Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
"Akh!" Desahan samar dari mulut Alisha Seraphina membuat lawannya semakin hilang akal. Ciuman mereka semakin dalam tanpa sedikit pun niat untuk saling melepaskan. Keduanya bertemu di bar beberapa saat lalu, sebelum Alisha melemparkan dirinya untuk dimangsa pria itu. Di bawah pengaruh alkohol yang mereka teguk, di sinilah mereka berakhir sekarang sambil bertukar kenikmatan. "Tu-tunggu!” Dengan kasar, pria bertubuh jangkung dan kekar itu mendorong pintu hotel dan melanjutkan ciumannya yang sempat terlepas sesaat. Alisha kehabisan napas dan tak sanggup mengimbangi lumatan pria asing yang dijumpainya di bar beberapa waktu lalu. Berkat itu pula, ia mendapatkan kembali sedikit kesadarannya. Tangannya yang mungil, mendorong tubuh si pria asing yang tetap bergeming. Justru pria itu semakin menuntut ketika Alisha mendorong dadanya. "Tu-tuan ...." Ucapan Alisha tak tuntas, sebab pria asing itu tak memberinya kesempatan untuk bicara. "Bukankah ini yang kau inginkan, Nona?" Suara bariton
Damian tercenung menatap sprei yang memerah akibat noda darah di sampingnya. Bisa dipastikan, itu darah yang ditinggalkan oleh perempuan yang melewatkan malam panas bersamanya semalam. Ia bahkan kehilangan akal dan tak sanggup lagi berkata-kata. Bagaimana bisa seorang Damian Laith membuat sebuah kesalahan fatal. Ia mengacak-acak rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Wajahnya terlihat gusar. Seharusnya ia tak perlu peduli dengan fakta yang baru diketahui pagi ini. Toh, perempuan itu meninggalkan uang dan menganggapnya sebagai pria bayaran. Namun, tak bisa. Damian tak bisa mengabaikan hal itu begitu saja. Kemunculan vAlishabel tak terduga dalam rencananya, bisa membuat pria itu berhadapan dengan situasi yang lebih pelik di masa depan. Ia harus menyelesaikan masalah ini sampai tuntas dengan segera. Pria itu masih memikirkan cara, apa yang akan ia lakukan ke depan sebelum masalah yang terjadi semakin membesar. Dengan wajah gusar dan pikiran keruh, ia mondar-mandir dalam kamar hot
Dua minggu berlalu setelah aksi kabur Alisha ke Paris seorang diri. Namun, aksi nekat perempuan itu tak berhenti sampai di sana. Atas rekomendasi salah seorang seniornya ketika masih di kampus, ia berpindah tempat kerja ke ibukota. Meninggalkan posisinya sebagai Art Director di perusahaan sebelumnya dan memilih memulai kariernya dari awal. Alisha hanya sudah muak harus tetap tinggal di kota keliharannya. Karena hal itu membuatnya bertemu dengan Alfian dan Amanda yang sudah mengkhiantinya. Tak masalah jika mereka menganggapnya pecundang. Alisha hanya tak mau membebani perasaannya hanya dengan memikirkan sakit hati itu secara terus menerus. Lebih baik, ia memilih pergi dan membiarkan mereka berbahagia. Alisha sama sekali tak peduli. Meski pada faktanya, rasa sakit itu tak juga mau pergi. Tangan Alisha kembali mengepal. Nyeri kembali menekan ulu hatinya hingga membuatnya tak sanggup bernapas dengan benar. "Sial!" umpatnya menahan geram. Alisha berusaha menekan perasaan yang mengga
Alisha tak bisa lupa, bagaimana malam panas yang ia lewati bersama seorang pria asing jauh di Kota Paris lebih dari dua minggu yang lalu. Setiap inchi tubuhnya bahkan menolak lupa, bagaimana cara pria itu menyentuh dan memperlakukan dirinya. Meski pertemuan mereka akibat pengaruh alkohol dan di bawah temaram lampu bar, Alisha tak mungkin lupa wajah pria yang sudah menikmati kesuciannya itu. Ia sempat menelisik wajah pria itu sebelum pergi. Namun, yang tak Alisha pahami, mengapa pria itu berada di sini? Bukankah pria yang ia temui melalui aplikasi kencan itu mengaku bahwa dia seorang pengangguran dan mencari uang dengan cara menghibur para wanita yang kesepian? Seperti halnya Alisha pada malam itu. Lantas, bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi Creative Director baru di kantor tempat Alisha bekerja? Apa ini memang sebuah kebetulan? ‘Sial!’ umpat Alisha dalam hati. Ia tak bisa diam saja dalam situasi seperti saat ini. Alisha tak pernah tahu, apakah pria itu mengingatnya atau tidak se
Bibir perempuan itu tak berhenti mengeluh. Ia masih saja syok dengan perintah sang atasan yang diberikan kepadanya. “Gila, aku pasti sudah gila!” keluh Alisha berulang kali. “Bisa-bisanya orang yang kukencani, sekarang justru menjadi atasanku! Apa aku keluar saja, mumpung ini masih terlalu awal? “Dia pasti tak akan mengenaliku kan? Cih, siapa yang mengira kalau dia ternyata pria yang kejam!” gumam perempuan itu seorang diri. Beruntung tak ada orang lain di sekitarnya yang bisa mendengar gumaman Alisha. Kalau saja ada orang lain di sekitarnya, pasti apa yang ia ucapkan akan menjadi rumor dalam sekejap. “Ck, lagian bisa-bisanya dia meminta anak baru yang belum tahu kondisi kantor untuk meminta berkas?” Sudut bibir Alisha tersenyum miring. “Huh, lagipula pertemuan kalian hanyalah sebatas urusan ranjang! Memang kau tahu seperti apa pria itu hanya dengan sekali tidur dengannya?” benak Alisha penuh dengan umpatan yang ditujukan kepada sang atasan. “Aku pasti akan membuat perhitungan
Perempuan itu tergagap. Degup jantungnya begitu keras mendapati pertanyaan yang tak terprediksi. Alisha sama sekali tak menduga pertanyaan dari sang atasan yang cukup mengejutkan.Kalau saja ia tak menutupi penampilannya dengan kacamata dan mengikat rambutnya di sela perkenalan Damian, mungkin dengan mudah pria itu akan mengenalinya. Meski begitu, tetap saja ia susah payah menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering ketika mendengar pertanyaan Damian. Beruntung hal itu tak berlangsung lama. Alisha dengan cepat dapat mengendalikan ekspresi wajahnya. "Tidak, Pak. Kita belum pernah bertemu sebelumnya!" jawab Alisha dengan tegas. Meski sebenarnya, degup jantung di balik tulang rusuk perempuan itu tak juga bisa dikendalikan. Sepasang alis Damian yang hampir saling menyentuh ujungnya, tampak berkerut mendengar jawaban perempuan itu. Sorot mata pria itu menatap tajam sang perempuan yang kini terlihat semakin gelisah. "Kalau gitu, kenapa kau berani mengkritikku?"
Rahang Damian seketika mengeras begitu mendengar penuturan lugas sang karyawan baru. Tangannya mengepal. Kalau saja Alisha bukan perempuan, ia pasti telah memberikan peringatan kejam. Sebuah cengkeraman di kerah bajunya, sepertinya cukup untuk memberinya pelajaran. Lagipula bisa-bisanya perempuan itu mengucapkan sebuah kata dengan begitu ringan. Sementara ketika berada di dalam ruangan Damian, ia sangat gemetar ketakutan. Apa perempuan itu beranggapan bahwa sang atasan tak akan berani macam-macam ketika di hadapan banyak orang? Seringai dingin membingkai wajah Damian. Ia mendekati si perempuan yang kini menutup mulut dengan kedua tangan. "Kau menyebutku manusia salju?" tanya Damian dengan nada dingin dan menjadikan ruangan makin mencekam. "Ti-tidak, Pak. Bu-bukan begitu maksud sa-saya." Alisha tergagap. Ia kesulitan mengatur napas ataupun tempo bicaranya akibat terlalu gemetar. "Lalu?""Sa-saya ...." Alisha tergagap. Ia tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun dan hanya m