiba di kamar perempuan itu.Julia menggeleng. Entah mengapa semenjak dia dirawat di rumah sakit, Yudhistira benar-benar banyak bicara sekarang."Mas, aku udah nggak apa-apa. Jangan berlebihan, deh.""Tapi kamu baru aja pulang dari rumah sakit, Bee. Udah, deh jangan ngeyel. Kamu istirahat, okay? Kalau perlu apa-apa, bilang aja. Aku mau nyiapin makan malam buat kamu.""Eh? Mas mau nyiapin apa?" cegah Julia saat pria itu hendak berdiri."Apa lagi memangnya? Bubur atau sup misalnya?""Emang kamu bisa masak, Mas? Jangan aneh-aneh, deh. Kalau aku malah jadi keracunan gimana?""Nggak akan, Bee. Mana mungkin aku ngeracunin kamu. Daripada aku racun, mending aku nikahin, kan?""Bisaan banget, sih?"Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut."W
"Mas, apaan sih pakai video call segala?"Suara teguran Julia dari seberang sana, membuat Yudhistira lantas terkekeh. Pria itu menerbitkan senyumannya begitu melihat wajah Julia."Kangen, Bee. Emang nggak boleh video call, ya?"Julia terkekeh. "Ya boleh. Mas lagi sarapan, ya?""Iya, Bee. Kamu sendiri yang nyuruh aku buat mengatur pola makanku, kan? Sekarang aku selalu nurutin apa kata kamu. Kamu lagi di mana, sih?"Aku lagi di belakang rumah, Mas. Tadi habis lihat Mbak Ira nyiramin tanaman-tanaman di belakang rumah, akunya jadi pengen ikut gerak.”“Astaga, Bee. Kamu bukannya harus istirahat, ya? Jangan melakukan apa-apa, biar Mbak Ira yang melakukannya.”“Iya, iya. Ini aku juga udah duduk, kok Mas. Sebenarnya aku udah sehat, Mas. I swear, I feel better right now” Julia tersenyum kecil. Meskipun dia diharuskan beristirahat di rumah, Julia merasa tak lagi kesepian lantaran ada Mbak Ira yang sementara waktu menemaninya di rumah. Yudhistira sengaja menyewa seorang asisten rumah tangga sej