Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.
Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.
“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Jelita masih terpaku di depan pintu rumah Baruno. Bibirnya kelu membisu. Sesekali Jelita mencoba menelan air liurnya, sembari perlahan mencerna kata-kata yang masih terngiang di telinganya. Namun nampaknya Jelita tidak kuat berlama-lama mematung. Pundaknya bergetar sembari menahan tusukan angin malam, ia mulai terisak. Baruno merengkuhnya. Dipeluknya kekasihnya tersebut dalam-dalam.“Sepertinya susah ya, No…” tangis Jelita pecah dalam dekap Baruno.“Kita masih punya banyak waktu, Ta. Aku mau kita tidak menyerah begitu saja.” Baruno meyakinkan Jelita. Entah sudah berapa kali Jelita berusaha mengimani dan mengamini seluruh janji Baruno untuk mendapatkan restu kedua orang tua Baruno atas hubungan yang telah memasuki tahun kedua ini.Baruno menuntun Jelita masuk ke mobilnya untuk diantarnya pulang. Jelita memasang sabuk pengaman mobil sambil masih menatap lurus ke depan dengan nanar. Sebenarnya setiap kali Jelita berkunju
Mentari pagi menyapa dengan pantulan keemasannya yang membelah birunya laut. Sinarnya yang hangat menembus celah di bilik kamar kabin kapal tempat Baruno terlelap semalam, membuat Baruno merasakan sedikit kesilauan. Pelan-pelan dibuka kelopak matanya yang bulat itu. Dengan dahi yang berkerut dan mata yang belum sempurna terbuka, Baruno melirik jam di ponselnya. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Baruno tersadar bahwa ia terlambat mengikuti jadwal senam pagi bersama di geladak utama kapal. Ah, shit, terlambat ikutan senam bareng yang lainnya! rutuknya dalam hati yang setengah peduli.Setelah merapihkan dan melipat sarung yang menyelimuti dirinya semalaman, Baruno mengambil sebotol air mineral dan berjalan menuju sebuah bilik kayu kecil di bagian belakang kapal. Ia mencuci muka dan menyikat giginya sebelum bergabung dengan para rombongan outing yang sedang mengikuti olahraga pagi di geladak utama kapal.“Enam&hel
Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno m
Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.
Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masi
Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk