Winda malah milih jadi musuh, salah banget kan tuh!? bacaan santai sore menjelang malam, ntar tengah malam lagi.. masih di ovem soalnya.. 🥰🥰🥰 sayang kalian banyak2... jangan lupa dukungan buat eldiv yes! heheheh 😘😘😘
Diva kembali lagi ke meja mereka dengan membawa minuman dan beberapa kue pastri coklat sambil bersenandung.“Ih, bahagia banget Kak?” Prisya berkata dengan memperhatikan wajah Diva yang saat ini terlihat memancarkan aura bahagia.“Tentunya! Sekarang kita harus bahagia dulu, sebelum nanti mikir yang berat-berat bareng Elvan!” Diva tersenyum merekah lalu menyuapkan kue itu ke dalam mulutnya.Prisya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Diva yang cepat sekali berubah-ubah, dari mendung ke cerah atau sebaliknya."Iya deh, terserah kakak saja." Prisya kembali menyandarkan dirinya ke kursi dan menatap ke arah luar.“Eh Kak," ucap Prisya secara tiba-tiba. "Sebenernya apa kakak yakin temen kakak itu bisa dipercaya?” tanya Prisya sebelum Reni datang lagi.Diva diam lalu menarik napas dalam sebelum akhirnya menjawab, “Sebenernya di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya, Pris,""Nah terus kenapa kakak ....""Tapi … setidaknya dia bukan orang munafik yang menampakkan kebaikan h
“Kenapa kamu diam?” tanya Diva saat melihat Prisya yang tidak memberikan respon apapun terhadap pembicaraannya, padahal adiknya itu paling aktif kalau memberikan balasan dari kalimat-kalimat yang dia keluarkan. “Aku hanya berpikir kalau kakak memang wanita super! Seperti si Reni bilang kakak wanita yang luar biasa, sampai aku tidak bisa berkata-kata.” Prisya berkata jujur. “Mudah-mudahan dia tidak merasa dimanfaatkan oleh Kakak saja,” lanjut Prisya lagi. Diva tertawa mendengarnya. “Tapi Kak, kalau tiba-tiba dia ditawari uang banyak sama orang lain dan harus–” “Sssstt!” Diva menghentikan ucapan Prisya dengan meletakkan telunjuknya di depan bibir Prisya. “Adikku sayang, memang orang itu bermacam-macam, kalau nanti dia menerima tawaran orang lain untuk mengkhianati L Tekno, maka dia siap-siap saja kalau dia akan hidup dengan tidak tenang. Kakak rasa dia akan berpikir panjang dalam hal ini,” ucap Diva tenang. “Kakak memang kakakku yang luar biasa! Baiklah, aku percayakan saja sama K
Belum sempat Prisya melakukan protes besar-besaran pada kakaknya, Diva sudah melambaikan tangan kembali ke arah pintu masuk kafe sambil tersenyum lebar melihat kehadiran Reni kembali. “Kita sambung lagi ini nanti, okay!” ucap Diva dan direspon Prisya dengan memutar bola mata malasnya. “Diva, apa kamu benar-benar mengatakan pada Miko kalau akan mengusulkan kenaikan gajiku dan juga tambahan bonus?” Reni berkata tiba-tiba saat dia sudah sampai di meja Diva. Diva diam sejenak lalu tersenyum dan mengangguk. Reni terlihat tersenyum lebar dan matanya berkaca-kaca. “Ya ampun Diva! Terima kasih banyak, Div, terima kasih!” Reni lalu memeluk Diva dengan erat, Diva merasakan kebahagiaan rekannya itu, Diva tahu hal ini sangat membuatnya terbantu. “Diva, kamu bener-bener luar biasa! Aku … aku bahagia banget, Div! Diva tolong katakan ini bukan mimpi!” Reni kembali berkata dengan penuh suka cita. “No, ini bukan mimpi, mudah-mudahan Elvan nanti menyetujuinya.” Diva berkata dengan tenang.
“Mik, malam ini aku tinggal dulu, ya!” Elvan berkata pada Miko yang masih sibuk dengan laptopnya di ruang kerja Elvan. Miko segera menghentikan kegiatannya dan melihat ke arah Elvan. “Mau kemana? Bertemu dengan Diva?” tebak Miko. “Menurutmu, apa ada orang lain lagi?” Elvan berdiri dari kursinya dan membenarkan pakaiannya. Miko tidak bisa berkata-kata melihat tingkah Elvan yang sangat tidak masuk akal ini, pergi disaat-saat penting, dimana program yang sedang mereka perbaiki harus ditinggal oleh Elvan. “Tidak perlu protes, Mik! Aku tahu kamu bisa mengerjakannya. Aku harus mengurus hal yang lebih besar lagi, kamu … kerja yang benar, ya!” Setelah mengatakan hal itu, Elvan meninggalkan Miko dengan menambah beban pekerjaannya itu. *** Sementara itu di parkiran salah satu bank tempat dimana Diva memanfaatkan fasilitas dari Elvan ini Prisya tampak sangat syok. “Kakak! Apa kakak gila?!” Prisya setengah berteriak saat Diva memperlihatkan bukti transfer yang ditunjukkan oleh Div
Pria yang kini sedang menahan tubuh Diva itu sekarang tersenyum, tanpa sadar hal ini membuat Diva terdiam setelah meneriakkan namanya, entah kenapa kejadian ini sangat dramatis menurut Diva, ditambah lagi sinar dari lampu ponselnya itu sedikit mengarah ke wajah Elvan yang membuatnya terlihat sangat tampan di mata wanita itu.Garis wajahnya yang tegas, mata hitam pekatnya, tatanan rambutnya yang menurut Diva hari ini sedikit berbeda lalu, wangi tubuhnya. Ah … semuanya membuatnya benar-benar terhanyut akan pikirannya tentang pria itu. Apa mungkin dia adalah dewa yang menjelma menjadi manusia atau titisan dewa seperti film fantasi yang sering ditontonnya? Karena bagi Diva saat ini, Elvan dari sisi manapun tetap terlihat begitu mempesona.Aura dominannya memancarkan kesan seksi di mata Diva. ‘Ya Tuhan … pria ini … apa benar-benar milikku?’ Diva berkata dalam hati.“Mau berencana sampai kapan seperti ini, hehm? Apa sebenarnya kamu sengaja ingin kugendong saja?” Elvan berkata dengan senyum m
Diva kembali ingin meninggikan suaranya, tetapi Elvan dengan cepat menghilang ke dalam tempat itu.Kalau diingat lagi di dalam sana memang tempat pertama kali mereka bertemu, saat itu sangat memalukan! Elvan sedang melakukan ritualnya dan disela oleh dirinya yang sedang dikejar-kejar oleh orang suruhan Farha.Namun, setelah wajahnya kesal, Diva jadi tersenyum sendiri saat mengingatnya, dia juga tidak menyangka kalau orang itu adalah orang yang punya pengaruh besar, andai saja dia bukan Elvan, entah apa yang akan terjadi selanjutnya, apa dia juga akan jatuh cinta pada orang itu, atau malah ….Ah, Diva tidak ingin memikirkan hal yang sudah berlalu dengan berandai-andai, apalagi hal yang dipikirkan adalah hal yang kurang baik.“Tidak-tidak, yang terjadi memang sudah takdir,” gumam Diva. Dengan sedikit bosan menunggu Elvan di luar. Wanita itu lalu melihat ke pergelangan tangannya cukup lama Elvan di dalam, ‘Apa jangan-jangan dia sedang ….”Malas memikirkannya dan juga Diva melihat kanan d
Elvan tersenyum lebar melihat Diva yang bengong mendengar kata-katanya barusan.“Kenapa? Apa kamu mau berubah pikiran, hehm? Ingat Diva, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku sudah membuat perjanjian dengan Ayahmu.” Elvan berkata dengan penuh misteri membuat Diva mengerutkan keningnya.“Maksudmu apa?”“Ayo ikut aku!” Elvan tidak lagi menarik tangan Diva. Diva melihat punggung pria itu dari belakang yang mulai berjalan menjauh.“Van! Kamu benar-benar mau kita masuk ke dalam kamarnya?” Diva bertanya dari tempatnya semula, dia tidak mengikuti Elvan. Mendengar hal itu, Elvan kembali memutar tubuhnya dan melihat ke arah Diva dengan menghela napas dalam, dia lalu berjalan mendekatinya lagi.“Apa aku benar-benar menakutkan?” tanya pada Diva dengan wajah yang serius.“Itu … Aku … bukan bermaksud untuk menyinggungmu, hanya saja ….” Diva tahu kekerasan hatinya ini membuat Elvan pasti merasa sangat kesal, karena terlihat wajah Elvan mulai terlihat bertekuk.“Diva aku bukan pria mesum sepe
Diva langsung melihat ke arah Elvan yang baru saja berbisik di belakang telinganya, dia mencoba untuk cepat menghubungkan semuanya, tetapi entah kenapa malam ini rasanya kepalanya seolah mau pecah. “Bagaimana bisa kalian ….” Diva menunjuk ke arah Elvan dan ayahnya secara bergantian lalu melihat ke arah pria itu dengan tatapan tanya. “Si-siapa dia?” tanya Diva yang dia juga tidak terlalu peduli diajukan pada Elvan atau ayahnya, toh mereka berdua sepertinya sudah tahu tentang hal ini. “Sini, Nak,” panggil Lukman menyuruh Diva mendekatinya. Diva segera berjalan ke arah ayahnya dan berdiri di sampingnya yang sedang duduk. “Kenalkan ini Isaac Wennink, pamanmu,” kenal Lukman padanya, membuat mata Diva membesar. "Hai, Diva!" Pria dengan mata bewarna karamel itu melambaikan tangannya dan tersenyum lebar. Diva masih diam, dia masih terpaku dengan apa yang dia lihat, lau dia juga mengangkat tangannya membalas salam pria itu. Tempat mereka sediki jauh kalau untuk berjabat tangan. Diva mel
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk