Dua minggu berlalu setelah aksi kabur Alisha ke Paris seorang diri. Namun, aksi nekat perempuan itu tak berhenti sampai di sana.
Atas rekomendasi salah seorang seniornya ketika masih di kampus, ia berpindah tempat kerja ke ibukota. Meninggalkan posisinya sebagai Art Director di perusahaan sebelumnya dan memilih memulai kariernya dari awal.Alisha hanya sudah muak harus tetap tinggal di kota keliharannya. Karena hal itu membuatnya bertemu dengan Alfian dan Amanda yang sudah mengkhiantinya.Tak masalah jika mereka menganggapnya pecundang. Alisha hanya tak mau membebani perasaannya hanya dengan memikirkan sakit hati itu secara terus menerus.Lebih baik, ia memilih pergi dan membiarkan mereka berbahagia. Alisha sama sekali tak peduli. Meski pada faktanya, rasa sakit itu tak juga mau pergi.Tangan Alisha kembali mengepal. Nyeri kembali menekan ulu hatinya hingga membuatnya tak sanggup bernapas dengan benar."Sial!" umpatnya menahan geram.Alisha berusaha menekan perasaan yang mengganggu pikirannya itu. Ia tak ingin rasa sakit itu menganggunya dan merusak hari pertamanya masuk kerja."Huft!"Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Perjuangannya untuk diterima kerja di perusahaan iklan bergengsi di ibukota ini tidak mudah. Untuk itu, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan membuat kesalahan di hari pertama bekerja.Dulu ia boleh menduduki posisi sebagai Art Director selama bekerja di sebuah perusahaan iklan kecil yang berada di Bandung. Tapi, di sini ia hanyalah anak baru yang menduduki posisi sebagai Graphic Designer.Itu artinya, Alisha benar-benar mengawali kariernya mulai dari nol. Dengan begitu, ia harus membangun kesan baik bukan?Huft!!Alisha mengembuskan napas panjang sekali lagi sambil menunggu lift yang akan membawanya ke ruangan tempat ia bekerja. Gedung periklanan Pixa, terdiri dari lima lantai dan Creative Departement yang akan menjadi ruangannya berada di lantai tiga.Sebelumnya Alisha sudah pernah datang ke kantor sebelum mulai bekerja hari ini. Jadi, cukup mudah baginya untuk menemukan ruangan yang hendak ia tempati.Untuk itu, mudah juga baginya berdiri di sini sambil menunggu lift yang tak juga kunjung datang."Alisha!" Panggilan seseorang membuat perempuan itu menoleh.Ia mendapati seorang lelaki tengah berjalan ke arahnya yang masih menunggu lift untuk membawanya ke lantai tempat kerjanya.Senyum Alisha menggembang. Arlan, kakak senior selama di kampus sekaligus teman baiknya semasa kuliah, berlari kecil sambil melambaikan tangan."Sudah datang? Bukannya anak baru harusnya datang jam sembilan?" tanya lelaki itu sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini baru pukul 07.45."Ya, lebih baik datang lebih awal ketimbang telat.""Memang paling rajin."Keduanya tertawa. Bertepatan saat pintu lift terbuka dan mereka memasuki benda kotak besar itu diikuti pekerja lain yang berada di belakang Arlan.Ada salah satu dari mereka yang berasal dari divisi yang sama dengan Arlan karena perempuan itu menyapanya. Sementara dua yang lain berasal dari divisi berbeda. Meski begitu obrolan mereka masih nyambung, sebab berita terpanaslah yang sedang mereka bicarakan saat ini."Aku dengar dia blesteran Prancis Indo gitu. Udah lama tinggal di Prancis, tapi Pak CEO minta dia buat jadi Creative Director di sini."Indra pendengaran Alisha melebar mendengar perbincagan ketiga perempuan yang berada di dalam lift tersebut. Ia turut penasaran dengan apa yang mereka bicarakan."Aku udah pernah ketemu waktu dia mampir beberapa hari lalu. Sumpah ganteng banget sih. Tipikal om-om yang nggak pernah tua. Ngerti kan, kayak Gong Yoo gitu!" Salah seorang di antara mereka histeris.Alisha yang berdiri di belakang hampir menyentuh dinding lift, menarik ujung kemeja Arlan yang sepertinya tak tertarik dengan percakapan ketiga perempuan di depannya."Mereka lagi ngomongin apa sih?" tanya Alisha tak sanggup menahan rasa penasarannya."Oh, ada pergantian Creative Director baru mulai hari ini. Pas banget ya, barengan sama pertama kali kamu masuk kerja.""Terus, kenapa mereka kayak heboh banget gitu?" bisik Alisha cukup pelan. Khawatir jika perempuan di depanya mendengarkan percakapan mereka."Biasalah. Si Bos baru termasuk orang yang good looking dan dapat dipastikan masih single. Udah pasti bakal jadi pembicaraan kan?" Arlan balas berbisik.Alisha hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O', tepat saat pintu lift terbuka di lantai tiga.Perkenalan bagi pekerja baru sudah selesai lima menit lalu. Erika sebagai penanggung jawab tim kreatif dua yang menjadi tempat bernaung Alisha sudah mengenalkan perempuan itu pada seluruh anggota tim.Creative Departement Pixa terdiri dari lima tim yang masing-masing dikepalai oleh Creative Group Head. Di dalam tim tersebut terdiri dari beberapa copywriter dan graphhic designer yang juga memiliki masing-masing ketua tim. Dan, Erika bertanggung jawab sebagai Creative Group Head tim dua.Tak hanya itu, masih ada penanggung jawab tim yang lain dan Arlan yang bertanggung jawab atas tim kreatif lima, juga membantu perempuan itu untuk membaur dengan yang lain."Oh, jadi kalian satu kampus? Yakin hubungan kalian cuma senior sama junior?" celetuk salah seorang perempuan yang kemudian Alisha tahu bernama Rini - penanggung jawab tim kreatif satu."Apaan sih, Mbak. Cuma teman aja kita. Ya kan, Sha?" Arlan membutuhkan dukungan dan hanya dibalas senyuman oleh Alisha."Nah lo, dia cuma senyum aja tuh, Lan. Curiga sih, kalian nggak cuma senior sama junior."Ruangan Creative Departement yang semula sunyi, menjadi gaduh akibat ledekan yang ditujukan pada Arlan."Ck, yakin sih, kamu sih udah nembak Alisha, tapi ditolak sama dia. Ya kan, Lan?" Aceng - penanggung jawab tim empat - ikut memberikan komentar."Heran deh, perasaan Alisha yang anak baru, kenapa justru aku yang kena roasting?"Tawa di ruangan itu kembali pecah, sebelum Mariska Creative Group Head tim tiga memberikan ultimatum kepada mereka."Udah cukup nggak sih perkenalan kalian. Udah waktunya kerja juga. Inget, bentar lagi Creative Director kita yang baru bakal datang!"Meski mendapat tatapan tidak suka dan nyinyiran dari yang lain, tetap saja mereka menuruti ucapan Mariska.Sementara Erika kembali bertanya pada Alisha yang masih berdiri di sampingnya."Gimana, udah ngerti kan? Kalau udah, kamu bisa ke tempat kamu. Seperti kata Mbak Mariska, sebentar lagi Creative Director kita yang baru bakal datang.""Iya, Mbak. Aku udah ngerti." Alisha tersenyum ramah menyambut perhatian Erika."Pasti ngertilah, pengalaman kerja kamu lebih dari ini. Semoga betah ya di sini," ucap Erika terdengar sangat tulus. Lantas menunjukkan di mana tempat duduk Alisha berada.Setelah mengucapkan terima kasih, Alisha duduk di kursi kerjanya yang baru dan menghirup napas panjang.'Yosh, semangat menyongsong masa depan yang cerah Alisha!' bisiknya dalam hati.Tepat saat ruangan Creative Departement terbuka. Seorang pria berumur tiga puluh lima tahunan memasuki ruangan didampingi seorang pria lainnya yang terlihat lebih tua.Tubuh Alisha membeku seketika. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi di dunia ini, kenapa justru bertemu pria itu yang terjadi dalam hidup Alisha?!Alisha tak bisa lupa, bagaimana malam panas yang ia lewati bersama seorang pria asing jauh di Kota Paris lebih dari dua minggu yang lalu. Setiap inchi tubuhnya bahkan menolak lupa, bagaimana cara pria itu menyentuh dan memperlakukan dirinya. Meski pertemuan mereka akibat pengaruh alkohol dan di bawah temaram lampu bar, Alisha tak mungkin lupa wajah pria yang sudah menikmati kesuciannya itu. Ia sempat menelisik wajah pria itu sebelum pergi. Namun, yang tak Alisha pahami, mengapa pria itu berada di sini? Bukankah pria yang ia temui melalui aplikasi kencan itu mengaku bahwa dia seorang pengangguran dan mencari uang dengan cara menghibur para wanita yang kesepian? Seperti halnya Alisha pada malam itu. Lantas, bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi Creative Director baru di kantor tempat Alisha bekerja? Apa ini memang sebuah kebetulan? ‘Sial!’ umpat Alisha dalam hati. Ia tak bisa diam saja dalam situasi seperti saat ini. Alisha tak pernah tahu, apakah pria itu mengingatnya atau tidak se
Bibir perempuan itu tak berhenti mengeluh. Ia masih saja syok dengan perintah sang atasan yang diberikan kepadanya. “Gila, aku pasti sudah gila!” keluh Alisha berulang kali. “Bisa-bisanya orang yang kukencani, sekarang justru menjadi atasanku! Apa aku keluar saja, mumpung ini masih terlalu awal? “Dia pasti tak akan mengenaliku kan? Cih, siapa yang mengira kalau dia ternyata pria yang kejam!” gumam perempuan itu seorang diri. Beruntung tak ada orang lain di sekitarnya yang bisa mendengar gumaman Alisha. Kalau saja ada orang lain di sekitarnya, pasti apa yang ia ucapkan akan menjadi rumor dalam sekejap. “Ck, lagian bisa-bisanya dia meminta anak baru yang belum tahu kondisi kantor untuk meminta berkas?” Sudut bibir Alisha tersenyum miring. “Huh, lagipula pertemuan kalian hanyalah sebatas urusan ranjang! Memang kau tahu seperti apa pria itu hanya dengan sekali tidur dengannya?” benak Alisha penuh dengan umpatan yang ditujukan kepada sang atasan. “Aku pasti akan membuat perhitungan
Perempuan itu tergagap. Degup jantungnya begitu keras mendapati pertanyaan yang tak terprediksi. Alisha sama sekali tak menduga pertanyaan dari sang atasan yang cukup mengejutkan.Kalau saja ia tak menutupi penampilannya dengan kacamata dan mengikat rambutnya di sela perkenalan Damian, mungkin dengan mudah pria itu akan mengenalinya. Meski begitu, tetap saja ia susah payah menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering ketika mendengar pertanyaan Damian. Beruntung hal itu tak berlangsung lama. Alisha dengan cepat dapat mengendalikan ekspresi wajahnya. "Tidak, Pak. Kita belum pernah bertemu sebelumnya!" jawab Alisha dengan tegas. Meski sebenarnya, degup jantung di balik tulang rusuk perempuan itu tak juga bisa dikendalikan. Sepasang alis Damian yang hampir saling menyentuh ujungnya, tampak berkerut mendengar jawaban perempuan itu. Sorot mata pria itu menatap tajam sang perempuan yang kini terlihat semakin gelisah. "Kalau gitu, kenapa kau berani mengkritikku?"
Rahang Damian seketika mengeras begitu mendengar penuturan lugas sang karyawan baru. Tangannya mengepal. Kalau saja Alisha bukan perempuan, ia pasti telah memberikan peringatan kejam. Sebuah cengkeraman di kerah bajunya, sepertinya cukup untuk memberinya pelajaran. Lagipula bisa-bisanya perempuan itu mengucapkan sebuah kata dengan begitu ringan. Sementara ketika berada di dalam ruangan Damian, ia sangat gemetar ketakutan. Apa perempuan itu beranggapan bahwa sang atasan tak akan berani macam-macam ketika di hadapan banyak orang? Seringai dingin membingkai wajah Damian. Ia mendekati si perempuan yang kini menutup mulut dengan kedua tangan. "Kau menyebutku manusia salju?" tanya Damian dengan nada dingin dan menjadikan ruangan makin mencekam. "Ti-tidak, Pak. Bu-bukan begitu maksud sa-saya." Alisha tergagap. Ia kesulitan mengatur napas ataupun tempo bicaranya akibat terlalu gemetar. "Lalu?""Sa-saya ...." Alisha tergagap. Ia tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun dan hanya m
Arlan membalas senyum Damian tak kalah sinis. "Kalau itu yang Anda inginkan, Pak. Saya tidak masalah," ucap Arlan begitu santai.Tantangan Damian, disambut begitu saja oleh lelaki itu. Tanpa diketahui Arlan, bahwa Damian dikenal sebagai pria berhati dingin. Dalam benaknya, beragam skenario untuk mempersulit langkah Arlan, sudah mulai dipikirkan. Damian bahkan tak melewatkan bagian sekecil apa pun. Ia tak akan segan menghukum siapa pun yang berusaha menghalangi jalannya. Termasuk memberikan pelajaran kepada Alisha yang telah menerobos garis batas tak kasatmata yang selama ini digariskan Damian. Apalagi Arlan yang notabene seorang lelaki dan jelas-jelas ikut campur dalam urusan mereka. Damian paling tidak suka, kesenangannya diusik. Lantas, bisa-bisanya Arlan bersikap seolah menjadi pahlawan di saat yang sama sekali tak tepat. Maka, ia pun akan melihat, seberas apa kemampuan yang dimiliki oleh lelaki itu. Untuk melindungi apa yang dimiliki. Dimiliki? Damian tersenyum sinis saat k
Langkah Damian berhenti di balik pintu. Ia baru saja menerima panggilan yang membutuhkan privasi khusus ketika kembali ke ruangannya. Seseorang yang baru saja meneleponnya memberikan informasi penting yang ia cari selama dua minggu terakhir. Seharusnya ia merasa lega begitu kembali ke ruang kerjanya. Namun, perasaan Damian memburuk seketika. Saat itu indra pendengarannya menangkap suara bising dari balik pintu ruangannya berada. Senyum sinis seketika membingkai wajah sang pria. Di mana pun, semua anak buah sama saja. Mereka pasti akan membicarakan atasannya di belakang. Begitu juga para staf creative departement yang resmi dikepalai Damian mulai hari ini. Padahal, ia sudah rela meninggalkan kota tempat dirinya tinggal sekarang.Hanya demi membantu sang teman yang merupakan pimpinan perusahaan untuk memajukan perusahaan periklanan tersebut. Namun, anak buah yang harusnya bisa diajak bekerja sama, memiliki mental pengecut. Bagaimana bisa perusahaan ini mencapai target bahkan melamp
Lirikan sesama karyawan begitu mendengar ucapan sang direktur utama, membuat Damian sigap membawa pria berkacamata itu ke dalam ruangannya. Sebelum semua orang semakin gempar akibat pengakuan sang pria yang terkadang suka lepas kontrol itu. Memang itulah susahnya memiliki partner besar mulut yang suka membicarakan hal-hal tak terduga seperti Devano. "Lanjutkan pekerjaan kalian!" ucap Damian sambil mendorong punggung sang direktur utama. "Alisha, tolong bawakan minuman untuk kami," imbuhnya lagi tanpa menunggu tanggapan dari perempuan yang menatapnya dengan raut tidak percaya. Damian tak hendak peduli. Ia harus menyelamatkan diri sebelum si pria berkacamata itu semakin bicara omong kosong di hadapan para staf. "Apa aku membuat kesalahan?" ucapnya begitu Damian menutup pintu di belakang punggungnya. Pria itu membuang napas geram. Tangannya sudah mulai mengepal dan bersiap melayangkan pukulan ke wajah Devano. Sang direktur utama yang menyeretnya ke tempat ini. Kalau bukan hubunga
Langkah Alisha berhenti tepat di pintu sang atasan. Tangannya sibuk menahan berat nampan ketika hendak mengetuk pintu kaca tersebut. Ia cukup kesulitan. Harusnya ia terima saja bantuan dari Arlan ataupun Rini yang menawarkan untuk mengetukkan pintu untuknya. Sementara ia membawa nampan berisi dua buah cangkir berisi kopi yang baru saja seduh. Hanya saja, Alisha tak ingin merepotkan siapa pun. Terlebih Arlan yang sudah dibuat repot akibat terlibat perdebatan dengan Damian setelah berusaha menolongnya. Sebenarnya, mereka pun melarang Alisha melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugasnya. Namun, demi menghindari amukan sang atasan, ia memilih mengalah.Meski tidak membenarkan perilaku Damian yang memintanya untuk membuat minuman. Mungkin ia perlu menegaskan pada Damian, bahwa dirinya bukan bekerja sebagai office girl ataupun asisten pribadi pria itu. Melainkan menjadi graphic designer untuk divisi creative department Pixa Growth Advertising. Untuk saat ini, Alisha hanya ingin tugas
