dasar Diva, ada2 aja deh... ntar, kira2 pertemuan di atas ngapain aja ya mereka... 😆😆😆
Diva benar-benar merasa kalau dirinya saat ini tidak ada keteraturan dalam hidup, entah kenapa sejak bertemu dengan pria ini, semua yang dibuatnya menjadi tidak bisa berjalan sesuai seperti yang dijadwalkannya. “Jalan yang pelan Diva, santai saja,” pesan Elvan pada Diva yang saat ini melangkah mendahuluinya. Diva menghentikan langkah. Dia lalu memutar tubuhnya dan menatap Elvan dengan merengut. “Ini kan gara-gara kamu yang gak bilang sama aku kalo mereka sudah tiba.” “Loh, memangnya kamu ada kasih tahu ke aku kalo ngikutin kamu keluar itu tujuannya menjemput mereka?” Elvan merespon ucapan Diva itu. Diva diam, sebenarnya tidak ada yang salah juga pada Elvan, karena saat dia keluar memang tidak mengatakan pada Elvan kalau untuk menjemput ibunya. “Kenapa diam? Ah … menyadari kesalahan sendiri, ya?” Elvan tersenyum pada Diva lalu mendekatinya. “Harusnya kalau salah minta maaf dong.” Elvan menggoda Diva, wanita itu hanya diam. “Wah, benar-benar tidak mau mengakui kesalahan da
Sementara itu, sebelumnya di sebuah kamar hotel pertemuan haru sedang terjadi. “Aku tidak menyangka kalau benar-benar bisa melihatmu saat ini secara nyata, Isa!” Indah memeluk saudaranya ini dengan tangis haru saat mereka bertemu, sedangkan Prisya menggendong Danish yang sudah terlelap dan direngkuh oleh sang ayah menyaksikan keduanya yang sedang menuntaskan rindu. Lebih dari tiga dekade mereka tak bertemu, wajar sekali pertemuan ini sangat berarti untuk keduanya. Lukman mengajak Prisya ke tempat lain agar keduanya bisa bicara lebih leluasa. Prisya mengikuti langkah Lukman. “Dimana kakakmu?” tanya Lukman pada Prisya. Prisya hanya tersenyum mendengar pertanyaan ayahnya ini. “Apa dia dan Elvan tidak menyusulmu ke bawah?” Lukman mengerutkan keningnya. “Apa tujuan awal Kak Diva itu menyusul kami, Yah? Tapi sepertinya tidak begitu,” ucap Prisya sambil mengerutkan keningnya mengingat saat mereka bertiga sampai di lobi hotel. Memang saat itu keduanya berada di bagian pojok, teta
Hal ini jelas membuat Prisya terperanjat, dia tidak menyangka kalau ayahnya akan melakukan hal seperti ini. Dulu ayahnya hanya diam dan menahan semua perbuatan mereka. Bahkan saat ayah Dion itu mengatakan hal tidak pantas pada ayahnya dan keluarga mereka, dia hanya diam dan memendam, walau dalam hati Prisya tahu ayahnya sangat marah. Prisya lalu berusaha untuk tenang dan berpikir rasional. “Yah, tapi … bagaimana mungkin kita melakukannya?” Lukman hanya diam mendapati respon Prisya. “Walau bagaimana juga, anak-anak Kak Clarissa itu adalah cucu-cucu kesayangan keluarganya Sugara Jaya, bisa-bisa kita mendapat masalah besar kalau sampai–” “Tidak masalah, apapun yang terjadi, ayah akan tetap menjadi pelindung untuk putri-putri ayah.” Lukman berkata dengan tenang. Prisya diam sejenak dia berpikir dan akhirnya menebak apa yang sebenarnya terjadi. “Yah, ayah bicara begini apa karena keluarga kita sudah ada dukungan kuat dari keluarga ibu dan juga Kak Elvan?” tanya Prisya hati-hat
Elvan tahu keduanya pasti sangat terkejut, tetapi dia tidak mau menanggapi lebih jauh, sebelum rasa penasaran mereka muncul lebih banyak Elvan segera berkata, “Sayang, aku pulang dulu.” Elvan mengusap kepala Diva sejenak lalu membelai singkat pipinya. Diva yang masih terkejut ini, tak bergeming menatap Elvan. “Titip salam buat Ibu, ya Yah, sepertinya dia masih bicara serius dengan Paman Isaac.” Elvan berkata pada Lukman, pria itu membalas dengan anggukan singkat dan tersenyum. Elvan melangkah ke arah pintu, Diva segera mengiringi langkahnya dengan cepat di belakang. Sampai di depan pintu kamar itu, Diva tidak tahan untuk tidak bertanya. “Kamu … sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan ayah?” tanya Diva penasaran. “Sepertinya kamu tanya ayahmu saja,” jawab Elvan dengan memamerkan senyumnya. “Ck! sok ganteng kamu!" Diva kembali berdecak kesal. "Terserah mau sok ganteng atau memang ganteng beneran yang penting kamu mau sama aku!" Elvan menggoda Diva. "Elv~!" belum sem
Ucapan Lukman jelas membuat Diva dan Prisya tidak bisa berkata-kata untuk sesaat, terutama Diva yang saat ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, raut wajahnya benar-benar terlihat menegang. Diva merasakan tenggorokannya sangat serat dia berusaha mengatakan sesuatu pada ayahnya, “Ja-jadi maksud ayah dia ….” “Apa Elvan sudah menceritakannya padamu tentang kecelakaannya itu? Tentang yang membuatnya trauma pada laut?” tanya Lukman dengan suara tenangnya. Diva menggeleng, Elvan memang belum memberitahunya secara langsung, tapi dia tahu dari Dokter Reynand tentang masalah ini, kemarin sempat dia ingin bertanya tapi … lagi-lagi dia lupa karena kebersamaan dengan Elvan rasanya sayang kalau dipakai untuk memikirkan hal yang berat. Baru saja dia ingin bertanya langsung, dia malah tidak bisa menghubungi pria itu lagi. Rasanya dia menyesal sekarang, karena penyakit lupanya sering kambuh saat terpesona oleh aura dominan milik pria itu. “Apa ayah bisa ceritakan semuanya? Yang Diva tah
Raut wajah Diva menegang, kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran jahat, apa ada orang yang setega itu? Menghilangkan nyawa orang lain demi kekuasaan sesaat di dunia ini?“Lalu apa yang selanjutnya terjadi?” Diva bertanya dengan cepat.“Saat tiba di pelabuhan teman ayah yang lain mulai memberikan keterangan pada petugas, sedangkan ayah langsung pulang.”Keterangan Lukman membuat dahi Diva mengkerut, “Kalau begitu harusnya ayah sampai di rumah tidak lama, kan?”“Ya, tapi saat mau pulang, motor yang ayah bawa bannya kempes jadi harus cari tukang tambal ban, HP yang ayah bawa juga batrenya habis jadi tidak bisa menghubungi ibumu.” “Okay itu masalah kita, tentang Elvan, bagaimana keadaan Elvan setelah itu?” tanya Diva lagi.“Itu … ayah tidak tahu lagi tentang pria itu setelah dia dibawa oleh tim penyelamat dan beberapa teman ayah menggunakan ambulan.”“Apa ayah tidak cerita dengan teman-teman ayah yang saat itu bersama ayah tentang berlanjutnya cerita pria asing yang kalian selamatkan itu?
Mendengar hal itu otak Diva langsung berpikir kalau sebenarnya Elvan sedang merencanakannya dalam diam! Pria itu benar-benar di luar perhitungan. Diva lalu tersenyum sambil membuka paper bagnya, bangga dengan pria itu, ternyata dia sangat dimanjakan oleh Elvan, tahu begini dia tidak perlu repot-repot untuk menyusun banyak plan a, b c, sampai z.“Aih, sekarang senyum-senyum kemarin masam-masam, kalo udah seneng gini biasanya lupa sama adik sendiri.” Prisya berkata pada Diva dengan nada mengayun.“Namanya juga jatuh cinta, Pris,” goda Lukman pada anaknya.“Apaan sih berisik banget, entar didenger ibu sama si paman bule lagi!” Diva berkata dengan melihat ke arah luar.“Ada-ada saja kalian ini, biarkan mereka melepas rindu dulu. Mau tau yang mereka bicarakan tadi?” Lukman berkata dengan penuh misteri.“Apa?!” sahut keduanya bersamaan.“Shhh!” Lukman menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. “Jangan berisik, nanti Danish bangun mau sama ibu kalian kan repot.”“Ya ayah sih, sok-sok-an bikin
Diva benar-benar tidak menyangka kalau ayahnya berkata demikian setelah dukungan penuh dia terima.“Apa menurut ayah Diva akan mundur?” tanya Diva membalas tatapan tajam ayahnya.Lukman menundukkan kepalanya dan tersenyum. “Sepertinya tidak mungkin.”“Kalau ayah tahu jawabannya kenapa ayah masih bertanya?” “Ayah harus memastikan sekali lagi, kalau pernikahan itu lebih baik sekali seumur hidup Diva, dan ayah tidak mau kamu menyerah atas apa yang kamu pilih.”“Tapi … kalau melihat aku kesakitan dan bertahan dengan pilihanku, ayah pasti akan melakukan sesuatu agar aku tidak sakit lagi kan? Seperti yang akan ayah lakukan pada Kak Clarissa?” Ucapan Diva membuat Lukman tertegun.“Apa artinya kalau terjadi hal yang buruk ayah akan menyuruhku untuk bercerai saja dari Elvan?” tanya Diva lagi.“Seperti yang akan ayah lakukan pada pernikahan Kak Clarissa?” Kalimat Diva ini lebih seperti sebuah pernyataan bukan pertanyaan.“Pernikahan itu adalah hal yang sakral, karena itu ayah harus memastikan b