Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.
Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.
“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.
Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.
“Terima kasih, Kak. Duluan?”
“Iya, Pak. Silakan.”
Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.
Aku menarik n
Aku menyibak tirai jendela di ruangan kecil yang selalu kusebut sebagai ruang tamu saat pagi menjelang. Kemudian, membereskan sedikit demi sedikit bungkusan makanan dan beberapa barang yang berhamburan di atas karpet.Ini masih pagi, baru jam tujuh pagi tepatnya. Matahari menyingsing lembut dan langit berwarna cerah. Tidak banyak awan atau kabut, tidak ada angin yang berembus, segalanya tenang dan terang.Kulanjutkan sisa pekerjaan dengan beranjak ke dapur. Di sana ada beberapa piring dan gelas kotor, serta beberapa pakaian bekas pakai yang aku bawa ke Lhokseumawe.Dengan memakai piyama rumah yang sudah pudar warnanya, aku mengerjakan semuanya satu per satu seperti biasa. Tidak pernah mengeluh, tidak juga bersedih.Namun, semua ketenangan itu buyar saat kudengar langkah kaki dari arah depan. Derap keras dan cepat yang selama ini telah menjadi irama di dalam lubuk hati terdalam.M
“Jelaskan pada Abang sekarang, Dek! Kamu sudah keterlaluan sekali akhir-akhir ini.” Bang Fuad kembali meneriaki diriku.Alhasil, aku hanya bisa melempar benda pipih itu ke ranjang dan menangis dengan begitu keras. Segala hal yang membuatku tersiksa beberapa hari terakhir kini semakin membingungkan.Bagaimana bisa seseorang yang kusangka adalah Bang Fuad itu ternyata orang lain? Lantas, kenapa gawai yang terhubung dengan nomor selingkuhan Ida bisa bersama Bang Fuad kala itu?“Dek, jangan menangis, bicaralah! Apa kamu kira semua masalah akan selesai dengan menangis?” pekik Bang Fuad lagi.Aku tidak bisa menjawab dan hanya membiarkan tubuhku berguncang karena tangisan serta desakan yang terus dilayangkan oleh Bang Fuad. Segalanya telah kacau, hancur tidak bersisa sekarang.“Jelaskan pada Abang, siapa yang kamu hubungi barusan?”
Beberapa jam berkeliaran tanpa tujuan di jalanan, aku pulang ke rumah saat malam menjelang. Suasana perumahan sangat sunyi mencekam, tidak terlihat satu manusia pun berkeliaran di depan rumah mereka.Kususuri gang dengan motor menuju bangunan yang entah apa masih pantas disebut rumah. Perasaanku berkecamuk luar biasa kala mendapati rumah itu sunyi sepenuhnya.Saat memutuskan untuk pulang tadi, aku sedikit menaruh harap untuk berbaikan dengan Bang Fuad. Bukan kenapa, hanya saja ada banyak hal yang harus kami bicarakan dengan kepala dingin agar mencapai solusi.Tapi ... harapan itu pupus begitu aku berhenti di teras rumah kecil tersebut. Tidak ada siapa pun di depannya, segalanya sunyi dan hampa sama seperti rumah lainnya.“Bang Fuad tidak menunggu?” ratapku usai mematikan mesin motor. Lengang, bahkan suara kehadiran manusia juga tidak terdengar dari dalam.Pria yang se
Bukankah terlalu sulit untuk percaya jika kini Bang Fuad sedang berlutut di depanku? Pria itu memeluk kedua kakiku dan mendekapnya begitu erat. Seolah, tindakannya meninggalkanku di Lhokseumawe sendirian tidak pernah terjadi di dalam hidup kami. “Dek, tolong jangan begini lagi,” rintihnya tanpa mengendurkan rengkuhannya. Aku hanya bisa menghela napas. Pria itu bahkan bergeming meski aku terus menggoyangkan kedua kaki dengan harapan agar dia membebaskan diriku. “Dek?” “Hai, Fuad! Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini?” Mamak mertua berteriak khas dengan logat Acehnya. Beliau mendorong pundak Bang Fuad, mungkin mencoba menyadarkan putranya tentang betapa menyedihkannya dia hari ini. “Dikasih makan apa kamu sama Si Ayu sampai kamu jadi berlutut, hah? Laki-laki mana boleh begini, kamu itu tidak boleh tunduk sama istrimu, nanti dia jadi besar kepala, Fuad!” pekiknya lagi.
Bab 14: Jembatan Perselingkuhan Suami dan SahabatkuSesuai dengan permintaan Bang Fuad, aku langsung pergi ke sebuah toko ponsel di daerah Penayong. Membawa uang sebanyak tiga juta lebih yang baru aku ambil dari ATM, kuputuskan untuk mampir ke sebuah toko ponsel satu pintu.Saat aku masuk ke dalamnya, dua pekerja di sana mengulas sebuah senyum. Mereka langsung menghampiri, lalu bertanya tentang apa yang aku cari di sini.Usai kuutarakan tentang jenis gawai yang aku cari, dua pekerja itu menggelengkan kepala. Mereka mencoba bertanya pada seorang perempuan yang sedang sibuk meng-scroll layar gawainya. Namun, jawaban yang dikembalikan padaku tidak banyak berbeda.“Coba Kakak cari di toko lain, jenis yang ini belum masuk lagi di kami, Kak. Cuma kalau Kakak berminat, kami bisa tawarkan jenis lain yang tidak kalah bagusnya!” jelas pria bersuara mendayu itu.Aku langsung menggelengkan kepala. Ada niat tersembunyi yang terpatri saat memilih jenis gawai yang satu ini. Sebab itulah, aku bersedi
Setelah pertemuan itu, aku pulang ke rumah dengan hati yang lebih gusar. Keinginan untuk tetap berdamai dengan Bang Fuad terpaksa kuurung, sebab perkataan Bang Bayu telah memberiku banyak tanda tanya. Aku tidak boleh memercayainya seratus persen seperti dulu jika tidak ingin terluka sendirian.Apa benar Bang Fuad sudah berubah? Bagaimana kalau ini semua hanya siasatnya untuk membuat diriku tetap percaya padanya?Dan lagi, sikap Ida jauh berbeda dengan sebelumnya. Dia jadi lebih tenang, tidak banyak tingkah apa lagi sampai membicarakan soal bagaimana bahagianya dia dengan sang selingkuhan.Kuputuskan untuk tetap tegar sembari menunggu Bang Fuad pulang. Pria itu baru terlihat batang hidungnya saat malam menjelang dan azan Magrib berkumandang di masjid.“Assalamualaikum, Dek?” sapanya saat aku membuka pintu untuknya.Wajah Bang Fuad sangat cerah, senyumnya merekah seperti musim semi. Dia bersikap sangat manis sampai mencium kening
Sejak hari itu, kekhawatiranku akan Bang Fuad dan Ida semakin meningkat. Pria yang sudah aku nikahi terlihat jauh berbeda, tidak hanya sikap dan perlakuannya padaku, namun juga saat kami berhubungan seperti kemarin malam.Aku merasakan jika Bang Fuad tidak lagi puas dengan diriku. Seperti, dirinya terjebak dalam suatu fantasi liar yang tidak ada di dalam pernikahan kami. Sampai, saat dirinya mencapai puncak kenikmatan, dia meninggalkanku sendirian dan langsung berlalu ke kamar mandi.“Yu? Pinjem dong hape barunya.” Suara Ida menggelegar di tengah lamunanku. Untung saja, di ruangan itu hanya ada kami berdua.Ternyata sudah jam istirahat, pantas saja seisi kantor terlihat lengang. Aku terlalu banyak pikiran hingga tidak lagi mampu fokus dengan keadaan sekitar. Pekerjaan hari ini berantakan, saat aku harusnya membantu atasan, malah aku yang dibantu olehnya.“Yu? Bengong lagi, deh!” Ida berseru.“Tidak, pakai hape sendiri
“Maaf, tapi aku tidak bisa berpikir hal lain lagi selain ini,” jelas Bang Bayu di sampingku.Dia menyetir mobil mewahnya di tengah gelapnya malam dengan begitu buru-buru. Ekspresi Bang Bayu terus menggambarkan betapa paniknya dia malam ini.Pria itu muncul di depan pintu hanya dengan kaos polos dan celana ponggol di bawah lutut. Tapi, dia tidak lupa memakai sebuah jam berlayar penuh yang modern itu, serta membawa dompet dan clutch yang kutebak berisi begitu banyak uang.Namun, dibandingkan itu semua, hal yang membuat batinku nyeri adalah penumpang di jok belakang. Seorang balita kecil terlelap di car seatnya yang terlihat begitu canggih. Dia diselimuti kain tebal, juga memakai topi rajut untuk menghalau panas.Dadaku sesak, bukan hanya karena kami akan mengejar fakta, tapi juga membayangkan apa yang terjadi dengan gadis kecil ini nanti. Dia masih terlalu belia untuk paham dengan situasi yang sedang terjadi.Bagi seorang anak, keluarga y
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari