Dua Minggu telah berlalu. Namun, Vania masih belum bisa melupakan kejadian malang itu. Dirinya sering kali tidak bisa tidur. Bayangan wajah mungil seorang bayi terus saja menghantuinya. Sehingga membuat dadanya terasa sesak.
Wanita itu masih saja belum bisa ikhlas atas kematian anaknya. Dia masih terbayang wajah imut bayi yang baru dia lahirkan. Perasaan bersalah memenuhi relung hatinya, hingga membuatnya tersiksa secara lahir dan batin. "Anakku Sayang, anakku malang. Maafkan Ibu, Nak!" batinnya kembali pilu, jika mengingat kejadian itu. Di mana anak yang baru saja ia lahirkan, dinyatakan telah meninggal. Wanita itu mulai kembali terisak. Perihnya kehilangan terus saja menggerogoti jiwanya, dan ia menangis secara diam-diam. "Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang membuat kamu harus pergi selama-lamanya dari sisi Ibu," ucapnya lirih, sambil memeluk selimut terakhir yang dikenakan anaknya. Dadanya kembali sesak, batinnya perih kala bayangan demi bayangan terus memenuhi rasa bersalahnya kini. Tangis suara bayi bagai terus menggema di telinga. Malaikat kecil yang seharusnya masih berada di pelukan, masih hangat di dadanya. Akan tetapi, bayi itu kini telah pergi. Pergi untuk selamanya. Lalu dengan pandangan kosong, wanita yang kini tengah duduk meringkuk di atas ranjang, menengadahkan wajah, kedua matanya yang sembab menatap langit-langit kamar kostnya yang dingin. "Ya Allah, kenapa Engkau mengambil semua orang-orang yang aku sayangi, ya Allah? Tidak pantaskan aku hidup bahagia walau hanya untuk sekejap?" Sungguh hatinya kini terasa hampa, sepi dan seolah ia tak ada semangat lagi untuk menjalani kehidupan ini. Lalu, kepala wanita itu kembali tertunduk, badannya bergetar hebat, dengan tergugu ia melanjutkan tangisnya dengan sejadi-jadinya. Hingga berapa saat kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara dering telepon yang mengagetkannya. Seketika tangisnya langsung berhenti. Lalu, seraya mengusap sisa air matanya di pipi, ia bergegas meraih benda pipih yang tergeletak di dekat bantal. "Ya, ya hallo, assalamualaikum. Siapa ini?" "Apa?! Pa-paman dirawat di rumah sakit? Ba-baik aku akan segera ke sana sekarang." Dengan tanpa pikir panjang lagi, wanita tersebut gegas pergi menuju kota Jakarta tempat pamannya berada kini. *** Selang berapa jam kemudian. Setelah menemui dokter yang merawat pamannya, dengan wajah tertunduk lesu, Vania keluar dari ruangan sang dokter. Bertambah lengkap sudah kesedihan yang dirasakannya kini. Baru dua Minggu lalu ia kehilangan bayinya, lalu sekarang ia mendapati kenyataan bahwa orang yang sudah ia anggap bagai orang tuanya sendiri, malah tengah sakit keras dan harus membutuhkan perawatan khusus, juga biaya pengobatan yang tak sedikit. Pamannya dinyatakan telah mengalami serangan jantung. Sehingga dia yang sebagai kerabat terdekat satu-satunya, sedang menunggunya di sana. Dengan pandangan kosong, wanita cantik bergaun putih tulang itu tampak terbengong. Ia terus berjalan lemas menyusuri lorong panjang yang berada di dalam rumah sakit. Kini dirinya merasa sangat kebingungan, harus mencari uang di mana, untuk membiayai pengobatan pamannya nanti? Seraya menghela napas, raut wajah wanita itu tampak lesu. Jelas wanita itu kini sedang banyak masalah. Lalu, di saat melewati koridor sunyi suatu ruang, wanita yang mempunyai nama lengkap Vania Friska Larasati itu tak sengaja, seperti mendengar suara tangisan bayi. Deg! Langkahnya langsung terhenti tepat di depan suatu ruangan. Di balik kaca ruang bayi, ia melihat ada deretan tempat tidur kecil berjajar rapi. Bayi-bayi mungil dengan wajah yang damai tampak terlelap. Sesekali ada yang menggerakkan jari-jari tangan mereka yang sangat mungil sekecil biji jagung. Vania melangkah lebih dekat, menempelkan tangannya ke kaca. Bayi itu menggerak-gerakkan tangannya, seolah mencari sesuatu yang tidak ada. Vania merasakan perih menusuk dada. Berandai-andai jika saja salah satu dari bayi-bayi itu adalah anaknya yang sedang menunggu pelukannya. Sebuah pelukan yang tak lagi bisa dia berikan kepada sang buah hatinya. Perlahan air matanya jatuh di pipi. Perasaan keibuannya bergejolak, seolah-olah tubuhnya bereaksi bagaimana harusnya menjadi seorang ibu. Tiba-tiba, ada satu bayi yang menangis lebih kencang dari yang lain. Sontak membuat Vania menatap bayi itu lama. Tangis bayi itu semakin nyaring, menusuk telinga dan hati siapa pun yang mendengarnya. Dua orang suster sibuk berusaha menenangkan bayi mungil yang terus menangis dalam gendongan mereka. "Kenapa bayi ini tidak mau minum?" tanya salah satu suster cemas. "Aku tidak tahu! Kalau dia terus menangis begini, nanti bisa kejang!" sahut rekannya dengan nada panik. Dia pun berlari keluar untuk menghubungi keluarga bayi. Bayi itu menolak puting botol susu formula yang berulang kali dimasukkan ke mulutnya. Bibir mungilnya hanya bergetar, tangisnya semakin menjadi-jadi. Vania, yang masih berdiri di balik kaca, merasa jantungnya mencelos melihat pemandangan itu. Hingga tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati perawat. "Ada apa dengan bayi itu, Sus?" tanyanya dengan suara pelan. Perawat menoleh, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Sejak bayi ini lahir, ibunya tak bisa mengeluarkan ASI. Sehingga dengan terpaksa dia harus diberikan susu formula. Namun, bayi ini sepertinya tidak begitu bisa menerimanya, sehingga membuat keadaan bayi itu menjadi lemah dan dengan terpaksa harus dirawat di sini." Vania membelalakkan mata, merasa cukup kaget mendengar penjelasan dari si suster. Seketika perasaan iba mulai menjalar di hatinya kini. "Kami semua sudah berusaha untuk memberinya ASI eksklusif yang kami dapatkan dari bank ASI. Namun, masalahnya sejak tadi dia tidak mau meminum susu itu." Vania menatap bayi itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Hampir dua Minggu yang lalu, dia kehilangan bayinya, putri kecil yang bahkan belum sempat ia peluk dengan erat. Lalu sekarang, di hadapannya ada bayi lain, sendirian, menolak makanan, dan sedang menangis sejadi-jadinya. Darahnya berdesir. Payudaranya mulai terasa penuh dan nyeri. ASI-nya melimpah sejak lama, tetapi tidak ada bayi yang bisa ia susui. Tidak ada anak yang bisa ia peluk dan ia beri ASI. Vania menelan ludah. Hatinya bergejolak, seakan ingin memberikan ASI yang ia miliki padanya. Namun, tentu saja ia tak berani menawarkan diri. Seperempat jam berlalu. Bayi itu tetap menangis. Suster itu akhirnya menyerah dan berlari ke ruang jaga untuk meminta bantuan dokter. Kini, hanya ada Vania dan bayi itu di ruangan sunyi. Vania menggigit bibir. Dadanya sesak. Ia tahu ini gila. Ini bukan anaknya. Ia tidak seharusnya … Namun, suara tangisan itu menusuk hatinya terlalu dalam. Sehingga mendorongnya untuk berani berbuat nekad. Tangan Vania bergerak, sebelum otaknya bisa menghentikan. Dengan langkah ragu, ia mulai mendekati tempat tidur kecil tempat bayi itu berada. Lalu ia mengulurkan tangan untuk menggendong bayi tersebut. Bayi itu terasa begitu kecil dan rapuh dalam dekapannya. Dan anehnya, tangisnya mereda. Vania terdiam. Air mata panas kembali mengalir di pipinya. Perlahan, ia duduk di sebuah kursi sambil mendekap bayi itu lebih erat ke dadanya. Lalu dengan penuh keraguan dan keberanian yang tidak pernah ia duga, ia menyusui bayi itu. Dalam hitungan detik, bayi itu mulai menyedot pelan. Vania mulai terisak, tak bisa menahan emosinya. Dia bukan ibu dari bayi ini. Akan tetapi, untuk pertama kalinya setelah bayinya meninggal dunia, dia merasa kembali utuh. Vania menatap lekat wajah bayi yang ada dalam gendongannya. Wajahnya sangat imut, mungil, dan begitu sempurna. Andai saja ini anakku …. Vania menggigit bibir, menahan emosi yang kembali menyeruak di dalam jiwa. Seandainya putrinya masih hidup, mungkin dia juga akan terlihat seperti ini. Lembut, polos, dan damai dalam dekapan ibunya. Namun, lamunannya buyar seketika, saat suara berat dan penuh amarah menyela keheningan. "Siapa kau?" Vania tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Dengan gerakan panik, ia menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu ruangan. Tegap, berwibawa, dan dibalut stelan jas mahal yang terlihat begitu kontras dengan atmosfer rumah sakit yang dingin. Wajahnya tampan, tetapi sorot matanya tajam dan berbahaya. Rahangnya mengeras, menunjukkan kemarahan yang jelas. Dengan wajah menegang, Vania menelan ludah. "Duh ... gawat! Siapa dia?" pikirnya panik.Dengan wajah pucat pasi, Vania tertegun menatap pria tersebut. Dadanya langsung bergemuruh tatkala ia melihat kemarahan yang begitu kentara di wajah tampan lelaki itu. Vania langsung tahu jawabannya. "Apakah… dia ayah dari bayi ini?" batinnya mulai menebak. "Tapi tunggu! Kenapa aku seperti pernah melihatnya? Tapi di mana?" Otaknya langsung bekerja keras, coba mengingat siapa pria tersebut. Lalu di detik berikutnya, dengan wajah menegang ia mulai teringat akan peristiwa yang pernah menimpanya dulu. Peristiwa yang terjadi sekitar sembilan bulan lalu. Peristiwa yang sangat-sangat membuatnya telah hancur. Di mana pada malam itu, dirinya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu kesuciannya. Ya, tidak salah lagi, ia baru menyadari bahwasanya lelaki itu adalah orang yang sangat ia benci, orang yang pernah melewati malam panas bersamanya dulu. Namun, apakah orang itu masih mengingatnya? Semoga saja tidak. "Siapa kau? Berani-beraninya kau menyentuh an
Beberapa menit yang lalu. Di saat Raisa yang tiba-tiba saja malah membawa Rafka untuk masuk ke sebuah kamar. "Kau ini apa-apaan sih, Raisa? Main tarik-tarik aja!" Lelaki berambut klimis itu tampak mendengkus kesal. "Ikh, coba kau dengerin aku dulu, Rafka!" Seraya mengeratkan gigi, ingin rasanya wanita yang mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia itu menjitak kepala Rafka. "Dengerin apaan?" Seraya melipat tangan, dengan sangat malas Rafka menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang yang ada di tengah ruang. Begitu juga dengan Raisa yang ikut duduk di sampingnya kini. "Coba kau pikirkan bagaimana keadaan anakmu sekarang, Rafka! Bukankah selama ini kau cukup kesusahan mencari ibu susu yang cocok buat bayimu itu?" "Hem." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Terus, apa kaitannya dengan wanita itu, Raisa?" lanjutnya dengan ogah-ogahan. "Ya, kurasa dialah wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu anakmu nanti." "Kau tadi lihat sendiri 'kan? Kalau b
"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya seb
"Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
Di dalam puskesmas kecil yang sunyi, seorang suster muda berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang persalinan. Dalam dekapannya, ada seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Namun, wajahnya bukan dipenuhi kebahagiaan, melainkan kepanikan. "Maaf, tapi aku tidak punya pilihan," ucapnya membatin. Ia merasa sangat terpaksa harus melakukan ini. Lalu dengan segera ia menyerahkan bayi kecil itu kepada seorang wanita yang tengah menunggunya di luar kamar. "Nyonya, ini bayinya," ucap si suster dengan nada sedikit pelan. Wanita cantik bergaun putih, segera menggendong bayi kecil berjenis kelamin laki-laki itu dengan sangat hati-hati. "Bagus. Ini imbalan untukmu." Satu wanita yang lebih tua, menyelipkan amplop coklat ke tangan si suster. "Kuharap, kamu bisa merahasiakan semua ini dari siapapun! Ingat, bila rahasia ini sampai bocor!" Wanita itu mencondongkan tubuhnya dan melotot tajam ke arah si suster. "Kamu yang akan menanggung akibatnya nanti!" "Ba-baik Nyonya. Saya pasti akan menu
"Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya seb
Beberapa menit yang lalu. Di saat Raisa yang tiba-tiba saja malah membawa Rafka untuk masuk ke sebuah kamar. "Kau ini apa-apaan sih, Raisa? Main tarik-tarik aja!" Lelaki berambut klimis itu tampak mendengkus kesal. "Ikh, coba kau dengerin aku dulu, Rafka!" Seraya mengeratkan gigi, ingin rasanya wanita yang mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia itu menjitak kepala Rafka. "Dengerin apaan?" Seraya melipat tangan, dengan sangat malas Rafka menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang yang ada di tengah ruang. Begitu juga dengan Raisa yang ikut duduk di sampingnya kini. "Coba kau pikirkan bagaimana keadaan anakmu sekarang, Rafka! Bukankah selama ini kau cukup kesusahan mencari ibu susu yang cocok buat bayimu itu?" "Hem." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Terus, apa kaitannya dengan wanita itu, Raisa?" lanjutnya dengan ogah-ogahan. "Ya, kurasa dialah wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu anakmu nanti." "Kau tadi lihat sendiri 'kan? Kalau b
Dengan wajah pucat pasi, Vania tertegun menatap pria tersebut. Dadanya langsung bergemuruh tatkala ia melihat kemarahan yang begitu kentara di wajah tampan lelaki itu. Vania langsung tahu jawabannya. "Apakah… dia ayah dari bayi ini?" batinnya mulai menebak. "Tapi tunggu! Kenapa aku seperti pernah melihatnya? Tapi di mana?" Otaknya langsung bekerja keras, coba mengingat siapa pria tersebut. Lalu di detik berikutnya, dengan wajah menegang ia mulai teringat akan peristiwa yang pernah menimpanya dulu. Peristiwa yang terjadi sekitar sembilan bulan lalu. Peristiwa yang sangat-sangat membuatnya telah hancur. Di mana pada malam itu, dirinya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu kesuciannya. Ya, tidak salah lagi, ia baru menyadari bahwasanya lelaki itu adalah orang yang sangat ia benci, orang yang pernah melewati malam panas bersamanya dulu. Namun, apakah orang itu masih mengingatnya? Semoga saja tidak. "Siapa kau? Berani-beraninya kau menyentuh an
Dua Minggu telah berlalu. Namun, Vania masih belum bisa melupakan kejadian malang itu. Dirinya sering kali tidak bisa tidur. Bayangan wajah mungil seorang bayi terus saja menghantuinya. Sehingga membuat dadanya terasa sesak. Wanita itu masih saja belum bisa ikhlas atas kematian anaknya. Dia masih terbayang wajah imut bayi yang baru dia lahirkan. Perasaan bersalah memenuhi relung hatinya, hingga membuatnya tersiksa secara lahir dan batin. "Anakku Sayang, anakku malang. Maafkan Ibu, Nak!" batinnya kembali pilu, jika mengingat kejadian itu. Di mana anak yang baru saja ia lahirkan, dinyatakan telah meninggal. Wanita itu mulai kembali terisak. Perihnya kehilangan terus saja menggerogoti jiwanya, dan ia menangis secara diam-diam. "Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang membuat kamu harus pergi selama-lamanya dari sisi Ibu," ucapnya lirih, sambil memeluk selimut terakhir yang dikenakan anaknya. Dadanya kembali sesak, batinnya perih kala bayangan demi bayangan terus memenuhi rasa bersal
Di dalam puskesmas kecil yang sunyi, seorang suster muda berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang persalinan. Dalam dekapannya, ada seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Namun, wajahnya bukan dipenuhi kebahagiaan, melainkan kepanikan. "Maaf, tapi aku tidak punya pilihan," ucapnya membatin. Ia merasa sangat terpaksa harus melakukan ini. Lalu dengan segera ia menyerahkan bayi kecil itu kepada seorang wanita yang tengah menunggunya di luar kamar. "Nyonya, ini bayinya," ucap si suster dengan nada sedikit pelan. Wanita cantik bergaun putih, segera menggendong bayi kecil berjenis kelamin laki-laki itu dengan sangat hati-hati. "Bagus. Ini imbalan untukmu." Satu wanita yang lebih tua, menyelipkan amplop coklat ke tangan si suster. "Kuharap, kamu bisa merahasiakan semua ini dari siapapun! Ingat, bila rahasia ini sampai bocor!" Wanita itu mencondongkan tubuhnya dan melotot tajam ke arah si suster. "Kamu yang akan menanggung akibatnya nanti!" "Ba-baik Nyonya. Saya pasti akan menu