Alisha mendapati Arlan tengah duduk di sampingnya ketika ia membuka mata. Kepalanya masih terasa pusing dengan pandangan mengabur. Namun, Alisha tak salah mengenali wajah muram lelaki itu. Seakan ada yang tengah ia pikirkan dengan serius hingga tak menyadari bahwa Alisha telah siuman. Kalau saja Alisha tak menyentuh punggung tangan lelaki yang berada di sampingnya itu, mungkin Arlan tak juga menyadarinya. "Hei, Sha. Kamu udah siuman?" tanya Arlan begitu sadar bahwa Alisha telah membuka mata. Lelaki itu dengan sigap bangkit dari tempat duduknya dan membantu Alisha yang berusaha menegakkan punggung. "Kalau masih terasa pusing, lebih baik kamu tiduran aja dulu," imbuhnya sambil menahan bobot tubuh Alisha yang hendak bangun. "Nggak apa-apa. Aku kuat kok.""Jangan dipaksakan kalau memang belum benar-benar kuat. Kepala kamu pasti masih pusing banget kan?"Hanya segaris senyum tipis yang membingkai wajah Alisha begitu mendengar ucapan Arlan. Lelaki itu terlalu memahaminya hingga membua
Dokter mengizinkan Alisha pulang pada hari itu juga. Arlan yang mengantarnya sampai apartemen perempuan itu, meski Alisha sudah menolaknya. Dengan dalih ia masih cukup kuat pulang seorang diri. "Ini bukan perkara kuat atau nggak kuat, tapi tanggung jawabku sebagai laki-laki!" Begitu ucap Arlan ketika sang junior bersikeras hendak pulang sendirian. Daripada perdebatan semakin panjang, Alisha mengalah. Dan, di sinilah mereka sekarang. Di apartemen Alisha yang mendadak terasa sunyi. Suasana canggung melingkupi mereka. Baik Alisha ataupun Arlan tiba-tiba menjadi pendiam. Bahkan tak saling bicara sedikit pun. Hingga Arlan yang tak betah berlama-lama diam, membuka percakapan lebih dulu. "Kamu belum makan. Mau kubuatkan sesuatu?" tawar Arlan setelah meminta sang junior untuk berbaring di kamar. "Nggak perlu repot-repot, Ar. Aku masih bisa bikin mie instan kalau lapar.""Sha, kamu lupa apa kata dokter? Kondisi kamu sedang nggak baik-baik saja dan janin dalam perut kamu butuh nutrisi. "
Damian mondar-mandir di dalam apartemen mewahnya. Ruangan bernuansa hitam dan abu-abu itu, semakin tampak sendu seperti halnya sang penghuni. Raut muka pria itu gelisah. Ia menggigit ujung kuku dan terus mondar-mandir di dalam apartemennya. Sesekali, ia menggumam tak jelas yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sial! Aku benar-benar nggak bisa berpikir!" umpat pria itu gusar. Peristiwa pingsannya Alisha siang tadi, masih membekas dalam ingatan pria itu. Harusnya ia tak peduli, tapi entah sejak kapan, Damian tak bisa mengabaikan Alisha begitu saja. Diam-diam perempuan itu sudah mengendalikan sebagian pikiran Damian yang tak pernah tertarik pada perempuan mana pun. Sebenarnya, hal itu didorong oleh kecurigaan Damian yang beranggapan bahwa Alisha tengah mengandung anaknya. Entah teori dari mana. Hanya saja, pikiran itu menguat meski Alisha menolak mengakui. "Damn!" umpat Damian semakin tak bisa mengendalikan diri. Apa jadinya jika benar Alisha hamil anaknya?! Begitu pikir Da
Brakk!!! Suara yang berasal dari luar pintu apartemen Alisha membuat perempuan yang tengah terlelap itu, terbangun seketika. Suara yang ditimbulkan cukup keras hingga membuatnya terkejut. Tubuhnya refleks menegak diikuti rasa nyeri yang muncul di perut bagian kiri. Mungkin akibat gerakan yang cukup tiba-tiba. Setelah beberapa waktu, bunyi itu kembali terdengar. Kali ini lebih intens dari yang sebelumnya. "Siapa sih bikin kekacauan tengah malam gini?" bisik perempuan itu. Tak ayal ia tetap saja gemetar ketakutan. Bisa saja, itu bukan hanya orang iseng, tapi memang orang yang bermaksud jahat padanya. Seharusnya memang itulah yang dipikirkan Alisha. Jika tahu akan begini jadinya, Alisha tak akan menolak keinginan Arlan untuk menemaninya malam ini. Pria itu sempat menawarkan diri untuk menemani Alisha malam ini, sebelum pulang. Sialnya, ia juga tak punya nomor penjaga keamanan gedung, meski sudah beberapa kali bertegur sapa. Alisha menganggap hal itu tak perlu dan tidak beranggapan
Kepala Damian terasa berat. Tak hanya itu, ia juga merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Sayup-sayup indra pendengaran pria itu menangkap suara-suara yang berasal dari dapur. Ia meyakini itu sebab mendengar bunyi spatula yang beradu dengan penggorengan. Juga aroma yang kemudian menguar memenuhi ruangan. Memaksa kesadarannya kembali lebih cepat tanpa ia duga. Lantas semua itu menjadi jelas ketika ia membuka mata dan menyadari bahwa dirinya saat ini sedang tidak berada di apartemennya. Baik apartemen yang sebelumnya ia tinggali ataupun apartemen yang baru saja ia huni beberapa saat lalu. Bersebelahan dengan apartemen Alisha. Ah, mengingat nama perempuan itu, menarik kesadaran Damian sepenuhnya. Benar, saat ini dirinya sedang berada di apartemen perempuan itu. Tapi, bagaimana bisa? Damian tak ingat jelas apa yang terjadi. Samar-samar ingatannya hanya sebatas ketika ia pergi ke club malam dan tiba-tiba mendapat serangan dari orang tidak dikenal [?]. Damian tidak yakin akan hal itu, tap
Rumor tentang Damian bahwa sebelumnya ia pernah terlibat pembunuhan tersebar dengan cepat. Hampir semua divisi membicarakan hal yang sama setiap kali Alisha pergi ke bagian lain di kantor ini. Bahkan ketika ia harus mengambil desain brief dari tim perencanaan, sang direktur kreatif menjadi perbincangan semua orang. Tidak hanya itu saja, sebagian besar orang-orang itu juga menjadikan Alisha sebagai sumber informasi. Seperti halnya ketika ia diminta Erika untuk mengambil kertas ke bagian perlengkapan. Seroja, sang kepala bagian yang mengurus perlengkapan kantor, melontarkan pertanyaan yang selalu berhasil membuat Alisha tegang. "Memang bener kalau Pak Damian sebelumnya pernah terlibat pembunuhan, Sha?" tanya wanita awal tiga puluh tahunan itu. "Eh, saya nggak tahu, Mbak. Lagian namanya juga rumor. Bisa saja itu ya ... sebatas omong kosong aja sih. Iya nggak sih?" Alisha balik bertanya dengan nada ragu-ragu. Bukan urusannya juga jika seandainya memang benar Damian pernah terlibat p
Pada faktanya wajah muram sang atasan sangat mengganggu Alisha. Perempuan itu sudah berada di depan lift yang hendak membawanya ke lantai satu, tapi niat itu ia urungkan tepat saat pintu lift di depannya terbuka. Alisha memilih berbalik dan berjalan kembali ke ruangan Departemen Kreatif berada. Ada bagian kecil dalam hatinya yang menggelitik hingga menimbulkan tanya dalam benak si perempuan. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia memergoki Damian memasang wajah muram dengan tatapan kosong seperti beberapa saat lalu. Bukan, Alisha tak berpikiran bahwa Damian tengah kesurupan. Jelas alasannya bukan itu. Hanya saja, Alisha merasa jika pria itu sedang menanggung berat yang tak ia ketahui penyebabnya. Jelas pula, itu bukan urusan pekerjaan. Apalagi uang. Damian cukup kaya dan Alisha tahu tentang hal itu. Pria itu bukan dirinya yang bahkan rela berbohong menutupi kehamilannya hanya agar tetap bisa bertahan di tempat kerjanya yang sekarang. Toh, tak banyak yang dikerjakan oleh sang direkt
Orang waras mana yang mau mengikuti ajakan Damian untuk turun dari mobil, ketika suasana di luar sana sangat gelap. Hampir tanpa cahaya selain berasal dari sinar rembulan di langit malam. Mungkin Alisha cukup gila hingga ia mau mengikuti ajakan Damian. Lebih dari itu, sang atasan telah berdiri di samping pintu penumpang dan meminta Alisha untuk turun. Ya, Alisha mungkin cukup gila hingga ia mau mengikuti permintaan Damian. Padahal rumor tentang pria itu sedang santer dibicarakan. Bahwa Damian pernah terlibat dalam pembunuhan. Mengapa Alisha masih dengan mudahnya percaya pada pria itu begitu saja? Apalagi suasana tempat yang mereka kunjungi benar-benar mencekam. Bisa saja tempat itu menjadi tempat eksekusi mati. 'Memang apa untungnya dengan membunuhku? Aku bahkan nggak seberharga itu sampai dia mesti mengotori tangannya buat melenyapkan nyawaku kan?!' suara hati Alisha mematahkan ketakutan dalam diri perempuan itu. Lagipula, ia penasaran, tempat apa yang sebenarnya akan mereka tuj
Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it
Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i
Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b
Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.
Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K
Alisha tersadar jika hari mulai malam saat penjaga kafe menegurnya. Ia buru-buru melihat jam dan tampak kaget saat hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Astaga, maaf, Kak. Saya benar-benar lupa waktu," ucap perempuan itu kepada seorang pelayan lelaki yang terlihat lebih tua darinya. "Ya, Kak. Nggak papa. Kami bisa maklum. Banyak pelanggan yang memang merasa nyaman ketika di sini." Alisha tampak salah tingkah. Ia merasa tersindir. Meski sebenarnya ia memang benar-benar tidak bermaksud menyusahkan orang lain seperti sekarang. "Ah, saya benar-benar minta maaf," imbuh Alisha sambil membungkuk sopan. Ia merasa tak enak pada penjaga kafe karena telah menetap terlalu lama hingga menjelang tutup. Sementara hanya sedikit makanan yang ia pesan. Sejak menjelang sore, perempuan itu memang sengaja menghabiskan waktu di kafe tak jauh dari tempat tinggalnya yang baru. Sekalian beraktivitas setelah ia memilih tidur seharian begitu sampai tempat kosnya yang baru siang tadi. Saat p
Dor!! Suara tembakan kembali terdengar. Kali ini mengenai kaca samping salah satu mobil yang sebelumnya berjalan beriringan menuju gudang tua di pinggiran kota itu. Sebelum keduanya berhenti dan pria di luar mobil Damian menghampirinya. "Melindungi tuanmu bukan tanggung jawab kami, Tuan. Jadi lindungi sendiri tuanmu. Kami tidak ikut campur!" ucap Damian dingin. "Shit! Sialan!" Pria dengan tatto di pelipis kanannya itu mengumpat sebelum akhirnya berbalik. Berlari menuju mobil yang berhenti di depan gudang tua itu. Pria itu baru saja menyadari jika ada seseorang yang berusaha melenyapkan nyawa tuannya. Sementara di depan sana, sebentar saja menjadi area baku hantam antar dua pengusaha yang seharusnya terlibat transaksi penting malam ini. Dan, salah satu dari pengusaha tersebut menyewa jasa yang ditawarkan Black Rose - organisasi milik Harvey - untuk menyingkirkan rekan bisnisnya. Siapa yang mengira jika rekan bisnis yang hendak dihilangkan nyawanya itu, juga berpikiran untuk
Damian bersiap. Hari sudah menjelang pukul 11.00 malam. Pria itu tak mau menunggu lebih lama. Ia segera berkemas untuk menjalankan tugas dari Harvey. Orang yang selama ini mengaku sebagai ayah, tapi tidak pernah sekalipun bertindak sebagaimana perannya. Kali ini, ia harus pergi ke pinggiran kota yang membutuhkan perjalanan lebih lama dibandingkan biasanya. Itu yang membuatnya segera bergegas ketika malam belum benar-benar tua. Lagipula ia memiliki motto. Lebih cepat selesai, lebih baik. Itu yang selalu ia jadikan pedoman selama ini. Terlebih ketika berhadapan dengan target dari klien yang harus ia eksekusi dengan cepat. Apalagi kali ini, Harvey menggunakan orang lain sebagai ancaman jika Damian macam-macam. Pria itu semakin gelisah dan ingin hari ini cepat-cepat berlalu. "Saya sudah menyiapkan mobil Anda, Tuan" ucap sang asisten ketika Damian membuka pintu apartemen. Pria berkacamata yang malam ini tetap tampil formal dengan setelan jas warna hitam telah bersiap di depan pin
Perasaan Damian campur aduk. Sejak meninggalkan kawasan apartemen tempat tinggalnya, pikiran pria itu terus tertuju pada Alisha. Penyebabnya hanya saja, sebuah pesan yang dikirimkan sang ayah beberapa saat lalu. Meski berusaha tak peduli seperti biasa, tetap saja ia masih kepikiran. Apalagi secara terang-terangan, pria yang secara alami menjadi musuh terbesar bagi Damian itu, mencatut nama Alisha. 'Lakukan tugasmu dengan benar, atau kau tak akan pernah bertemu Alisha lagi. Selamanya!' Brakk!! "Brengsek!" Damian memukul setir mobilnya sambil mengumpat. Pikirannya semakin kacau. Pikiran dan hatinya tak mau bekerja sama. Ia bisa saja mengabaikan ucapan sang ayah. Bukankah secara langsung Alisha mengatakan jika mereka tak pernah terlibat hubungan satu malam? Itu berarti anak yang dikandung perempuan itu bukanlah benihnya. Meski begitu, kenapa hati Damian terus menolak fakta tersebut? Kenapa ia selalu berpikiran jika anak yang dikandung Alisha adalah benih miliknya? "Apa ak