“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.
Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.
Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?
“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.
Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.
“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku berujar dingin. Bukan karena membencinya, bukan! Melaikan hati ini panas melihat beberapa pasangan yang begitu mesra juga check in di sebelahku.
Mereka memperlihatkan bukti nikah, lalu diberikan ruangan yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka diantarkan melalui lift yang sudah menunggu oleh hotellier.
Cemburu? Sepertinya begitu. Seharusnya aku juga bisa merasakan hal indah itu andai Bang Fuad tidak pergi meninggalkan diriku di rumah kerabatnya.
Jadilah, aku terdampar di sebuah hotel bintang tiga yang berseberangan dengan sebuah SPBU super ramai. Saat aku tiba di sini menumpang sebuah becak motor, SPBU itu dipenuhi puluhan truk dan mobil yang mengantre, sedangkan hotel jauh lebih lengang dan tenang.
“Baik, Bu. Tunggu sebentar.”
Aku mengiyakan hanya dengan pergerakan. Tidak ada kata-kata, bukannya sombong tapi hatiku panas luar biasa.
Apa yang sedang dilakukan oleh Bang Fuad di luar sana setelah meninggalkan diriku begini? Siapa laki-laki yang bersama Ida dan apa hubungan antara mereka berdua? Aku menggigit bibir memikirkannya.
“Ini, Bu. Kamarnya ada di lantai 3, nomor kamar Ibu 323.”
Lalu, seorang pria dengan seragam yang rapi serta sarung tangan putih muncul di dekatku. Dia bertanya apakah koper yang ada di sampingku itu milikku? Dan saat aku membenarkan pertanyaannya, dia bergegas mengambil, menaikkannya ke sebuah troli berwarna keemasan yang dialasi karpet merah.
“Mari, Bu ... saya antarkan.”
“Baik, terima kasih.”
Hanya beberapa menit berjalan aku sudah merebahkan diri di sebuah kamar dengan nuansa temaram lampu kekuningan. Kaca jendelanya lebar, dilapisi gorden tebal berwarna coklat dengan motif salur emas. Ada dua kursi kayu yang berhadapan dan meja bulat kecil di tengahnya.
Berlawanan dengan ranjang luas dan lembut itu, ada sebuah tivi berukuran sedang, kemudian buffet berisi vas-vas kecil dan alat seduh kopi. Tidak lupa pendingin udara dan kulkas mungil.
“Baiklah, tidak ada salahnya menghabiskan gaji yang aku cari susah payah selama ini,” gumamku sembari memaksakan diri untuk memejamkan kedua mata.
Semakin gelap, semakin jelas paras Bang Fuad yang tercipta. Lalu, bayang-bayang akan kehadiran Ida yang sedang bersamanya.
“Astagfirullah!” keluhku tanpa henti. Seindah apa pun kamar ini, terasa bagaikan di neraka sebab hatiku tidaklah tenteram. Pikiranku berkelana, membayangkan segala hal buruk yang sedang dilakukan Bang Fuad dan Ida, hingga akhirnya hanya semakin menggores hati.
Aku memaksakan diri, bermanifestasi, berdoa dan menangis hanya agar kedua mata dan badan lelah, lalu terlelap di ruangan yang bernilai mahal ini.
--
Pagi kedua menjelang di Lhokseumawe. Aku membuka kedua mata dengan paksa setelah mendengar dering dari gawai.
Jam tujuh pagi. Untungnya aku tidak melewatkan salat subuh meski habis menangis semalaman karena memikirkan pria itu.
Hari ini, aku tidak punya rencana apa pun selain kembali ke Banda Aceh sendirian. Tidak perlu mengabari Bang Fuad, tidak perlu mengadu pada Ida, mereka yang memilih memperlakukanku seperti orang asing.
Usai mandi dan merias diri, aku membereskan kembali pakaian-pakaian dari koper, setelahnya melangkah keluar dari kamar menuju lantai pertama tempat di mana sarapan hotel disediakan. Bukannya tidak ingin langsung pulang, aku hanya ingin mencoba kehidupan mewah yang selama ini sulit kuraih sebelum dan sesudah menikah.
“MasyaAllah!” Aku berseru begitu tiba di depan pintu kaca yang terletak di sudut hotel.
Dua pelayan yang berdiri di prasmanan tinggi dan mewah itu menyapa. Mereka meminta kupon yang diberikan bersamaan dengan room card untuk diperiksa.
“Selamat menikmati hidangan kami, Bu?” ujarnya mempersilakan.
Aku berjalan, mengambil piring bundar dan mengisinya dengan nasi putih panas. Tidak lupa lauk-lauk yang berbagai jenis kuambil sesendok untuk setiap pilihannya.
Setelahnya, aku mengambil air mineral botol, lalu duduk di sebuah meja yang berbatasan langsung dengan kolam renang hotel. Sunyi dan sepi di sana, tidak ada yang berenang di pagi hari ini.
Meski terasa menyakitkan, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum sendirian. Di sisi kiri dan kanan, puluhan pasangan dan keluarga sedang menikmati sarapan mereka, beberapa melihat ke arahku, lalu melempar senyum sapa.
Berulang kali aku menyuap nasi dan sepotong daging, kemudian mendorongnya dengan air. Pahit ... lidahku terasa sangat pahit.
Apa masakannya yang bermasalah atau memang diriku yang sudah terlalu pasrah?
“Baiklah, mari kita coba salad buahnya.” Aku berpikir seraya meninggalkan meja.
Prasmanan buah menggoda mata. Aku mengisi mangkuk berukuran kecil dengan berbagai jenis buah, lalu mengguyurnya dengan saus putih kekuningan. Entah apa ini, tapi sepertinya cukup laris karena jumlahnya berkurang banyak dibanding saus yang lain.
Saat hendak kembali ke meja, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Dia duduk berlawanan, sedang menikmati sarapan paginya dengan sangat tenang.
“A-apa aku salah meja?” monologku sembari melihat piring sarapan yang masih tergeletak di atasnya. “Tidak! Ini memang piringku. Lantas, siapa pria ini?”
“Maaf, Bang ....” Aku menyapa. Cemas, mungkin saja memang salah meja.
Kuperhatikan pria berkaos yang memakai celana di bawah lutut, sepatunya berwarna kontras dan penampilannya sangat sederhana. Namun, aroma parfumnya menyebar dengan begitu kuat.
“Ah, aku salah meja!” yakinku sembari beranjak.
“Tidak, Kak ... aku yang numpang gabung!” jawabnya yang membuatku berhenti melangkah.
Kupandangi pria itu. Apa lagi ini? Sebentar, suaranya tidak asing.
“Lupa?” ujarnya. Dia mengangkat wajah, meletakkan sendok dan mengulas senyum ke arahku. “Aku yang semalam, Mbak.”
Deg! Pria itu?
Gagal mengontrol keterkejutan, aku bergegas duduk di kursi semula. Tidak mungkin semudah ini bertemu dengan orang yang sama. Di kota ini? Di dunia yang unik ini? Mustahil sekali.
“Iya, Kak. Apa makanannya dihabiskan?” balasnya melihat keterkejutanku.
Ya ... tidak mungkin dia asal menyapa. Inikah paras aslinya saat tersinar cahaya? Lumayan ... tampan.
“Te-terima kasih.” Kutundukkan wajah, ada rasa sesal karena menyia-nyiakan makanan sebanyak itu semalam.
Dibanding makan, aku memilih tidur dalam genangan air mata. Alhasil, wajah dan pipiku bengkak luar biasa.
“Sepertinya tidak dimakan, ya? It’s okey, jangan merasa bersalah. Kakak memang seharusnya menjaga jarak dengan orang asing.”
Aku tersenyum getir. Demi menutupi rasa malu karena segalanya berhasil terbaca olehnya, jemariku refleks mengaduk-aduk salad buah tersebut. Akhirnya, warna merah dari buah naga luntur, membuat seisi mangkuk berubah warna.
“Tapi, aku bukan orang asing,” sambungnya. “Aku sudah kenal Kak Ayu sejak lama, sayangnya Kak Ayu tidak mengenaliku dengan baik.”
Deg! Deg! Dia juga menyebutkan namaku.
Kugelengkan kepala. Kekonyolan apa lagi ini? Sejak kapan aku punya kenalan pria kaya begini? Andai iya, seharusnya aku bisa mengingatnya dengan baik, sebab di dalam hidupku yang serba pas-pasan ini, tidak mungkin pria begini terlewatkan begitu saja.
“Tidak ingat juga?” Dia mulai bermain kata-kata.
“Maaf, aku minta maaf. Apa benar kita ....”
“Aku tahu nama Kakak, apa lagi yang harus dibuktikan?”
“Ba-bagaimana bisa?”
“Hah!” Pria itu mendengkus. Dia meninggalkan sarapannya dan memilih bersandar di kursi.
Aku hanya bisa memandangi pergerakannya, tanpa sempat peduli dengan lingkungan sekitar saat ini. Sungguh, ini di luar nalar. Apa yang harus aku lakukan?
“Aku suaminya Ida, Kak. Masa lupa?” jawabnya masih dengan senyuman yang terpahat.
“Meng-meng ....”“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi.Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir.“A-aku belum ....”“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal.“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali.Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku
Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.“Terima kasih, Kak. Duluan?”“Iya, Pak. Silakan.”Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.Aku menarik n
Aku menyibak tirai jendela di ruangan kecil yang selalu kusebut sebagai ruang tamu saat pagi menjelang. Kemudian, membereskan sedikit demi sedikit bungkusan makanan dan beberapa barang yang berhamburan di atas karpet.Ini masih pagi, baru jam tujuh pagi tepatnya. Matahari menyingsing lembut dan langit berwarna cerah. Tidak banyak awan atau kabut, tidak ada angin yang berembus, segalanya tenang dan terang.Kulanjutkan sisa pekerjaan dengan beranjak ke dapur. Di sana ada beberapa piring dan gelas kotor, serta beberapa pakaian bekas pakai yang aku bawa ke Lhokseumawe.Dengan memakai piyama rumah yang sudah pudar warnanya, aku mengerjakan semuanya satu per satu seperti biasa. Tidak pernah mengeluh, tidak juga bersedih.Namun, semua ketenangan itu buyar saat kudengar langkah kaki dari arah depan. Derap keras dan cepat yang selama ini telah menjadi irama di dalam lubuk hati terdalam.M
“Jelaskan pada Abang sekarang, Dek! Kamu sudah keterlaluan sekali akhir-akhir ini.” Bang Fuad kembali meneriaki diriku.Alhasil, aku hanya bisa melempar benda pipih itu ke ranjang dan menangis dengan begitu keras. Segala hal yang membuatku tersiksa beberapa hari terakhir kini semakin membingungkan.Bagaimana bisa seseorang yang kusangka adalah Bang Fuad itu ternyata orang lain? Lantas, kenapa gawai yang terhubung dengan nomor selingkuhan Ida bisa bersama Bang Fuad kala itu?“Dek, jangan menangis, bicaralah! Apa kamu kira semua masalah akan selesai dengan menangis?” pekik Bang Fuad lagi.Aku tidak bisa menjawab dan hanya membiarkan tubuhku berguncang karena tangisan serta desakan yang terus dilayangkan oleh Bang Fuad. Segalanya telah kacau, hancur tidak bersisa sekarang.“Jelaskan pada Abang, siapa yang kamu hubungi barusan?”
Beberapa jam berkeliaran tanpa tujuan di jalanan, aku pulang ke rumah saat malam menjelang. Suasana perumahan sangat sunyi mencekam, tidak terlihat satu manusia pun berkeliaran di depan rumah mereka.Kususuri gang dengan motor menuju bangunan yang entah apa masih pantas disebut rumah. Perasaanku berkecamuk luar biasa kala mendapati rumah itu sunyi sepenuhnya.Saat memutuskan untuk pulang tadi, aku sedikit menaruh harap untuk berbaikan dengan Bang Fuad. Bukan kenapa, hanya saja ada banyak hal yang harus kami bicarakan dengan kepala dingin agar mencapai solusi.Tapi ... harapan itu pupus begitu aku berhenti di teras rumah kecil tersebut. Tidak ada siapa pun di depannya, segalanya sunyi dan hampa sama seperti rumah lainnya.“Bang Fuad tidak menunggu?” ratapku usai mematikan mesin motor. Lengang, bahkan suara kehadiran manusia juga tidak terdengar dari dalam.Pria yang se
Bukankah terlalu sulit untuk percaya jika kini Bang Fuad sedang berlutut di depanku? Pria itu memeluk kedua kakiku dan mendekapnya begitu erat. Seolah, tindakannya meninggalkanku di Lhokseumawe sendirian tidak pernah terjadi di dalam hidup kami. “Dek, tolong jangan begini lagi,” rintihnya tanpa mengendurkan rengkuhannya. Aku hanya bisa menghela napas. Pria itu bahkan bergeming meski aku terus menggoyangkan kedua kaki dengan harapan agar dia membebaskan diriku. “Dek?” “Hai, Fuad! Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini?” Mamak mertua berteriak khas dengan logat Acehnya. Beliau mendorong pundak Bang Fuad, mungkin mencoba menyadarkan putranya tentang betapa menyedihkannya dia hari ini. “Dikasih makan apa kamu sama Si Ayu sampai kamu jadi berlutut, hah? Laki-laki mana boleh begini, kamu itu tidak boleh tunduk sama istrimu, nanti dia jadi besar kepala, Fuad!” pekiknya lagi.
Bab 14: Jembatan Perselingkuhan Suami dan SahabatkuSesuai dengan permintaan Bang Fuad, aku langsung pergi ke sebuah toko ponsel di daerah Penayong. Membawa uang sebanyak tiga juta lebih yang baru aku ambil dari ATM, kuputuskan untuk mampir ke sebuah toko ponsel satu pintu.Saat aku masuk ke dalamnya, dua pekerja di sana mengulas sebuah senyum. Mereka langsung menghampiri, lalu bertanya tentang apa yang aku cari di sini.Usai kuutarakan tentang jenis gawai yang aku cari, dua pekerja itu menggelengkan kepala. Mereka mencoba bertanya pada seorang perempuan yang sedang sibuk meng-scroll layar gawainya. Namun, jawaban yang dikembalikan padaku tidak banyak berbeda.“Coba Kakak cari di toko lain, jenis yang ini belum masuk lagi di kami, Kak. Cuma kalau Kakak berminat, kami bisa tawarkan jenis lain yang tidak kalah bagusnya!” jelas pria bersuara mendayu itu.Aku langsung menggelengkan kepala. Ada niat tersembunyi yang terpatri saat memilih jenis gawai yang satu ini. Sebab itulah, aku bersedi
Setelah pertemuan itu, aku pulang ke rumah dengan hati yang lebih gusar. Keinginan untuk tetap berdamai dengan Bang Fuad terpaksa kuurung, sebab perkataan Bang Bayu telah memberiku banyak tanda tanya. Aku tidak boleh memercayainya seratus persen seperti dulu jika tidak ingin terluka sendirian.Apa benar Bang Fuad sudah berubah? Bagaimana kalau ini semua hanya siasatnya untuk membuat diriku tetap percaya padanya?Dan lagi, sikap Ida jauh berbeda dengan sebelumnya. Dia jadi lebih tenang, tidak banyak tingkah apa lagi sampai membicarakan soal bagaimana bahagianya dia dengan sang selingkuhan.Kuputuskan untuk tetap tegar sembari menunggu Bang Fuad pulang. Pria itu baru terlihat batang hidungnya saat malam menjelang dan azan Magrib berkumandang di masjid.“Assalamualaikum, Dek?” sapanya saat aku membuka pintu untuknya.Wajah Bang Fuad sangat cerah, senyumnya merekah seperti musim semi. Dia bersikap sangat manis sampai mencium kening
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari