Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.
Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.
Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masih tertidur di dalam tenda itu dapat nampak jelas terlihat dari luar tenda. Helena membungkuk, diselipkannya tangannya perlahan ke dalam tenda tersebut. Ia meraih lembut punggung Ahmad dan sedikit mengguncangkannya.
“Ahmad, Ahmad! Hei, Ahmad, bangun kamu, bangun ayo, cepetan! Ahmad, Ahmad!” dengan suara berbisik namun nada yang memaksa, Helena berusaha membangunkan Ahmad dari luar tenda. Tangannya yang sebagian sudah masuk ke dalam tenda itu terus mengguncang tubuh Ahmad hingga pemuda itu sepenuhnya terbangun dari tidurnya. Ahmad mengerjapkan matanya sedikit kaget dan bingung. Ia mengusapkan mata dengan tangannya untuk melihat secara jelas siapa yang menggunggahnya sepagi itu.
“Ngg… eh, Helena! Ada kegiatan apa rupanya? Ini bahkan belum subuh, kok kamu sudah di sini? Ngapain, sih, kamu?” setengah sadar Ahmad terperanjat mengetahui keberadaan Helena yang sudah berada di depan tendanya.
“Sssttt… pelan-pelan! Itu Baruno masih tidur?” Helena berbisik. Ahmad menengok ke arah Baruno yang masih tidur di sebelahnya. Posisi Baruno membelakangi Ahmad.
“Hhhhmmm, iya tuh si Baruno masih tidur tuh, ngorok! Duh, ada apa, sih ini? Aku masih ngantuk,” ucap Ahmad menggerutu.
“Keluar kamu dari sini, Ahmad. Aku mau masuk!”
“Lho, ada apa? Ini kan tenda laki-laki, nanti kalau ada yang melihat kamu sama Baruno di dalam tenda berduaan gimana? Mendingan kamu kembali ke tenda, deh, kalau tidak ada keperluan,” saran Ahmad yang baru membuka matanya dengan sempurna.
“Udah, kamu keluar saja, gih! Baruno ada jadwal minum obat. Ibunya berpesan padaku agar Baruno tetap minum obat, jadwalnya sebelum subuh. Makanya aku ke sini untuk membangunkannya dan memastikan dia beneran minum obat itu!” Helena berbohong sekenanya lantaran ia mulai tidak sabar. Ia ingin Ahmad dapat segera diajak bekerja sama agar aksi Helena ini lancar dan tidak terhambat.
“Ya sudah sini, obatnya titipin saja ke aku, nanti aku yang bangunkan Baruno,” Ahmad menawarkan bantuan.
“Aduh, kamu ngotot banget, sih! Sudah ya, kamu sekarang keluar dari tenda ini biar aku yang di dalam tenda sama Baruno. Kamu lanjut tidur saja di balai terbuka. Cepat, Ahmad! Ayo, aku diburu waktu. Cepat keluar dari tenda ini!” kali ini Helena sedikit jengkel. Ia membelalakan matanya kepada Ahmad dan menarik tangan Ahmad sekuat tenaga. Permintaannya kini telah berubah menjadi sebuah perintah. Dengan tenaga yang tersisa dan rasa kantuk yang masih bersarang, Ahmad mengiyakan permintaan Helena sambil beranjak dari dalam tenda. Diambilnya sarungnya dan Ahmadpun berjalan gontai menuju balai.
“Aduh, ribet banget! Iya, deh, iya…”
“Hei, Ahmad. Jangan bilang siapa-siapa, ya! Awas kamu!” ancam Helena. Ahmad mengangguk dan melanjutkan langkahnya yang gontai ke arah balai untuk melanjutkan tidurnya di sana.
Setelah Helena memastikan bahwa Ahmad telah sepenuhnya pergi dari situ, ia masuk ke dalam tenda Baruno yang masih terlelap kala itu, bahkan Helena dapat mendengar dengkuran tipis Baruno. Dengan santainya Helena lalu menidurkan dirinya di sebelah Baruno dan menjalarkan tangannya di pinggang Baruno dari belakang. Tidak lama kemudian, Helena sudah terlelap bersama Baruno dalam tenda hijau itu.
Pukul lima pagi hari, Jelita dan Rani terbangun. Keduanya segera melipat sarung dan selimut.
“Rani, aku ke tenda Baruno dulu, ya. Semalam dia minta dibangunkan, biar bisa sholat subuh bareng,” kata Jelita pada Rani. Setelah itu, Jelita berjalan keluar dari tendanya dengan langkah riang menuju tenda Baruno. Jelita sudah membayangkan akan menikmati pemandangan matahari terbit bersama Baruno nanti. Ia akan menyeduhkan kopi ternikmat untuk Baruno dan mereka akan tenggelam dalam obrolan hangat berdua sebelum melanjutkan kegiatan bersama para rombongan.
Sesampainya di depan tenda Baruno, Jelita berseru kecil membangunkan Baruno.
“Baruno, Baruno. Bangun, No! No, bangun, No katanya mau subuhan bareng? Baruno? Baruno?” Jelita tidak kunjung mendapat sahutan dari Baruno. Jelitapun memutuskan untuk menyibak pembuka tenda Baruno itu agar dapat membangunkan Baruno secara langsung.
“Baruno…” Jelita tak sampai melanjutkan kata-katanya ketika melihat pemandangan yang ada di dalam tenda hijau itu. Jelita tercekat. Dengan jelas dan nyata ia melihat ada Helena di dalam tenda itu tengah terlelap di sebelah Baruno dengan posisi tangan Helena yang merengkuh setengah tubuh Baruno. Bahkan Baruno nampak nyaman dipeluk begitu. Jelita berulang kali mengedipkan mata, setengah berharap ia salah lihat. Tetapi, tidak. Jelita tidak salah lihat. Buru-buru ia tutup kembali penutup tenda Baruno. Secepat kilat ia berlari ke arah tendanya seraya menahan tangis.
“Kak Lita, kenapa Kak?” tukas Rani yang masih bersantai di dalam tenda mereka. Jelita menitikkan air matanya dan tersedu. Rani seketika memeluk Jelita erat dan mengelus rambut gadis yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu.
“Kak Lita kenapa kok datang-datang sedih begini?” Jelita tak menjawab, ia melanjutkan tangisnya.
“Baruno, Ran. Baruno dan Helena tidur dalam satu tenda,” isak Jelita semakin menjadi setelah menyelesaikan kalimatnya. Rani memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut walaupun kepalanya diliputi berjuta tanya. Ia kembali mendekap Jelita dalam pelukannya.
Pak Miko mengarahkan sebagian peserta outing untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di balai diiringi oleh cahaya kuning keemasan fajar yang mulai terpantul memukau menggantikan temaram. Burung-burung berkicauan menyambut embun yang mulai bertetesan di balik dahan. Sejuk dan syahdu sekali pagi itu, sangat kontras dengan suasana hati Jelita yang kacau balau. Bahkan ketika sebagian peserta outing itu sudah menempatkan diri untuk memulai sholat berjamaah, Baruno dan Helena tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Baruno baru terbangun dari tidurnya tatkala sholat subuh berjamaah itu menuju akhir. Baruno baru tersadar bahwa ia tertidur sendirian di dalam tenda. Rupanya Helena begitu rapi merencanakan fitnah ini. Sesaat setelah Jelita melihat adegannya tidur bersama Baruno dalam satu tenda, Helena diam-diam bangkit dari tidurnya dan kembali ke tendanya. Helena kembali terlelap di tendanya bersama Daisy yang saat itu masih terlelap.
“Jelita!” panggil Baruno. Jelita yang sedang menuruni anak tangga balai selepas sholat subuh langsung menoleh.
“Ya?”
“Kok kamu tadi ngga bangunin aku, sih? Terlambat ikutan sholat, deh aku,” protes Baruno.
“Kan kamu bisa memasang alarm? Kenapa harus bergantung denganku? Toh kamu sudah ada yang mengurus, kok!” Jelita berlalu meninggalkan Baruno yang terheran-heran tidak mengerti maksudnya. Baruno menatap punggung Jelita dari ekor matanya, sepertinya Baruno mencium ada sesuatu yang salah. Ahmad mendadak menghampirinya.
“Woy, No! Udah bangun?” seru Ahmad.
“Mad, tadi dari mana? Bangun-bangun kok tidaks ada satupun orang di tenda. Ini ada apa sih, aneh banget. Itu si Jelita juga aneh banget mendadak jadi jutek?”
“Duh, No… ternyata lebih enak dan lebih adem tidur di balai. Itu semalam Pak Miko juga tidur di balai. Maaf ya ninggalin ngga bilang-bilang, salah siapa tidur pulas banget, ngorok sampai ngga dengar apa-apa. Hehehe.” Ahmad mencoba berbohong lantaran sudah terlanjur berjanji dengan Helena untuk tutup mulut. Namun terlambat, Baruno terlalu pandai untuk dikelabui. Ia dapat membaca jelas air muka Ahmad yang mencoba mengarang cerita.
“Mad…”
“Ya, No?”
“Ingat kemarin sore Suluh dapat bogem mentah? Sampai sekarang rahangnya masih sakit. Wajahnya juga masih lebam,” Baruno mengancam Ahmad agar pemuda itu mau mengakui padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Baruno mengepalkan tangannya kuat-kuat dan memperlihatkan kepalan itu ke hadapan Ahmad. Ahmad kehilangan kata-kata dan mendadak menjadi gagap.
“Ja… jangan, No! Aduh, duh, Baruno… Ja… jangan nonjok. Please, please!” Ahmad memohon.
“Kalau tidak mau ada perkelahian jilid kedua, tolong katakan yang sebenarnya, ini ada apa? Kenapa kalian semua jadi aneh begini? Cepat, katakan!” Baruno menarik kaos yang dikenakan Ahmad. Ahmad menjadi lebih gugup dibuatnya.
“Baruno! Ya ampun, mau berkelahi lagi?” mendadak terdengar suara Helena menggelegar. Ternyata Helena sudah berdiri tak jauh dari situ. Baruno panik, buru-buru dilepaskannya cengkraman tangannya pada Ahmad. Baruno tidak mau suara Helena menarik perhatian para peserta outing dan menimbulkan peristiwa yang memalukan baginya lagi seperti kejadian sore kemarin. Ahmad bernafas lega. Baruno gusar dan pergi begitu saja meninggalkan Ahmad. Helena mengacungkan ibu jarinya ke arah Ahmad sembari terkikik geli. Rencananya berhasil.
Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe
Hari Sabtu sore Jelita sudah bersiap diri untuk menunggu jemputan Baruno. Ia mematut dirinya di depan cermin panjang yang berdiri manis di tembok kamar belakang rumah Pak Miko. Diperhatikannya setiap detil dan lekukan di wajah dan tubuhnya sembari memperbaiki posisi kalung emasnya yang ia beli dari hasil jerih payahnya memberi kursus bagi siswa sekolah.Rani mengetuk pintu kamar Jelita. Tanpa menunggu Jelita mempersilakannya, cepat-cepat Rani menyelinap masuk ke kamar Jelita.“Rapi sekali, Kak Lita? Mau kemana?” Rani takjub melihat penampilan Jelita sore itu yang terlihat jauh lebih anggun dari biasanya. Jelita tercekat, tidak berani mengatakan sebenarnya. Entah apa reaksi Rani apabila ia mengetahui apa yang tim sukarelawan lakukan di belakangnya.“Oh, hhhmmm… ngga kok, Rani. Ini… mau pergi dengan Baruno saja hehe,” tukas Jelita berbohong. Rani menangkap raut yang berbeda dari Jelita.“Hahaha. Kok mendadak
Nadine melanjutkan tangisnya dengan beberapa dari para rombongan itu mulai merasa kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa.“Maka dari itu, aku ingin mengumpulkan teman-teman semua di sini. Dukungan terhadap Bu Miko yang tengah menderita penyakit berat, bukan hanya tentang uang. Aku ingin kita menghentikan perselingkuhan Pak Miko dan Lisa, kakakku,” ucap Nadine melanjutkan pembicaraannya dengan lesu.“Hhhmmm… kalau boleh tahu, mengapa kamu tadi tidak ikut kami?” Suluh mulai bertanya“Aku menunggu kakakku selesai praktek di sini dan rencananya tadi aku ingin mencegahnya untuk menuju Kafe Senja bersama Pak Miko. Aku menunggu di depan sini, namun ternyata aku kecolongan. Kak Lisa keluar lewat pintu belakang,” jelas Nadine.“Lalu sejak kapan kamu tahu mengenai perselingkuhan mereka?” tanya Daisy.“Kak Lisa gagal menikah sesaat sebelum aku memulai program sukarelawan di yayasan Pak Miko. Calon s
Baruno mencoba menggesekkan punggungnya yang terasa basah itu. Pelan-pelan ditengoknya ke belakang, nampak Jelita yang telah duduk membonceng sedang menyembunyikan tangisannya.“Hei… kok kamu menangis? Kita kan mau jalan-jalan sore bersama. Kamu kenapa, Jelita?” Baruno terlihat sedikit panik. Jelita secara cepat menggeleng, ia enggan curahan perasaannya itu diketahui oleh teman-teman lainnya.“Eh Jelita kenapa, sih?” Suluh mulai terlihat panik. Hal ini semakin menarik perhatian teman-teman lainnya. Kini semua mata tertuju pada Jelita yang sudah tidak dapat lagi menutupi isaknya itu.“Duh, teman-teman. Aku tidak apa-apa, kok! Mungkin hanya terbawa perasaan dan suasana saja. Rasanya belum siap meninggalkan kalian semua dan kebersamaan kita di Balarambe ini. Besok aku dan teman-teman angkatanku sudah harus pulang ke kota masing-masing. Yuk, kita bersenang-senang di hari terakhir ini!” Jelita berseru sembari menghibur dirin
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk