Hehm ... Restu udah ada Div, kamu aja yang belum tahu... wkwkwkwk!
Elvan tersenyum lebar melihat Diva yang bengong mendengar kata-katanya barusan.“Kenapa? Apa kamu mau berubah pikiran, hehm? Ingat Diva, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku sudah membuat perjanjian dengan Ayahmu.” Elvan berkata dengan penuh misteri membuat Diva mengerutkan keningnya.“Maksudmu apa?”“Ayo ikut aku!” Elvan tidak lagi menarik tangan Diva. Diva melihat punggung pria itu dari belakang yang mulai berjalan menjauh.“Van! Kamu benar-benar mau kita masuk ke dalam kamarnya?” Diva bertanya dari tempatnya semula, dia tidak mengikuti Elvan. Mendengar hal itu, Elvan kembali memutar tubuhnya dan melihat ke arah Diva dengan menghela napas dalam, dia lalu berjalan mendekatinya lagi.“Apa aku benar-benar menakutkan?” tanya pada Diva dengan wajah yang serius.“Itu … Aku … bukan bermaksud untuk menyinggungmu, hanya saja ….” Diva tahu kekerasan hatinya ini membuat Elvan pasti merasa sangat kesal, karena terlihat wajah Elvan mulai terlihat bertekuk.“Diva aku bukan pria mesum sepe
Diva langsung melihat ke arah Elvan yang baru saja berbisik di belakang telinganya, dia mencoba untuk cepat menghubungkan semuanya, tetapi entah kenapa malam ini rasanya kepalanya seolah mau pecah. “Bagaimana bisa kalian ….” Diva menunjuk ke arah Elvan dan ayahnya secara bergantian lalu melihat ke arah pria itu dengan tatapan tanya. “Si-siapa dia?” tanya Diva yang dia juga tidak terlalu peduli diajukan pada Elvan atau ayahnya, toh mereka berdua sepertinya sudah tahu tentang hal ini. “Sini, Nak,” panggil Lukman menyuruh Diva mendekatinya. Diva segera berjalan ke arah ayahnya dan berdiri di sampingnya yang sedang duduk. “Kenalkan ini Isaac Wennink, pamanmu,” kenal Lukman padanya, membuat mata Diva membesar. "Hai, Diva!" Pria dengan mata bewarna karamel itu melambaikan tangannya dan tersenyum lebar. Diva masih diam, dia masih terpaku dengan apa yang dia lihat, lau dia juga mengangkat tangannya membalas salam pria itu. Tempat mereka sediki jauh kalau untuk berjabat tangan. Diva mel
Hal ini membuat Diva benar-benar tidak menyangka, matanya yang melebar serta mulutnya yang ternganga memperjelas kalau saat ini dia sedang sangat terkejut. “Sejak kapan?” Diva bertanya dengan suara rendah dan dengan kerongkongan yang cukup terasa kering. “Sejak dimana dia datang ke rumah kita.” “Tapi kenapa ayah bilang jangan berhubungan dulu dengan Elvan dan kenapa juga Diva tidak bisa menghubunginya? Apa kalian sedang mempermainkan Diva?” Diva benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang sebenarnya orang-orang ini rencanakan, karena semuanya berada di luar pikirannya dan sangat tidak masuk akal. “Diva, sebenarnya Elvan itu ….” Lukman menceritakan secara perlahan masalah yang sedang dihadapi oleh Elvan, terutama tentang kendala dalam hal perusahaannya itu. Hal ini membuat Diva sangat terkejut. Mendengar penjelasannya tentang Elvan membuat Diva membenarkan pikirannya sendiri kalau ternyata memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Elvan saat ini padanya. “Kenapa tida
Tidak perlu ditanya sebahagia apa rasanya Diva saat ini, yang jelas rasa itu membuncah hebat sampai membuatnya lupa tujuan awal dia ada di sini untuk mempertanyakan banyak hal dengan Elvan. Rencana yang disusun kembali gagal.Diva lalu melihat ke arah Elvan dan juga Isaac yang sedang berbicara dengan raut serius di sana, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada sang Ayah.“Ayah sudah mengatakan hal ini juga dengan Elvan?” tanya Diva.“Ya tentu saja, dan dia akan datang ke rumah kita membawa keluarganya setelah acara ulang tahun perusahaan itu, mungkin akhir pekan ini.” Lukman ternyum melihat ke arah Diva.“Terima kasih, Yah!" Taman bunga seolah bermekaran di hati Diva.“Lalu, sekarang bisa ayah jelaskan tentang hubungan ayah dan juga keluarga Ibu? Karena … Diva tidak menemukan apapun berita tentang Isabelle Wennink.” Diva berkata pada ayahnya dengan terus terang.“Kamu sudah mengetahuinya?” Lukman mengerutkan keningnya.“Ya, tentu saja, apa ayah tidak kenal dengan anak sendiri yang r
Diva benar-benar merasakan kebahagiaan tiada tara saat ini, dia merasa kalau sekarang sudah waktunya semesta mendukung hubungan mereka! Siapa yang menyangka kalau dirinya seberuntung ini?! Elvan merangkul Diva sepanjang perjalanan turun ke bawah, mereka tidak berkata apapun, sibuk dengan perasaan masing-masing. Yang perlu digaris bawahi oleh Diva adalah dia gagal dengan rencananya lagi! Seolah semua sudah terjawab begitu saja, walaupun ada hal yang harus dipastikan ulang, tetapi tidak diperlukan lagi sekarang ini. Mereka sudah tiba di lobi hotel, Elvan membawa Diva ke salah satu sofa yang cukup besar yang berada di pojok. “Kamu duduklah dulu, aku mau–” “Jangan kemana-mana, tetap di sini saja.” Diva menahan Elvan menjauh darinya. Elvan diam dan melihat ke arah Diva. “Kenapa kamu liatin aku begitu?” tanya Diva karena merasa terganggu dengan Elvan yang menatapnya tajam. “Aku mau ke sana, mau meminta minuman untukmu ke petugas–” “Sudah jangan jauh-jauh, di sini saja, aku ti
Diva tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, karena kalau demikian yang dijelaskan Elvan, bukan tidak mungkin kalau pria ini juga ada alasan untuk mendekati dan menikahinya. Apa dirinya hanya alat yang digunakan Elvan untuk menaikkan keluarga Wongso agar lebih tinggi lagi? Bukan tanpa alasan pikiran itu langsung terlintas di benak Diva, apalagi Diva sudah membaca tentang rilis keluarga terkaya di dunia dan Keluarga Wennink salah satunya. “Van, apa kamu ….” “Katakan dengan jelas Diva,” ucap Elvan dengan suara tenang, membuat Diva makin overthinking! Berperasaan yang tidak-tidak dan suasana hatinya menjadi kelabu. “Apa kamu mendekatiku juga untuk menaikkan reputasi keluargamu?” Diva berkata dengan getaran suara yang menahan sesuatu yang cukup hebat dalam hatinya. Elvan tersenyum saat Diva mengatakan hal itu, membuat Diva makin membenarkan pikirannya. “Diva, pakai hatimu, apa aku terlihat segila itu? Apa kamu pikir keluargaku tidak tulus?” pertanyaan itu dilontarkan ole
Demi apapun pernyataan Elvan barusan membuat Diva benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tidak dibuang keluarga tapi masih diawasi? Ah, lelucon macam apa ini? Kenapa hidup harus sesulit ini? “Kalau mereka mengawasi kenapa mereka tidak membuat orang-orang itu menerima akibatnya dengan cepat? Misalnya membuat si brengsek Anggala itu masuk ke bui lebih cepat.” Diva berkata dengan sangat kesal. “Itu karena ibumu tidak mau mereka mencampuri hal seperti ini, karena kalau sampai hal semacam ini diketahui oleh orang lain, maka keluarga Wennink akan menjadi sorotan dan tentunya masalah kecelakaan helikopter itu akan terbuka kembali. Ini jelas akan membuat keluarga Wennink dalam masalah besar dan juga kehidupan damai kalian akan terancam.” Elvan berkata dengan nada yang penuh penekanan. Mendengar hal ini rasanya kepala Diva benar-benar sangat pusing, dia beberapa kali menghela napas. “Sudah kukatakan, kamu perlu minuman untuk mendengar hal ini agar bisa menyegarkan sedikit tubuhmu karena mener
Diva benar-benar merasa kalau dirinya saat ini tidak ada keteraturan dalam hidup, entah kenapa sejak bertemu dengan pria ini, semua yang dibuatnya menjadi tidak bisa berjalan sesuai seperti yang dijadwalkannya. “Jalan yang pelan Diva, santai saja,” pesan Elvan pada Diva yang saat ini melangkah mendahuluinya. Diva menghentikan langkah. Dia lalu memutar tubuhnya dan menatap Elvan dengan merengut. “Ini kan gara-gara kamu yang gak bilang sama aku kalo mereka sudah tiba.” “Loh, memangnya kamu ada kasih tahu ke aku kalo ngikutin kamu keluar itu tujuannya menjemput mereka?” Elvan merespon ucapan Diva itu. Diva diam, sebenarnya tidak ada yang salah juga pada Elvan, karena saat dia keluar memang tidak mengatakan pada Elvan kalau untuk menjemput ibunya. “Kenapa diam? Ah … menyadari kesalahan sendiri, ya?” Elvan tersenyum pada Diva lalu mendekatinya. “Harusnya kalau salah minta maaf dong.” Elvan menggoda Diva, wanita itu hanya diam. “Wah, benar-benar tidak mau mengakui kesalahan da