Pada faktanya wajah muram sang atasan sangat mengganggu Alisha. Perempuan itu sudah berada di depan lift yang hendak membawanya ke lantai satu, tapi niat itu ia urungkan tepat saat pintu lift di depannya terbuka. Alisha memilih berbalik dan berjalan kembali ke ruangan Departemen Kreatif berada. Ada bagian kecil dalam hatinya yang menggelitik hingga menimbulkan tanya dalam benak si perempuan. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia memergoki Damian memasang wajah muram dengan tatapan kosong seperti beberapa saat lalu. Bukan, Alisha tak berpikiran bahwa Damian tengah kesurupan. Jelas alasannya bukan itu. Hanya saja, Alisha merasa jika pria itu sedang menanggung berat yang tak ia ketahui penyebabnya. Jelas pula, itu bukan urusan pekerjaan. Apalagi uang. Damian cukup kaya dan Alisha tahu tentang hal itu. Pria itu bukan dirinya yang bahkan rela berbohong menutupi kehamilannya hanya agar tetap bisa bertahan di tempat kerjanya yang sekarang. Toh, tak banyak yang dikerjakan oleh sang direkt
Orang waras mana yang mau mengikuti ajakan Damian untuk turun dari mobil, ketika suasana di luar sana sangat gelap. Hampir tanpa cahaya selain berasal dari sinar rembulan di langit malam. Mungkin Alisha cukup gila hingga ia mau mengikuti ajakan Damian. Lebih dari itu, sang atasan telah berdiri di samping pintu penumpang dan meminta Alisha untuk turun. Ya, Alisha mungkin cukup gila hingga ia mau mengikuti permintaan Damian. Padahal rumor tentang pria itu sedang santer dibicarakan. Bahwa Damian pernah terlibat dalam pembunuhan. Mengapa Alisha masih dengan mudahnya percaya pada pria itu begitu saja? Apalagi suasana tempat yang mereka kunjungi benar-benar mencekam. Bisa saja tempat itu menjadi tempat eksekusi mati. 'Memang apa untungnya dengan membunuhku? Aku bahkan nggak seberharga itu sampai dia mesti mengotori tangannya buat melenyapkan nyawaku kan?!' suara hati Alisha mematahkan ketakutan dalam diri perempuan itu. Lagipula, ia penasaran, tempat apa yang sebenarnya akan mereka tuj
Damian mengalihkan pandangan. Ia tak menyadari jika Alisha tengah memperhatikannya sekarang. Pria itu berdeham demi menghilangkan perasaan salah tingkah yang ia rasakan. "Padahal Pak Damian lebih terlihat manusiawi kalau senyum gitu," komentar Alisha terdengar tak tahu malu. Perempuan itu pun kaget mengapa ia berani-beraninya mengatakan hal itu pada sang atasan. Ia sedikit menyesal dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Jadi, kau pikir aku tidak terlihat seperti manusia?" tanya Damian ketika menemukan kembali jati dirinya yang sempat hilang akibat melihat ulah Alisha. "Maaf, Pak. Bukan berarti begitu. Pak Damian terlihat seperti manusia, tapi tidak punya ekspresi."Harusnya Alisha diam saja ketika Damian bertanya, tapi kenapa ini malah mengatakan hal yang tidak perlu? Perempuan itu kembali menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kali ini ia tak boleh ngomong sembarangan. Siapa yang menduga, Damian justru mengembangkan senyum lebih lebar. "Jadi, kalau aku seperti ini, aku baru
Hubungan Alisha dan sang senior menjadi dingin. Sejak bersitegang dengan perempuan itu di depan apartemennya, Arlan memilih menjaga jarak. Ia kecewa. Sudah pasti. Cemburu? Jangan ditanya! Lelaki itu cemburu pada Damian hingga rasanya ingin menonjok muka sang atasan. Padahal ia yang berusaha selalu ada untuk Alisha, tapi mengapa justru pria itu yang berhasil membawa si perempuan pulang larut malam? Arlan semakin kecewa, sebab Alisha lebih memilih membela Damian di saat lelaki itu berusaha membela dirinya. Bukankah seharusnya Alisha menurut kata Arlan? Ia bukan sekadar omong kosong, tapi mengingatkan kondisi Alisha sesuai anjuran yang disarankan oleh dokter. Apa ia salah? Toh, ia benar-benar peduli pada Alisha. Terlepas bagaimanapun kondisi Alisha sekarang. Perihal perempuan itu tak membalas perasaannya, Arlan tak menjadikannya soal. Asalkan, Alisha dan bayinya tetap sehat dan selamat hingga perempuan itu melahirkan. Tapi, sikap Alisha membuat Arlan semakin kecewa pada perempuan i
Ketiga perempuan itu tampak menyedihkan ketika Arlan datang tergopoh disusul oleh Aceng dan yang lain. Mereka masih tak juga melepaskan cengkraman di rambut masing-masing dan melontarkan kalimat makian. Lebih tepatnya Arin dan Mazaya-lah yang menjabak rambut Alisha tanpa ampun. Bahkan kedua perempuan itu seakan tak peduli ketika keadaan di sekitarnya mendadak ramai. Erika berada di antara mereka bersama salah seorang anak buah Mariska yang berusaha melerai ketiga perempuan yang sedang berseteru itu. Namun, sepertinya usaha mereka sia-sia. Ujung bibir Erika berdarah. Mungkin akibat kena pukul saat berusaha memisahkan mereka. "Cukup!" seruan Arlan menggelegar memenuhi toilet di lantai gedung divisi departemen kreatif. Meski begitu, tetap saja mereka tak hendak menghentikan perbuatannya. Hanya Mazaya yang sesaat tampak tegang, tapi tak juga melepaskan tangannya dari rambut Alisha. Dengan geram, Arlan mencengkram tangan Mazaya dan menyentakkannya dengan kasar. Lantas menarik Alisha
Pengeroyokan yang dilakukan anggota tim lima di bawah kepemimpinan Arlan kepada salah satu anggota tim dua di bawah kepemimpinan Erika, dengan cepat sampai ke telinga Damian. Pria itu langsung dihubungi sang kepala HRD yang mana juga merupakan paman dari Devano. Itulah mengapa ia berada di ruangan ini sekarang. Menatap kedua anak buah Arlan yang sudah membuat keributan. Tatapan tak lepas dari Mazaya dan Arin yang hanya bisa menunduk malu. Menyembunyikan wajah mereka yang berantakan. "Di mana yang satu? Bukannya Pak Arwin bilang ada tiga orang?" tanya Damian sambil tak lepas menatap kedua orang perempuan tersebut. "Lukanya cukup parah, Pak. Salah satu ketua tim Anda membawanya ke klinik perusahaan."'Alisha?' gumam pria itu dalam benaknya.Pria itu mulai tak tenang dan ingin segera mengetahui kondisi si perempuan. Namun, ia masih harus tertahan di sini. Damian masih harus mengurus kedua anak buahnya itu sebelum fokus pada Alisha. Saat mendengar terjadi keributan yang melibatkan an
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
Arlan menjadi orang terakhir yang tahu tentang kehebohan di kantor begitu datang. Ia sama sekali tidak mengecek ponsel - apalagi grup perusahaan - selama perjalanan menuju kantor Pixa. Pria itu begitu fokus menyetir. Terlebih di jam-jam macet saat dirinya berangkat hari ini. Tidak seperti biasa, ia memang sedikit terlambat hingga membuatnya terjebak dalam kemacetan cukup lama. Begitu sampai kantor lima belas menit setelah jam masuk, ia diserbu oleh Erika dan yang lain. "Dari mana aja? Kenapa mesti telat di hari genting kayak gini?" tanya Erika dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Segenting apa sih sampe bikin kalian tegang gitu?" Arlan masih sempat bercanda. Ia sama sekali tidak mengetahui huru-hara apa yang tengah terjadi. Erika menghela napas panjang. Ia melirik kepada rekan kerjanya yang lain sebelum menjawab pertanyaan pria muda itu. "Alisha mengundurkan diri. Gosipnya rame tersebar di grup perusahaan. Apa kamu nggak tahu tentang sesuatu?" tanya Mariska cukup berhati-hati
Dada Alisha terasa sesak. Rasanya lebih menyakitkan ketika Damian merebut surat pengunduran dirinya dan membubuhkan tanda tangan. Padahal ia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Kenapa ia harus merasa terluka? Apa karena Damian lebih memilih percaya dengan apa yang dia lihat, ketimbang Alisha? Ya, lagipula siapa yang tidak salah paham, jika melihatnya berdua mengantre di depan poli kandungan bersama Arlan? Orang lain bisa jadi juga memiliki pemikiran yang sama. Perlu diingat lagi, Alisha bahkan tak mau mengakui jika malam di mana keduanya menghabiskan waktu bersama, telah membuahkan hasil dalam rahimnya. 'Benar Alisha, ini masalahmu sendiri!' suara dalam benak Alisha memberi peringatan. Ia tak boleh gentar. "Terima kasih, Pak. Saya pamit," ucapnya saat mengambil kembali surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh Damian. Ia hendak pergi ketika Damian memanggilnya. "Tunggu! Bagaimana kamu akan menjelaskan pada pihak HRD?" tanya pria itu dengan sorot mata dingi
Arlan menatap perempuan yang duduk di sampingnya. Mereka sedang antre obat yang harus ditebus setelah melakukan pemeriksaan. Pikiran pria itu berkecamuk. Kemunculan Damian yang tiba-tiba dan mengucapkan kalimat absurd, mengganggu pikiran Arlan. Sementara Alisha tak banyak bicara. Ia memilih bungkam tanpa mengatakan apa pun, meski Arlan berulang-ulang mengajukan pertanyaan. Meski begitu, Arlan memahami satu hal. Sepertinya, pria itulah yang telah menanamkan benih dalam rahim Alisha. Melihat gelagat sang junior, sepertinya dugaannya tak terbantahkan. "Nona Alisha," panggilan dari microphone mengalihkan pikiran Arlan. Ia menoleh ke kanan, sepertinya ada manusia yang lebih penuh pikirannya ketimbang pria itu. Sebagai gantinya, Arlan yang bangkit dari tempat duduk. Menuju ke loket pengambilan obat. Setelah mendengarkan penjelasan dari petugas apoteker yang berjaga, barulah ia meninggalkan tempat tersebut. Kembali kepada Alisha yang masih tampak bengong di tempatnya. "Ayo, aku aka
Alisha tak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Ia tampak gugup. Membuat Damian semakin mencurigai sikap perempuan itu. "Melihat reaksimu, sepertinya benar telah terjadi sesuatu setelah malam itu bukan?" desak Damian semakin gencar. Perempuan itu menggeleng cepat. Menyangkal pertanyaan sang atasan. "Tidak terjadi apa pun, Pak. Kalau itu yang ingin Anda dengar! Anda salah paham jika beranggapan telah terjadi sesuatu malam itu." 'Kalau begitu, kenapa kamu bersikap seolah ada makhluk hidup dalam perutmu?' Itu yang ingin dikatakan Damian. Namun, lidah pria itu terasa kelu. Damian menelan kembali kalimat di ujung lidahnya setelah menyadari jika ucapannya hanya akan memperkeruh suasana di antara mereka. Apabila memang terjadi sesuatu setelah malam itu, ia harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk merebut hati ibu sekaligus anaknya. Ya, Damian meyakini satu hal, perempuan itu tengah mengandung anaknya. Itulah alasan kuat yang membuat pikirannya kacau akh
Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya juga seakan pria itu begitu mendamba pada Alisha. Menyudutkan Alisha yang tak sanggup mengalihkan tatapan dari sang atasan. "Apa yang membuatmu benci padaku? Katakan!" Alisha tergagap. Ia tak pernah membenci pria di depannya itu. Bagaimana bisa Alisha memiliki perasaan itu, jika tahu bahwa Damianlah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Sekalipun ingin, Alisha tak pernah benar-benar bisa membenci pria yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan malam itu. Bahkan dengan kurang ajarnya, Alisha terkadang masih membayangkan sensasi memabukkan itu menguasai dirinya pada momen-momen tertentu. Ia terpikat. Dirinya telah menyatu dengan pria yang berdiri di depannya itu tanpa sanggup menghindarinya seperti
Damian tersenyum getir begitu Alisha menghilang dari pandangannya. Perempuan itu mengancamnya? Yang benar saja! Padahal bukan seperti ini yang Damian harapkan. Hingga pintu ruangan kembali terbuka disusul wajah Devano yang mengerut. Tampak heran dengan ekspresi wajah Damian yang seakan ingin menelan orang hidup-hidup. "Urusanmu dengan pria tua itu masih belum selesai?" ucap Devano mengalihkan perhatian Damian. Pria itu hanya bungkam tanpa berniat menjawab ucapan sang atasan yang juga sahabat karibnya. "Oh, bukan masalah itu ya. Lalu, siapa? Apa mungkin asistenmu?" ucap Devano kemudian ketika tak mendapat respon dari Damian. Meski tak secara terang-terangan, kali ini Damian memberikan respon dengan mendengus kesal. Dengan rahang tetap mengeras sambil menatap tak fokus ke sudut ruangan. "Ternyata benar karena Alisha. Sekarang apalagi?" Devano terus berbicara meski tak juga mendapatkan respon dari sahabatnya itu. Sudah biasa. Jika lelah sendiri, Damian pasti akan men
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si