Detak jantung Alisha tak terkontrol. Damian tahu perempuan itu masih berada di unit huniannya. Ia bahkan menahan napas ketika Damian berdiri cukup lama di balik pintu apartemennya.Padahal belum tentu pula, pria itu menyadari keberadaan Alisha di balik pintu. Hanya saja, fakta yang diketahui Damian bahwa dirinya masih berada di apartemen tersebut membuat sang perempuan panik."Sial, apa yang kau lakukan di sana. Cepat pergi!" umpat Alisha pada dirinya sendiri.Hening di luar. Tak ada kalimat yang terucap setelah Damian mengucapkan kalimatnya yang penuh penekanan. Damian hanya berdiri sambil menatap daun pintu yang tertutup rapat.Sorot matanya menyiratkan aura kejam yang tak dapat digambarkan oleh Alisha. Yang jelas, pria itu terlihat marah.Sementara Alisha terkekeh di balik pintu dengan suara yang hampir tak terdengar. Kenapa pria itu yang tampak marah sementara dirinya yang mendapat perlakuan tidak adil?! Meski begitu, Alisha mencoba tak ambil pusing. Urusannya dengan Damian bena
Alisha tak benar-benar pergi dari apartemen yang ia tinggali selama di Jakarta. Ia masih di sana. Bahkan perempuan itu bisa mendengar semua makian Arlan beberapa waktu lalu. Namun, ia memilih bergeming dan membiarkan Arlan terluka dengan caranya. Hanya dengan begitu, Arlan dapat membeci dirinya. Itulah yang diharapkan Alisha. Lagipula ia bukannya tak ingin pergi dari tempat itu. Apalagi kemungkinannya bertemu dengan Damian cukup tinggi, jika ia tetap berada di sana. Hanya saja, Alisha harus lebih dulu memiliki rencana sebelum benar-benar pergi. "Pulang hanya akan membuat mereka hancur saat mengetahui kondisiku. Setidaknya aku harus bertahan sampai sembilan bulan ke depan dan segera mendapatkan pekerjaan baru," gumam Alisha sambil berbaring di tempat tidurnya. Ia sangat lelah. Baik fisik maupun mentalnya. Meski begitu ia harus mengatur rencana.Alisha tidak mungkin pulang ke Bandung. Kedua orang tuanya pasti akan kecewa ketika ia pulang dalam keadaan hamil, apalagi tanpa keberad
Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
Arlan menjadi orang terakhir yang tahu tentang kehebohan di kantor begitu datang. Ia sama sekali tidak mengecek ponsel - apalagi grup perusahaan - selama perjalanan menuju kantor Pixa. Pria itu begitu fokus menyetir. Terlebih di jam-jam macet saat dirinya berangkat hari ini. Tidak seperti biasa, ia memang sedikit terlambat hingga membuatnya terjebak dalam kemacetan cukup lama. Begitu sampai kantor lima belas menit setelah jam masuk, ia diserbu oleh Erika dan yang lain. "Dari mana aja? Kenapa mesti telat di hari genting kayak gini?" tanya Erika dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Segenting apa sih sampe bikin kalian tegang gitu?" Arlan masih sempat bercanda. Ia sama sekali tidak mengetahui huru-hara apa yang tengah terjadi. Erika menghela napas panjang. Ia melirik kepada rekan kerjanya yang lain sebelum menjawab pertanyaan pria muda itu. "Alisha mengundurkan diri. Gosipnya rame tersebar di grup perusahaan. Apa kamu nggak tahu tentang sesuatu?" tanya Mariska cukup berhati-hati
Dada Alisha terasa sesak. Rasanya lebih menyakitkan ketika Damian merebut surat pengunduran dirinya dan membubuhkan tanda tangan. Padahal ia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Kenapa ia harus merasa terluka? Apa karena Damian lebih memilih percaya dengan apa yang dia lihat, ketimbang Alisha? Ya, lagipula siapa yang tidak salah paham, jika melihatnya berdua mengantre di depan poli kandungan bersama Arlan? Orang lain bisa jadi juga memiliki pemikiran yang sama. Perlu diingat lagi, Alisha bahkan tak mau mengakui jika malam di mana keduanya menghabiskan waktu bersama, telah membuahkan hasil dalam rahimnya. 'Benar Alisha, ini masalahmu sendiri!' suara dalam benak Alisha memberi peringatan. Ia tak boleh gentar. "Terima kasih, Pak. Saya pamit," ucapnya saat mengambil kembali surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh Damian. Ia hendak pergi ketika Damian memanggilnya. "Tunggu! Bagaimana kamu akan menjelaskan pada pihak HRD?" tanya pria itu dengan sorot mata dingi
Arlan menatap perempuan yang duduk di sampingnya. Mereka sedang antre obat yang harus ditebus setelah melakukan pemeriksaan. Pikiran pria itu berkecamuk. Kemunculan Damian yang tiba-tiba dan mengucapkan kalimat absurd, mengganggu pikiran Arlan. Sementara Alisha tak banyak bicara. Ia memilih bungkam tanpa mengatakan apa pun, meski Arlan berulang-ulang mengajukan pertanyaan. Meski begitu, Arlan memahami satu hal. Sepertinya, pria itulah yang telah menanamkan benih dalam rahim Alisha. Melihat gelagat sang junior, sepertinya dugaannya tak terbantahkan. "Nona Alisha," panggilan dari microphone mengalihkan pikiran Arlan. Ia menoleh ke kanan, sepertinya ada manusia yang lebih penuh pikirannya ketimbang pria itu. Sebagai gantinya, Arlan yang bangkit dari tempat duduk. Menuju ke loket pengambilan obat. Setelah mendengarkan penjelasan dari petugas apoteker yang berjaga, barulah ia meninggalkan tempat tersebut. Kembali kepada Alisha yang masih tampak bengong di tempatnya. "Ayo, aku aka
Alisha tak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Ia tampak gugup. Membuat Damian semakin mencurigai sikap perempuan itu. "Melihat reaksimu, sepertinya benar telah terjadi sesuatu setelah malam itu bukan?" desak Damian semakin gencar. Perempuan itu menggeleng cepat. Menyangkal pertanyaan sang atasan. "Tidak terjadi apa pun, Pak. Kalau itu yang ingin Anda dengar! Anda salah paham jika beranggapan telah terjadi sesuatu malam itu." 'Kalau begitu, kenapa kamu bersikap seolah ada makhluk hidup dalam perutmu?' Itu yang ingin dikatakan Damian. Namun, lidah pria itu terasa kelu. Damian menelan kembali kalimat di ujung lidahnya setelah menyadari jika ucapannya hanya akan memperkeruh suasana di antara mereka. Apabila memang terjadi sesuatu setelah malam itu, ia harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk merebut hati ibu sekaligus anaknya. Ya, Damian meyakini satu hal, perempuan itu tengah mengandung anaknya. Itulah alasan kuat yang membuat pikirannya kacau akh
Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya juga seakan pria itu begitu mendamba pada Alisha. Menyudutkan Alisha yang tak sanggup mengalihkan tatapan dari sang atasan. "Apa yang membuatmu benci padaku? Katakan!" Alisha tergagap. Ia tak pernah membenci pria di depannya itu. Bagaimana bisa Alisha memiliki perasaan itu, jika tahu bahwa Damianlah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Sekalipun ingin, Alisha tak pernah benar-benar bisa membenci pria yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan malam itu. Bahkan dengan kurang ajarnya, Alisha terkadang masih membayangkan sensasi memabukkan itu menguasai dirinya pada momen-momen tertentu. Ia terpikat. Dirinya telah menyatu dengan pria yang berdiri di depannya itu tanpa sanggup menghindarinya seperti
Damian tersenyum getir begitu Alisha menghilang dari pandangannya. Perempuan itu mengancamnya? Yang benar saja! Padahal bukan seperti ini yang Damian harapkan. Hingga pintu ruangan kembali terbuka disusul wajah Devano yang mengerut. Tampak heran dengan ekspresi wajah Damian yang seakan ingin menelan orang hidup-hidup. "Urusanmu dengan pria tua itu masih belum selesai?" ucap Devano mengalihkan perhatian Damian. Pria itu hanya bungkam tanpa berniat menjawab ucapan sang atasan yang juga sahabat karibnya. "Oh, bukan masalah itu ya. Lalu, siapa? Apa mungkin asistenmu?" ucap Devano kemudian ketika tak mendapat respon dari Damian. Meski tak secara terang-terangan, kali ini Damian memberikan respon dengan mendengus kesal. Dengan rahang tetap mengeras sambil menatap tak fokus ke sudut ruangan. "Ternyata benar karena Alisha. Sekarang apalagi?" Devano terus berbicara meski tak juga mendapatkan respon dari sahabatnya itu. Sudah biasa. Jika lelah sendiri, Damian pasti akan men