Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K
Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.
Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b
Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i
Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it
"Akh!" Desahan samar dari mulut Alisha Seraphina membuat lawannya semakin hilang akal. Ciuman mereka semakin dalam tanpa sedikit pun niat untuk saling melepaskan. Keduanya bertemu di bar beberapa saat lalu, sebelum Alisha melemparkan dirinya untuk dimangsa pria itu. Di bawah pengaruh alkohol yang mereka teguk, di sinilah mereka berakhir sekarang sambil bertukar kenikmatan. "Tu-tunggu!” Dengan kasar, pria bertubuh jangkung dan kekar itu mendorong pintu hotel dan melanjutkan ciumannya yang sempat terlepas sesaat. Alisha kehabisan napas dan tak sanggup mengimbangi lumatan pria asing yang dijumpainya di bar beberapa waktu lalu. Berkat itu pula, ia mendapatkan kembali sedikit kesadarannya. Tangannya yang mungil, mendorong tubuh si pria asing yang tetap bergeming. Justru pria itu semakin menuntut ketika Alisha mendorong dadanya. "Tu-tuan ...." Ucapan Alisha tak tuntas, sebab pria asing itu tak memberinya kesempatan untuk bicara. "Bukankah ini yang kau inginkan, Nona?" Suara bariton
Damian tercenung menatap sprei yang memerah akibat noda darah di sampingnya. Bisa dipastikan, itu darah yang ditinggalkan oleh perempuan yang melewatkan malam panas bersamanya semalam. Ia bahkan kehilangan akal dan tak sanggup lagi berkata-kata. Bagaimana bisa seorang Damian Laith membuat sebuah kesalahan fatal. Ia mengacak-acak rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Wajahnya terlihat gusar. Seharusnya ia tak perlu peduli dengan fakta yang baru diketahui pagi ini. Toh, perempuan itu meninggalkan uang dan menganggapnya sebagai pria bayaran. Namun, tak bisa. Damian tak bisa mengabaikan hal itu begitu saja. Kemunculan vAlishabel tak terduga dalam rencananya, bisa membuat pria itu berhadapan dengan situasi yang lebih pelik di masa depan. Ia harus menyelesaikan masalah ini sampai tuntas dengan segera. Pria itu masih memikirkan cara, apa yang akan ia lakukan ke depan sebelum masalah yang terjadi semakin membesar. Dengan wajah gusar dan pikiran keruh, ia mondar-mandir dalam kamar hot
Dua minggu berlalu setelah aksi kabur Alisha ke Paris seorang diri. Namun, aksi nekat perempuan itu tak berhenti sampai di sana. Atas rekomendasi salah seorang seniornya ketika masih di kampus, ia berpindah tempat kerja ke ibukota. Meninggalkan posisinya sebagai Art Director di perusahaan sebelumnya dan memilih memulai kariernya dari awal. Alisha hanya sudah muak harus tetap tinggal di kota keliharannya. Karena hal itu membuatnya bertemu dengan Alfian dan Amanda yang sudah mengkhiantinya. Tak masalah jika mereka menganggapnya pecundang. Alisha hanya tak mau membebani perasaannya hanya dengan memikirkan sakit hati itu secara terus menerus. Lebih baik, ia memilih pergi dan membiarkan mereka berbahagia. Alisha sama sekali tak peduli. Meski pada faktanya, rasa sakit itu tak juga mau pergi. Tangan Alisha kembali mengepal. Nyeri kembali menekan ulu hatinya hingga membuatnya tak sanggup bernapas dengan benar. "Sial!" umpatnya menahan geram. Alisha berusaha menekan perasaan yang mengga
Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it
Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i
Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b
Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.
Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K
Alisha tersadar jika hari mulai malam saat penjaga kafe menegurnya. Ia buru-buru melihat jam dan tampak kaget saat hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Astaga, maaf, Kak. Saya benar-benar lupa waktu," ucap perempuan itu kepada seorang pelayan lelaki yang terlihat lebih tua darinya. "Ya, Kak. Nggak papa. Kami bisa maklum. Banyak pelanggan yang memang merasa nyaman ketika di sini." Alisha tampak salah tingkah. Ia merasa tersindir. Meski sebenarnya ia memang benar-benar tidak bermaksud menyusahkan orang lain seperti sekarang. "Ah, saya benar-benar minta maaf," imbuh Alisha sambil membungkuk sopan. Ia merasa tak enak pada penjaga kafe karena telah menetap terlalu lama hingga menjelang tutup. Sementara hanya sedikit makanan yang ia pesan. Sejak menjelang sore, perempuan itu memang sengaja menghabiskan waktu di kafe tak jauh dari tempat tinggalnya yang baru. Sekalian beraktivitas setelah ia memilih tidur seharian begitu sampai tempat kosnya yang baru siang tadi. Saat p
Dor!! Suara tembakan kembali terdengar. Kali ini mengenai kaca samping salah satu mobil yang sebelumnya berjalan beriringan menuju gudang tua di pinggiran kota itu. Sebelum keduanya berhenti dan pria di luar mobil Damian menghampirinya. "Melindungi tuanmu bukan tanggung jawab kami, Tuan. Jadi lindungi sendiri tuanmu. Kami tidak ikut campur!" ucap Damian dingin. "Shit! Sialan!" Pria dengan tatto di pelipis kanannya itu mengumpat sebelum akhirnya berbalik. Berlari menuju mobil yang berhenti di depan gudang tua itu. Pria itu baru saja menyadari jika ada seseorang yang berusaha melenyapkan nyawa tuannya. Sementara di depan sana, sebentar saja menjadi area baku hantam antar dua pengusaha yang seharusnya terlibat transaksi penting malam ini. Dan, salah satu dari pengusaha tersebut menyewa jasa yang ditawarkan Black Rose - organisasi milik Harvey - untuk menyingkirkan rekan bisnisnya. Siapa yang mengira jika rekan bisnis yang hendak dihilangkan nyawanya itu, juga berpikiran untuk
Damian bersiap. Hari sudah menjelang pukul 11.00 malam. Pria itu tak mau menunggu lebih lama. Ia segera berkemas untuk menjalankan tugas dari Harvey. Orang yang selama ini mengaku sebagai ayah, tapi tidak pernah sekalipun bertindak sebagaimana perannya. Kali ini, ia harus pergi ke pinggiran kota yang membutuhkan perjalanan lebih lama dibandingkan biasanya. Itu yang membuatnya segera bergegas ketika malam belum benar-benar tua. Lagipula ia memiliki motto. Lebih cepat selesai, lebih baik. Itu yang selalu ia jadikan pedoman selama ini. Terlebih ketika berhadapan dengan target dari klien yang harus ia eksekusi dengan cepat. Apalagi kali ini, Harvey menggunakan orang lain sebagai ancaman jika Damian macam-macam. Pria itu semakin gelisah dan ingin hari ini cepat-cepat berlalu. "Saya sudah menyiapkan mobil Anda, Tuan" ucap sang asisten ketika Damian membuka pintu apartemen. Pria berkacamata yang malam ini tetap tampil formal dengan setelan jas warna hitam telah bersiap di depan pin
Perasaan Damian campur aduk. Sejak meninggalkan kawasan apartemen tempat tinggalnya, pikiran pria itu terus tertuju pada Alisha. Penyebabnya hanya saja, sebuah pesan yang dikirimkan sang ayah beberapa saat lalu. Meski berusaha tak peduli seperti biasa, tetap saja ia masih kepikiran. Apalagi secara terang-terangan, pria yang secara alami menjadi musuh terbesar bagi Damian itu, mencatut nama Alisha. 'Lakukan tugasmu dengan benar, atau kau tak akan pernah bertemu Alisha lagi. Selamanya!' Brakk!! "Brengsek!" Damian memukul setir mobilnya sambil mengumpat. Pikirannya semakin kacau. Pikiran dan hatinya tak mau bekerja sama. Ia bisa saja mengabaikan ucapan sang ayah. Bukankah secara langsung Alisha mengatakan jika mereka tak pernah terlibat hubungan satu malam? Itu berarti anak yang dikandung perempuan itu bukanlah benihnya. Meski begitu, kenapa hati Damian terus menolak fakta tersebut? Kenapa ia selalu berpikiran jika anak yang dikandung Alisha adalah benih miliknya? "Apa ak