Sorry kelamaan, mudah2an bisa mengobati rasa kangen sama Elvan ya!
Hal ini membuat Diva benar-benar tidak menyangka, matanya yang melebar serta mulutnya yang ternganga memperjelas kalau saat ini dia sedang sangat terkejut. “Sejak kapan?” Diva bertanya dengan suara rendah dan dengan kerongkongan yang cukup terasa kering. “Sejak dimana dia datang ke rumah kita.” “Tapi kenapa ayah bilang jangan berhubungan dulu dengan Elvan dan kenapa juga Diva tidak bisa menghubunginya? Apa kalian sedang mempermainkan Diva?” Diva benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang sebenarnya orang-orang ini rencanakan, karena semuanya berada di luar pikirannya dan sangat tidak masuk akal. “Diva, sebenarnya Elvan itu ….” Lukman menceritakan secara perlahan masalah yang sedang dihadapi oleh Elvan, terutama tentang kendala dalam hal perusahaannya itu. Hal ini membuat Diva sangat terkejut. Mendengar penjelasannya tentang Elvan membuat Diva membenarkan pikirannya sendiri kalau ternyata memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Elvan saat ini padanya. “Kenapa tida
Tidak perlu ditanya sebahagia apa rasanya Diva saat ini, yang jelas rasa itu membuncah hebat sampai membuatnya lupa tujuan awal dia ada di sini untuk mempertanyakan banyak hal dengan Elvan. Rencana yang disusun kembali gagal.Diva lalu melihat ke arah Elvan dan juga Isaac yang sedang berbicara dengan raut serius di sana, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada sang Ayah.“Ayah sudah mengatakan hal ini juga dengan Elvan?” tanya Diva.“Ya tentu saja, dan dia akan datang ke rumah kita membawa keluarganya setelah acara ulang tahun perusahaan itu, mungkin akhir pekan ini.” Lukman ternyum melihat ke arah Diva.“Terima kasih, Yah!" Taman bunga seolah bermekaran di hati Diva.“Lalu, sekarang bisa ayah jelaskan tentang hubungan ayah dan juga keluarga Ibu? Karena … Diva tidak menemukan apapun berita tentang Isabelle Wennink.” Diva berkata pada ayahnya dengan terus terang.“Kamu sudah mengetahuinya?” Lukman mengerutkan keningnya.“Ya, tentu saja, apa ayah tidak kenal dengan anak sendiri yang r
Diva benar-benar merasakan kebahagiaan tiada tara saat ini, dia merasa kalau sekarang sudah waktunya semesta mendukung hubungan mereka! Siapa yang menyangka kalau dirinya seberuntung ini?! Elvan merangkul Diva sepanjang perjalanan turun ke bawah, mereka tidak berkata apapun, sibuk dengan perasaan masing-masing. Yang perlu digaris bawahi oleh Diva adalah dia gagal dengan rencananya lagi! Seolah semua sudah terjawab begitu saja, walaupun ada hal yang harus dipastikan ulang, tetapi tidak diperlukan lagi sekarang ini. Mereka sudah tiba di lobi hotel, Elvan membawa Diva ke salah satu sofa yang cukup besar yang berada di pojok. “Kamu duduklah dulu, aku mau–” “Jangan kemana-mana, tetap di sini saja.” Diva menahan Elvan menjauh darinya. Elvan diam dan melihat ke arah Diva. “Kenapa kamu liatin aku begitu?” tanya Diva karena merasa terganggu dengan Elvan yang menatapnya tajam. “Aku mau ke sana, mau meminta minuman untukmu ke petugas–” “Sudah jangan jauh-jauh, di sini saja, aku ti
Diva tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, karena kalau demikian yang dijelaskan Elvan, bukan tidak mungkin kalau pria ini juga ada alasan untuk mendekati dan menikahinya. Apa dirinya hanya alat yang digunakan Elvan untuk menaikkan keluarga Wongso agar lebih tinggi lagi? Bukan tanpa alasan pikiran itu langsung terlintas di benak Diva, apalagi Diva sudah membaca tentang rilis keluarga terkaya di dunia dan Keluarga Wennink salah satunya. “Van, apa kamu ….” “Katakan dengan jelas Diva,” ucap Elvan dengan suara tenang, membuat Diva makin overthinking! Berperasaan yang tidak-tidak dan suasana hatinya menjadi kelabu. “Apa kamu mendekatiku juga untuk menaikkan reputasi keluargamu?” Diva berkata dengan getaran suara yang menahan sesuatu yang cukup hebat dalam hatinya. Elvan tersenyum saat Diva mengatakan hal itu, membuat Diva makin membenarkan pikirannya. “Diva, pakai hatimu, apa aku terlihat segila itu? Apa kamu pikir keluargaku tidak tulus?” pertanyaan itu dilontarkan ole
Demi apapun pernyataan Elvan barusan membuat Diva benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tidak dibuang keluarga tapi masih diawasi? Ah, lelucon macam apa ini? Kenapa hidup harus sesulit ini? “Kalau mereka mengawasi kenapa mereka tidak membuat orang-orang itu menerima akibatnya dengan cepat? Misalnya membuat si brengsek Anggala itu masuk ke bui lebih cepat.” Diva berkata dengan sangat kesal. “Itu karena ibumu tidak mau mereka mencampuri hal seperti ini, karena kalau sampai hal semacam ini diketahui oleh orang lain, maka keluarga Wennink akan menjadi sorotan dan tentunya masalah kecelakaan helikopter itu akan terbuka kembali. Ini jelas akan membuat keluarga Wennink dalam masalah besar dan juga kehidupan damai kalian akan terancam.” Elvan berkata dengan nada yang penuh penekanan. Mendengar hal ini rasanya kepala Diva benar-benar sangat pusing, dia beberapa kali menghela napas. “Sudah kukatakan, kamu perlu minuman untuk mendengar hal ini agar bisa menyegarkan sedikit tubuhmu karena mener
Diva benar-benar merasa kalau dirinya saat ini tidak ada keteraturan dalam hidup, entah kenapa sejak bertemu dengan pria ini, semua yang dibuatnya menjadi tidak bisa berjalan sesuai seperti yang dijadwalkannya. “Jalan yang pelan Diva, santai saja,” pesan Elvan pada Diva yang saat ini melangkah mendahuluinya. Diva menghentikan langkah. Dia lalu memutar tubuhnya dan menatap Elvan dengan merengut. “Ini kan gara-gara kamu yang gak bilang sama aku kalo mereka sudah tiba.” “Loh, memangnya kamu ada kasih tahu ke aku kalo ngikutin kamu keluar itu tujuannya menjemput mereka?” Elvan merespon ucapan Diva itu. Diva diam, sebenarnya tidak ada yang salah juga pada Elvan, karena saat dia keluar memang tidak mengatakan pada Elvan kalau untuk menjemput ibunya. “Kenapa diam? Ah … menyadari kesalahan sendiri, ya?” Elvan tersenyum pada Diva lalu mendekatinya. “Harusnya kalau salah minta maaf dong.” Elvan menggoda Diva, wanita itu hanya diam. “Wah, benar-benar tidak mau mengakui kesalahan da
Sementara itu, sebelumnya di sebuah kamar hotel pertemuan haru sedang terjadi. “Aku tidak menyangka kalau benar-benar bisa melihatmu saat ini secara nyata, Isa!” Indah memeluk saudaranya ini dengan tangis haru saat mereka bertemu, sedangkan Prisya menggendong Danish yang sudah terlelap dan direngkuh oleh sang ayah menyaksikan keduanya yang sedang menuntaskan rindu. Lebih dari tiga dekade mereka tak bertemu, wajar sekali pertemuan ini sangat berarti untuk keduanya. Lukman mengajak Prisya ke tempat lain agar keduanya bisa bicara lebih leluasa. Prisya mengikuti langkah Lukman. “Dimana kakakmu?” tanya Lukman pada Prisya. Prisya hanya tersenyum mendengar pertanyaan ayahnya ini. “Apa dia dan Elvan tidak menyusulmu ke bawah?” Lukman mengerutkan keningnya. “Apa tujuan awal Kak Diva itu menyusul kami, Yah? Tapi sepertinya tidak begitu,” ucap Prisya sambil mengerutkan keningnya mengingat saat mereka bertiga sampai di lobi hotel. Memang saat itu keduanya berada di bagian pojok, teta
Hal ini jelas membuat Prisya terperanjat, dia tidak menyangka kalau ayahnya akan melakukan hal seperti ini. Dulu ayahnya hanya diam dan menahan semua perbuatan mereka. Bahkan saat ayah Dion itu mengatakan hal tidak pantas pada ayahnya dan keluarga mereka, dia hanya diam dan memendam, walau dalam hati Prisya tahu ayahnya sangat marah. Prisya lalu berusaha untuk tenang dan berpikir rasional. “Yah, tapi … bagaimana mungkin kita melakukannya?” Lukman hanya diam mendapati respon Prisya. “Walau bagaimana juga, anak-anak Kak Clarissa itu adalah cucu-cucu kesayangan keluarganya Sugara Jaya, bisa-bisa kita mendapat masalah besar kalau sampai–” “Tidak masalah, apapun yang terjadi, ayah akan tetap menjadi pelindung untuk putri-putri ayah.” Lukman berkata dengan tenang. Prisya diam sejenak dia berpikir dan akhirnya menebak apa yang sebenarnya terjadi. “Yah, ayah bicara begini apa karena keluarga kita sudah ada dukungan kuat dari keluarga ibu dan juga Kak Elvan?” tanya Prisya hati-hat
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk