“Kota seindah dan sesyahdu ini malah menjadi saksi dari perlakuan buruk yang diberikan Bang Fuad padaku,” lirihku sembari memandangi sebuah masjid yang terletak jauh lebih tinggi dari jalanan.
Masjid megah itu berukir indah, warna dindingnya kecoklatan dengan garis-garis lebih gelap. Ada beberapa orang yang lalu-lalang keluar masuk. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang baru saja pulang dari satu tempat dan mampir untuk salat magrib.
Aku menghela napas sedalam mungkin, sebab kini kedua mataku memerah akibat amarah. Terdudukku sendirian di seberang masjid itu, memegang sebuah botol dari salah satu franchise di belakang sana.
Bang Fuad belum ada kabarnya. Dia meninggalkanku entah sudah berapa jam sendirian di kota ini.
“Astagfirullah, Ya Allah!” lirihku.
Helaan napas selanjutnya jauh lebih kuat dan dalam. Kupeluk tas yang menemani perjalanan ini seerat mungkin, sebab langit terus menggelap di pucuk sana, dan tidak ada yang berubah selain jalan yang jadi lebih sepi.
“Harus ke mana lagi ini?” Kupalingkan muka ke kiri dan kanan. Toko ayam goreng yang sebelumnya menyala benderang kini tutup, begitu pula dengan toko-toko lain.
Tidak ingin semakin larut sendirian di sana, kucoba untuk melirik gawai dan membaca pesan-pesan yang ditinggalkan oleh Ida ke sebuah nomor yang kini hampir kutemukan titik baliknya. Mereka berjanji akan bertemu di terminal dan berangkat ke Medan bersama.
Jika memang pria itu adalah Bang Fuad, maka setengah dari rencana mereka telah rusak akibat ulahku. Sekarang, aku harus berpikir bagaimana caranya mengungkapkan kejadian sebenarnya dan mengambil keputusan sebelum semuanya semakin sulit.
Nomor yang dihubungi Ida ternyata sedang online. Aku bergegas mengecek nomor tersebut. Ada beberapa hal yang sedang kupikirkan; menghubunginya secara langsung dan berpura-pura sebagai Ida, atau menelepon Ida.
Baru saja hendak menjalankan rencana, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Bang Fuad yang membuat jantungku hampir jatuh. Pria itu ... setelah pergi dengan kejam dan tidak berpamitan, sekarang bersikap semanis ini.
“Dek, Abang lagi ada pertemuan dengan atasan, kamu tunggu di rumah sebentar. Nanti Abang ajak kamu jalan-jalan, dan makan makanan enak di sini sepuasnya.”
Aku mengulas senyum, bukannya bahagia namun muak. Kuputuskan untuk tidak membalas pesan tersebut dan beralih mencari nomor Ida.
Perempuan itu menyalakan last seen hingga aku bisa melihat kapan terakhir dia aktif. Pukul 18.57 lalu, dan sekarang dia offline kembali.
“Kalian sungguh pemain sandiwara yang hebat!”
Aku melayangkan panggilan untuk Ida, mencoba menemukan perempuan itu dan bertanya ke mana dia menghabiskan weekend kali ini.
Tut ... tut ... tut ....
“Hallo, Yu? Kamu kenapa telepon aku, sih?” protesnya. Ida terdengar keberatan di seberang sana. “Apa kamu enggak ngerti kalau aku lagi hepi-hepi?”
“Oh, dengan siapa? Kamu ke mana?” sahutnya mencoba bersikap tenang, padahal hati ini berkejaran.
“Ya, ke mana lagi kalau bukan jalan-jalan sama Baby-ku. Sudah, ya ... jangan ganggu. Aku susah payah dapatin waktu bebas begini, Yu.”
“Sebentar, Da. Kamu di mana? Aku sedang di Medan dengan Bang Fuad̶ suamiku.” Aku mengulas senyum mendengar Ida terdiam di seberang sana. Sepertinya, perempuan itu terkejut. Sebabnya, aku menambahkan kalimat-kalimat lain untuk mengundang emosi Ida, jika dia tersulut, maka kebenaran sudah semakin dekat.
“A-apa maksudmu, sih?”
“Aku diajak Bang Fuad ke Medan, Da. Kamu tahu, kan ... selama ini aku enggak pernah ke mana-mana seperti kamu. Selama ini, aku duduk di rumah, belajar, bekerja dan mengurus suamiku. Aku hanya ingin menceritakan hal sebahagia ini pada sahabatku sendiri.”
“La-lalu apa urusannya denganku? Kamu aneh, Yu. Cuma ke Medan, apa sih susahnya? Medan itu enggak jauh karena kita di Aceh, bisa pakai bus, kan? Beda kalau kamu ke Jawa, ke Bali, ke Sulawesi, apa lagi luar negeri,” balasnya di seberang sana.
Awalnya, aku mengira jika Ida akan terkejut dan berbicara terbata setelah mendengarku menyebutkan nama Bang Fuad. Tapi ... responsnya hanya begini.
“Aku dengan Bang Fuad, Da.”
“A-ah ... kamu dibawa suamimu, ya? Bagus, deh. Biar enggak iri sama kehidupanku juga.”
“Beb, ma-sih lama?”
Aku mendengar suara laki-laki menegur Ida. Hal itu menyebabkan Ida bergegas mematikan panggilan.
Mendengarnya, aku terhenyak cukup lama dalam kesendirian. Ini masih jam tujuh malam, dan seingatku bang Fuad menghilang beberapa jam sebelumnya.
Perjalanan menuju Medan dari sini saja bisa enam jam. Sangat mustahil andai suara yang aku dengar itu adalah milik suamiku.
Lalu, kenapa Bang Fuad pergi begitu saja tanpa sepatah kata untukku?
[Jangan ganggu, Yu. Aku ini lagi hepi-hepi, bagaimana, sih?]
Terdiam diriku membaca pesan dari Ida. Perempuan itu tidak menunjukkan tanda penyesalan setelah mendengar nama Bang Fuad kusebutkan. Lantas, siapa orang yang berhubungan dengan Ida selama ini dan kenapa pesan tersebut bisa masuk ke gawai suamiku?
Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Semua rencana, bukti-bukti serasa tidak berarti lagi.
Akhirnya, aku merenung kembali di tepian trotoar. Berjongkok, memeluk tas dan memandangi layar gawai seperti orang yang diusir dari kontrakan karena kehabisan rencana.
Puk! Aku terkejut sebab pundakku ditepuk dari belakang. Lalu, samar-samar kehadiran seseorang menghindariku dari kesepian.
Seorang pria dengan tinggi menjulang dan wajah yang tersenyum. Aroma parfum maskulin menguar hebat dari tubuhnya, ditambah lagi gayanya yang seperti pria metroseksual dari kota besar.
“Kak, sedang apa di sini?” tanyanya.
Suaranya berat dan dalam. Tangannya terulur, mungkin mencoba memperkenalkan diri.
Meski demikian, aku hanya bangkit dan membangun jarak lebar dengannya. Di tengah gelap gulita ini, di sudut kota yang sepi, dan di atas trotoar yang berdebu, pria mana yang bersedia menawarkan diri untuk berkenalan dengan perempuan asing?
“Maaf, aku perhatikan dari tadi Kakaknya di sini. Mencari sesuatu?” ungkapnya lagi. “Maaf, aku bukan orang jahat!”
Kuarahkan pandangan, sebisa mungkin mampu mengenali sosok di depanku saat ini. Tidak mudah memang, tapi sekelebat cahaya dari sorot lampu membuatku bisa membaca parasnya.
Wajahnya tidak serupawan penampilannya. Tapi, kulitnya bersih, posturnya bagus dan tegap, serta kurasa dompetnya cukup tebal.
“Ti-tidak ada apa-apa, Bang. Maaf, aku permisi dulu!” elakku.
Ada sekelebat rasa khawatir melihat seorang pria asing mencoba membangun kedekatan denganku. Memang, kota ini dikenal cukup aman, namun tetap saja ada kekhawatiran saat harus berurusan dengan orang yang tidak kukenal.
Lebih baik menjaga jarak aman, dibanding menyesal kemudian.
“Kak, sebentar!” panggilnya. Aku menoleh karena kaget. Pria itu melompat turun dari trotoar yang hampir sepinggangku. Kemudian, mendatangi sebuah mobil tinggi yang terparkir di tempatku merenung tadi.
Pantas saja dia menyapa, apa dia mengira aku sedang memerhatikan mobilnya?
“Ini, buat Kakak saja.” Begitulah dia berujar.
Sebuah kantong plastik bening dengan logo franchise ayam itu terulur ke arahku. Entah apa yang merasukinya hingga memberi orang asing makanan sebanyak ini.
“Tidak perlu, Bang.”
“Tidak masalah, aku tidak tahu ada masalah apa, tapi sepertinya cukup berat sampai Kakak duduk termenung begitu di malam begini. Makanlah, semoga bisa menenangkan hati!” bujuknya masih dengan paksaan.
Sorot lampu kendaraan yang melintas kembali jatuh di wajahnya. Aku terhenyak, melihat pria ini masih memasang wajah polos dan tatapan yang tulus.
“Aku bisa beli lain, Kak.” Dia memaksa kembali.
Pada akhirnya, pria itu meletakkan bungkusan tersebut di sebuah bangku panjang di dekatku. Bangku reyot yang entah untuk apa diletakkan di sana. Mungkin, tempat beristirahatnya pada tukang parkir di siang hari.
Setelahnya, pria itu pergi. Dia benar-benar pergi dengan mengendarai sebuah unit mobil mewah yang butuh waktu lama untuk kukenali di kegelapan malam; Toyota GR86. Mobil seharga 1 Milyar itu melenggang di depanku begitu saja, anggun, menawan dan sangat berkelas.
Aku meneguk ludah melihatnya. Kemudian, menengadahkan kepala ke langit.
Malam ini, bintang-bintang berhamburan di kanvasnya Ilahi.
Dunia ini, kadang terasa sangat tidak adil. Saat ada orang yang menghabiskan milyaran untuk seunit mobil, aku dan Bang Fuad harus menguras keringat hanya untuk membeli rumah subsidi yang kecil. Ditambah lagi, Bang Fuad yang berubah drastis.
Ah ... ya, soal Bang Fuad belum selesai.
Kubuang rasa gengsi ke trotoar, lalu menggapai bungkusan berat yang diserahkan pria itu. Malam ini, aku akan menghilang, agar Bang Fuad tahu bagaimana rasanya ditinggalkan.
--
“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku beru
“Meng-meng ....”“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi.Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir.“A-aku belum ....”“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal.“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali.Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku
Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.“Terima kasih, Kak. Duluan?”“Iya, Pak. Silakan.”Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.Aku menarik n
Aku menyibak tirai jendela di ruangan kecil yang selalu kusebut sebagai ruang tamu saat pagi menjelang. Kemudian, membereskan sedikit demi sedikit bungkusan makanan dan beberapa barang yang berhamburan di atas karpet.Ini masih pagi, baru jam tujuh pagi tepatnya. Matahari menyingsing lembut dan langit berwarna cerah. Tidak banyak awan atau kabut, tidak ada angin yang berembus, segalanya tenang dan terang.Kulanjutkan sisa pekerjaan dengan beranjak ke dapur. Di sana ada beberapa piring dan gelas kotor, serta beberapa pakaian bekas pakai yang aku bawa ke Lhokseumawe.Dengan memakai piyama rumah yang sudah pudar warnanya, aku mengerjakan semuanya satu per satu seperti biasa. Tidak pernah mengeluh, tidak juga bersedih.Namun, semua ketenangan itu buyar saat kudengar langkah kaki dari arah depan. Derap keras dan cepat yang selama ini telah menjadi irama di dalam lubuk hati terdalam.M
“Jelaskan pada Abang sekarang, Dek! Kamu sudah keterlaluan sekali akhir-akhir ini.” Bang Fuad kembali meneriaki diriku.Alhasil, aku hanya bisa melempar benda pipih itu ke ranjang dan menangis dengan begitu keras. Segala hal yang membuatku tersiksa beberapa hari terakhir kini semakin membingungkan.Bagaimana bisa seseorang yang kusangka adalah Bang Fuad itu ternyata orang lain? Lantas, kenapa gawai yang terhubung dengan nomor selingkuhan Ida bisa bersama Bang Fuad kala itu?“Dek, jangan menangis, bicaralah! Apa kamu kira semua masalah akan selesai dengan menangis?” pekik Bang Fuad lagi.Aku tidak bisa menjawab dan hanya membiarkan tubuhku berguncang karena tangisan serta desakan yang terus dilayangkan oleh Bang Fuad. Segalanya telah kacau, hancur tidak bersisa sekarang.“Jelaskan pada Abang, siapa yang kamu hubungi barusan?”
Beberapa jam berkeliaran tanpa tujuan di jalanan, aku pulang ke rumah saat malam menjelang. Suasana perumahan sangat sunyi mencekam, tidak terlihat satu manusia pun berkeliaran di depan rumah mereka.Kususuri gang dengan motor menuju bangunan yang entah apa masih pantas disebut rumah. Perasaanku berkecamuk luar biasa kala mendapati rumah itu sunyi sepenuhnya.Saat memutuskan untuk pulang tadi, aku sedikit menaruh harap untuk berbaikan dengan Bang Fuad. Bukan kenapa, hanya saja ada banyak hal yang harus kami bicarakan dengan kepala dingin agar mencapai solusi.Tapi ... harapan itu pupus begitu aku berhenti di teras rumah kecil tersebut. Tidak ada siapa pun di depannya, segalanya sunyi dan hampa sama seperti rumah lainnya.“Bang Fuad tidak menunggu?” ratapku usai mematikan mesin motor. Lengang, bahkan suara kehadiran manusia juga tidak terdengar dari dalam.Pria yang se
Bukankah terlalu sulit untuk percaya jika kini Bang Fuad sedang berlutut di depanku? Pria itu memeluk kedua kakiku dan mendekapnya begitu erat. Seolah, tindakannya meninggalkanku di Lhokseumawe sendirian tidak pernah terjadi di dalam hidup kami. “Dek, tolong jangan begini lagi,” rintihnya tanpa mengendurkan rengkuhannya. Aku hanya bisa menghela napas. Pria itu bahkan bergeming meski aku terus menggoyangkan kedua kaki dengan harapan agar dia membebaskan diriku. “Dek?” “Hai, Fuad! Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini?” Mamak mertua berteriak khas dengan logat Acehnya. Beliau mendorong pundak Bang Fuad, mungkin mencoba menyadarkan putranya tentang betapa menyedihkannya dia hari ini. “Dikasih makan apa kamu sama Si Ayu sampai kamu jadi berlutut, hah? Laki-laki mana boleh begini, kamu itu tidak boleh tunduk sama istrimu, nanti dia jadi besar kepala, Fuad!” pekiknya lagi.
Bab 14: Jembatan Perselingkuhan Suami dan SahabatkuSesuai dengan permintaan Bang Fuad, aku langsung pergi ke sebuah toko ponsel di daerah Penayong. Membawa uang sebanyak tiga juta lebih yang baru aku ambil dari ATM, kuputuskan untuk mampir ke sebuah toko ponsel satu pintu.Saat aku masuk ke dalamnya, dua pekerja di sana mengulas sebuah senyum. Mereka langsung menghampiri, lalu bertanya tentang apa yang aku cari di sini.Usai kuutarakan tentang jenis gawai yang aku cari, dua pekerja itu menggelengkan kepala. Mereka mencoba bertanya pada seorang perempuan yang sedang sibuk meng-scroll layar gawainya. Namun, jawaban yang dikembalikan padaku tidak banyak berbeda.“Coba Kakak cari di toko lain, jenis yang ini belum masuk lagi di kami, Kak. Cuma kalau Kakak berminat, kami bisa tawarkan jenis lain yang tidak kalah bagusnya!” jelas pria bersuara mendayu itu.Aku langsung menggelengkan kepala. Ada niat tersembunyi yang terpatri saat memilih jenis gawai yang satu ini. Sebab itulah, aku bersedi
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari