"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba.
"Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya sebentar, dengan perasaan tak karuan ia kembali menundukkan wajah dan mengalihkan pandangan. Jujur, sebenarnya di dalam hatinya kini masih merasa tak tenang, takut jika saja lelaki itu sampai mengenalinya bagaimana? "Jangan mentang-mentang Anda orang kaya bisa mengancam saya!" lanjutnya berpura-pura tetap tenang. Ia tidak mau jika lelaki itu akan semena-mena terhadapnya. Rafka semakin emosi. Sungguh ia tak menyangka kalau wanita itu malah berani melawannya. Ya, baru kali ini ia dibuat kesal oleh seorang wanita, dan wanita itu adalah Vania. Namun, lelaki itu tak kehabisan akal. "Baiklah, begini saja. Jika, kau mau menjadi ibu susu untuk bayiku, aku akan memberikan berapapun uang yang kau mau." Karena sudah merasa terdesak, dan ia yang tak tega jika melihat anaknya terus saja menangis. Sehingga dengan sedikit menurunkan rasa egonya yang tinggi, Rafka kembali memberikan penawaran. Untuk sesaat Vania terdiam. Ia tampak sedang mempertimbangkan tawaran yang cukup menggiurkan dari lelaki itu. "Huh, ini serius? Dia akan memberi berapapun uang yang aku mau? Bukankah ini kesempatan langka bagiku untuk bisa mendapatkan uang dengan mudah?" batin Vania mulai bimbang. Jika ia menerima tawaran ini, tanpa harus pusing dan susah payah, dirinya nanti bisa membayar semua biaya untuk pengobatan pamannya di rumah sakit. Tapi ia masih ragu untuk mengambil keputusan. "Sok jual mahal banget sih nih cewek! Tinggal jawab iya saja kok, ribet." Dalam hati Rafka mulai ngedumel kesal. "Padahal aku yakin kalau sesungguhnya dia sangat tergiur dengan apa yang barusan aku tawarkan tadi. Cuma dia hanya berpura-pura saja sok menolak." "Jika bukan karena Al yang sangat membutuhkan ASI. Aku juga tak akan sudi memberikan penawaran itu padanya," lanjut batinnya lagi. "Oee ... oee ...." Suara tangisan bayi memecahkan keheningan. Membuat dua insan yang tengah berdiri berhadapan itu langsung berjingkat dan tersadar dari lamunannya masing-masing. Reflek Vania langsung menoleh ke arah bayi kecil itu. Hatinya kembali berdesir melihatnya. Jiwa keibuannya mendorongnya untuk segera menggendong bayi tersebut. Lalu, tanpa pikir panjang, ia segera mengambil bayi itu dan langsung mendekapnya penuh sayang. Lalu dengan menimang-nimang pelan, ia berusaha untuk membuat bayi itu terdiam. "Huss ... cup-cup, Sayang. Sudah diem ya, Cantik! Eh, dia ini cewek apa cowok sih?" gumamnya pelan. Ya, wanita itu belum tahu jenis kelamin bayi ini. Sementara Rafka tanpa mau menjawab, ia malah jadi terbengong melihatnya. Sehingga membuat Vania memutar bola mata malas dan berkata, "Bisakah Anda keluar sekarang?" "Huh!" Dengan wajah kebingungan Rafka masih saja tampak seperti patung. "Saya ingin menyusul bayi ini. Jadi, tolong silahkan Anda keluar dulu dari ruangan ini!" usir Vania. "O-oh, ya ya baiklah. Saya akan keluar sekarang." Dengan sedikit salah tingkah, lelaki tersebut langsung saja melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. "Huff!" Setelah melihatnya pergi, Vania menghela napas lega. Baru kemudian ia memilih tempat untuk duduk. Jika mengingat betapa arogan ayah dari bayi yang berada di dalam dekapannya kini. Ingin rasanya ia menolak ataupun mengabaikan bayi itu. Namun, kenapa hatinya berkata lain? Entah mengapa sejak awal ia melihatnya, ia merasa seperti ada ikatan batin dengan bayi tersebut. Kenapa bisa seperti itu? Apa mungkin karena dirinya yang masih merasa sangat kehilangan atas kepergian putrinya. Sehingga ketika melihat bayi ini, seolah dia menemukan pengganti bayinya yang telah meninggal. Lalu dengan pandangan lembut dan penuh kasih sayang, Vania tampak tersenyum manis dan segera memberikan ASI kepada bayi tersebut. Sementara dari balik pintu yang sedikit terbuka, diam-diam dari arah samping, ternyata Rafka sedang mengintip. Dia bisa melihat sisi keibuan wanita tersebut. Dengan begitu lembut dan sayang, wanita itu memperlakukan putranya bagai anaknya sendiri. Seketika itu dadanya berdesir. Hatinya pun mulai menghangat. Entah mengapa ia merasa sangat senang melihat pemandangan itu. Lalu tiba-tiba saja ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Pukk! Sontak saja membuat lelaki itu terjingkat dan langsung menoleh ke belakang. Kini ia melihat ada Raisa yang tampak sedang tersenyum tengil padanya. "Bagaimana? Kau sudah melihatnya sendiri 'kan? Bagaimana ketulusan wanita itu menyusui Baby Al?" tanya Raisa sengaja ingin mengejek. "Dan, lihat. Bahkan dengan cepat dia bisa langsung membuat bayimu itu terdiam." lanjutnya lagi. Seraya ikut mengintip dari sela-sela kecil pintu yang terbuka. Sebagai sesama wanita, ia bisa melihat ada ketulusan hati di raut wajah lembut dan sendu wanita itu. "Udah, diem. Jangan cerewet!" sahut Rafka sewot. "Jadi, bagaimana? Berarti wanita itu mau 'kan menjadi ibu susunya baby Al?" tanya Raisa lagi. "Ekhem-hem!" Sebelum sempat Rafka kembali menjawab, tiba-tiba saja dari arah belakang Raisa, terdengar suara deheman seorang wanita menyela pembicaraan mereka. Sontak kedua orang itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Lalu mereka melihat ada seorang wanita cantik bergaun maroon sedang berjalan menuju ke arah keduanya. "Kamu! Buat apa kamu ke sini?" tanya Rafka menatapnya sinis. "Ikh, Rafka. Aku ini' kan Mamanya Al. jadi aku ke sini ya, ingin menjenguknya lah," jawab wanita itu manja. Sehingga membuat Raisa yang tampak tidak suka terhadapnya pun, memutar bola mata malas mendengar ucapan wanita itu yang terkesan sangat dibuat-buat. "Eh, iya. Di mana Al? Apakah dia baik-baik saja?" Wanita muda berambut lurus sepunggung itu tampak celingukan mencari keberadaan anaknya. "Dia di dalam sedang--" Belum sempat Rafka menyelesaikan ucapannya, terlebih dahulu wanita itu langsung saja menerobos masuk ke dalam ruang bayi, tempat Vania yang sedang menyusui Alviano. Krieett! Begitu memasuki ruang, dahi wanita bernama Dinda itu langsung mengernyit keheranan saat melihat .... "Hey, siapa kamu?""Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
"Em ... ya mungkin, sekitar 200 sampai 300 jutaan. Biar lebih jelasnya, Anda bisa tanyakan di bagian administrasi saja, Nona," kata si Dokter. "Apa?! Du-dua ratus juta!" Dengan wajah memucat, Vania langsung tampak syok mendengar nominal yang diucapkan oleh sang Dokter. Walaupun dia sudah mengira kalau biaya untuk operasi jantung pastilah sangat mahal. Akan tetapi, ia tidak menyangka akan sebesar itu. "Ya Allah ... dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" Dalam hati wanita cantik bergaun putih tulang itu mulai kebingungan. "Oh, rupanya kau ada di sini sekarang!" Tiba-tiba saja suara bariton seorang pria langsung mengagetkannya. Sontak membuat dua orang yang tengah berdiri di depan pintu kamar rawat pamannya Vania pun menoleh ke arah sumber suara. "Ka-kamu!" pekik Vania melotot kaget. Dirinya tak menyangka kalau lelaki garang berwajah dingin itu tiba-tiba saja sudah muncul di hadapannya. "Duh, nyebelin banget sih, nih cowok! Mau ngapain lagi dia ke sini?" batin Van
"Em ... baiklah, saya bersedia untuk menjadi ibu susu anak Anda." Seraya menghela napas berat, tidak ada pilihan lain, akhirnya Vania setuju. Tentu saja Rafka langsung tersenyum miring, merasa sangat senang mendengarnya. "Tapi, dengan syarat." Bergantian, kali ini Vania lah yang mengajukan syarat. Senyuman di bibir lelaki berparas tampan itu langsung memudar berubah menjadi masam. Lalu dengan menaikan sebelah alis, matanya pun menyipit mulai menatap Vania curiga. Dalam hati, ia sedang menduga-duga, pasti wanita itu akan menggunakan kesempatan ini untuk mengajukan syarat yang macam-macam padanya. Lelaki itu kini tersenyum sinis seolah sedang meremehkannya, dan berkata, "Syarat! Syarat apa?" "Saya ingin memastikan kalau paman saya benar-benar telah melakukan operasi. Setelah itu, baru saya akan mulai bekerja pada Anda." Deg! Dalam hati, Rafka merasa sedikit malu karena sudah berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Gadis itu hanya ingin mema
"Di-dinda!" pekik Vania syok. Kedua matanya langsung melebar ketika melihat sosok wanita yang sangat ia benci ada di sana. Dinda Kumala Sari, putri paman satu-satunya, yang tak lain adalah adik sepupu dia sendiri. "Kenapa dia bisa berada di ruang bayi? Da-dan sedang apa dia di sini?" berbagai pertanyaan mulai memenuhi otaknya. Dua alis Vania mengerut tajam, wajahnya juga menegang menyiratkan keheranan dan rasa dendam membara di hatinya kini. Dia tak pernah menduga, kalau dia akan melihat wanita itu di sana. Sungguh ia masih sangat mengingat bagaimana akan sikap kasar dan perbuatan jahat wanita itu padanya dulu, tak akan pernah bisa termaafkan untuk selama-lamanya. Karena apa? Karena gara-gara sepupunya itulah, dia harus kehilangan kehormatannya. *** Flashback. Malam itu, sekitar sembilan bulan yang lalu. Langit tampak teduh. Di luar pun terlihat sepi. Namun, tidak di sebuah ruangan mewah hotel bintang lima. Hiruk pikuk perkumpulan anak muda yang sedang bersenang-sena
Dengan menelan ludah, sungguh Rafka sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya yang berasa sudah naik di ubun-ubun. Rafka yang sudah kehilangan kewarasannya dan haus akan sentuhan dengan kebutuhan yang menggebu-gebu itu, sudah tidak memikirkan apapun lagi selain ingin meraih puncak kenikmatan. Lalu dengan tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu langsung saja menyerang gadis tersebut. *** Keesokan harinya. Dengan rasa kantuk dan lelah yang luar biasa, perlahan Vania mulai terbangun. Di antara setengah sadar dia merasa seperti habis mimpi bercinta dengan seorang pria yang sangat tampan, menawan dan gagah perkasa di atas ranjang. Sehingga membuat tubuhnya merasa sangat kelelahan. "Akan tetapi, kenapa seperti nyata? Dan kenapa pula badanku ini terasa sakit semua?" ujarnya membatin. Pelan-pelan kedua mata lentik gadis itu terbuka dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari bahwa dirinya tidak berada di kamar yang biasa ia tempati. "Huh, di-
Dengan dada yang berdetak kencang, perlahan Vania memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara. Lalu, di detik berikutnya ia baru bisa bernapas lega. Karena ternyata lelaki itu masih betah memejamkan mata. Yang berarti lelaki tersebut hanya sedang mengigau saja. "Huff, syukur alhamdulillah. Ternyata dia hanya mengigau," ucapnya pelan. Seraya mengusap dada yang kempang kempis tidak karuan, Vania bisa merasa sedikit tenang, karena tidak sampai kepergok oleh lelaki itu. "Eh, tapi kalau dilihat-lihat dia tampan juga." Dengan tanpa sadar, Vania malah memujinya. Namun, tak lama kemudian ia pun menggeleng. "Hais, kamu ini apa-apaan sih, Vania? Di saat genting seperti ini, kamu malah memuji ketampanan wajah pria yang baru saja merenggut kesucian mu." "Tapi, ngomong-ngomong siapa dia? Apakah dia memang telah bekerja sama dengan Dinda untuk melakukan ini semua?" Dengan kebingungan, ada banyak pertanyaan yang tengah memenuhi pikirannya. "Ah, entahlah. Siapapun dia, aku tak p
Dada Vania bergemuruh hebat, langkahnya kian terasa berat, ketika ia tahu siapa pemilik mobil putih tersebut. Dirinya sudah bisa menebak siapa orang yang sedang menunggunya di dalam rumah. Dengan memantapkan hati, helaan napas panjang mengiringi derap langkah Vania, yang mau tidak mau harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi padanya nanti. Toh, cepat atau lambat dirinya juga akan tetap menghadapi situasi yang seperti ini, bukan? Sekali lagi, gadis berkucir kuda itu menghela napas panjang. Lalu ia memberanikan diri untuk tetap melangkah masuk ke dalam rumah. "A-assalamualaikum," ucapnya pelan. "Waalaikumsalam." Seraya menoleh ke arah pintu. Serempak berapa orang yang terdiri dari dua orang lelaki dan dua perempuan, yang terduduk di ruang tamu pun menjawab. Benar saja, gadis itu melihat ada seorang pria yang sangat ia cinta, tengah berada di antara mereka. "Rendy," cicitnya sangat pelan dan hampir tak terdengar. "Nah, ini dia orangnya. Dari mana saja kamu, Vania? K
Di dalam puskesmas kecil yang sunyi, seorang suster muda berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang persalinan. Dalam dekapannya, ada seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Namun, wajah suster itu bukan dipenuhi kebahagiaan, melainkan kepanikan. "Maaf, tapi aku tidak punya pilihan," ucapnya membatin. Ia merasa sangat terpaksa harus melakukan ini. Lalu dengan segera ia menyerahkan bayi kecil itu kepada seorang wanita yang tengah menunggunya di luar kamar. "Nyonya, ini bayinya," ucap si suster dengan nada sedikit pelan. Wanita cantik bergaun putih, segera menggendong bayi kecil berjenis kelamin laki-laki itu dengan sangat hati-hati. "Bagus. Ini imbalan untukmu." Satu wanita yang lebih tua, menyelipkan amplop coklat ke tangan si suster. "Kuharap, kamu bisa merahasiakan semua ini dari siapapun! Ingat, bila rahasia ini sampai bocor!" Wanita itu mencondongkan tubuhnya dan melotot tajam ke arah si suster. "Kamu yang akan menanggung akibatnya nanti!" "Ba-baik Nyonya. Saya pasti ak
Dada Vania bergemuruh hebat, langkahnya kian terasa berat, ketika ia tahu siapa pemilik mobil putih tersebut. Dirinya sudah bisa menebak siapa orang yang sedang menunggunya di dalam rumah. Dengan memantapkan hati, helaan napas panjang mengiringi derap langkah Vania, yang mau tidak mau harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi padanya nanti. Toh, cepat atau lambat dirinya juga akan tetap menghadapi situasi yang seperti ini, bukan? Sekali lagi, gadis berkucir kuda itu menghela napas panjang. Lalu ia memberanikan diri untuk tetap melangkah masuk ke dalam rumah. "A-assalamualaikum," ucapnya pelan. "Waalaikumsalam." Seraya menoleh ke arah pintu. Serempak berapa orang yang terdiri dari dua orang lelaki dan dua perempuan, yang terduduk di ruang tamu pun menjawab. Benar saja, gadis itu melihat ada seorang pria yang sangat ia cinta, tengah berada di antara mereka. "Rendy," cicitnya sangat pelan dan hampir tak terdengar. "Nah, ini dia orangnya. Dari mana saja kamu, Vania? K
Dengan dada yang berdetak kencang, perlahan Vania memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara. Lalu, di detik berikutnya ia baru bisa bernapas lega. Karena ternyata lelaki itu masih betah memejamkan mata. Yang berarti lelaki tersebut hanya sedang mengigau saja. "Huff, syukur alhamdulillah. Ternyata dia hanya mengigau," ucapnya pelan. Seraya mengusap dada yang kempang kempis tidak karuan, Vania bisa merasa sedikit tenang, karena tidak sampai kepergok oleh lelaki itu. "Eh, tapi kalau dilihat-lihat dia tampan juga." Dengan tanpa sadar, Vania malah memujinya. Namun, tak lama kemudian ia pun menggeleng. "Hais, kamu ini apa-apaan sih, Vania? Di saat genting seperti ini, kamu malah memuji ketampanan wajah pria yang baru saja merenggut kesucian mu." "Tapi, ngomong-ngomong siapa dia? Apakah dia memang telah bekerja sama dengan Dinda untuk melakukan ini semua?" Dengan kebingungan, ada banyak pertanyaan yang tengah memenuhi pikirannya. "Ah, entahlah. Siapapun dia, aku tak p
Dengan menelan ludah, sungguh Rafka sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya yang berasa sudah naik di ubun-ubun. Rafka yang sudah kehilangan kewarasannya dan haus akan sentuhan dengan kebutuhan yang menggebu-gebu itu, sudah tidak memikirkan apapun lagi selain ingin meraih puncak kenikmatan. Lalu dengan tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu langsung saja menyerang gadis tersebut. *** Keesokan harinya. Dengan rasa kantuk dan lelah yang luar biasa, perlahan Vania mulai terbangun. Di antara setengah sadar dia merasa seperti habis mimpi bercinta dengan seorang pria yang sangat tampan, menawan dan gagah perkasa di atas ranjang. Sehingga membuat tubuhnya merasa sangat kelelahan. "Akan tetapi, kenapa seperti nyata? Dan kenapa pula badanku ini terasa sakit semua?" ujarnya membatin. Pelan-pelan kedua mata lentik gadis itu terbuka dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari bahwa dirinya tidak berada di kamar yang biasa ia tempati. "Huh, di-
"Di-dinda!" pekik Vania syok. Kedua matanya langsung melebar ketika melihat sosok wanita yang sangat ia benci ada di sana. Dinda Kumala Sari, putri paman satu-satunya, yang tak lain adalah adik sepupu dia sendiri. "Kenapa dia bisa berada di ruang bayi? Da-dan sedang apa dia di sini?" berbagai pertanyaan mulai memenuhi otaknya. Dua alis Vania mengerut tajam, wajahnya juga menegang menyiratkan keheranan dan rasa dendam membara di hatinya kini. Dia tak pernah menduga, kalau dia akan melihat wanita itu di sana. Sungguh ia masih sangat mengingat bagaimana akan sikap kasar dan perbuatan jahat wanita itu padanya dulu, tak akan pernah bisa termaafkan untuk selama-lamanya. Karena apa? Karena gara-gara sepupunya itulah, dia harus kehilangan kehormatannya. *** Flashback. Malam itu, sekitar sembilan bulan yang lalu. Langit tampak teduh. Di luar pun terlihat sepi. Namun, tidak di sebuah ruangan mewah hotel bintang lima. Hiruk pikuk perkumpulan anak muda yang sedang bersenang-sena
"Em ... baiklah, saya bersedia untuk menjadi ibu susu anak Anda." Seraya menghela napas berat, tidak ada pilihan lain, akhirnya Vania setuju. Tentu saja Rafka langsung tersenyum miring, merasa sangat senang mendengarnya. "Tapi, dengan syarat." Bergantian, kali ini Vania lah yang mengajukan syarat. Senyuman di bibir lelaki berparas tampan itu langsung memudar berubah menjadi masam. Lalu dengan menaikan sebelah alis, matanya pun menyipit mulai menatap Vania curiga. Dalam hati, ia sedang menduga-duga, pasti wanita itu akan menggunakan kesempatan ini untuk mengajukan syarat yang macam-macam padanya. Lelaki itu kini tersenyum sinis seolah sedang meremehkannya, dan berkata, "Syarat! Syarat apa?" "Saya ingin memastikan kalau paman saya benar-benar telah melakukan operasi. Setelah itu, baru saya akan mulai bekerja pada Anda." Deg! Dalam hati, Rafka merasa sedikit malu karena sudah berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Gadis itu hanya ingin mema
"Em ... ya mungkin, sekitar 200 sampai 300 jutaan. Biar lebih jelasnya, Anda bisa tanyakan di bagian administrasi saja, Nona," kata si Dokter. "Apa?! Du-dua ratus juta!" Dengan wajah memucat, Vania langsung tampak syok mendengar nominal yang diucapkan oleh sang Dokter. Walaupun dia sudah mengira kalau biaya untuk operasi jantung pastilah sangat mahal. Akan tetapi, ia tidak menyangka akan sebesar itu. "Ya Allah ... dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" Dalam hati wanita cantik bergaun putih tulang itu mulai kebingungan. "Oh, rupanya kau ada di sini sekarang!" Tiba-tiba saja suara bariton seorang pria langsung mengagetkannya. Sontak membuat dua orang yang tengah berdiri di depan pintu kamar rawat pamannya Vania pun menoleh ke arah sumber suara. "Ka-kamu!" pekik Vania melotot kaget. Dirinya tak menyangka kalau lelaki garang berwajah dingin itu tiba-tiba saja sudah muncul di hadapannya. "Duh, nyebelin banget sih, nih cowok! Mau ngapain lagi dia ke sini?" batin Van
"Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya sebe
Beberapa menit yang lalu. Di saat Raisa yang tiba-tiba saja malah membawa Rafka untuk masuk ke sebuah kamar. "Kau ini apa-apaan sih, Raisa? Main tarik-tarik aja!" Lelaki berambut klimis itu tampak mendengkus kesal. "Ikh, coba kau dengerin aku dulu, Rafka!" Seraya mengeratkan gigi, ingin rasanya wanita yang mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia itu menjitak kepala Rafka. "Dengerin apaan?" Seraya melipat tangan, dengan sangat malas Rafka menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang yang ada di tengah ruang. Begitu juga dengan Raisa yang ikut duduk di sampingnya kini. "Coba kau pikirkan bagaimana keadaan anakmu sekarang, Rafka! Bukankah selama ini kau cukup kesusahan mencari ibu susu yang cocok buat bayimu itu?" "Hem." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Terus, apa kaitannya dengan wanita itu, Raisa?" lanjutnya dengan ogah-ogahan. "Ya, kurasa dialah wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu anakmu nanti." "Kau tadi lihat sendiri 'kan? Kalau ba