“Pinjam hape, Beb?” Ida muncul ke kubikelku.
Jemarinya yang lentik, putih dan mulus itu mengulur, memperlihatkan kukunya yang dikutek bening mengkilap cantik. Ditambah lagi aroma harum dari parfum mahal yang selalu dipakai olehnya menembus hidung dan melekat di baju.
“Pinjem, ya?” ulangnya.
Aku masih diam dengan memandangi telapak tangan halus itu. Bagaimana hidup seorang Ida hingga punya tangan sebagus ini? Sedangkan tangan dan kukuku seperti habis mencakar tanah.
Terlalu banyak noda, baret dan bentuknya yang tidak cantik. Bekas luka percikan minyak pun ada yang masih basah, belum sepenuhnya mengering, meninggalkan bekas kehitaman di punggung tangan.
Dunia kami ... terlampau jauh. Saat Ida memakai parfum jutaan, aku hanya mampu membeli yang puluhan ribu di pasar.
“Beb? Halllooo!” desaknya.
Aku menggelengkan kepala. Sekelebat ingatan akan apa yang kutemukan di gawai Bang Fuad mengganggu tenang.
Antara Ida dan suamiku, apa yang sebenarnya telah terjadi? Benarkah mereka telah merusak cinta dan persahabatan di antara kami?
“Ih, boleh enggak, sih?” rengeknya lagi.
“Boleh, Da. Ambil saja,” ucapku dengan intonasi yang sangat lemah.
Saat kuserahkan gawai itu pada Ida, dia malah berusaha membaca ekspresiku yang suram. Membuatku bisa mengendus lebih dalam dan lama aroma parfum yang dihamburkan tubuh Ida.
“Kamu kenapa?”
“Enggak ada, sana gih, jangan lama-lama, ya?” ucapku pada Ida.
Perempuan itu jadi girang. Dia lekas beranjak dari mejaku dan menuju mejanya yang terletak agak jauh.
Di sana, wajahnya berseri, ada senyum bahagia terpatri. Hal yang membuatku sangat terusik.
Namun, aku tidak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan ini. Lantas, buru-buru aku membuka browser. Di sana, aku mengaktifkan aplikasi chat via komputer agar bisa memantau apa yang dilakukan oleh Ida.
Tidak lupa kumatikan suara setiap kali ada pesan yang masuk. Dan hanya membaca pesan setelah Ida membukanya lewat gawai. Semoga saja Ida tidak menyadari kalau aku memantau pergerakannya lewat komputer.
[Yank ... kangennn]
Aku menarik napas dalam melihat pesan Ida untuk nomor itu. Tidak lama setelahnya, balasan datang ke nomorku.
[Sama, Beb. Kamu sudah di kantor?]
[Sudah nih.]
[Oh ya, weekend ke Medan ya? Aku sudah booking hotel yang kamu suka.]
Deg! Deg! Aku terhenyak melihat sebuah ajakan untuk Ida lewat notifikasi. Hubungan yang dijalani oleh Ida sudah terlampau dalam hingga bisa menginap bersama.
Kuputuskan untuk tetap tenang, mencoba berpikir sejernih mungkin meski sebenarnya tubuhku panas dingin. Bisa saja sosok yang mengobrol dengan Ida adalah orang lain, dan bukannya Bang Fuad.
Semalam penuh, Bang Fuad sekalipun tidak bertindak aneh. Andai memang dia pernah bercinta dengan perempuan lain, maka kemungkinan besar Bang Fuad akan bertindak tidak lazim saat bersamaku.
[Yeay Beb, thanks.]
[Sama-sama. Nanti di sana aku belikan kamu hape baru, biar bebas, aku enggak suka sama temenmu yang nge-chat dan telepon aku, Beb.]
Deg! Pria itu mengadu pada Ida.
[Nanti aku tegur, Beb. Maaf, ya ... dia memang usil orangnya, makanya telat nikah.]
Ya Allah, Ida ... bicaranya seperti itukah di belakangku?
Haruskah aku menegurnya? Tapi itu artinya aku ketahuan membaca pesan-pesan mereka.
Tidak, aku harus bersabar sedikit lebih lama demi mendapatkan informasi lain soal pria itu. Jangan gegabah, jangan asal melangkah, jika tidak aku akan kehilangan segalanya.
[Sumpah, Beb. Aku kangen kamu.]
[Aku juga, Beb. Aku baru dapat bonus dari proyek yang aku cerita ke kamu. So, staycation kali ini aku yang teraktir.]
Astaga ... proyek? Aku terhenyak mendengarnya. Bukankah Bang Fuad juga bercerita hal yang sama kemarin?
Seketika dadaku bergemuruh. Jemariku mendadak gemetar mendapati kenyataan ini. Semakin besar kecurigaanku pada Bang Fuad dan Ida serta perselingkuhan mereka berdua.
[Beb, aku bahagia banget dengarnya. Tapi, cuma kamu yang nyenengin aku, jadi aku yang harus balas semua ini.]
[Okey, Beb. Aku paham maksud kamu, Beb. Tenang saja, kali ini bisa puas-puasan.]
[Sip, nanti aku cari alasan deh buat nitipin anakku ke mertua. Kali ini, kita bareng ya, Beb? Pakai mobilku.]
[Jangan, Beb. Ketahuan suamimu bisa gawat. Aku tunggu di terminal Batoh, kita pakai bus biar enggak ada yang curiga.]
[Ah, Beb ... kamu tuh terbaik pokoknya. Aku juga sudah beli linger*e yang super duper sekseh.]
Aku menutup layar browser karena tidak tahan melihat seluruh percakapan mereka. Sejak kapan Ida sudah begitu berani bermain api dan ada kemungkinan jika pria itu adalah suamiku— sahabatnya sendiri.
Sudah ada beberapa bukti, termasuk pesan dan proyek. Sekarang, aku hanya harus memastikan jika Bang Fuad akan pergi besok malam ke Medan.
Namun, jika memang benar Bang Fuad dan Ida punya hubungan, apa yang harus aku lakukan?
Perempuan tanpa kerabat sepertiku tentu akan kesulitan bertahan dan menerima pembelaan. Tidak akan ada yang memberi uluran tangan, apa lagi orang tua Bang Fuad yang sejak awal 'kurang' menyetujui pernikahan kami.
[Yank, kamu online terus? Kerja sana, biar enggak kelihatan selingkuh.]
Aku membaca notifikasi berikutnya dengan mata membelalak. Kulirik Ida, dia sedang mengetik sesuatu di komputernya dan tidak memainkan gawai.
Ternyata, aku belum benar-benar memutuskan koneksi aplikasi chat di komputerku. “Ya Allah, jangan sampai Ida tahu.”
[Okey Beb, sebentar ada yang harus aku selesain.]
“Alhamdulillah,” lirihku kemudian.
Ida kembali sibuk dengan komputernya. Setelahnya, tidak ada pesan lain yang masuk.
——
Setelah menggenggam beberapa bukti, aku mulai meningkatkan kewaspadaan. Bang Fuad yang pulang lebih dulu dariku ternyata sudah selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan setelan rumahan.
Saat aku bergabung dengannya, Bang Fuad tidak melirik. Dia sibuk mematut wajahnya di cermin, menyisir rambut ke belakang dan bersenandung riang.
“Bang, boleh aku bertanya?” ucapku sembari memerhatikan punggung tegap Bang Fuad dari bibir ranjang.
Kaos hitam lengan pendek dan celana longgar keabuan menjadi pilihan. Meski hanya demikian, Bang Fuad terlihat sangat rupawan.
“Bang, boleh aku nanya?”
“Nanya ya nanya aja, Yank.” Dia membalasku dengan intonasi ketus, seolah kesal mendengar tanya dari istrinya sendiri.
“Soal bonusmu itu ....”
“Abang pakai dulu untuk DP motor bisa? Abang mau beli motor, capek juga kalau harus nunggu kamu yang jemput atau naik gojek pulangnya. Kadang siang, abang enggak bisa keluar beli makan atau kopi.”
Aku tertegun mendengar penjelasannya barusan. Padahal baru dua kata dan Bang Fuad langsung meresponsnya seperti ini.
“Motor, Bang? Memang bonus abang berapa?”
“Banyak tanya banget sih, Yank? Apa aku enggak bisa pakai uang yang aku hasilkan sendiri?” sungutnya tiba-tiba.
Bang Fuad mendadak emosi. Dia berpaling dari cermin ke arahku, lalu melempar handuk basah bekasnya ke arah ranjang.
“Selama nafkahmu cukup, jangan terlalu banyak mengekangku. Apa aku pernah mengurusi semua gaji-gajimu? Tidak, kan?” Bang Fuad menambah komentarnya.
Sepanjang pernikahan, ini adalah kali pertamanya bicara sebanyak dan seketus ini. Intonasinya penuh kekesalan, dan manik matanya tajam.
“Bang, bukan begitu maksudku. Aku hanya bertanya, Bang. Kalau kita ambil motor lagi, kita bakalan sulit bayarnya. Rumah juga cicilannya masih panjang, dan lagi kita punya rencana buat renovasi.” Aku mengusulkan dengan tenang.
Jika Bang Fuad emosi dan kutanggapi dengan cara yang sama, maka kami akan bertengkar. Bahkan meski itu berarti aku harus menahan diri dan air mata yang bercucuran.
“Cicil rumah pakai gajimu berarti, Abang harus beli motor. Jangan hanya terima enaknya saja, seperti kata mamak!” sambungnya.
Aku membelalak mendengar kata Bang Fuad. Sejahat itukah pikirannya dan mamak mertua terhadapku?
“Apa Bang?” Aku berdiri, menghampiri pria itu.
“Dan nanti malam Abang berangkat ke Lhokseumawe, atasan di proyek minta Abang ke sana untuk ngecek proyek yang satunya.”
Jedug! Ini dia ... Bang Fuad akan pergi walau kata Medan tidak disebutkan olehnya.
“Bang ... aku ikut.”
--
Kenapa di antara semua jenis bunga, mawar berduri yang kamu pilihkan?
Cantik, tapi durinya menusuk.
-Ayu
Wajah Bang Fuad berubah kala kuutarakan keinginan hati untuk pergi bersamanya. Besok weekend, dan aku bisa ikut untuk menemani Bang Fuad, sekaligus jalan-jalan jika memang diizinkan.“Aku ikut, ya? Weekend juga kan, Bang,” harapku seraya membaca setiap ekspresi di wajahnya.Hatiku dag dig dug, tidak tahan melihat betapa ragunya Bang Fuad atas permintaanku barusan. Seolah sedang berpikir, Bang Fuad menghela napas dan membalik badan. Pria itu memilih memunggungiku, hingga guratan gelisahnya itu tidak lagi bisa terbaca.Jangan ditanya bagaimana remuknya hatiku menemukan sikap Bang Fuad ini. Seolah segalanya yang aku takutkan telah menemukan jawabannya.“Bang, kenapa hanya diam?” tanyaku kembali.Perasaanku jadi tidak karuan. Bayang-bayang Bang Fuad menolak sudah tercipta di pelupuk mata, hanya tinggal realisasinya saja.Sebab itulah, aku memilih untuk mundur. Kubuka jarak dengan pria yang kupercayakan hidup di tangannya itu.Pernikahan indah, rumah tangga bahagia dan sejahtera, anak-anak
Sesuai dengan kesepakatan, Bang Fuad memboyong diriku ke Lhokseumawe. Kami berangkat dengan menumpang bus dari Terminal Batoh di Banda Aceh menuju Terminal Lhokseumawe.Perjalanan kami hanya kurang dari enam jam sampai tiba di kota itu. Kami turun di Terminal Lhokseumawe saat malam mulai memudar, dan langit kebiruan di ufuk.Sejenak, aku berdiri di dekat bus antar provinsi yang mengantarkan kami. Kemudian, menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin.“Ya Allah, akhirnya bisa jalan-jalan juga,” lirihku.Meski sebenarnya tujuanku mengekor Bang Fuad adalah untuk menjauhkannya dari Ida; andai memang mereka berdusta. Kini, aku merasa datang hanya untuk menikmati bulan madu yang indah bersama pria itu.“Cepat, Yu!” Tiba-tiba Bang Fuad berseru dengan tegasnya padaku.Dia menyampirkan tas kecil yang dibawanya dari Banda Aceh, lalu berjalan dalam langkah besar tanpa berniat membantuku. Buruknya, aku datang dengan persiapan yang terlalu matang hingga harus menggerek satu buah koper berukuran s
“Kota seindah dan sesyahdu ini malah menjadi saksi dari perlakuan buruk yang diberikan Bang Fuad padaku,” lirihku sembari memandangi sebuah masjid yang terletak jauh lebih tinggi dari jalanan.Masjid megah itu berukir indah, warna dindingnya kecoklatan dengan garis-garis lebih gelap. Ada beberapa orang yang lalu-lalang keluar masuk. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang baru saja pulang dari satu tempat dan mampir untuk salat magrib.Aku menghela napas sedalam mungkin, sebab kini kedua mataku memerah akibat amarah. Terdudukku sendirian di seberang masjid itu, memegang sebuah botol dari salah satu franchise di belakang sana.Bang Fuad belum ada kabarnya. Dia meninggalkanku entah sudah berapa jam sendirian di kota ini.“Astagfirullah, Ya Allah!” lirihku.Helaan napas selanjutnya jauh lebih kuat dan dalam. Kupeluk tas yang menemani perjalanan ini seerat mungkin, sebab langit terus menggelap di pucuk sana, dan tidak ada yang berubah selain jalan yang jadi lebih sepi.“Harus ke mana
“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku beru
“Meng-meng ....”“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi.Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir.“A-aku belum ....”“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal.“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali.Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku
Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.“Terima kasih, Kak. Duluan?”“Iya, Pak. Silakan.”Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.Aku menarik n
Aku menyibak tirai jendela di ruangan kecil yang selalu kusebut sebagai ruang tamu saat pagi menjelang. Kemudian, membereskan sedikit demi sedikit bungkusan makanan dan beberapa barang yang berhamburan di atas karpet.Ini masih pagi, baru jam tujuh pagi tepatnya. Matahari menyingsing lembut dan langit berwarna cerah. Tidak banyak awan atau kabut, tidak ada angin yang berembus, segalanya tenang dan terang.Kulanjutkan sisa pekerjaan dengan beranjak ke dapur. Di sana ada beberapa piring dan gelas kotor, serta beberapa pakaian bekas pakai yang aku bawa ke Lhokseumawe.Dengan memakai piyama rumah yang sudah pudar warnanya, aku mengerjakan semuanya satu per satu seperti biasa. Tidak pernah mengeluh, tidak juga bersedih.Namun, semua ketenangan itu buyar saat kudengar langkah kaki dari arah depan. Derap keras dan cepat yang selama ini telah menjadi irama di dalam lubuk hati terdalam.M
“Jelaskan pada Abang sekarang, Dek! Kamu sudah keterlaluan sekali akhir-akhir ini.” Bang Fuad kembali meneriaki diriku.Alhasil, aku hanya bisa melempar benda pipih itu ke ranjang dan menangis dengan begitu keras. Segala hal yang membuatku tersiksa beberapa hari terakhir kini semakin membingungkan.Bagaimana bisa seseorang yang kusangka adalah Bang Fuad itu ternyata orang lain? Lantas, kenapa gawai yang terhubung dengan nomor selingkuhan Ida bisa bersama Bang Fuad kala itu?“Dek, jangan menangis, bicaralah! Apa kamu kira semua masalah akan selesai dengan menangis?” pekik Bang Fuad lagi.Aku tidak bisa menjawab dan hanya membiarkan tubuhku berguncang karena tangisan serta desakan yang terus dilayangkan oleh Bang Fuad. Segalanya telah kacau, hancur tidak bersisa sekarang.“Jelaskan pada Abang, siapa yang kamu hubungi barusan?”
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari