Jangan baper, ntar kita update lagi... hehehe... jangan lupa tinggalkan dukungan untuk ceritanya, yes... hehehe... Vote kalian sangat berarti... heheheh ... 🥰🥰🥰😂😂
Diva benar-benar merasakan kebahagiaan tiada tara saat ini, dia merasa kalau sekarang sudah waktunya semesta mendukung hubungan mereka! Siapa yang menyangka kalau dirinya seberuntung ini?! Elvan merangkul Diva sepanjang perjalanan turun ke bawah, mereka tidak berkata apapun, sibuk dengan perasaan masing-masing. Yang perlu digaris bawahi oleh Diva adalah dia gagal dengan rencananya lagi! Seolah semua sudah terjawab begitu saja, walaupun ada hal yang harus dipastikan ulang, tetapi tidak diperlukan lagi sekarang ini. Mereka sudah tiba di lobi hotel, Elvan membawa Diva ke salah satu sofa yang cukup besar yang berada di pojok. “Kamu duduklah dulu, aku mau–” “Jangan kemana-mana, tetap di sini saja.” Diva menahan Elvan menjauh darinya. Elvan diam dan melihat ke arah Diva. “Kenapa kamu liatin aku begitu?” tanya Diva karena merasa terganggu dengan Elvan yang menatapnya tajam. “Aku mau ke sana, mau meminta minuman untukmu ke petugas–” “Sudah jangan jauh-jauh, di sini saja, aku ti
Diva tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, karena kalau demikian yang dijelaskan Elvan, bukan tidak mungkin kalau pria ini juga ada alasan untuk mendekati dan menikahinya. Apa dirinya hanya alat yang digunakan Elvan untuk menaikkan keluarga Wongso agar lebih tinggi lagi? Bukan tanpa alasan pikiran itu langsung terlintas di benak Diva, apalagi Diva sudah membaca tentang rilis keluarga terkaya di dunia dan Keluarga Wennink salah satunya. “Van, apa kamu ….” “Katakan dengan jelas Diva,” ucap Elvan dengan suara tenang, membuat Diva makin overthinking! Berperasaan yang tidak-tidak dan suasana hatinya menjadi kelabu. “Apa kamu mendekatiku juga untuk menaikkan reputasi keluargamu?” Diva berkata dengan getaran suara yang menahan sesuatu yang cukup hebat dalam hatinya. Elvan tersenyum saat Diva mengatakan hal itu, membuat Diva makin membenarkan pikirannya. “Diva, pakai hatimu, apa aku terlihat segila itu? Apa kamu pikir keluargaku tidak tulus?” pertanyaan itu dilontarkan ole
Demi apapun pernyataan Elvan barusan membuat Diva benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tidak dibuang keluarga tapi masih diawasi? Ah, lelucon macam apa ini? Kenapa hidup harus sesulit ini? “Kalau mereka mengawasi kenapa mereka tidak membuat orang-orang itu menerima akibatnya dengan cepat? Misalnya membuat si brengsek Anggala itu masuk ke bui lebih cepat.” Diva berkata dengan sangat kesal. “Itu karena ibumu tidak mau mereka mencampuri hal seperti ini, karena kalau sampai hal semacam ini diketahui oleh orang lain, maka keluarga Wennink akan menjadi sorotan dan tentunya masalah kecelakaan helikopter itu akan terbuka kembali. Ini jelas akan membuat keluarga Wennink dalam masalah besar dan juga kehidupan damai kalian akan terancam.” Elvan berkata dengan nada yang penuh penekanan. Mendengar hal ini rasanya kepala Diva benar-benar sangat pusing, dia beberapa kali menghela napas. “Sudah kukatakan, kamu perlu minuman untuk mendengar hal ini agar bisa menyegarkan sedikit tubuhmu karena mener
Diva benar-benar merasa kalau dirinya saat ini tidak ada keteraturan dalam hidup, entah kenapa sejak bertemu dengan pria ini, semua yang dibuatnya menjadi tidak bisa berjalan sesuai seperti yang dijadwalkannya. “Jalan yang pelan Diva, santai saja,” pesan Elvan pada Diva yang saat ini melangkah mendahuluinya. Diva menghentikan langkah. Dia lalu memutar tubuhnya dan menatap Elvan dengan merengut. “Ini kan gara-gara kamu yang gak bilang sama aku kalo mereka sudah tiba.” “Loh, memangnya kamu ada kasih tahu ke aku kalo ngikutin kamu keluar itu tujuannya menjemput mereka?” Elvan merespon ucapan Diva itu. Diva diam, sebenarnya tidak ada yang salah juga pada Elvan, karena saat dia keluar memang tidak mengatakan pada Elvan kalau untuk menjemput ibunya. “Kenapa diam? Ah … menyadari kesalahan sendiri, ya?” Elvan tersenyum pada Diva lalu mendekatinya. “Harusnya kalau salah minta maaf dong.” Elvan menggoda Diva, wanita itu hanya diam. “Wah, benar-benar tidak mau mengakui kesalahan da
Sementara itu, sebelumnya di sebuah kamar hotel pertemuan haru sedang terjadi. “Aku tidak menyangka kalau benar-benar bisa melihatmu saat ini secara nyata, Isa!” Indah memeluk saudaranya ini dengan tangis haru saat mereka bertemu, sedangkan Prisya menggendong Danish yang sudah terlelap dan direngkuh oleh sang ayah menyaksikan keduanya yang sedang menuntaskan rindu. Lebih dari tiga dekade mereka tak bertemu, wajar sekali pertemuan ini sangat berarti untuk keduanya. Lukman mengajak Prisya ke tempat lain agar keduanya bisa bicara lebih leluasa. Prisya mengikuti langkah Lukman. “Dimana kakakmu?” tanya Lukman pada Prisya. Prisya hanya tersenyum mendengar pertanyaan ayahnya ini. “Apa dia dan Elvan tidak menyusulmu ke bawah?” Lukman mengerutkan keningnya. “Apa tujuan awal Kak Diva itu menyusul kami, Yah? Tapi sepertinya tidak begitu,” ucap Prisya sambil mengerutkan keningnya mengingat saat mereka bertiga sampai di lobi hotel. Memang saat itu keduanya berada di bagian pojok, teta
Hal ini jelas membuat Prisya terperanjat, dia tidak menyangka kalau ayahnya akan melakukan hal seperti ini. Dulu ayahnya hanya diam dan menahan semua perbuatan mereka. Bahkan saat ayah Dion itu mengatakan hal tidak pantas pada ayahnya dan keluarga mereka, dia hanya diam dan memendam, walau dalam hati Prisya tahu ayahnya sangat marah. Prisya lalu berusaha untuk tenang dan berpikir rasional. “Yah, tapi … bagaimana mungkin kita melakukannya?” Lukman hanya diam mendapati respon Prisya. “Walau bagaimana juga, anak-anak Kak Clarissa itu adalah cucu-cucu kesayangan keluarganya Sugara Jaya, bisa-bisa kita mendapat masalah besar kalau sampai–” “Tidak masalah, apapun yang terjadi, ayah akan tetap menjadi pelindung untuk putri-putri ayah.” Lukman berkata dengan tenang. Prisya diam sejenak dia berpikir dan akhirnya menebak apa yang sebenarnya terjadi. “Yah, ayah bicara begini apa karena keluarga kita sudah ada dukungan kuat dari keluarga ibu dan juga Kak Elvan?” tanya Prisya hati-hat
Elvan tahu keduanya pasti sangat terkejut, tetapi dia tidak mau menanggapi lebih jauh, sebelum rasa penasaran mereka muncul lebih banyak Elvan segera berkata, “Sayang, aku pulang dulu.” Elvan mengusap kepala Diva sejenak lalu membelai singkat pipinya. Diva yang masih terkejut ini, tak bergeming menatap Elvan. “Titip salam buat Ibu, ya Yah, sepertinya dia masih bicara serius dengan Paman Isaac.” Elvan berkata pada Lukman, pria itu membalas dengan anggukan singkat dan tersenyum. Elvan melangkah ke arah pintu, Diva segera mengiringi langkahnya dengan cepat di belakang. Sampai di depan pintu kamar itu, Diva tidak tahan untuk tidak bertanya. “Kamu … sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan ayah?” tanya Diva penasaran. “Sepertinya kamu tanya ayahmu saja,” jawab Elvan dengan memamerkan senyumnya. “Ck! sok ganteng kamu!" Diva kembali berdecak kesal. "Terserah mau sok ganteng atau memang ganteng beneran yang penting kamu mau sama aku!" Elvan menggoda Diva. "Elv~!" belum sem
Ucapan Lukman jelas membuat Diva dan Prisya tidak bisa berkata-kata untuk sesaat, terutama Diva yang saat ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, raut wajahnya benar-benar terlihat menegang. Diva merasakan tenggorokannya sangat serat dia berusaha mengatakan sesuatu pada ayahnya, “Ja-jadi maksud ayah dia ….” “Apa Elvan sudah menceritakannya padamu tentang kecelakaannya itu? Tentang yang membuatnya trauma pada laut?” tanya Lukman dengan suara tenangnya. Diva menggeleng, Elvan memang belum memberitahunya secara langsung, tapi dia tahu dari Dokter Reynand tentang masalah ini, kemarin sempat dia ingin bertanya tapi … lagi-lagi dia lupa karena kebersamaan dengan Elvan rasanya sayang kalau dipakai untuk memikirkan hal yang berat. Baru saja dia ingin bertanya langsung, dia malah tidak bisa menghubungi pria itu lagi. Rasanya dia menyesal sekarang, karena penyakit lupanya sering kambuh saat terpesona oleh aura dominan milik pria itu. “Apa ayah bisa ceritakan semuanya? Yang Diva tah