Bab 1: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Ayu, pinjam hapenya lagi, ya?” Ida muncul dengan wajah sumringah saat aku baru saja menurunkan standar motor di parkiran kantor.
Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Baru saja tiba, Ida sudah menodongku dengan permintaan yang selalu saja sama sejak sebulan terakhir.
Akhir-akhir ini, Ida sibuk meminjam gawaiku untuk berhubungan dengan pria yang tidak kukenal. Dia mengaku mengenal pria tersebut secara tidak sengaja di sebuah pesta pernikahan saudaranya dan sekarang hubungan mereka mendalam. Ida tidak bisa berpisah dengan pria yang memberinya kehangatan dan rasa nyaman.
Awalnya, aku dengan tegas menolak menjadi calo dari hubungan gelap itu. Alasannya, Ida adalah wanita bersuami dengan satu anak perempuan yang secantik dirinya. Ida punya semuanya, mobil, perhiasan, bahkan rumah megah yang merupakan pemberian dari suaminya sendiri. Tidak ada alasan untuk berselingkuh menurutku.
“Da, jangan terus-terusan, deh! Enggak baik,” ingatku seraya mengeluarkan benda itu dari dalam tas.
Wajahku murung mendengar permintaannya, bukannya tidak rela dengan pulsa dan kuota, karena Ida selalu mengisi bahkan lebih dari yang bisa kuisi setiap bulan. Tapi, aku merasa berdosa telah menjadi jembatan perselingkuhannya itu.
Terlebih, setelah semua yang dia miliki, Ida masih menginginkan kehadiran pria lain. Demi menutupi hal itu, Ida meminta gawaiku untuk digunakan olehnya setiap hari. Sebab, suaminya yang overprotektif tidak akan membiarkan Ida memakai dua gawai sekaligus.
Sedangkan aku? Suamiku tidak pernah memeriksa, apa lagi bertanya apa yang kulakukan dengan benda pipih itu.
“Ih, pinjem Yu! Aku kangen sama dia,” rengeknya. Ida tidak keberatan merengek bahkan di depan kantor kami sekalipun hanya agar keinginannya itu kupenuhi.
Andai Ida bukan sahabat baik yang kukenal sejak kami masih kecil, bukan juga sahabat baik yang enggan meninggalkanku saat orang tuaku meninggal, maka akan kutegur dan kucampakkan dia. Ulahnya itu, bisa kubayangkan bagaimana patah hatinya sang suami dan istri dari selingkuhannya.
“Janji hanya sebentar, ya?” tegasku sebelum gawai itu berpindah pada Ida.
Ida mengiyakan dengan segera walau aku tahu Ida tidak akan menurut. Dia tidak lagi peduli pada diriku yang terus berusaha mengingatkan agar dia berhati-hati dengan hubungan gelapnya itu.
Melainkan, Ida malah berjalan menuju mobil. Dia membuka pintu samping kemudi mobil WRF merah barunya itu dan mengeluarkan sebuah goodie-bag dari dalam.
“Ini, kadoku dari Malaysia!” umbarnya dengan suara yang sangat riang.
Minggu kemarin, Ida diboyong suaminya ke Malaysia. Dia gembira, namun juga sedih karena harus berpisah sementara dari pria selingkuhan. Tidak mungkin kubiarkan Ida membawa gawaiku bersamanya.
Meski setengah melempar, aku menerima benda itu dari Ida. Harap-harap cemas mendengarnya menyebut kata Malaysia, sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah bisa kusentuh seumur hidup, aku mencoba membuka.
Di dalamnya, ada sebuah tas dari brand ternama berawalan C. Aku terperanjat, warna hitam doffnya sangat mewah, tali serta resletingnya berwarna silver yang sangat mengkilap.
“Be-berapa, Da?”
Perempuan itu berpaling manja, dia sedang sibuk berbalas pesan dengan pria selingkuhannya. Sejak pagi, mereka sudah saling bertukar dosa.
Ida yang hari ini memakai blouse putih dan rok biru langitnya itu mengulas sebuah senyum. Dia masih mencoba mengejar isi chat mesra dan menggelikan dari hapeku sebelum bibirnya berujar dengan sangat lembut, “Cuma lima juta, nanti ke Turki aku belikan lagi, ya? Tenang saja!”
Dan aku hanya mampu terdiam di belakangnya.
--
Sore tepat pukul lima, aku dan Ida keluar bersamaan dari kantor. Ida sudah mengembalikan gawaiku sebelum kami berpisah di parkiran.
Wajahnya semringah sempurna. Katanya, dia sempat VC juga dengan pria itu saat jam istirahat di mobil barunya.
“Besok lagi ya, Yu!” Ida menjerit dari dalam mobilnya.
Aku mengiyakan begitu saja. Kemudian, kulepas beban di pundak dengan mengingat suamiku yang rupawan. Tadi, dia mengirim pesan agar aku menjemputnya di tempat proyek. Ida yang menyampaikan itu semua dan dia menunjukkan isi pesan dari pria bernama ‘Bang Fuad’ itu padaku. Di atas pesan suamiku, ada pesan dari nomor tanpa nama yang biasa berhubungan dengan Ida.
Buru-buru aku memacu motor menuju proyek yang dikerjakan oleh Bang Fuad. Dia belum lama ini bekerja sebagai salah satu staff pengawas di proyek pembangunan mall di Banda Aceh. Memang, Bang Fuad lulusan teknik sipil di kampus yang sama denganku, karena itulah aku tahu benar kemampuannya.
Butuh dua puluh menit lamanya hingga aku tiba di proyek mal tersebut. Bang Fuad sudah menunggu di depan pintu dengan wajah merengut. Sepertinya dia sudah lama berdiri di sana, mengingat seisi proyek hanya tersisa beberapa orang saja.
“Maaf Bang, agak macet,” jelasku seraya turun dari motor dengan tergesa-gesa.
Aku mengikat ujung jilbab ke belakang, lalu memberikan helm bogo itu untuk Bang Fuad. Suamiku bergegas menerima, dia memakai helm, lalu menaiki motor.
“Ya sudah, Yank. Kita beli makan malam saja bagaimana? Abang baru dapat bonus,” ujarnya.
Aku naik ke belakang dengan posisi mengangkang agar bang Fuad tidak kesulitan mengendalikan motor. Motor vario keluaran baru itu menjadi satu-satunya kendaraan kami berdua sejak menikah. Memang milik Bang Fuad, tapi dia merelakannya untuk kugunakan bekerja.
“Boleh, Bang. Sate saja, sama sate kerang di warung depan asrama haji!” pintaku. Alangkah bahagianya diri ini mendengar Bang Fuad semanis ini.
Padahal, dia biasanya dingin dan hanya berbicara ala kadar. Meski demikian, aku bisa menjamin jika Bang Fuad setia.
Jadilah kami berdua mampir di beberapa warung untuk membeli makan siang. Setelahnya, aku pulang ke rumah tipe 32 yang belum lama ini kami kredit di daerah Baet.
Saat aku masuk ke dalam, Bang Fuad seolah mengejar dari belakang. Dia memeluk pinggangku dan mendaratkan cumbuan di tengkuk.
“Yank, malam ini, ya? Abang mau mandi dulu, terus Adek mandi juga,” bujuknya.
Geli, tapi bahagia. Aneh ... dan aku hanya bisa mengiyakan maunya.
Setelah itu, Bang Fuad bergegas ke kamar mandi. Dia melepas rompi kerja dan sepatu safetynya itu.
Aku yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepala. Kemudian, mencoba membereskan satu per satu termasuk mengeluarkan gawai Bang Fuad dari saku rompinya agar tidak tercuci.
Sembari berberes, aku juga mengeluarkan gawai dari tas. Kebiasaan baruku semenjak Ida meminjam gawai adalah mengecek notifikasinya, ada beberapa pesan beruntun dari nomor yang dihubungi Ida, tujuh chat baru yang sepertinya tidak sempat dibalas Ida.
Melihat betapa putus asanya pria itu mencari Ida. Aku memilih untuk membuka pesan tersebut dan menuliskan beberapa kalimat balasan.
[Maaf, ini saya temennya Ida, sekaligus yang punya hape. Besok saya sampaikan ke dia kalau Anda mencari Ida.]
Klik kirim.
Lalu, ting!
Aku terperanjat. Dering sekali dan notifikasi mendadak muncul di layar gawai Bang Fuad yang tergeletak di atas meja. Isi pesannya ... persis sama dengan yang baru aku ketikkan.
“A-apa ini?” lirihku dengan tangan yang bergetar.
“Bang Fuad?”Aku memanggil nama suamiku setelah melihat isi pesan yang masuk ke gawainya. Tidak ingin asal menuduh, pesan berikutnya kukirimkan lagi. Langsung gawai Bang Fuad berdenting kembali.“Astagfirullah, kenapa pesan dariku masuk ke gawai ini?” Aku berlirih begitu pelan karena tidak ingin membuat keributan lebih dulu.Bang Fuad, bagaimana bisa pesan-pesan yang dikirimkan oleh Ida untuk selingkuhannya masuk ke gawainya? Ada apa sebenarnya?Pelan-pelan, aku mencoba mengambil gawai Bang Fuad. Jemariku mendadak gemetar dan berkeringat dingin hingga tidak mampu menopang benda pipih itu.Pluk! Gawai Bang Fuad jatuh ke lantai. Untung saja tidak terlalu keras bunyinya berkat karpet busa yang aku gelar di atas keramik.Kuupayakan sekali lagi sisa tenaga. Ada misteri yang selama ini tersembunyi dengan rapi dan tidak pernah kuketahui sama sekali.“Apa hubungan kalian di belakangku, Bang?” rintihku sembari berjongkok.Aku mencoba membuka pesan tersebut. Layar Bang Fuad meminta kode sandi s
“Pinjam hape, Beb?” Ida muncul ke kubikelku.Jemarinya yang lentik, putih dan mulus itu mengulur, memperlihatkan kukunya yang dikutek bening mengkilap cantik. Ditambah lagi aroma harum dari parfum mahal yang selalu dipakai olehnya menembus hidung dan melekat di baju.“Pinjem, ya?” ulangnya.Aku masih diam dengan memandangi telapak tangan halus itu. Bagaimana hidup seorang Ida hingga punya tangan sebagus ini? Sedangkan tangan dan kukuku seperti habis mencakar tanah.Terlalu banyak noda, baret dan bentuknya yang tidak cantik. Bekas luka percikan minyak pun ada yang masih basah, belum sepenuhnya mengering, meninggalkan bekas kehitaman di punggung tangan.Dunia kami ... terlampau jauh. Saat Ida memakai parfum jutaan, aku hanya mampu membeli yang puluhan ribu di pasar.“Beb? Halllooo!” desaknya.Aku menggelengkan kepala. Sekelebat ingatan akan apa yang kutemukan di gawai Bang Fuad mengganggu tenang.Antara Ida dan suamiku, apa yang sebenarnya telah terjadi? Benarkah mereka telah merusak ci
Wajah Bang Fuad berubah kala kuutarakan keinginan hati untuk pergi bersamanya. Besok weekend, dan aku bisa ikut untuk menemani Bang Fuad, sekaligus jalan-jalan jika memang diizinkan.“Aku ikut, ya? Weekend juga kan, Bang,” harapku seraya membaca setiap ekspresi di wajahnya.Hatiku dag dig dug, tidak tahan melihat betapa ragunya Bang Fuad atas permintaanku barusan. Seolah sedang berpikir, Bang Fuad menghela napas dan membalik badan. Pria itu memilih memunggungiku, hingga guratan gelisahnya itu tidak lagi bisa terbaca.Jangan ditanya bagaimana remuknya hatiku menemukan sikap Bang Fuad ini. Seolah segalanya yang aku takutkan telah menemukan jawabannya.“Bang, kenapa hanya diam?” tanyaku kembali.Perasaanku jadi tidak karuan. Bayang-bayang Bang Fuad menolak sudah tercipta di pelupuk mata, hanya tinggal realisasinya saja.Sebab itulah, aku memilih untuk mundur. Kubuka jarak dengan pria yang kupercayakan hidup di tangannya itu.Pernikahan indah, rumah tangga bahagia dan sejahtera, anak-anak
Sesuai dengan kesepakatan, Bang Fuad memboyong diriku ke Lhokseumawe. Kami berangkat dengan menumpang bus dari Terminal Batoh di Banda Aceh menuju Terminal Lhokseumawe.Perjalanan kami hanya kurang dari enam jam sampai tiba di kota itu. Kami turun di Terminal Lhokseumawe saat malam mulai memudar, dan langit kebiruan di ufuk.Sejenak, aku berdiri di dekat bus antar provinsi yang mengantarkan kami. Kemudian, menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin.“Ya Allah, akhirnya bisa jalan-jalan juga,” lirihku.Meski sebenarnya tujuanku mengekor Bang Fuad adalah untuk menjauhkannya dari Ida; andai memang mereka berdusta. Kini, aku merasa datang hanya untuk menikmati bulan madu yang indah bersama pria itu.“Cepat, Yu!” Tiba-tiba Bang Fuad berseru dengan tegasnya padaku.Dia menyampirkan tas kecil yang dibawanya dari Banda Aceh, lalu berjalan dalam langkah besar tanpa berniat membantuku. Buruknya, aku datang dengan persiapan yang terlalu matang hingga harus menggerek satu buah koper berukuran s
“Kota seindah dan sesyahdu ini malah menjadi saksi dari perlakuan buruk yang diberikan Bang Fuad padaku,” lirihku sembari memandangi sebuah masjid yang terletak jauh lebih tinggi dari jalanan.Masjid megah itu berukir indah, warna dindingnya kecoklatan dengan garis-garis lebih gelap. Ada beberapa orang yang lalu-lalang keluar masuk. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang baru saja pulang dari satu tempat dan mampir untuk salat magrib.Aku menghela napas sedalam mungkin, sebab kini kedua mataku memerah akibat amarah. Terdudukku sendirian di seberang masjid itu, memegang sebuah botol dari salah satu franchise di belakang sana.Bang Fuad belum ada kabarnya. Dia meninggalkanku entah sudah berapa jam sendirian di kota ini.“Astagfirullah, Ya Allah!” lirihku.Helaan napas selanjutnya jauh lebih kuat dan dalam. Kupeluk tas yang menemani perjalanan ini seerat mungkin, sebab langit terus menggelap di pucuk sana, dan tidak ada yang berubah selain jalan yang jadi lebih sepi.“Harus ke mana
“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku beru
“Meng-meng ....”“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi.Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir.“A-aku belum ....”“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal.“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali.Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku
Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.“Terima kasih, Kak. Duluan?”“Iya, Pak. Silakan.”Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.Aku menarik n
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari