Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.
“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.
“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.
“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.
“No, maaf!” kali ini suara Suluh melembut. Mendengar itu, Baruno menatap ke arah Jelita dan memberikan kode kepada gadis itu untuk meninggalkan mereka berdua. Jelita mengangguk tipis dan kembali berjalan menuju ke tempat di mana rombongan outing berkumpul. Sesekali Jelita menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada perkelahian lagi antara Baruno dan Suluh.
“Hhhmmm….” Baruno masih menanggapi dengan enggan.
“Maaf sekali, kejadian tadi ngga seharusnya terjadi. Jangan sampai pertemanan kita rusak hanya karena salah satu dari kita ada salah ucap tanpa melihat kondisi. Maaf, No!” ujar Suluh sembari menepuk bahu Baruno.
“Well… it’s okay, Luh. Terima kasih sudah meminta maaf baik-baik. Maaf juga ya harus ada pukulan-pukulan dahsyat yang mendarat. Hahaha. Eh, bekas pukulan tadi masih sakit?”
“Wah, No! Pernah belajar bela diri apa gimana, sih? Kenceng banget, perih sih, lumayan. Tapi sudah teratasi. Tenang, tenang. Hahaha”
Keduanya berjabatan tangan dan tertawa bersama. Mereka berdua melangkah bersama dengan mantap, hendak bergabung dengan para rombongan yang ternyata sedari tadi melihat peristiwa itu dari kejauhan.
Para peserta outing menggelar tikar sederhana di dekat area perkemahan mereka. Mereka duduk melingkar dan terlibat obrolan ringan nan hangat. Momen ini mereka gunakan untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri satu sama lain, begitupun dengan Helena. Helena memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil hati para peserta outing agar menyukai program sosial yang ia cetuskan.
“Kalau sebelumnya, kamu sudah pernah jadi tim sukarelawan di lain tempat atau ini yang baru pertama kalinya?” tanya Maria kepada Helena dalam obrolan sore itu.
“Ini yang kedua kalinya. Yang pertama kali waktu itu magang di Singapura, semester lalu. Waktu itu aku masuk dalam tim corporate social responsibility sebuah perusahaan tambang,” cerita Helena seraya menuangkan teh hangat ke cangkirnya.
“Eh, kamu kapan akan kembali ke Singapura? Kamu masih kuliah di sana, kan? Aku ada rencana berlibur ke sana tahun depan!” tukas Ahmad menimpali.
“Tiga bulan lagi baru kembali ke sana. Ini sedang libur semester. Nanti berkabar ya, Mad!” Helena melemparkan senyum manisnya dan menyeruput teh hangat yang berada dalam genggamannya perlahan.
Ketika Jelita sampai di tempat berkumpulnya peserta outing yang membentuk lingkaran itu, mendadak obrolan terhenti sesaat. Helena pun diam tidak bersuara, bahkan tidak ada sapaan ramah yang ia lontarkan kepada Jelita seperti pertama kali mereka bertemu.
“Hai semua. Lagi pada ngobrolin apa, nih?” Jelita mencoba membuka obrolan yang sempat terhenti diantara para peserta outing.
“Eh, Jelita. Ini, lagi pada ngobrolin sepak terjang Helena” Daisy yang merupakan anggota tim sukarelawan angkatan Jelita membuka suara.
“Guys, aku kembali ke tendaku dulu, ya. Mau ambil cardigan, nih, sudah sore nampaknya mulai udara di sini mulai agak dingin,” tukas Helena sembari berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan lingkaran menuju tendanya. Jelita sadar bahwa Helena agak menghindari kehadirannya. Ia tertunduk, lagi-lagi ia merasa bersalah. Rani yang menyadari perubahan mimik muka Jelitapun berinisiatif untuk mencari topik menarik untuk ia bincangkan dengan teman-teman lainnya sembari menikmati indahnya mentari yang tenggelam di hadapan mereka.
“Ayo, teman-teman sukarelawan semuanya, kita berbaris rapi di sini ya, kita foto bersama. Aduhai cantik sekali sunsetnya ini. Sayang sekali kalau tidak ada foto bersama di sini. Yuk, semua bangkit berdiri!” tiba-tiba suara Pak Miko dari pengeras suara menggugah keasikan obrolan para peserta outing. Rombonganpun beranjak berdiri dan menempati diri masing-masing di titik yang telah ditentukan Pak Miko. Pak Miko mendirikan tripod dan memasang kamera miliknya.
“Kita pakai self-timer, ya teman-teman. Ayo baris yang rapi. Yang merasa berbadan tinggi tolong duduk di depan ya, kasian tuh yang badannya mini-mini nanti terhalang oleh kalian,” kata Pak Miko yang terjun langsung dalam merapihkan barisan rombongan, memastikan agar seluruh peserta outing dapat tertangkap gambarnya dengan jelas. Seusai sesi foto bersama, rombongan anak muda itupun berhamburan ke segala penjuru sekitar area perkemahan untuk mengabadikan momen matahari terbenam di puncak Bukit Renjana melalui kamera dan ponsel pribadi mereka masing-masing. Mereka ingin keindahan ilahi ini abadi dalam sebuah foto.
Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib yang mengalun merdu. Sebagian peserta outing tergerak untuk segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat jamaah di balai terbuka yang berlokasi tidak jauh dari area perkemahan mereka, hanya beberapa puluh langkah saja. Balai terbuka itu berbentuk rumah joglo dengan pilar-pilar kayu yang menopangnya. Pilar-pilar kayu itu terbuat dari kayu jati kokoh dengan ukiran manis sederhana karya masyarakat Bukit Renjana yang kesehariannya identik dengan industri kayu. Balai tersebut dirancang tanpa dinding untuk memudahkan akses keluar masuk para pengunjungnya. Balai yang berdiri tegap persis di tengah-tengah puncak Bukit Renjana itu sering digunakan untuk tempat berkumpul para warga sekitar Bukit Renjana, dan kali ini dimanfaatkan untuk berkumpul para peserta outing, baik untuk makan bersama maupun berdiskusi.
Santap malam bersama di balai terbuka kali ini masih menggunakan menu yang mirip dengan hidangan para peserta outing yang disajikan di atas kapal selama mereka berlayar, yakni makanan laut yang segar dan menggoda selera. Rombongan outing dengan lahapnya menghabiskan segala santap malam yang tersedia setelah seharian mereka habiskan dengan snorkeling dan mendaki. Selepas acara makan malam bersama, Pak Miko kembali mengumpulkan para tim sukarelawan tersebut untuk duduk bersama membentuk lingkaran besar di dalam balai dan mempersilakan Jelita sebagai ketua tim sukarelawan angkatan ini untuk membuka acara sembari memperkenalkan berbagai program sosial yang sudah ia canangkan di Desa Balarambe.
“Selamat malam, teman-teman. Saya Jelita Rahayu, mahasiswi Sosiologi Universitas Jaya Jakarta. Bagaimana kabar teman-teman hari ini?” sapa Jelita.
“Baiiiik!” seru sebagian besar peserta outing serempak.
“Alhamdulillah kalau dari saya sendiri sih senang sekali agenda hari ini berjalan lancar, ya. Saya sebagai ketua tim sukarelawan dari angkatan yang akan segera berakhir ini hendak memperkenalkan kepada teman-teman semua di sini program sosial yang sudah berlangsung di Desa Balarambe. Di sini juga ada anggota tim saya. Pasti sebagian besar dari kalian sudah sedikit banyak mendengar tentang berbagai program sosial yang kami susun untuk warga Desa Balarambe. Nah, kira-kira program yang mana nih yang menurut kalian paling menarik dari tim kami?” Jelita melempar pertanyaan kepada seluruh peserta outing.
“Jelita, coba terangkan sedikit tentang Program Sosial Pemberantasan Malaria di Desa Balarambe, dong, kami dengar itu adalah program andalan dari tim kalian?” Ahmad yang merupakan anggota tim sukarelawan angkatan berikutnya mengangkat tangannya sambil bertanya.
“Terima kasih untuk tanggapannya, Ahmad. Kami percaya bahwa masyarakat Desa Balarambe memiliki semangat untuk menurunkan kasus malaria di sekitarnya. Untuk itu tim kami bekerja untuk melatih beberapa pemuda desa yang ingin menjadi kader kesehatan. Para kader kami latih bagaimana cara memberikan penanganan pertama pada warga lain yang terjangkit malaria sebelum dirujuk ke rumah sakit, lalu…” Jelita berhenti sejenak untuk merangkai kata-kata selanjutnya. Tanpa ia perkirakan sebelumnya, Helena mengangkat tangan kanannya untuk memberi tanggapan atas penjelasan Jelita yang belum usai itu.
