Diva terdiam saat Prisya mengatakan hal itu, tidak ada yang salah sebenarnya. Akan tetapi, menghalanginya untuk mendampingi Elvan saat menghadapi ayahnya ini juga rasanya tidak pantas dengan semua yang sudah diberikan Elvan padanya. “Iya kakak tahu latar belakangnya, tapi apa kamu tahu, dia itu ayah kita! Dia tidak peduli dengan latar belakang yang mereka punya dan ucapan ayah itu seringkali terdengar tajam dan membuat–”“Kak, kakak sepertinya masih tidak yakin dengan kemampuan Kak Elvan, ya?” Prisya melihat ke arah Diva dengan tatapan tajam. “Kita lihat dulu, biarkan Kak Elvan berjuang untuk kakak, kali ini, aku di pihak ayah.” Prisya berkata dengan santai pada Diva.“Mending, kakak sekarang duduk tenang di sini. Kakak bisa keluar 15 menit lagi, kecuali kalau kakak ….” Prisya menggantung kalimatnya, melihat ke arah Diva yang saat ini memperlihatkan wajah khawatir.Diva malas untuk meresponnya dan memilih mengalihkan pandangnya.“Kecuali kalau kakak beranggapan dia akan mundur setel
Diva yang penuh dengan kekecewaan dalam hatinya itu lalu membalikkan badannya dan hendak kembali masuk ke kamarnya, dia yang sudah diliputi rasa sedih dan juga air mata yang menghalangi pandangannya kabur tiba-tiba menabrak seseorang.“Arrgh!” Suara yang ditangkap oleh gendang telinga Diva itu membuatnya terkejut. Jelas suara ini sangat dia kenal.“Elvan?” Diva berkata dengan tidak percaya, dengan cepat dia menghapus air matanya secara asal, mencoba menghilangkan pandangan buram yang ditangkap oleh indra penglihatannya, memastikan sekali lagi kalau Elvan ini bukan sekedar bayangan atau hologram yang hanya melintas di kepalanya saja.Pria itu kini berada di hadapannya dengan memegang dadanya yang ditabrak keras oleh Diva, barusan.“Untung saja tidak di sini,” ucap Elvan pada Diva sambil menunjukkan ke bagian perutnya sambil tersenyum.“Kamu di sini?” tanya Diva meyakinkan kalau dia sedang tidak salah melihat, dia juga beberapa kali mengerjapkan matanya tak percaya.Elvan melihat Diva y
Mendengar ucapan Elvan ini tidak serta merta menenangkan hati Diva, wanita itu malah merasa makin cemas, karena Elvan berkata seolah semuanya ini sedang tidak berjalan dengan lancar.Lukman yang sudah berada kembali di sebelah istrinya ini, mempersilakan Diva dan Elvan untuk duduk di seberang kursi mereka.“Sudah selesai menangisnya?” tanya Lukman yang jelas itu tertuju untuk putrinya dengan nada datar.Diva diam, dia tidak menyahut ucapan ayahnya, dia menghela napas berat lalu menundukkan pandangannya, dia sudah salah sangka dengan ayahnya.“Elvan, kamu sudah lihat sendiri, kan? Anak ini, bukan orang yang mudah, dia sangat tidak sabaran dan selalu berpikir sesuai dengan apa yang ada di dalam kepalanya saja. Dia sangat merepotkan dan selalu salah paham. Dia yang seperti ini sampai kapan kamu bisa memakluminya dan juga bisa menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman?” Pertanyaan Lukman ini membuat Diva membelalakkan matanya.Diva tidak mengerti kenapa ayahnya seolah menjatuhkan harga di
Diva mengerutkan keningnya saat Elvan mengatakan hal tersebut, bukan tanpa dasar Diva seperti itu, melainkan Diva melihat jelas penelpon tersebut adalah Hartono Wongso, kakek Elvan. Diva ingin melayangkan protesnya pada Elvan tapi pria itu melihat ke arahnya seolah memberikan peringatan dan membuat Diva terpaksa kembali mengunci mulutnya.Pop up pesan muncul di handphone yang dipegang oleh Elvan dan Diva berhasil mengintipnya, sehingga dia tidak bisa menahan untuk tidak bicara pada ayahnya. Dia tidak tahan melihat Elvan yang ditekan oleh ayahnya seperti sekarang ini.'Ayah benar-benar keterlaluan, Aku tidak bisa membiarkan Elvan seperti ini,' batin Diva.“Ayah, Elvan sekarang ini pasti ada pertemuan penting, tolong ayah mengerti.” Diva sudah tidak peduli lagi dengan peringatan yang diberikan oleh Elvan padanya.“Apa begitu?” Lukman melihat ke arah Elvan mempertanyakan kebenarannya.“Tidak Om, sudah saya katakan tadi, kalau Diva jauh lebih penting.” Suara Elvan terdengar tegas.Diva me
Diva yang mendapati hal tersebut benar-benar dibuat takjub oleh Elvan, entah apa yang ada dalam hatinya saat ini, yang jelas rasanya sudah campur aduk menjadi satu!“Apa kamu bilang? Rapat darurat apanya? Apa ada hal yang penting lagi selain saat ini?!” Intonasi Hartono yang meninggi ini masih membuat Elvan tenang.“Tentu saja ada, selama ini bukannya aku selalu mementingkan perusahaan kita diatas kepentingan pribadiku? Tunggu saja, aku akan kembali ke kantor secepatnya, Kek.” Tanpa menunggu jawaban, Elvan memutus sambungan teleponnya.“Van, apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu lakukan?!” Diva berkata dengan nada tak percaya karena Elvan masih terlihat sesantai itu dan sempat-sempatnya menggoda dirinya saat bicara dengan kakeknya sendiri. Apa pria ini sudah hilang akal?“Tentu saja dengan kesadaran penuh, menurutmu apa aku sedang mabuk, hehm?” Elvan tersenyum melihat ke arah Diva.Baru saja Diva ingin bertanya pada Elvan kembali ponselnya menyala, Elvan memberi isyarat untuk
Penuh kehati-hatian juga sangat jelas Elvan mengatakannya, Diva mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyadari dia benar-benar bertindak salah. Dia sempat lupa kalau pria ini memang punya karismatik tersendiri, yang seharusnya tidak perlu khawatir berlebihan kalau Elvan bisa meluluhkan orang tuanya.‘Ah, Diva kamu bodoh sekali!’ rutuk Diva dalam hati, harusnya dia menyadari hal ini. Bukankah sejak pertama kali bertemu terlihat sekali aura dominan mematikan milik pria ini?‘Diva sepertinya otakmu kekurangan memori!’ Diva kembali berkata dalam hati.“Hei, kenapa diam? Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” tanya Elvan dengan suara lembutnya.Diva menggeleng dengan perlahan, “Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan,” ungkap wanita itu pada Elvan dengan jujur, wajahnya menampakkan kesungguhan.“Kalau begitu, tanyakan saja.” Elvan tersenyum menatap Diva yang melihatnya seolah pandangannya kosong.“Aku … aku tidak tahu mau tanya mulai darimana tapi … tapi apa boleh aku meminta satu hal
Setelah kepulangan Elvan, Diva hanya berdiam di dalam kamarnya, sekarang dia juga tidak tahu apa dia harus senang atau sedih dengan kejadian yang baru saja dilewatinya. Sang ayah juga belum memanggilnya kembali. Sikap ayahnya yang masih ambigu ini terus membuat tanya untuk Diva. ‘Sebenarnya ayah setuju gak sih?' tanya Diva pada dirinya sendiri sambil menatap pantulan wajahnya di depan cermin, baru kali ini dia melihat ayahnya terkesan kurang tegas memperlihatkan sikapnya untuk menerima atau menolak. Walaupun sebenarnya Diva sangat berharap ayahnya bisa menerimanya Elvan sesegera mungkin. 'Ibu juga sepertinya tidak terlihat welcome dengan Elvan, apa yang salah sebenarnya?' gumam Diva lagi. Saat sedang mempertanyakan hal barusan, Indah masuk ke kamar Diva dan duduk di tepi ranjang, belum bicara sepatah kata pun, dia hanya melihat Diva dengan tatapan yang sulit diartikan dengan jelas. Tingkah ini jelas mengundang tanda tanya besar dalam kepala Diva. 'Apa jangan-jangan Ibu ingin bicar
Ucapan Indah barusan membuat Diva makin memperdalam kerutan yang ada di keningnya, dia tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya ini. “Bu, kenapa ibu bicara seperti itu?” Diva berkata dengan suara tercekat, dia kurang suka saat ibunya mengatakan hal yang buruk tentang Elvan, apalagi konotasinya terdengar sangat negatif di telinga Diva. “Diva, keluarga kita tidak perlu dikasihani, Ayah dan Ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anak-anak kami, jadi jangan membuat dirimu terjebak dengan perasaanmu yang harus membalas budi pada orang lain.” Kalimat yang terlontar dari mulut Indah ini, jelas tidak bisa diterima oleh Diva. "Diva harus membalas budi bagaimana maksud Ibu? Bu, Elvan itu, tidak selicik yang Ibu kira, dia sangat baik memperlakukan Diva. Diva tahu mana yang tulus dan tidak–” “Kamu tahu mana yang tulus dan tidak?” potong Indah cepat membuat Diva harus menahan kembali kata-katanya. “Bukannya kemarin juga kamu pernah merengek hal yang sama dengan ayah s
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk