“Dengar, Sar. Aku membawa kamu kesini bukan untuk meminta mereka menerimamu atau memohon pada mereka merestui kita. Aku hanya ingin menunjukan pada mereka kalau kamu lah wanita yang aku cintai. Jadi, tanpa atau dengan persetujuan mereka, enggak akan mengubah apa pun tentang hubungan kita.”
Diturunkan tangannya dari wajah Sarah setelah ia menyeka air mata yang menetes membasahi pipi wanita itu. Tangannya beralih menggenggam tangan Sarah dengan begitu erat dan hangat.
Hangatnya sentuhan tangan Rafka berbaur dengan batapa penuh keyakinannya kalimat demi kalimat yang ditegaskan olehnya, tanpa sadar mampu menembus relung hatinya. Keraguannya perlahan terasa mulai menghilang dan jiwanya pun jauh lebih tenang.
“Maafkan kegelisahanku yang menyusahkanmu tadi, Raf. Tak seharusnya aku bersikap begitu saat kam
“Mengapa lama sekali kamu datang, Rafka? Mama sampai pegal duduk menunggumu!” omel Maya begitu melihat putranya muncul di hadapannya. “Jalanya agak macet, makanya telat, Ma. Sudah lah yang penting kan sekarang Rafka sudah nyampe,” sahut Rafka dengan santainya menarik kursi lalu duduk di seberang Mama dan Papanya. “Mana gadis yang ingin kamu kenalkan pada kami, Raf? Bukan kah kamu meminta kami kemarin untuk memperkenalkan kekasihmu? Lantas mengapa kamu datang seorang diri?” Rentetan pertanyaan interogasi khas Papanya langsung mengambang ke permukaan saat menyaksikan Rafka hanya datang seorang diri, tanpa ada siapapun di samping yang menemani. Jangan bilang kalau anaknya ini hanya ingin mengerjai dirinya? Kalau sampai benar awas saja tak akan ia biarkan putranya itu bisa pulang dengan tenang? “Tenang, Pa. Kali ini aku enggak nge-prank,” ujar Rafka tersenyum miring. “Dia lagi ke toilet. Mungkin deg-degan karena bakal ketemu camer yang menakutkan kayak macan.” Dari sorot mata Papany
“Sa–sarah,” kata Maya dengan terbata-bata.Mata Maya membelalak dan ia sama sekali tak bisa menutupi efek kejut yang menyerangnya tiba-tiba. Sungguh, Maya mengenali betul siapa wanita yang duduk di samping anak bungsunya saat ini, tatkala wanita itu akhirnya tak lagi menunduk.Belasan tahun yang lalu, Maya pernah bertemu dengan Sarah karena Sarah merupakan salah satu teman sekolah anak sulungnya. Peringkatanya pun selalu adu balap dengan anak pertamanya, sehingga Maya bisa hafal dan kenal dengan setiap anak pintar yang berkawan baik dengan anaknya itu.Meski anak sulungnya tak pernah membawa Sarah ke rumah, tetapi beberapa kali ia sering memergoki Sarah dan anak pertamanya sering belajar bersama, sewaktu ia menghadiri rapat komite sebagai ketua komite.“T-tante Maya.” Sarah tak kalah kaget sampai tanpa sadar alisnya menyatu dan matanya membola.Sarah seperti tak bisa mempercayai matanya sendiri karena melihat orang tua kekasihnya sewaktu SMA dulu, duduk di seberangnya. Kala itu, Sa
Awalnya Sarah memang terkejut saat tahu ternyata Rafka adalah adik Ervan. Saat mengetahui kenyataan itu, rasanya Sarah ingin langsung mengakhiri hubungannya dengan Rafka.Namun, melihat betapa gigihnya Rafka membela dirinya di hadapan Mama dan Papanya, ia sampai terharu dan membatalkan niatnya itu.Sepertinya Rafka tidak tahu kalau dulu ia pernah berpacaran dengan Kakaknya, jadi tak adil jika Sarah ingin memutuskan Rafka begitu saja, tanpa ada kesalahan apa pun yang diperbuat oleh pemuda itu.“Maaf, kalau saya lancang. Mungkin di mata masyarakat kita secara umum, menjalin hubungan dengan pria yang lebih muda, bukan lah suatu hal yang baik untuk dilakukan. Tetapi, kalau menyangkut masalah hati dan cinta, saya rasa jatuh cinta pada siapa pun itu tidak salah, selama saya dan Rafka masih sama-sama belum ada yang punya.”Tiba-tiba dengusan sinis bercampur senyum miring terpampang dari mulut Papa Rafka. Satrio menatap sengit ke arah Sarah. Air matanya begitu masygul dan keruh seolah memanda
“Mau kemana kamu, Rafka?! Ikut pulang dan jangan kamu kejar wanita itu atau Papa akan menurunkan jabatanmu!” ancam Satrio saat melihat Rafka akan beranjak mengejar Sarah.“Aku enggak peduli sama jabatan, Pa! Ancaman Papa enggak berpengaruh karena Papa pikir siapa lagi anak Papa yang bisa melanjutkan perusahaan selain aku!” elak Rafka dengan bibirnya yang menyeringai.Baru lah setelah puas menyaksikan betapa kesalnya wajah sang Papa, karena memang yang diucapkan olehnya benar adanya, Rafka buru-buru meninggalkan restoran untuk mengejar Sarah yang sudah terlebih dahulu keluar.Rafka terus berlari tanpa memperdulikan kakinya pegal atau lecet yang penting ia ingin bisa menyusul Sarah. Harapannya, semoga saja Sarah belum menaiki taksi. Syukurlah ternyata harapannya terkabul karena begitu keluar dari gedung, ia masih melihat Sarah yang termenung di bangku taman depan restoran. Meski tahu Sarah ada di sana, tetapi Rafka tak langsung menghampirinya. Dibelokkan kakinya menuju mesin penjual o
“Will you marry me, Sarah?” Sarah tak mampu menyembunyikan Rafka menyatakan lamaran padanya. Jelas-jelas 1 bulan yang lalu orang tuanya menegaskan ketidaksetujuannya terhadap Sarah.Menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih saja sudah tidak direstui, sekarang pemuda di hadapannya ini malah nekat melamar dirinya. Sebenarnya apa yang ada dipikiran Rafka sampai terpikirkan melamarnya seperti ini? Memang mereka sudah memadu kasih lebih dari 2 tahun, tetapi Sarah merasa Rafka masih terlalu muda untuk terikat pernikahan dengannya.“Kamu serius melamarku, Raf?” tanya Sarah seolah ingin memvalidasi kesungguhan Rafka.Wajar saja, Sarah tak sepenuhnya percaya Rafka benar-benar melamarnya. Terkadang lelaki muda itu suka sekali bergurau dengan mimik wajah yang serius.“Off course i’m serious. Duarius malah kalau kamu tetap enggak percaya,” jawab Rafka dengan tegas.Posisinya masih berlutut sambil memegangi kotak cincin yang telah ia buka tepat di hadapan Sarah. “Tapi, apa yang membuatmu tib
“Maaf, tapi aku tetap tidak bisa menerima lamaranmu untuk saat ini, Raf,” ungkap Sarah seiring pelukannya yang memudar dari tubuh Rafka.Kening Rafka berkerut mendapati jawaban Sarah yang menolak lamarannya. Bukan kah sebelumnya wanita itu mengaku mencintainya juga. Tetapi, mengapa Sarah malah tak menerima lamaran darinya? Sebenarnya apa yang salah dan apa yang belum menyakinakan dari dirinya, sehingga Sarah belum mau menyambut lamarannya? Kurang tampan dan humoris sepertinya tidak. Kurang kaya dan baik juga tidak mungkin. Satu-satunya yang memungkinkan yaitu ia kurang dewasa di mata Sarah.“Kamu bilang cinta juga sama aku. Kenapa malah menolak lamaranku? Apa masih karena masalah restu dari bokap nyokap?” cecar Rafka menyapu wajahnya dengan perasaan yang berkecamuk tak karuan.Baru saja ia merasa jauh lebih tenang karena pelukan spontan yang Sarah berikan, kini mengapa wanita itu harus mengaduk-aduk lagi perasaannya menjadi penuh gelebah.Sarah mengangguk sambil memberikan jawaban,
Sarah menggeleng-gelengkan kepala karena menyadari betapa seperti kancil tingkah kekasihnya ini. Memang benar-benar cerdik dan tak mau rugi. Ada saja tingkahnya yang mencari kesempatan dalam kesempitan.“Aku setuju saja dengan syaratmu, Raf. Toh, kamu juga telah menyetujui memenuhi syarat dariku,” ujar Sarah. Tapi, Bisa kah wanita berumur sepertiku mengalahkan dara muda cantik yang dijodohkan denganmu?” Tampaknya Sarah insecure sekali kalau harus bersaing dengan darah muda karena pasti dari gaya penampilannya saja sudah jauh berbeda. Bagaimanapun ia telah menjelma menjadi wanita dewasa dengan penampilan yang tak lagi semodis gadis masa kini. Bisakan Sarah membuat batalnya perjodohan antara Rafka dengan gadis pilihan orang tuanya itu?Dengan gemas Rafka menarik pipi Sarah. “Kamu lebih cantik dan dewasa daripada gadis itu, Sar. Jadi, enggak perlu khawatir kalah saing. Dari segi manapun tetap kamu yang bakal menang di hati aku. Lagian kamu cukup ikutin rencanaku saja.”Tak terima pipin
Setiap minggu selama sebulan ini rutin datang ke kediaman Rafka. Respons orang tua Rafka tentu masih sama saja. Malah tampaknya semakin mangkel karena sang putra terus mengundang Sarah tiap minggunya ke rumah mereka.“Kita tidak bisa membiarkan ini terus, Mas. Mama tidak tahan Rafka terus membawanya ke rumah kita di hari libur dan memamerkan kemesraan dengan wanita itu!” Maya terus saja merepet sepanjang hari ini di dalam ruang kerja suaminya karena ia tak ingin menyaksikan anak bungsunya terus berhubungan dengan wanita yang lebih tua seperti Sarah.Satrio memijat keningnya karena suara istrinya yang bak burung beo mampu menambahkan kadar sakit kepalanya. Padahal kepalanya sendiri saja sudah cukup nyut-nyutan memikirkan urusan pekerjaan. Lalu ditambah pula dengan ulah putra bungsunya yang bisa-bisanya menjalin cinta dengan wanita lebih tua dan punya masa lalu yang hina dina.“Memang anakmu itu semakin lama susah diatur, Ma. Kepalaku mumet karena kelakuannya. Sudah lah kita majukan s