Setiap minggu selama sebulan ini rutin datang ke kediaman Rafka. Respons orang tua Rafka tentu masih sama saja. Malah tampaknya semakin mangkel karena sang putra terus mengundang Sarah tiap minggunya ke rumah mereka.“Kita tidak bisa membiarkan ini terus, Mas. Mama tidak tahan Rafka terus membawanya ke rumah kita di hari libur dan memamerkan kemesraan dengan wanita itu!” Maya terus saja merepet sepanjang hari ini di dalam ruang kerja suaminya karena ia tak ingin menyaksikan anak bungsunya terus berhubungan dengan wanita yang lebih tua seperti Sarah.Satrio memijat keningnya karena suara istrinya yang bak burung beo mampu menambahkan kadar sakit kepalanya. Padahal kepalanya sendiri saja sudah cukup nyut-nyutan memikirkan urusan pekerjaan. Lalu ditambah pula dengan ulah putra bungsunya yang bisa-bisanya menjalin cinta dengan wanita lebih tua dan punya masa lalu yang hina dina.“Memang anakmu itu semakin lama susah diatur, Ma. Kepalaku mumet karena kelakuannya. Sudah lah kita majukan s
“Hallo, Sar.”Buru-buru Rafka menghubungi Sarah melalui sambungan teleponnya setelah bodyguard yang mengurungnya telah keluar dari kamarnya. “Ada apa, Raf?” tanya Sarah dengan nada khawatir karena suara Rafka terdengar terengap-engap dari seberang sana. “Besok malam please kamu datang ke hotel Citraland. Aku enggak bisa cerita banyak sekarang, tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku dipaksa buat tunangan besok.”“Secepat ini? Tapi kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, Raf? Aku kan perlu persiapan untuk datang ke sana. Tidak bisa tiba-tiba seperti ini.”“Sorry, aku juga baru tahu hari ini, Sar. Rasanya aku mau ketemu sama kamu langsung buat jelasin semuanya, tapi sayang aku dikurung kaya rapunzel versi cowok. Pokoknya kamu harus dateng karena cuma dengan kehadiran kamu aku bisa batalin pertunangan besok.”Mendapati nada permohonan yang begitu kental dari suara Rafka, Sarah tak kuasa menolak permintaan Rafka. “Aku akan datang besok. Tapi kalau sampai pertunanganmu batal, apa tida
“Pelan-pelan saja menyetir mobilnya, Leo. Mama tidak ingin kita kenapa-kenapa karena kamu mengendarai mobil seperti orang kesurupan!” tegur Sarah pada Leo yang membawa mobil dengan kecepatan cukup tinggi.“Leo enggak mau buang-buang waktu, Ma. Makin ngebut, makin cepet kita sampai di acara pertunangan sialan itu!” pungkas Leo mengeram penuh kekesalan sambil sesekali memukuli setir mobil.Disampingnya Sarah hanya bisa menebah dada. Kalau sudah dirundung kekesalan, adat putranya ini memang susah sekali diredam amarahnya, sebelum kekesalan benar-benar hilang sendiri dari jiwanya.Dipejamkan saja matanya sambil berdoa agar diberikan keselamatan oleh Tuhan disepanjang perjalanan, sehingga ia dan Leo bisa sampai dengan selamat di gedung tempat diselenggarakannya acara pertunangan Rafka.“Mama mohon padamu untuk jangan membuat keributan Leo. Rafka menyuruh Mama kemari karena Mama yakin Rafka punya rencana untuk membuat batal pertunangan ini,” pinta Sarah begitu sampai di depan gedung acara.
“Sini kamu, Leo!” Sarah melepaskan rangkulannya pada Rafka.Lalu, Sarah berjalan menghampiri putranya yang baru saja terbebas dari cengkraman para pria berbadan kekar dengan jas rapi tersemat di badan mereka.Setelah dekat dengan Leo, ia meminta putranya ini untuk lebih mendekat ke arahnya. Begitu Leo mendekat, dijewernya kuping Leo karena putra semata wayangnya itu tak mau mendengarkan perintah dari dirinya ini.“Mama kan sudah mengatakan jangan membuat keributan. Tetapi, kenapa masih kamu lakukan?! Apa susahnya mendengarkan Mama, Leo?!” tukas Sarah melepaskan jeweran di kuping anaknya.“Maaf, Ma. Habisnya Leo kesel karena begundal ini malah mau tunangan sama orang lain, padahal jelas-jelas pacarannya sama Mama. Lagian, Leo cuma mau belain Mama karena enggak terima kalau Mama dipermainkan lagi sama Bang Rafka,” dalih Leo.Ditundukan kepalanya karena ia tahu kesalahannya menghajar Rafka di tempat ramai seperti ini bisa mempermalukan nama baik Mamanya sebagai dosen. Tetapi, salah kah
“Ada Mamamu di depan, Mas! Kenapa, sih, Mama tiba-tiba datang, tanpa bilang dulu?” Pagi-pagi begini Sonia–Istri Ervan– sudah memancarkan ledakan emosi saja. Ervan yang mendengarnya, hanya bisa menghela nafas seperti biasa.Baginya bukan hal biasa kalau Sonia suka marah-marah atau mengeluarkan kata-kata yang bikin sakit kepala.“Kalau Mama datang tinggal kamu sambut saja, apa susahnya, Son? Daripada kamu harus marah-marah enggak jelas kayak gini!” sahut Ervan membereskan beberapa obat dan perlengkapan dokternya di klinik yang ia buka di rumahnya.“Tetap saja seharusnya Mama bilang dulu kalau mau datang biar aku bisa bersiap-siap menghadapinya, Mas. Kamu kayak enggak kenal betapa cerewetnya Mamamu saja. Pasti ada saja yang ia nistakan dariku, Mas,” gerutu Sonia melipat tangan di depan dada.“Sudah lah, Son. Jangan bersikap seperti pengantin baru. Masa kamu masih belum terbiasa juga menghadapi Mama, padahal kita sudah menikah lebih dari 10 tahun.”“Mungkin aku bisa menghadapi Mama, kala
“Oma! Dea kangen banget sama Oma!” teriak Dea terdengar senang bukan kepalang.Anak dari Sonia dan Ervan itu langsung menghambur ke pelukan Maya dengan wajah ceria yang memang selalu menjadi ciri khas dirinya.Dalam hati, Ervan bersyukur sekali karena dengan kehadiran putrinya setidaknya bisa meredam suasana panas antara istri dan Mamanya.“Aduh, sudah bertambah besar dan cantik saja cucu Oma ini. Sebentar lagi sudah mau masuk kuliah.”Maya tak kalah erat memeluk cucu pertamanya ini. Walau ia dan suaminya memang mengharapkan cucu laki-laki, tetapi bukan berarti mereka tak sayang dengan cucu perempuan mereka ini. Bagaimanapun Dea adalah cucu pertama sekaligus cucu semata wayang di keluarganya. Terlebih sikap Dea begitu riang dan ceria, sehingga tidak mungkin membuat Maya tak jatuh sayang dengan Dea. Setidak perhatian dan sekeras apa pun Maya pada anak-anak dan menantunya, tetapi tentu saja perlakuannya pada cucunya berbeda. Sikap Maya memang sangat lembut, baik, dan penuh perhatian s
“Udah siap belum lo, Cil.”Rafka mengetuk kamar Dea karena seperti yang dijanjikannya hari ini ia akan mengajak keponakannya itu ke rumah Sarah.“Iya, udah siap, Om,” sahut Dea begitu membuka pintu kamarnya.“Umur gue baru 24, tapi udah lo panggil, Om. Mending lo panggil gue Kakak aja. Malu gue dipanggil Om sama lo kalau di depan orang lain.”“Enggak bisa, soalnya udah kebiasaan dari kecil,” tolak Dea berjalan mendahului Rafka menuruni tangga. “Udah Om jangan banyak omong, mending kita cepet berangkat.”Rasanya Rafka ingin menjitak kepala Dea, tetapi sayangnya tak bisa karena setibanya di lantai bawah, ia dan Dea bertemu dengan Maya.“Mau kemana, cucu kesayangan Oma?” tanya Maya saat melihat rapinya penampilan Dea.Begitu melihat Omanya Dea pun berlari untuk memeluk Maya. “Dea diajak pergi sama Om Rafka, Oma. Boleh, ‘kan Dea pergi?” “Tentu boleh, Sayang,” jawab Maya mengusap lembut pipi Dea. “Kamu jaga Dea baik-baik, Raf. Jangan sampai Dea sedikit pun.”“Giliran sama Dea sikap Mama l
“Ada apa lo nyuruh-nyuruh gue buat ke bawah?!” Dengan kesal Leo terpaksa memalingkan wajahnya ke arah Rafka karena manusia rese satu ini terus memaksanya untuk ikut turun ke bawah. “Enggak bosen apa kerjaan lo dari SMA sampai kuliah belajar mulu? Udah, tinggalin bentar tuh buku-buku. Toh, enggak bakal hilang juga. Mending lo ikut gue ke bawah sekarang, soalnya ada urusan yang urgent banget.”Ditariknya tangan Leo agar anak muda itu bisa segera mengangkat pantat dari kursinya. Salahnya sendiri, sudah Rafka lempar dengan penghapus dan berbagai peralatan belajar lain, Leo tadi tampaknya tak bergeming dan seperti malas meninggalkan kursinya.“Enggak usah tarik-tarik! Gue bisa jalan sendiri!” sungut Leo menghempaskan tangan Leo yang menarik-narik tubuhnya. Dengan enggan kakinya melangkan mendahului Rafka untuk menuruni anak tangga demi anak tangga yang sebenarnya malas sekali untuk ia pijaki.Di belakangnya, Rafka berjalan mengikuti Leo dengan senyum puas terukir di bibirnya karena ia