“Maaf memotong sedikit, jadi kalian memberikan pelatihan beberapa pemuda desa untuk menjadi kader kesehatan supaya dapat mendeteksi dan menangani warga yang sakit malaria, lalu apakah kalian memang benar-benar orang yang kredibel untuk melakukan hal itu? Apakah ada anggota tim sukarelawan kalian yang berprofesi sebagai dokter atau tim medis?” Helena bertanya dengan tegas. Jelita sedikit kewalahan untuk menjawab pertanyaan itu.
“Para pemuda terpilih yang kami tunjuk sebagai kader kesehatan itu kami bekali dengan ilmu kesehatan dasar. Ilmu yang kami dapat adalah dari jurnal kesehatan yang mumpuni yang kami pelajari sendiri. Tidak ada tenaga ahli kesehatan di tim kami,” jawab Jelita mantap.
“Jadi kalian tidak melibatkan pihak rumah sakit daerah atau mengundang pakar profesional dari dinas kesehatan untuk membekali para kader kesehatan itu dengan ilmu? Kalian yakin dengan informasi yang kalian berikan? Kalau salah bagaimana?” Helen merebut perhatian para peserta outing. Para peserta outing lalu saling berbisik mendengar tanggapan Helena.
“Setuju dengan Helena! Itu kan isu kesehatan, kalau tidak ada pakar yang mendampingi pelatihan kader kesehatan atau mengawasi, bagaimana dong?” Maria menimpali.
“Saya paham maksud Jelita, peningkatan kapasitas komunitas memang penting. Bagus sekali idenya untuk membekali para kader kesehatan yang merupakan sekelompok pemuda setempat dengan ilmu dari kalian. Tapi kalian tahu tidak, idealnya salah satu tugas kader malaria itu melakukan pemeriksaan apusan tipis darah tepi bagi pasien malaria. Hal itu pasti tidak ramah di telinga kita yang awam akan isu kesehatan. Menurut saya sebaiknya melibatkan pihak yang ahli, dalam hal ini dari rumah sakit daerah atau dinas kesehatan setempat,” jelas Helena telak dengan senyum sedikit sinis kepada Jelita.
Para peserta outing mengangguk-angguk setuju dan mengakui bahwa Helen menyampaikan pendapatnya dengan tepat dan sempurna. Beberapa peserta bahkan memberikan tepuk tangan aplaus bagi kemampuan Helena dalam mengatasi masalah sosial itu. Kritis dan tajam. Mendadak Jelita merasa kerongkongannya sedikit mengganjal, lidahnya kaku dan kelu, tidak bisa menjawab tanggapan Helena itu. Diambilnya nafas sedikit demi sedikit. Malam itu balai tempat diskusi itu dilangsungkan terasa seperti gunung es yang membuat sekujur tubuh Jelita menjadi dingin.
“Terima kasih Helena, tanggapan yang baik. Untuk itulah kami ingin tim sukarelawan yang baru nanti menyempurnakan program sosial dari kami, khususnya untuk pelatihan kader malaria. Kasus malaria di Desa Balarambe cukup memprihatinkan. Kalau dari tim kalian sendiri, apakah siap mengemban tugas ini?” entah nyali dari mana, Jelita memberanikan diri untuk menantang balik tim Helena.
“Siap, sangat siap. Tim kami terdiri dari tujuh orang. Dua orang yaitu Maria dan Rahmi merupakan mahasiswi Kesehatan Masyarakat yang akan memimpin pelatihan kader kesehatan bersama pihak rumah sakit setempat yang akan kami libatkan, Ahmad si pandai desain grafis akan merancang poster untuk sosialisasi pengetahuan tentang penyakit malaria, Baruno sebagai mahasiswa Teknik Industri akan menjadi pengelola alat kesehatan, Suluh sebagai mahasiswa Hukum hendak memastikan bahwa program ini selaras dengan program pemerintah daerah, Rosa yang adalah mahasiswi Komunikasi akan berfokus pada pengembangan kompetensi masyarakat, Helena atau saya sendiri sebagai mahasiswi Sosial dan Politik bertanggung jawab atas tahap evaluasi program ini. Jelas kami siap!” Helena mengibaskan rambutnya sekilas seusai penjabarannya itu.
Hampir semua peserta outing berdecak kagum akan kepiawaian Helena menempatkan tim yang ia bawahi sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jelita tertegun dibuatnya, ia mengakui dalam hati bahwa Helena adalah seorang yang cerdas dan memiliki pemikiran strategis. Skakmat! Jelita menyerah.
“Ada lagi yang ingin disampaikan?” Jelita ingin menyudahi diskusi ini.
“Hati-hati dan kenali medanmu, teman-teman!” Helena tanpa ragu menyisipkan pesan yang sebenarnya ia tujukan untuk Jelita.
“Maksudnya?” Jelita mengharap penjelesan dari Helena.
“Kenali medanmu. Dengan siapa engkau akan bertarung, dengan siapa engkau akan berkolaborasi, manfaatkan potensi mereka, niscaya yang kau sebut sebagai kerja sama itu dapat berhasil. Kerja sama itu kerja bersama-sama. Bukannya yang satu kerja, tapi yang lain sama aja,” timpal Helena sembari meringis dan menjulurkan lidahnya di akhir kalimat, terkesan sedikit mengolok Jelita. Seisi balai bertepuk tangan seraya tertawa kecil akan tingkah Helena. Sisa waktu diskusi para tim sukarelawan antar angkatan itu diisi dengan berbagai pujian yang dilayangkan kepada tim sukarelawan yang diketuai oleh Helena.
Sebelum menutup acara diskusi, Pak Miko menyempatkan diri untuk bertanya kepada Helena di depan seluruh peserta outing.
“Jadi Helena, program sosial yang kalian tawarkan itu apa saja?” tanya Pak Miko.
“Sepertinya setelah melihat seluruh program sosial dari tim sukarelawan angkatan Jelita, tim kami tidak memiliki program baru untuk warga Desa Balarambe, Pak,” tukas Helena.
“Lho, mengapa?”
“Kami akan melanjutkan program sosial dari tim sukarelawan yang diketuai oleh Jelita saja. Ternyata struktur yang mereka bangun kami rasa belum terlalu kokoh sempurna. Kami akan memperbaiki strukturnya. Sehingga tim sukarelawan angkatan seterusnya tidak kewalahan melanjutkan program sosial ini, Pak!” jawab Helena sembari melirik menang ke arah Jelita.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika para peserta outing kembali ke tenda masing-masing seusai acara diskusi yang cukup menegangkan namun menyenangkan itu. Helena berjalan melenggang kembali ke tenda dengan wajah berseri-seri. Di tengah perjalanannya, ia melihat Jelita dan Baruno berjalan berdampingan, mereka nampak sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat. Helena mempercepat laju jalannya agar lebih dekat dengan Jelita dan Baruno, dan menguping pembicaraan mereka.
“Oke kalau begitu, smampai besok, ya, Jelita! Selamat malam.” tukas Baruno dengan nada yang manis.
“Iya. Selamat malam, Baruno. Eh besok pagi jadi?”
“Jadi, dong! Besok pagi bangunkan aku ya pukul lima subuh. Kamu datangi saja tendaku yang paling ujung itu, tenda warna hijau. Aku satu tenda dengan Ahmad.”
“Siap, No! Besok pagi aku ke sana,” jawab Jelita sembari tersenyum.
Tanpa mereka ketahui, Helena yang berjalan perlahan tepat di belakang mereka sengaja menguping obrolan itu. Helena kembali berjalan menuju tenda dengan otaknya yang berputar keras untuk merencanakan aksi licik selanjutnya terhadap Jelita.
Sesampainya di tenda, rupanya Helena sudah dinantikan oleh Daisy, teman satu tendanya. Daisy yang merupakan anggota tim sukarelawan yang diketuai oleh Jelita langsung buru-buru menarik tangan Helena untuk dibawanya segera masuk ke dalam tenda.
“Duh, Daisy ada apa sih kok narik-narik tanganku?” tanya Helena sembari menahan sakit akibat tarikan tangan Daisy yang cukup kencang.
“Aduh, maaf! Sini, deh, sssttt… Sudah gila kamu ya Helena?” Daisy berbisik gemas sambil memandang Helena yang masih diliputi senyum kemenangan atas diskusi tadi.
“Gila kenapa, sih? Hahaha.” Helena malah terbahak. Daisy menutup mulut Helena dengan telapak tangan kanannya, memberi perintah agar Helena tidak menimbulkan suara keras yang mungkin dapat terdengar oleh tenda sebelah yang ditempati oleh Jelita dan Rani.
“Helena, kamu telah membuat Jelita menangis. Coba kamu diam deh, perhatikan tuh! Ada suara tangisan, kan, dari tenda sebelah?” Daisy bertanya sambil berbisik. Helena menuruti pinta Daisy dan menajamkan pendengarannya. Setelah berhasil mendengar suara isakan seorang wanita, Helena melotot dan mengangguk membenarkan dugaan Daisy.
“Wah, betul, Daisy, sepertinya itu suara Jelita menangis! Habis gimana dong, aku gemas sekali mendengar diskusi ketua tim sukarelawanmu itu, si Jelita. Kurang tangkas sekali ia bikin program sosial, seperti asal-asalan! Makanya aku serang saja dia tadi saat diskusi. Tim kalian tidak ada yang berani mengkritik dia, ya?” Helena membela diri di hadapan Daisy dengan berbisik.
“Asal kamu tahu ya, Helena. Diantara kita semua anggota tim Jelita, tidak ada yang berani mengkritik dia. Jelita itu favorit Pak Miko! Kamu kan tahu sendiri Pak Miko itu petinggi yayasan, dan yayasan ini yang memiliki program sukarelawan. Jelas tidak ada yang berani melawan Jelita!” Daisy masih berbisik.
“Sebentar… Selama mengikuti program sukarelawan ini, Jelita tinggal di rumah Pak Miko, kan?” Helena mulai penasaran.
“Iya, benar.”
“Jangan-jangan…. Wah, parah sekali! Duh, jangan-jangan…” Helena sengaja membuat Daisy berbalik penasaran dengan kata-kata pancingannya.
“Jangan-jangan apa, Helena? Cepat katakan! Ada gosip, ya?” Daisy mulai masuk pancingan Helena.
“Begini Daisy. Kamu tahu kan aku bersahabat dengan Baruno? Nah, orang tua Baruno itu kenal betul dengan keluarga Pak Miko. Istri Pak Miko baru-baru ini divonis kanker kelenjar getah bening dan pengobatannya memakan biaya banyak sekali. Di tengah-tengah kerisauan keluarga mereka, ada isu bahwa Pak Miko memiliki wanita simpanan. Dari gosip yang beredar sih Bu Miko dan Rani tidak tahu siapa wanita ini. Jangan-jangan…” Helena tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia ingin Daisy yang menyimpulkan sendiri.
“Hah?! Jangan-jangan wanita itu Jelita?”
“Hhmmm… hehehe. Bukan aku yang bilang lho, ya. Hahaha. Dari info yang kamu dengar bagaimana memangnya?”
“Selama program sukarelawan ini berlangsung, baru ada tiga sukarelawan yang diijinkan Pak Miko untuk tinggal di rumah beliau selama mengikuti program. Yang pertama itu lima tahun lalu, seorang pemuda dengan kesulitan finansialnya yang membuat ia tidak bisa membayar biaya akomodasi selama menjadi sukarelawan di Balarambe, jadi Pak Miko mau-mau saja menampungnya di rumah beliau. Yang kedua itu kejadiannya tahun kemarin, ada saudara jauh Pak Miko yang menjadi tim sukarelawan di yayasan, ya namanya juga saudara pasti boleh, dong, tinggal di tempat beliau! Nah, Jelita ini menurutku kasus yang janggal. Karena belum ada yang tahu alasan mengapa Jelita tinggal di rumah Pak Miko selama menjadi sukarelawan!” Daisy mulai menghubungkan informasi yang ia dan Helena dapatkan. Helena mengangguk dengan irama pelan cenderung mengayun. Membuat Daisy berasumsi lebih jauh lagi.
“Menurutmu, mungkin ngga si Jelita ini juga punya masalah finansial?” pancing Helena.
“Ah, tidak mungkin. Penampilannya saja terawat begitu. Kamu lihat, kan, jam tangan Jelita? Itu kan harganya lumayan mahal!”
“Tuh, kan! Sepertinya kesimpulanmu benar, deh. Lagian Jelita itu kan manis dan pandai menggoda. Lihat saja Baruno! Baru dua hari kenal dengan Jelita saja tadi sore sudah gendong-gendong mesra. Kamu lihat, kan, kejadian tadi?” Helena mulai menghasut Daisy untuk berprasangka buruk terhadap Jelita. Daisy mengangguk setuju.
“Duh, kalau benar begitu, aku jadi kasihan dengan Rani. Dia sudah berteman dengan wanita yang menggoda ayahnya,” kata Daisy dengan wajah memelas.
“Iya, menyedihkan sekali, ya!” Helena berpura-pura ikut sedih walaupun dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak. Helena yakin Daisy akan menyebarkan informasi ini kepada seluruh peserta outing, cepat atau lambat.
Sebenarnya pada awal perkenalan antara Baruno dan Jelita, Baruno sudah sempat mengatakan pada Jelita bahwa Pak Miko menjalin hubungan khusus dengan wanita lain yang ternyata adalah seorang dokter yang memvonis kanker istrinya. Maka jelas bukan Jelita wanita yang disukai oleh Pak Miko.
Dan tanpa ada yang mengetahui, alasan Jelita tinggal di rumah Pak Miko selama menjadi tim sukarelawan ialah tak lain karena Jelita datang dari keluarga dengan keterbatasan finansial. Suatu hari Jelita mengirimkan email permohonan kepada Pak Miko untuk mengikuti program sukarelawan di yayasan yang ia asuh, namun masalah finansial yang Jelita alami membuatnya tidak dapat membiayai akomodasinya sendiri selama mengikuti program sukarelawan itu. Alih-alih menyewa akomodasi, Jelita memilih untuk menerima tawaran Pak Miko yang bersedia menyediakan sebilik kamar baginya di rumah beliau selama program sukarelawan berlangsung.
Suara isak tangis wanita yang Daisy dan Helena dengar dari tenda sebelah malam itu ialah jerit hati Rani yang tak tertahankan, bukan suara tangisan Jelita. Masih sangat jelas terekam di kepala Jelita ketika mendapati Rani yang saat menangis sesenggukan di atas kapal itu mendapatkan tamparan kasar oleh ayah kandungnya sendiri, Pak Miko. Karena Jelita sudah terlanjur menjadi saksi kejadian menyedihkan itu, Rani sengaja memilih Jelita sebagai teman satu tendanya agar dapat mencurahkan dan berbagi cerita tentang apa yang sebenarnya sedang ia alami. Namun dengan agenda licik yang Helena rancang, seluruh fakta itu menjadi luruh dan diputarbalikannya semua kejadian itu menjadi fitnah untuk menjatuhkan Jelita yang berhasil merebut hati Baruno.
Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masi
Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe
Hari Sabtu sore Jelita sudah bersiap diri untuk menunggu jemputan Baruno. Ia mematut dirinya di depan cermin panjang yang berdiri manis di tembok kamar belakang rumah Pak Miko. Diperhatikannya setiap detil dan lekukan di wajah dan tubuhnya sembari memperbaiki posisi kalung emasnya yang ia beli dari hasil jerih payahnya memberi kursus bagi siswa sekolah.Rani mengetuk pintu kamar Jelita. Tanpa menunggu Jelita mempersilakannya, cepat-cepat Rani menyelinap masuk ke kamar Jelita.“Rapi sekali, Kak Lita? Mau kemana?” Rani takjub melihat penampilan Jelita sore itu yang terlihat jauh lebih anggun dari biasanya. Jelita tercekat, tidak berani mengatakan sebenarnya. Entah apa reaksi Rani apabila ia mengetahui apa yang tim sukarelawan lakukan di belakangnya.“Oh, hhhmmm… ngga kok, Rani. Ini… mau pergi dengan Baruno saja hehe,” tukas Jelita berbohong. Rani menangkap raut yang berbeda dari Jelita.“Hahaha. Kok mendadak
Nadine melanjutkan tangisnya dengan beberapa dari para rombongan itu mulai merasa kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa.“Maka dari itu, aku ingin mengumpulkan teman-teman semua di sini. Dukungan terhadap Bu Miko yang tengah menderita penyakit berat, bukan hanya tentang uang. Aku ingin kita menghentikan perselingkuhan Pak Miko dan Lisa, kakakku,” ucap Nadine melanjutkan pembicaraannya dengan lesu.“Hhhmmm… kalau boleh tahu, mengapa kamu tadi tidak ikut kami?” Suluh mulai bertanya“Aku menunggu kakakku selesai praktek di sini dan rencananya tadi aku ingin mencegahnya untuk menuju Kafe Senja bersama Pak Miko. Aku menunggu di depan sini, namun ternyata aku kecolongan. Kak Lisa keluar lewat pintu belakang,” jelas Nadine.“Lalu sejak kapan kamu tahu mengenai perselingkuhan mereka?” tanya Daisy.“Kak Lisa gagal menikah sesaat sebelum aku memulai program sukarelawan di yayasan Pak Miko. Calon s
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk