Beberapa menit yang lalu.
Di saat Raisa yang tiba-tiba saja malah membawa Rafka untuk masuk ke sebuah kamar. "Kau ini apa-apaan sih, Raisa? Main tarik-tarik aja!" Lelaki berambut klimis itu tampak mendengkus kesal. "Ikh, coba kau dengerin aku dulu, Rafka!" Seraya mengeratkan gigi, ingin rasanya wanita yang mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia itu menjitak kepala Rafka. "Dengerin apaan?" Seraya melipat tangan, dengan sangat malas Rafka menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang yang ada di tengah ruang. Begitu juga dengan Raisa yang ikut duduk di sampingnya kini. "Coba kau pikirkan bagaimana keadaan anakmu sekarang, Rafka! Bukankah selama ini kau cukup kesusahan mencari ibu susu yang cocok buat bayimu itu?" "Hem." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Terus, apa kaitannya dengan wanita itu, Raisa?" lanjutnya dengan ogah-ogahan. "Ya, kurasa dialah wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu anakmu nanti." "Kau tadi lihat sendiri 'kan? Kalau bayimu tadi mau menyusu dan bahkan bisa tertidur lelap di pangkuan wanita itu." Rafka terdiam, ia mulai tampak merenung apa yang dikatakan oleh sepupunya itu memanglah benar. "Lagi pula kau juga sudah dengar sendiri 'kan penjelasan dari si suster. Kalau bayimu itu selalu menolak dengan pemberian ASI ataupun susu formula yang diberikan oleh si suster." "Jika bayimu itu terus-terusan tidak mau meminum susu yang diberikan oleh si suster. Maka bisa saja keadaan bayimu nanti malah akan semakin parah." Dengan tanpa jeda, wanita cerewet itu masih terus mengoceh menjelaskan bagaimana keadaan keponakan kecilnya alias anak dari sepupunya sendiri yaitu Rafka. "Jadi sebelum itu terjadi, lebih baik kamu harus baik-baikin wanita itu, dan bujuk agar mau menjadi ibu susu anakmu nanti!" Seraya mengerutkan dahi, Rafka langsung tampak tak setuju. "Nah, jadi tunggu apa lagi? Kamu tinggal meminta maaf saja padanya. Lalu setelah itu, kau coba ngomong baik-baik saja sama dia, agar dia mau menjadi ibu susu anakmu itu." "Apa? Aku disuruh minta maaf? Jangan mimpi, aku tidak akan pernah sudi meminta maaf dengan wanita rendahan seperti dia." Dengan rasa gengsi yang tinggi, tentu saja pria angkuh itu langsung menolak. "Hais, kau ini. Bisa gak sih jangan selalu menilai rendah orang lain!" Wanita itu cukup dibuat kesal dengan sikap sombong dan arogan sepupunya tersebut. "Alah, sudahlah. Kau ini jangan terlalu berlebihan menilai baik wanita itu. Lagipula kita juga tidak tahu bagaimana sifat dia yang sebenarnya. Kita ini harus berhati-hati dengan orang yang tidak kita kenal, jangan asal percaya begitu saja" "Bisa saja 'kan di balik wajahnya yang terlihat sok polos itu, ada niatan jahat yang tersembunyi. Kita juga gak tahu." Lelaki itu masih saja tampak menaruh rasa curiga terhadap Vania. Ya, begitulah Rafka. Dengan segala keangkuhannya yang sudah mendarah daging, ia selalu merasa waspada dan tak mudah gampang percaya dengan sembarang orang. Seraya mendengkus kesal, wanita berwajah cantik dan elegan itu menggelengkan kepala melihat betapa kerasa kepalanya lelaki tersebut. "Rafka-Rafka. Kau ini yang terlalu negatif thinking dengan orang lain. Tidak semua orang yang berada di dunia ini akan selalu mempunyai sifat jahat seperti apa yang kau pikirkan selama ini, Rafka!" "Akh, terserah kau saja. Pokoknya aku tidak mau ambil resiko. Aku tidak mau jika anakku nanti sampai kenapa-kenapa. Jadi, lebih baik kita cari wanita lain yang jelas asal-usulnya saja. Jangan main asal percaya dengan orang yang baru kita kenal." "Oke, kalau begitu, apa kau sekarang sudah bisa menemukan orang yang akan menjadi ibu susu anakmu itu?" tantang Raisa geram. Deg! Hati Rafka langsung tercenung. Ia tidak bisa menjawab. "Cih, sudah kuduga. Kau pasti belum bisa menemukan si calon ibu susu buat Alviano 'kan?" Tebakan Raisa memang benar. Pria beralis tebal itu memang belum bisa menemukan wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu bayinya. "Ya sudah, begini saja. Jika kau tak mau bicara sama tuh cewek, biar aku aja yang akan bicara padanya." Lalu dengan tiba-tiba saja, wanita itu langsung bangkit dari duduknya dan bergegas keluar dari ruangan. "E-eh, Raisa, tunggu!" Ketika mendengar suara pintu terbuka, tiga orang gadis yang masih dengan setia duduk menunggu di ruang kerja Raisa, dengan serempak langsung menoleh ke arahnya. Raisa beserta Rafka keluar dari kamar. Lalu dengan wajah cemberut keduanya tampak sedang bersitegang. Kini mereka kembali terduduk di tempat semula. Sementara ketiga gadis itu masih tetap terdiam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh kedua orang tersebut. "Em, baiklah, Suster. Kalian sudah boleh pergi dari sini sekarang. Dan tolong kalian harus lebih berhati-hati lagi dalam menjaga bayi itu!" ujar Raisa tegas. "Jika nanti sampai terjadi sesuatu hal pada bayi itu, tolong kalian harus segera beritahukan kepada saya di sini, oke?" "Ya baik, Dok. Kalau begitu kami permisi." Kedua suster muda itu menunduk hormat dan kemudian langsung saja pergi meninggalkan ruangan. "Em ... jadi begini, Mbak ... siapa namamu?" "Vania nama saya, Dok," jawab Vania seraya melirik sekilas ke arah Rafka. Sementara Rafka berpura-pura langsung melengos seolah tak mau melihatnya. "Baiklah, Vania. Setelah saya dan Tuan Rafka melakukan banyak pertimbangan. Kami akan meminta pertanggungjawaban dari Anda, karena dengan lancang telah berani memberikan ASI kepada bayi itu," ucap Raisa dengan wajah tenang. "Apaa?! Ta-tanggung jawab! Tanggungjawab yang bagaimana? Saya tidak bersalah, saya hanya ingin membantu. Masa saya harus bertanggungjawab?" sahut Vania kebingungan. "Ya, Anda harus bertanggungjawab dengan cara harus mau menjadi ibu susu dari bayi itu." lanjut Raisa menjelaskan. "Apaa! I-ibu susu?" Jelas Vania kembali terpekik kaget. "Tidak perlu!" sambar Rafka tiba-tiba. Dengan wajah dingin tanpa ekspresi, Ia masih saja tampak tak setuju dengan usulan Raisa. Tok-tok-tok! Semua orang yang sedang bersitegang itu terjingkat dan langsung menoleh ke arah pintu secara serempak. "Ya, masuk!" seru Raisa. Klik! Dengan raut wajah panik, ternyata salah satu perawatan tadi kembali memasuki ruang. "Maaf, Dok. I-itu-- bayinya kembali menangis dan masih menolak pemberian susu dari kami," lapornya cemas. "Tuh 'kan sudah kubilang, pasti bayimu akan kembali menolak susu itu, Rafka. Jadi, tunggu apalagi? Apa kau akan membiarkan anakmu itu terus kelaparan?" tanya Raisa. Membuat Rafka mulai jadi kebingungan. Sebenarnya Vania juga ikut merasa cemas memikirkan bayi itu. Namun, jika melihat sikap kasar dan arogan ayah dari bayi tersebut, sehingga membuatnya berpura-pura acuh, dan tak mau memperdulikannya lagi. Lalu ia ingin segera pergi saja dari ruangan itu. "Baiklah, karena semua urusan sudah selesai. Jadi, tak ada alasan lagi buat saya tetap berada di sini. Kalau begitu saya permisi." Namun, ketika melihat Vania akan pergi, dengan tanpa terduga, tiba-tiba saja lelaki itu malah menahan tangan Vania. "Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya."Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya seb
"Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
Di dalam puskesmas kecil yang sunyi, seorang suster muda berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang persalinan. Dalam dekapannya, ada seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Namun, wajahnya bukan dipenuhi kebahagiaan, melainkan kepanikan. "Maaf, tapi aku tidak punya pilihan," ucapnya membatin. Ia merasa sangat terpaksa harus melakukan ini. Lalu dengan segera ia menyerahkan bayi kecil itu kepada seorang wanita yang tengah menunggunya di luar kamar. "Nyonya, ini bayinya," ucap si suster dengan nada sedikit pelan. Wanita cantik bergaun putih, segera menggendong bayi kecil berjenis kelamin laki-laki itu dengan sangat hati-hati. "Bagus. Ini imbalan untukmu." Satu wanita yang lebih tua, menyelipkan amplop coklat ke tangan si suster. "Kuharap, kamu bisa merahasiakan semua ini dari siapapun! Ingat, bila rahasia ini sampai bocor!" Wanita itu mencondongkan tubuhnya dan melotot tajam ke arah si suster. "Kamu yang akan menanggung akibatnya nanti!" "Ba-baik Nyonya. Saya pasti akan menu
Dua Minggu telah berlalu. Namun, Vania masih belum bisa melupakan kejadian malang itu. Dirinya sering kali tidak bisa tidur. Bayangan wajah mungil seorang bayi terus saja menghantuinya. Sehingga membuat dadanya terasa sesak. Wanita itu masih saja belum bisa ikhlas atas kematian anaknya. Dia masih terbayang wajah imut bayi yang baru dia lahirkan. Perasaan bersalah memenuhi relung hatinya, hingga membuatnya tersiksa secara lahir dan batin. "Anakku Sayang, anakku malang. Maafkan Ibu, Nak!" batinnya kembali pilu, jika mengingat kejadian itu. Di mana anak yang baru saja ia lahirkan, dinyatakan telah meninggal. Wanita itu mulai kembali terisak. Perihnya kehilangan terus saja menggerogoti jiwanya, dan ia menangis secara diam-diam. "Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang membuat kamu harus pergi selama-lamanya dari sisi Ibu," ucapnya lirih, sambil memeluk selimut terakhir yang dikenakan anaknya. Dadanya kembali sesak, batinnya perih kala bayangan demi bayangan terus memenuhi rasa bersal
Dengan wajah pucat pasi, Vania tertegun menatap pria tersebut. Dadanya langsung bergemuruh tatkala ia melihat kemarahan yang begitu kentara di wajah tampan lelaki itu. Vania langsung tahu jawabannya. "Apakah… dia ayah dari bayi ini?" batinnya mulai menebak. "Tapi tunggu! Kenapa aku seperti pernah melihatnya? Tapi di mana?" Otaknya langsung bekerja keras, coba mengingat siapa pria tersebut. Lalu di detik berikutnya, dengan wajah menegang ia mulai teringat akan peristiwa yang pernah menimpanya dulu. Peristiwa yang terjadi sekitar sembilan bulan lalu. Peristiwa yang sangat-sangat membuatnya telah hancur. Di mana pada malam itu, dirinya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu kesuciannya. Ya, tidak salah lagi, ia baru menyadari bahwasanya lelaki itu adalah orang yang sangat ia benci, orang yang pernah melewati malam panas bersamanya dulu. Namun, apakah orang itu masih mengingatnya? Semoga saja tidak. "Siapa kau? Berani-beraninya kau menyentuh an
"Siapa kamu?" tanya Dinda merasa sedikit keheranan. Wanita itu melihat ada satu orang wanita muda yang kini berada tepat di samping ranjang bayinya. Wanita muda itu sempat terlonjak dan langsung menoleh ke arahnya. Lalu seraya mengulas senyum ramah, wanita yang ternyata adalah seorang perawatan bayi di ruang itu pun menjawab, "Saya perawat, Nona." Tak berselang lama baik itu Rafka dan Raisa menyusul masuk ke dalam, dan mereka tampak terkejut saat melihat bukan wanita tadi yang sedang berada di ruang bayi ini. "Loh, Mbak Tari. Ke mana wanita tadi?" tanya Raisa kebingungan. "Oh, si Mbaknya tadi sudah pergi, Dok." Si suster bernama Utari pun menjawab. "Apa?! Wanita itu malah pergi?" Dengan wajah mengeras, tiba-tiba saja Rafka terlihat sangat kesal. "Dasar brengsek! Wanita tak tahu diuntung!" Seraya mengepalkan tangan, ia mengumpat geram. Sehingga membuat Dinda jadi keheranan saja melihatnnya, dan bertanya siapa wanita yang kini tengah dibicarakan oleh ketiga orang tersebut.
"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba. "Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya seb
Beberapa menit yang lalu. Di saat Raisa yang tiba-tiba saja malah membawa Rafka untuk masuk ke sebuah kamar. "Kau ini apa-apaan sih, Raisa? Main tarik-tarik aja!" Lelaki berambut klimis itu tampak mendengkus kesal. "Ikh, coba kau dengerin aku dulu, Rafka!" Seraya mengeratkan gigi, ingin rasanya wanita yang mempunyai darah campuran Belanda dan Indonesia itu menjitak kepala Rafka. "Dengerin apaan?" Seraya melipat tangan, dengan sangat malas Rafka menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang yang ada di tengah ruang. Begitu juga dengan Raisa yang ikut duduk di sampingnya kini. "Coba kau pikirkan bagaimana keadaan anakmu sekarang, Rafka! Bukankah selama ini kau cukup kesusahan mencari ibu susu yang cocok buat bayimu itu?" "Hem." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Terus, apa kaitannya dengan wanita itu, Raisa?" lanjutnya dengan ogah-ogahan. "Ya, kurasa dialah wanita yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu susu anakmu nanti." "Kau tadi lihat sendiri 'kan? Kalau b
Dengan wajah pucat pasi, Vania tertegun menatap pria tersebut. Dadanya langsung bergemuruh tatkala ia melihat kemarahan yang begitu kentara di wajah tampan lelaki itu. Vania langsung tahu jawabannya. "Apakah… dia ayah dari bayi ini?" batinnya mulai menebak. "Tapi tunggu! Kenapa aku seperti pernah melihatnya? Tapi di mana?" Otaknya langsung bekerja keras, coba mengingat siapa pria tersebut. Lalu di detik berikutnya, dengan wajah menegang ia mulai teringat akan peristiwa yang pernah menimpanya dulu. Peristiwa yang terjadi sekitar sembilan bulan lalu. Peristiwa yang sangat-sangat membuatnya telah hancur. Di mana pada malam itu, dirinya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu kesuciannya. Ya, tidak salah lagi, ia baru menyadari bahwasanya lelaki itu adalah orang yang sangat ia benci, orang yang pernah melewati malam panas bersamanya dulu. Namun, apakah orang itu masih mengingatnya? Semoga saja tidak. "Siapa kau? Berani-beraninya kau menyentuh an
Dua Minggu telah berlalu. Namun, Vania masih belum bisa melupakan kejadian malang itu. Dirinya sering kali tidak bisa tidur. Bayangan wajah mungil seorang bayi terus saja menghantuinya. Sehingga membuat dadanya terasa sesak. Wanita itu masih saja belum bisa ikhlas atas kematian anaknya. Dia masih terbayang wajah imut bayi yang baru dia lahirkan. Perasaan bersalah memenuhi relung hatinya, hingga membuatnya tersiksa secara lahir dan batin. "Anakku Sayang, anakku malang. Maafkan Ibu, Nak!" batinnya kembali pilu, jika mengingat kejadian itu. Di mana anak yang baru saja ia lahirkan, dinyatakan telah meninggal. Wanita itu mulai kembali terisak. Perihnya kehilangan terus saja menggerogoti jiwanya, dan ia menangis secara diam-diam. "Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang membuat kamu harus pergi selama-lamanya dari sisi Ibu," ucapnya lirih, sambil memeluk selimut terakhir yang dikenakan anaknya. Dadanya kembali sesak, batinnya perih kala bayangan demi bayangan terus memenuhi rasa bersal
Di dalam puskesmas kecil yang sunyi, seorang suster muda berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang persalinan. Dalam dekapannya, ada seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Namun, wajahnya bukan dipenuhi kebahagiaan, melainkan kepanikan. "Maaf, tapi aku tidak punya pilihan," ucapnya membatin. Ia merasa sangat terpaksa harus melakukan ini. Lalu dengan segera ia menyerahkan bayi kecil itu kepada seorang wanita yang tengah menunggunya di luar kamar. "Nyonya, ini bayinya," ucap si suster dengan nada sedikit pelan. Wanita cantik bergaun putih, segera menggendong bayi kecil berjenis kelamin laki-laki itu dengan sangat hati-hati. "Bagus. Ini imbalan untukmu." Satu wanita yang lebih tua, menyelipkan amplop coklat ke tangan si suster. "Kuharap, kamu bisa merahasiakan semua ini dari siapapun! Ingat, bila rahasia ini sampai bocor!" Wanita itu mencondongkan tubuhnya dan melotot tajam ke arah si suster. "Kamu yang akan menanggung akibatnya nanti!" "Ba-baik Nyonya. Saya pasti akan menu