Malam minggu gini enaknya jalan-jalan keluar kemana hayoooo .... sambil nungguin Elvan apa ada yang makin penasaran? hehehe...
Setelah mendapatkan telepon dari ayah Diva, Elvan sejenak memijat pelipisnya. Dia memang banyak pekerjaan saat ini, tetapi sesaat sebelum Elvan menghubungi Lukman kembali, Diva sepertinya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja tatkala menghubunginya, hal ini yang membuatnya menjadi tidak tenang. Apalagi wanita itu sekarang masih ada di rumah. “Apa dia sedang dimarahi oleh ayahnya ya?” Elvan bertanya pada dirinya sendiri, karena selama ini Diva selalu menampakkan wajah yang sedikit takut kalau sampai Elvan akan ke rumahnya, lalu pesan yang dikirimkan oleh Diva padanya semalam membuat Elvan menarik kesimpulan kalau Diva memang dalam masalah di rumahnya sekarang. Bayangan akan ayahnya yang memarahi Diva itu terpikir begitu saja di benak Elvan. Tidak ingin membuang waktu, Elvan melihat jam di pergelangan tangannya sekali lagi untuk memastikan waktunya. Pria itu keluar cepat dari ruangannya. “Dan, Saya ada urusan mendesak, tolong atur ulang jadwal-jadwal saya.” Elvan berkata pada Dani
Melihat perjuangan bosnya ini, Andi benar-benar berdecak kagum. Elvan benar-benar selalu melakukan semuanya dengan maksimal, termasuk dalam urusan mengejar cintanya! Pria itu lalu menghubungi Prisya dan mengatakan kalau Elvan baru saja pergi ke rumah mereka dengan mengendarai kendaraan orang lain yang mungkin sudah dibelinya! “Apa?!” Prisya terkejut mendengar informasi yang dia dapat dari Andi. “Tolong jaga bos kita, sepertinya Ayah kalian sedang membuatnya benar-benar ketakutan sekarang.” Andi berkata pada Prisya dengan nada serius. “Gila! Benar-benar tidak disangka! Apa mungkin sekarang ini dia sedang mendapatkan karma?” Prisya malah membuat gosip tentang Elvan. “Entahlah, tapi yang jelas, dia mengatakan kalau lewat dari jam 9, maka kakakmu akan terus dimarahi oleh ayah kalian. Itu yang kudengar saat dia bicara sendiri tadi.” Andi kembali memberikan informasi itu pada Prisya. “Gila! Benar-benar hebat kakakku ini!” Prisya berkata dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia ti
Mendengar ucapan Elvan barusan Lukman hanya mengangguk pelan, tapi tidak ada senyuman di sana. Wajah Lukman terkesan dingin dan terlihat menakutkan, setidaknya itu yang dirasakan Prisya saat melihat ayahnya yang sedang memperhatikan Elvan dari atas sampai bawah.Untuk pertama kalinya Prisya menyaksikan bosnya ini terlihat berbeda dari sebelumnya, terbalik 180 derajat! Biasanya dia selalu menampilkan aura tegas dan dominan yang mematikan, namun sekarang … justru ayahnya lah yang seolah menyerap energi itu.Ayahnya yang selama ini selalu memperlihatkan keramahan dan kehangatan pada orang lain sekarang nampak begitu kurang bersahabat dengan tamu mereka ini.‘Apa ayah benar-benar tidak bisa menerima pria ini?’ batin Prisya.“Ayah … apa tidak menyuruh tamu kita ini masuk dulu?” Prisya berusaha mencairkan suasana yang sepertinya nampak sangat dingin.“Kamu belum terlambat.” Lukman tidak menghiraukan ucapan Prisya barusan.Ada kelegaan tergambar di wajah Elvan, tapi dia berusaha untuk tetap t
Elvan yakin kalau saat ini pria yang sedang duduk di hadapannya ini sudah bisa sedikit diluluhkan. Namun, setelah dia berkata dengan penuh percaya diri itu, ekspresi Lukman tidak terlihat senang ataupun tidak suka, mimik wajah itu sulit dimengerti oleh Elvan.‘Apa aku salah menilai?’ batin Elvan.“Mengundang kami ke acara perusahaan untuk memperkenalkan siapa calon istrimu, ya? Kalau begitu saya boleh tahu siapa calon istrimu yang akan kamu perkenalkan itu?” Pertanyaan ini justru membuat Elvan bingung, bukankah jawabannya sudah jelas kalau itu Diva, putrinya sendiri.“Itu, tentu saja Diva, Om.” Elvan berkata dengan suara yang terdengar mantap.“Oh, saya bahkan berpikir kalau yang kamu katakan itu bukan Diva, melainkan orang lain, karena kamu tidak menyebutkan nama yang jelas.”“Tidak ada orang lain selain Diva, Om,” tegas Elvan pada Lukman.Pria paruh baya itu mengangguk perlahan.“Ini diminum dulu tehnya.” Indah membawa minuman dari dalam dan meletakkannya di atas meja dengan perlaha
Pertanyaan yang seperti sebuah pernyataan baru saja dikeluarkan oleh Indah ini membuat Elvan terdiam, dia menarik napas dalam dan memejamkan matanya sejenak. Hal ini sama seperti yang dikhawatirkan oleh dirinya dan papanya! Elvan juga tahu dan menyadari ada tujuan dibalik niat baik ini. Namun, semua itu ditutup oleh sebagian rasa bahagia yang menyelimuti hatinya karena Diva sudah diterima oleh keluarga intinya! Yah hanya keluarga intinya saja, tidak dengan yang lain, yang mungkin mengharapkan kejatuhan dirinya. ‘Ternyata mereka benar-benar sangat hati-hati,’ batin Elvan. Elvan sempat mengabaikan hal lain ini dengan mengatakan secara tegas pada kedua orang tua Diva untuk mengajaknya ke acara penting itu, berharap mereka merasa dihargai dan bisa menerima dirinya masuk ke keluarga Diva dengan mulus. Elvan juga mengatakan kalau mereka diundang ke acara itu agar dia bisa memikat hati orang tua Diva, tapi sayangnya, pikiran orang tua Diva ini ternyata sudah melenceng dari ekspektasinya.
Diva yang kesal dengan ayahnya mengurung diri di kamar, dia Benar-benar merasa diabaikan dan menganggap ayahnya keterlaluan. “Ayah kenapa sih, apa gak bisa lihat dulu Elvan itu orangnya seperti apa, lagian Elvan beda dari semua pria yang dekat denganku!” Dia berkata dengan nada kecewa di depan cermin. Melihat wajahnya yang berantakan karena lelah menangis membujuk ayahnya.Tiba-tiba, Prisya masuk ke kamarnya dengan santai dan langsung duduk di tepian ranjang.“Ngapain kamu?!” Diva berkata dengan ketus, Prisya tidak menjawab dia hanya tersenyum lebar melihat ke arah Diva.“Siapa yang dateng? si tukang galon apa tukang gas?” Diva berkata dengan nada kesal.“Tukang galon langganan ibu,” jawab Prisya singkat, membuat hati Diva mencelos, benar saja tidak mungkin Elvan datang, pikirnya.“Dasar kakak yang aneh,” gerutu Prisya.“Kenapa kamu bilang begitu? Lagian yang aneh itu, ayah kamu!” Diva kesal sekali saat ini.”Prisya langsung mengerutkan keningnya, “Kok kakak bilang gitu?” “Lagian ju
Diva terdiam saat Prisya mengatakan hal itu, tidak ada yang salah sebenarnya. Akan tetapi, menghalanginya untuk mendampingi Elvan saat menghadapi ayahnya ini juga rasanya tidak pantas dengan semua yang sudah diberikan Elvan padanya. “Iya kakak tahu latar belakangnya, tapi apa kamu tahu, dia itu ayah kita! Dia tidak peduli dengan latar belakang yang mereka punya dan ucapan ayah itu seringkali terdengar tajam dan membuat–”“Kak, kakak sepertinya masih tidak yakin dengan kemampuan Kak Elvan, ya?” Prisya melihat ke arah Diva dengan tatapan tajam. “Kita lihat dulu, biarkan Kak Elvan berjuang untuk kakak, kali ini, aku di pihak ayah.” Prisya berkata dengan santai pada Diva.“Mending, kakak sekarang duduk tenang di sini. Kakak bisa keluar 15 menit lagi, kecuali kalau kakak ….” Prisya menggantung kalimatnya, melihat ke arah Diva yang saat ini memperlihatkan wajah khawatir.Diva malas untuk meresponnya dan memilih mengalihkan pandangnya.“Kecuali kalau kakak beranggapan dia akan mundur setel
Diva yang penuh dengan kekecewaan dalam hatinya itu lalu membalikkan badannya dan hendak kembali masuk ke kamarnya, dia yang sudah diliputi rasa sedih dan juga air mata yang menghalangi pandangannya kabur tiba-tiba menabrak seseorang.“Arrgh!” Suara yang ditangkap oleh gendang telinga Diva itu membuatnya terkejut. Jelas suara ini sangat dia kenal.“Elvan?” Diva berkata dengan tidak percaya, dengan cepat dia menghapus air matanya secara asal, mencoba menghilangkan pandangan buram yang ditangkap oleh indra penglihatannya, memastikan sekali lagi kalau Elvan ini bukan sekedar bayangan atau hologram yang hanya melintas di kepalanya saja.Pria itu kini berada di hadapannya dengan memegang dadanya yang ditabrak keras oleh Diva, barusan.“Untung saja tidak di sini,” ucap Elvan pada Diva sambil menunjukkan ke bagian perutnya sambil tersenyum.“Kamu di sini?” tanya Diva meyakinkan kalau dia sedang tidak salah melihat, dia juga beberapa kali mengerjapkan matanya tak percaya.Elvan melihat Diva y
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk