Nova melangkah ke arah Batu Potensi, berdiri di depannya, lalu berbalik menatap penjaga. "Hanya perlu meletakkan kedua tangan di atas batu ini?" tanya Nova. Penjaga itu mengangguk pelan. Mendengar itu, Nova mengangkat kedua tangannya dan menempelkannya pada permukaan batu. Begitu tangannya menyentuh batu itu, ia merasakan aliran energi yang hangat menyebar ke seluruh tubuhnya. Sensasi itu memberikan kenyamanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tak lama kemudian, karakter-karakter misterius di permukaan batu mulai bersinar terang. "Crak!" Tiba-tiba, lantai di dekatnya retak, membentuk sebuah celah yang perlahan membesar. Sebuah pintu batu menuju bawah tanah muncul dari celah tersebut. "Selamat," kata penjaga itu dengan senyum tipis. "Kamu telah mendapat pengakuan. Sekarang kamu bisa masuk. Di dalam, kamu akan menemukan rahasia dan ilmu yang sesuai dengan potensi dirimu." Nova melepas tangannya dari batu, menatap pintu batu bawah tanah itu dengan penuh harapan. Tanpa r
Seorang pria bertubuh kekar yang mengenakan jaket berwarna gelap dan kacamata hitam berjalan keluar dari Terminal Rivera sambil berbicara di telepon, “Sudah ketemu?” “Sudah, Jenderal. Cewek yang nolong Jenderal dari kebakaran sepuluh tahun lalu namanya Nova. Untungnya dia sendiri masih selamat setelah nolongin Jenderal, tapi luka bakar yang dia derita mencapai 95%.” Genggaman tangan pria itu semakin mengerat, dan wajahnya pun semakin memuram seketika dia mendengar hal itu. Bahkan di tengah hari yang panas dan terik ini pun, suhu udara di sekitar langsung diselimuti dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Pria itu bernama Chandra dari keluarga Atmaja. Sepuluh tahun yang lalu, sebuah kebakaran besar melanda kediaman keluarga Atmaja, yang kemudian diduga bahwa insiden ini adalah kejadian yang memang telah direncanakan oleh seseorang. Akan tetapi, ada seorang gadis yang menerjang kobaran api tanpa memedulikan keselamatannya sendiri dan berhasil menyelamatkan Chandra dari lautan api ters
Imperial Residences merupakan sebuah vila paling mewah yang ada di Rivera dengan luas selebar 20.000 meter persegi, dilengkapi dengan taman, kolam renang, bahkan sampai driving range juga ada. Nova masuk ke vila tersebut dan duduk di sofa yang ada di dalam sana sambil memandangi interior yang begitu mewah dengan perasaan yang kalut. Dia tahu kalau kakeknya yang mencarikan dia suami, karena pria pada umumnya tidak akan ada yang mau menikah dengannya, tapi dia tidak tahu seperti apa latar belakang dari suaminya yang satu ini. Nova hanya bisa menebak bahwa semua ini hanyalah siasat mereka untuk mendapatkan kekayaan keluarga Kurniawan. Namun, Nova tidak menyangka suaminya malah membawanya ke tempat yang justru terlihat seperti alam mimpi. Chandra pun berlutut di depan Nova dan hendak membuka perbannya. “Jangan ….” Nova panik dan spontan menghindar karena tubuhnya yang penuh dengan luka bakar ini pasti akan terlihat sangat mengerikan. Dia takut suami yang bahkan belum pernah dia temui
Sudah sepuluh hari sejak Nova pergi dari kediaman keluarga besarnya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menanyakan kabarnya. Di mata mereka, mungkin Nova hanyalah aib keluarga dan bahan bulan-bulanan satu kota. Dengan perginya Nova, kini usaha mereka bisa selangkah lebih maju. Setelah paras Nova sudah kembali seperti semula, dia segera membuat akta pernikahan dan kembali ke rumah keluarganya. Toni Kurniawan memiliki tiga orang anak. Anak sulungnya bernama Hardi, anak kedua namanya Jaka, dan yang bungsu bernama Boni. Boni selaku ayahnya Nova hanya dipandang sebelah mata karena apa yang terjadi kepada Nova, meski sesungguhnya dia juga telah berjasa besar bagi usaha keluarga. Walau Boni menjabat sebagai manajer eksekutif di perusahaan keluarganya sekalipun, dia tidak memiliki pembagian saham dan tidak mendapatkan dividen, melainkan hanya gaji per bulan. Perlakuan tidak adil ini tentu saja membuat Boni hidup dengan kondisi yang pas-pasan. Bahkan rumah saja dia masih harus cicil pe
Begitu meninggalkan kediaman keluarga Kurniawan, sambil meneteskan air mata Nova pun berkata, “Chan, maaf, ya. Aku memang nggak berguna. Aku bahkan nggak bisa ambil keputusan sendiri untuk kehidupan rumah tanggaku sendiri.” “Kan Kakek kamu sudah bilang, asal aku bisa dapat orderan dari Arthur Group, dia bakal mengakui aku sebagai suami kamu,” kata Chandra. “Tapi masalahnya mereka itu Arthur Group, lho.” Sebagai warga Rivera, tentu saja Nova tahu apa itu Arthur Group, dan sebesar apa mereka. Arthur Group adalah perusahaan besar skala internasional yang baru saja menginjakkan kaki di tanah Rivera beberapa tahun terakhir, dan semua proyek yang mereka kerjakan pada dasarnya telah dikendalikan oleh Empat Keluarga Besar. “Kalau nggak dicoba dulu, gimana kita bisa tahu,” balas Chandra. “Oh, aku baru ingat. Aku punya teman sekolah yang kerja di sana, jabatannya juga sudah cukup tinggi. Coba aku tanya dia, siapa tahu dia bisa temuin kita sama atasan Arthur Group,” ujar Nova. “Oke.” Denga
Hari ini adalah hari yang menggembirakan bagi keluarga Sinaga. Almaris Group yang berada di bawah naungan mereka menandatangani perjanjian dengan Arthur Group dan resmi menjadi partner bisnis dekat. Ini menandakan kedudukan keluarga Sinaga yang semakin meningkat. Ditambah lagi, hari itu juga bertepatan dengan ulang tahun ke-80 kepala keluarga Sinaga, Ahmad. Di depan kediaman keluarga Sinaga sudah berkumpul banyak mobil mewah, dan satu per satu tokoh penting di Rivera pada berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada keluarga Sinaga. “Keluarga Wangsa memberikan batu giok yang harganya 16 miliar. Keluarga Tedjo menghadiahkan seekor katak emas yang dipercaya bisa membawakan kekayaan, harga satu ekor katak itu mencapai 24 miliar. Dan keluarga Cahyadi membawakan karya asli milik seorang pelukis terkenal yang harganya mencapai 17 miliar,” ujar seorang pembawa acara yang tak hentinya mengumumkan setiap hadiah yang dibawakan oleh para tamu. Ahmad masih terlihat begitu muda dan penuh dengan
Keesokan paginya, Chandra mendapatkan panggilan dari Nova. “Sayang, tadi aku sudah tanya temanku, dia bilang bisa bantu. Dia juga sudah bikin janji supaya aku bisa ketemu sama Pak Ihsan. Kamu di mana? Ayo kita berangkat ke sana sekarang.” “Kamu tunggu saja di rumah, nanti kau jemput.” Setelah itu Chandra langsung menutup telepon, bangun dari kasurnya dan mandi, lalu berangkat.“Kak, hari ini mau ke mana?” tanya Paul yang sudah siap menunggu di depan mobil. “Ke rumahnya Nova.” “Oke, ayo naik.” Mereka pun langsung menuju rumahnya Nova dan menunggu di luar, dan tak lama kemudian Nova pun keluar dari rumahnya. Hari ini Nova merias dirinya dengan sangat cantik karena hari ini akan bertemu dengan presiden direktur Arthur Group. Dia juga mengenakan gaun yang pas dengan tubuhnya dan membiarkan rambutnya tergerai alami sampai ke bahu. Dari jauh Nova sudah melihat suaminya yang sudah menunggu di depan mobil, dan dia pun berlari kecil menghampirinya sambil berkata dengan riang gembira, “Te
Dodi menunjukkan ekspresi seakan dia yakin akan mendapatkan Nova untuk malam ini. Dia menduduki jabatan yang cukup tinggi, dan karena jabatan inilah dia sudah mencicipi entah berapa banyak wanita. Awalnya para wanita itu memang menolak, tapi seiring berjalannya waktu, malah mereka sendiri yang berinisiatif mendatangi Dodi. Sisca juga sama-sama ingin masalah ini cepat terselesaikan, karena jika semuanya sudah beres dan Dodi merasa puas, dia juga yang akan mendapatkan keuntungan. “Nov, aku tahu selama ini hidup kamu cukup menderita, tapi sekarang kamu sudah cantik, makanya kamu harus bisa manfaatin kecantikan kamu itu. Masa muda cewek itu cuma sebentar. Sayang banget kalau sampai kelewatan,” kata Sisca. “Nggak, aku sudah punya suami,” bantah Nova. “Jangan ngelunjak kamu, Nova. Sudah bagus Pak Dodi mau bantuin kamu. Harusnya kamu merasa terhormat. Kalau sampai Pak Dodi merasa tersinggung, jangan harap kamu bisa kerja sama dengan Arthur Group.” “Chan ….” Chandra sedikit pun tidak men
Nova melangkah ke arah Batu Potensi, berdiri di depannya, lalu berbalik menatap penjaga. "Hanya perlu meletakkan kedua tangan di atas batu ini?" tanya Nova. Penjaga itu mengangguk pelan. Mendengar itu, Nova mengangkat kedua tangannya dan menempelkannya pada permukaan batu. Begitu tangannya menyentuh batu itu, ia merasakan aliran energi yang hangat menyebar ke seluruh tubuhnya. Sensasi itu memberikan kenyamanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tak lama kemudian, karakter-karakter misterius di permukaan batu mulai bersinar terang. "Crak!" Tiba-tiba, lantai di dekatnya retak, membentuk sebuah celah yang perlahan membesar. Sebuah pintu batu menuju bawah tanah muncul dari celah tersebut. "Selamat," kata penjaga itu dengan senyum tipis. "Kamu telah mendapat pengakuan. Sekarang kamu bisa masuk. Di dalam, kamu akan menemukan rahasia dan ilmu yang sesuai dengan potensi dirimu." Nova melepas tangannya dari batu, menatap pintu batu bawah tanah itu dengan penuh harapan. Tanpa r
Setelah berpikir sejenak, penjaga itu akhirnya berkata, "Kalau begitu, ikut aku." Ia berbalik dan masuk kembali ke dalam pintu batu. Basita dan Chandra segera mengikutinya. Di dalam, Nova terlihat masih terkurung dalam penjara besi. Namun, darah dalam tubuhnya sudah mulai tenang, dan kesadarannya pun pulih. Saat melihat Chandra, ia langsung memanggil, "Sayang!" Nova berusaha mendekati Chandra, tetapi begitu mendekati jeruji, tubuhnya seperti terkena kejutan listrik, memaksanya mundur. "Penjaga, kenapa ini terjadi?" Chandra menatap Nova yang terkurung dan beralih ke wanita itu dengan nada penuh harap. "Bisakah Anda membebaskan istri saya?" Tanpa berkata sepatah pun, penjaga itu melambaikan tangannya. Dari telapak tangannya, sebuah kekuatan dahsyat muncul. Seketika, penjara besi itu lenyap tanpa bekas. Chandra hanya bisa terpana, menyaksikan kekuatan yang luar biasa ini. "Betapa luar biasanya kemampuannya ..." pikirnya. Nova segera berlari ke arah Chandra dan menggenggam tan
Penjaga itu tahu, semakin besar potensi seseorang, semakin mengerikan masa depannya setelah terkontaminasi oleh darah Empat Hewan Keberuntungan. Wanita itu benar-benar ingin membunuh Nova. Namun, Nova adalah salah satu pesilat dengan potensi terbesar di antara umat manusia. Jika ia dibunuh sekarang, itu akan menjadi kerugian besar bagi umat manusia. "Untuk saat ini, energi iblisnya masih lemah, masih ada cara untuk memurnikannya," gumam Sang Penjaga pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Di luar, Chandra seperti orang yang kehilangan akal, terus menyerang pintu batu dengan penuh amarah. Pada saat itu, pintu batu mendadak terbuka. Dari dalam, seorang wanita dengan gaun putih sederhana melangkah keluar. Saat ia muncul, sebuah tebasan energi pedang dari Chandra melesat ke arahnya. Namun, begitu energi pedang itu mendekati tubuh wanita tersebut, dia langsung menghilang tanpa bekas. Wanita itu berdiri di depan pintu, menatap Chandra dan Basita dengan tatapan tenang. "Sia
Wusss! Tiba-tiba, sebuah bayangan samar muncul di udara. Bayangan itu tampak seperti ilusi—seakan berada di antara nyata dan tidak nyata. Jika diperhatikan dengan seksama, sosok itu menyerupai seorang wanita, namun wujudnya begitu buram sehingga wajahnya sulit dilihat dengan jelas. "Gunung Abadi?" gumam bayangan itu dengan suara dingin, menatap tajam ke arah Basita. Basita membungkukkan tubuh dengan hormat. "Benar, aku murid Lingsi Agung dari Gunung Abadi. Apakah Anda penjaga Pustaka Agung?" "Betul. Aku penjaga Pustaka Agung," jawab wanita itu. Suaranya merdu namun dingin, membawa tekanan yang kuat, nyaris tanpa emosi. Dengan penuh keberanian, Basita bertanya, "Wahai Yang Mulia Penjaga, apa maksud Anda? Mengapa Nova dikurung seperti ini?" Penjaga itu melirik Nova dengan tatapan tajam. "Tempat ini adalah tanah suci umat manusia. Dia memiliki energi iblis yang terlalu pekat—makhluk kegelapan. Jika bukan karena sedikit aura manusia dalam dirinya, dia sudah lama musnah menjadi ab
Menara Bawah Tanah, Pustaka Agung. Berdasarkan informasi yang ditinggalkan guru Basita, tempat ini adalah warisan leluhur bumi untuk manusia. Di sini, konon tersimpan berbagai kitab ilmu bela diri yang tak terkalahkan. Namun, setelah mencari ke setiap sudut lantai pertama menara bawah tanah, Chandra dan Nova tidak menemukan apa pun, termasuk pintu masuk ke lantai kedua. Chandra memeriksa setiap sudut sekali lagi. Setelah yakin tidak ada pintu menuju lantai berikutnya, dia menatap Basita dan berkata, “Sepertinya kita memang tidak bisa mendapatkan kitab ilmu bela diri itu.” Basita hanya memandangi sekeliling dengan ekspresi bingung. “Seharusnya tidak seperti ini,” gumamnya. Dia merasa aneh. Berdasarkan petunjuk gurunya, tempat ini jelas adalah lokasi Pustaka Agung. Tapi kenapa tidak ada kitab apa pun? Apakah Chandra dan Nova bukanlah orang yang berjodoh dengan tempat ini? Basita sebenarnya sudah lama memperhatikan perjalanan Chandra dan Nova. Mereka adalah pesilat termuda dan
Mendengar itu, Chandra jadi tertarik dengan sejarah dan bertanya, “Senior, sebenarnya apa yang terjadi di bumi ini di masa lalu?”Basita menggeleng pelan. “Aku juga tidak tahu. Pengetahuanku soal segel dan leluhur bumi sangat terbatas.”Ternyata, Basita sendiri tidak tahu banyak. Chandra pun memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.Someria, Gunung Langit. Gunung Langit adalah gunung tertinggi di Someria dan memiliki arti penting dalam sejarah. Sejak zaman dahulu, para kaisar selalu memilih gunung ini untuk mengadakan upacara persembahan kepada langit. “Gunung Langit?” Ketika sampai di kaki Gunung Langit, Chandra terlihat sedikit heran dan bertanya, “Senior, apakah Pustaka Agung ada di Gunung Langit?” “Betul,” jawab Basita sambil mengangguk. “Dari informasi yang ditinggalkan oleh guruku, aku menemukan lokasi Gunung Langit. Setelah meneliti lebih lanjut, aku yakin Pustaka Agung ada di sini.” Chandra melanjutkan, “Kalau begitu, apakah kita perlu memberi tahu pihak Gunung Lang
Kali ini, karena para pesilat Bumi kurang kuat, mereka gagal mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kalau saja mereka berhasil menekan Santara, sepuluh buah itu tidak akan jatuh ke tangan mereka. Keinginan Chandra untuk menjadi lebih kuat pun semakin membara. Setelah memastikan semuanya, Chandra bersama Nova meninggalkan Gunung Bushu dan kembali ke Gurun Selatan. Setengah hari kemudian, Chandra tiba di Gurun Selatan. Di sana, Negara Naga sudah lama memulai pembangunan ulang. Dalam waktu setengah tahun, seluruh kota Gurun Selatan dibongkar habis. Istana Negara Naga yang baru kini berdiri megah. Kota ini sekarang dipenuhi gedung-gedung tinggi, bahkan dilengkapi bangunan bawah tanah—semuanya dirancang untuk persiapan menghadapi kemungkinan kiamat di masa depan. Setelah memeriksa sekilas perkembangan pembangunan, Chandra kembali pergi. Tujuannya kali ini adalah Gunung Langit untuk melanjutkan latihannya. Dia berencana menyerap Esensi Phoenix terlebih dahulu, kemudian dilanjutk
Tiga Senior Dantra berpikir sejenak, lalu menyetujui. "Dua buah juga sudah lumayan, lebih baik daripada tidak sama sekali," pikir mereka.Setelah itu, pembagian berjalan lancar. Tiga Senior Dantra mendapat dua buah, sementara Robi, Ronald, Alden, dan Titan masing-masing mengambil satu buah. Tiga puluh tiga buah pun habis terbagi. Bagi mereka yang belum mencapai Alam Kesembilan, tidak ada kebagian. Meski sedikit kecewa, mereka hanya bisa diam karena menyadari kekuatan mereka belum cukup untuk memperjuangkan bagian lebih besar.Chandra memegang buah di tangannya, sebesar kepalan tangan dan berwarna ungu. Ada kehangatan lembut yang terasa saat ia menggenggamnya. Buah itu tampak bening, memancarkan cahaya ungu berkilauan, dan di dalamnya ada kilauan samar yang bergerak, membuat buah tersebut terlihat sangat misterius dan ajaib."Wanginya harum sekali," Chandra mengendusnya sedikit. Keinginan untuk memakan buah itu langsung muncul. Namun, ini adalah Gunung Bushu, bukan tempat yang aman untu
Tara pun hanya memetik dua buah saja. Pasalnya, dengan begitu banyak pesilat Bumi yang memperhatikannya, dia pun tak berani mengambil lebih banyak. Setelah mendapatkan dua buah berwarna ungu itu, Tara pergi dengan perasaan yang sedikit tidak puas. Totalnya ada tiga puluh tiga buah; Santara berhasil mendapatkan sepuluh buah, Tara mendapat dua buah, dan sekarang tersisa dua puluh satu buah."Aku hanya butuh sepuluh buah," Raja Januar berkata sambil memandang para pesilat Bumi.“Ini, rasanya tidak adil, bukan?” Titan akhirnya berbicara. Sebelumnya, dia tetap diam karena merasa tidak memiliki wewenang di hadapan Santara. Namun, setelah Santara mengambil sepuluh buah dan sekarang Raja Januar juga meminta sepuluh, Titan merasa perlu bicara. Di atasnya, masih ada kekuatan Klan Darah, juga Chandra dan yang lainnya, belum lagi Robi yang telah mencapai Alam Kesembilan. Jika Titan tidak berjuang, bisa-bisa dia tidak mendapatkan satu pun buah ajaib itu.Robi pun berkata, "Memang tidak adil. Seti