“Ada Mamamu di depan, Mas! Kenapa, sih, Mama tiba-tiba datang, tanpa bilang dulu?” Pagi-pagi begini Sonia–Istri Ervan– sudah memancarkan ledakan emosi saja. Ervan yang mendengarnya, hanya bisa menghela nafas seperti biasa.Baginya bukan hal biasa kalau Sonia suka marah-marah atau mengeluarkan kata-kata yang bikin sakit kepala.“Kalau Mama datang tinggal kamu sambut saja, apa susahnya, Son? Daripada kamu harus marah-marah enggak jelas kayak gini!” sahut Ervan membereskan beberapa obat dan perlengkapan dokternya di klinik yang ia buka di rumahnya.“Tetap saja seharusnya Mama bilang dulu kalau mau datang biar aku bisa bersiap-siap menghadapinya, Mas. Kamu kayak enggak kenal betapa cerewetnya Mamamu saja. Pasti ada saja yang ia nistakan dariku, Mas,” gerutu Sonia melipat tangan di depan dada.“Sudah lah, Son. Jangan bersikap seperti pengantin baru. Masa kamu masih belum terbiasa juga menghadapi Mama, padahal kita sudah menikah lebih dari 10 tahun.”“Mungkin aku bisa menghadapi Mama, kala
“Oma! Dea kangen banget sama Oma!” teriak Dea terdengar senang bukan kepalang.Anak dari Sonia dan Ervan itu langsung menghambur ke pelukan Maya dengan wajah ceria yang memang selalu menjadi ciri khas dirinya.Dalam hati, Ervan bersyukur sekali karena dengan kehadiran putrinya setidaknya bisa meredam suasana panas antara istri dan Mamanya.“Aduh, sudah bertambah besar dan cantik saja cucu Oma ini. Sebentar lagi sudah mau masuk kuliah.”Maya tak kalah erat memeluk cucu pertamanya ini. Walau ia dan suaminya memang mengharapkan cucu laki-laki, tetapi bukan berarti mereka tak sayang dengan cucu perempuan mereka ini. Bagaimanapun Dea adalah cucu pertama sekaligus cucu semata wayang di keluarganya. Terlebih sikap Dea begitu riang dan ceria, sehingga tidak mungkin membuat Maya tak jatuh sayang dengan Dea. Setidak perhatian dan sekeras apa pun Maya pada anak-anak dan menantunya, tetapi tentu saja perlakuannya pada cucunya berbeda. Sikap Maya memang sangat lembut, baik, dan penuh perhatian s
“Udah siap belum lo, Cil.”Rafka mengetuk kamar Dea karena seperti yang dijanjikannya hari ini ia akan mengajak keponakannya itu ke rumah Sarah.“Iya, udah siap, Om,” sahut Dea begitu membuka pintu kamarnya.“Umur gue baru 24, tapi udah lo panggil, Om. Mending lo panggil gue Kakak aja. Malu gue dipanggil Om sama lo kalau di depan orang lain.”“Enggak bisa, soalnya udah kebiasaan dari kecil,” tolak Dea berjalan mendahului Rafka menuruni tangga. “Udah Om jangan banyak omong, mending kita cepet berangkat.”Rasanya Rafka ingin menjitak kepala Dea, tetapi sayangnya tak bisa karena setibanya di lantai bawah, ia dan Dea bertemu dengan Maya.“Mau kemana, cucu kesayangan Oma?” tanya Maya saat melihat rapinya penampilan Dea.Begitu melihat Omanya Dea pun berlari untuk memeluk Maya. “Dea diajak pergi sama Om Rafka, Oma. Boleh, ‘kan Dea pergi?” “Tentu boleh, Sayang,” jawab Maya mengusap lembut pipi Dea. “Kamu jaga Dea baik-baik, Raf. Jangan sampai Dea sedikit pun.”“Giliran sama Dea sikap Mama l
“Ada apa lo nyuruh-nyuruh gue buat ke bawah?!” Dengan kesal Leo terpaksa memalingkan wajahnya ke arah Rafka karena manusia rese satu ini terus memaksanya untuk ikut turun ke bawah. “Enggak bosen apa kerjaan lo dari SMA sampai kuliah belajar mulu? Udah, tinggalin bentar tuh buku-buku. Toh, enggak bakal hilang juga. Mending lo ikut gue ke bawah sekarang, soalnya ada urusan yang urgent banget.”Ditariknya tangan Leo agar anak muda itu bisa segera mengangkat pantat dari kursinya. Salahnya sendiri, sudah Rafka lempar dengan penghapus dan berbagai peralatan belajar lain, Leo tadi tampaknya tak bergeming dan seperti malas meninggalkan kursinya.“Enggak usah tarik-tarik! Gue bisa jalan sendiri!” sungut Leo menghempaskan tangan Leo yang menarik-narik tubuhnya. Dengan enggan kakinya melangkan mendahului Rafka untuk menuruni anak tangga demi anak tangga yang sebenarnya malas sekali untuk ia pijaki.Di belakangnya, Rafka berjalan mengikuti Leo dengan senyum puas terukir di bibirnya karena ia
“Bagaimana, hasilnya sudah keluar, Mas?” tanya Maya yang baru saja datang ke rumah sakit untuk menemui suaminya.Saat suaminya mengabarkan kalau hasil tes DNA yang mereka daftarkan akan keluar hari ini, Maya buru-buru pergi ke rumah sakit. Maya benar-benar sangat penasaran dan sudah tidak sabaran untuk mengetahui hasil tes DNA tersebut.“Sebentar lagi akan keluar, Ma. Dokter Herlambang sedang ke ruangannya untuk mencetak surat hasil tes DNA yang kita minta,” jawab Satrio mondar-mandir di depan koridor rumah sakit.Tampaknya Satrio juga tak kalah penasarannya dengan Maya. Lagi pula bagaimana mereka tak bersikap sangat ingin tahu kalau hal ini dapat menentukan harapan adanya cucu laki-laki di keluarga mereka?Sebenarnya Satrio dan Maya tak ingin sampai melakukan tes DNA seperti ini. Hanya saja sedikit banyaknya kemiripan antara Leo dan putra sulung mereka sewaktu remaja dulu, mampu menimbulkan tanda tanya dan rasa penasaran yang besar di hati dan benak keduanya. “Selamat siang, Pak Sa
“Malam ini, kamu bisa undang Sarah dan anaknya untuk datang makan malah ke rumah kita. Ada hal penting yang mau Mama dan Papa bicarakan, jadi pastikan dia datang!” titah Maya.“Bukannya Mama dan Papa tidak merestui hubunganku dengan Sarah? Lalu kenapa mau ngundang Sarah buat datang? Mama mau menghinannya dan menyuruhnya untuk putus sama Rafka?!”“Kamu ini selalu saja berprasangka buruk pada orang tuamu sendiri, Raf. Intinya ajak saja Sarah kemari, maka kamu akan tahu apa yang mau kami bicarakan padamu dan Sarah.”“Hmmm … Rafka usahain. Tapi, ingat jangan ngomong apa pun yang bisa bikin Sarah sakit hati kalau dia sampai mau menerima undangan untuk makan malam di sini.”“Sudah lah Mama sedang tidak mau berbicara panjang lebar. Bawa saja Sarah dan anaknya ke sini malam ini!”Sesudah mengatakan itu, Maya langsung tunggang langgang menuju ke kamar cucu perempuanya. “Moga-moga Sarah mau gue undang kesini. Tapi kenapa kudu bawa si Leo kunyuk juga. Jangan-jangan Mama mau menghina Sarah mengg
“Udah terlanjur sampai sini, mending kita masuk aja. Gue janji, kalau sampai Sarah diketusin sama Bokap Nyokap, gue bakal langsung anter balik lo sama Sarah,” pungkas Rafka sambil keluar dari dalam mobilnya.Dibukakan pintu untuk Sarah dan Leo agar mereka mau tak mau terpaksa turun juga dari dalam mobil.“Bikin ribet aja! Awas aja sampai lo bohong, gue bikin bonyok pipi lo, Bang!” gerutu Leo tapi tetap keluar dari dalam mobil Rafka, meskipun enggan.“Leo, Sudah berapa kali Mama katakan padamu untuk berbicara yang lebih sopan pada Rafka. Bagaimanapun umurnya lebih tua daripada kamu!” Entah sudah kali keberapa Sarah selalu memberikan teguran pada putranya itu, tetapi selalu saja di ulangi lagi oleh Leo, meskipun putranya itu merespons nasihatnya dengan anggukan.Kendati begitu, Sarah tak lelah mengatakan pesan yang sama kepada Leo karena sebagai orang tua tentu saja Sarah ingin anaknya itu bisa menjadi lebih santun. Tak peduli mulutnya sampai berbusa atau pun sampai tenggorokannya keri
“Jangan terlampau senang. Ingat Mama memberikan restu bukan karena senang dengan hubunganmu dengan Sarah. Tapi hanya karena Mama ingin segera mendapatkan cucu laki-laki darimu dan Sarah!” tekan Maya.Maya menekankan itu agar putranya sadar kalau ia belum sepenuhnya menerima dan menyukai Sarah. Terpaksa betul Maya harus memberikan restu pada Sarah dan Rafka untuk menikah. Pertama, tentu saja ia sudah terlalu lelah dengan sikap pemberontak Rafka yang tak mau dijodohkan. Kedua, karena perbuatan putra sulungnya dahulu kepada Sarah. Walau di sebagain hati kecilnya ia menduga bisa saja Sarah yang terlebih dahulu menggoda Ervan, sama halnya seperti Sonia.Kebanggaannya kepada Ervan yang telah sukses menjadi dokter dan selalu menorehkan prestasi saat menempuh pendidikan, membuat Maya mempunyai keyakinan kalau wanita seperti Sonia dan Sarah sengaja menjebak anaknya untuk tidur bersama.Ah … menyesal rasanya karena ia sempat memberikan usul pada suaminya untuk merestui hubungan Rafka dan Sar