Beranda / Semua / Jelajah Jelita / Pulau Renjana

Share

Pulau Renjana

Penulis: Arunada
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-05 03:20:27

Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.

“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.

“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.

“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno menanggapi seruan Ahmad.

“Lho, kenapa Ahmad tidak sadar?” tanya Pak Miko tanpa mematikan pengeras suara. Sehingga suaranya masih diikuti oleh dengungan yang dapat terdengar oleh seisi kapal.

“Kebanyakan minum autan, Pak!” tutur Baruno seenaknya yang diikuti dengan tawa beberapa peserta outing lainnya.

“Ah gaya aja si Baruno ini. Sombong banget mentang-mentang cewenya dua, sekapal lagi!” Ahmad tidak mau kalah. Seluruh peserta outingpun berbisik-bisik, mereka cukup paham bahwa yang dimaksud Ahmad ialah kedekatan antara Baruno dengan Jelita dan Helena. Wajah Baruno memerah dan ia menghentikan candanya.

“Sudah, sudah. Jadi lebih baik minum autan atau minum alkohol?” kelakar Pak Miko.

“Lebih baik segera tentukan pilihan satu dari dua wanita, sih, Pak! Mabuk alkohol sama mabuk cinta memang sama-sama bikin enak. Betul, kan, Baruno?” kata Suluh yang berusaha ikut bergabung dalam candaan yang sedang berlangsung itu. Seluruh peserta outing kembali pecah dalam tawa, seolah-olah perkataan Suluh menjawab keraguan mereka mengenai kedekatan Baruno dengan Jelita dan Helena. Helena hanya melengos mendengar hal itu. Diliriknya Jelita dari tempat ia duduk, yang dilihat hanya tertawa sembari menahan malu. Baruno menanggapi ejekan yang ditujukan kepadanya dengan melempar sebuah buku tipis ke arah Suluh di tengah keriuhan rombongan anak muda di atas kapal itu. Suluh dan Baruno kembali berkejaran.

“Wah, Suluh benar-benar minta diceburin ke laut, nih, sepertinya!” seru Baruno di sela-sela pengejarannya. Suluh hanya dapat terbahak-bahak sembari meminta ampun.

Satu jam setelah kejadian itu, seisi kapal terasa sepi. Sebagian besar peserta outing terlelap dalam tidurnya masing-masing setelah menyantap makan siang bersama. Mereka memanfaatkan waktu istirahat itu dengan tidur untuk mengembalikan tenaga dan energi selepas sesi snorkeling, agar tubuh mereka bersiap untuk aktifitas pendakian singkat di bukit Renjana menjelang sore nanti.

Pulau Renjana merupakan sebuah pulau wisata dengan keindahan bukit dan bawah lautnya yang mempesona. Pemerintah lokal benar-benar serius mengelola Pulau Renjana untuk menarik para wisatawan, baik domestik maupun internasional. Bukit Renjana yang berdiri asri di tengah Pulau Renjana juga menawarkan berbagai fasilitas yang sangat menarik bagi para wisatawan yang datang berkunjung. Di bukit itu, para pengunjung dapat mendirikan tenda untuk bermalam dan menikmati keindahan laut dari puncak bukit sambil menanti tenggelam atau menyongsongnya sang matahari. Lingkungan di Bukit Renjana sangat hijau asri, anginnya lembut segar, serta dilengkapi mata air sejernih kristal yang dijaga kelestariannya oleh para warga lokal dengan baik. Fasilitas sanitasi dan kamar mandi yang mumpuni juga turut menunjang daya tarik yang ditawarkan oleh Bukit Renjana yang kerap didatangi untuk acara yang melibatkan banyak peserta itu.

Alih-alih turut beristirahat dengan para peserta outing lainnya, Helena justru memilih untuk sibuk mempersiapkan keperluan mendakinya kelak. Ia mengisi ransel kecilnya dengan beberapa potong baju dan celana, peralatan mandi, senter kecil, sleeping bag, bahan makanan, obat-obatan, serta tak lupa ia bersihkan sepatu mendakinya.

“Helena,” sapa Pak Miko yang telah berdiri di ambang pintu bilik kamar Helena yang sedang membersihkan noda di sepatu mendakinya itu.

“Eh, Pak Miko. Iya, Pak, ada apa?”

“Nanti malam di atas Bukit Renjana, akan ada agenda perkenalan program sukarela untuk yayasan. Kamu sebagai ketua tim sukarelawan angkatan yang akan datang, tolong persiapkan materimu ya. Bapak juga sudah sampaikan hal yang sama kepada Jelita, ketua tim sukarelawan angkatan kemarin.”

“Baik, Pak, siap. Nanti saya akan presentasi program saya di mana, ya, Pak?” tanya Helena. Setahu Helena, mereka akan tidur di dalam tenda yang nanti akan mereka dirikan. Sehingga ia sedikit kebingungan akan seperti apa bentuk acara perkenalan program sukarela nanti.

“Nanti di atas bukit ada balai terbuka. Selepas jam sholat maghrib, kita semua akan berkumpul di balai itu sekalian juga nanti ada hidangan malam. Nanti kita semua berkumpul sembari berdiskusi ya. Kamu sampaikan ke teman-teman tim sukarelawan tentang program sosial yang akan kamu lakukan setelah kita semua pulang dari outing ini,” Pak Miko menjelaskan serinci mungkin. Helena mengangguk-angguk di tengah penjelasan itu.

“Oh, ada balai terbuka di atas bukit, ya. Siap Pak, akan saya persiapkan.” Helena kembali mempersiapkan kebutuhan mendakinya setelah Pak Miko beranjak pergi dari ambang pintu bilik kamarnya.

Tidak lama kemudian, kapal menepi di sisi Pulau Renjana. Seluruh peserta outing mulai kegirangan melihat pemandangan Pulau Renjana yang kini dapat mereka saksikan langsung di hadapan mereka. Tampak Pak Miko menyalakan pengeras suara hendak memberikan aba-aba petunjuk selanjutnya.

“Baik, teman-teman sukarelawan. Kapal sudah menepi dengan sempurna di Pulau Renjana. Ini sudah pukul tiga lebih lima belas waktu setempat. Teman-teman diharapkan sudah siap semuanya, ya! Sesi pendakian dari bawah sini hingga mencapai puncak Bukit Renjana rata-rata hanya membutuhkan waktu empat puluh hingga satu jam pendakian. Semoga tidak ada yang cedera dan kita dapat sampai di atas dengan selamat, lalu kita dirikan tenda, dan menikmati matahari terbenam bersama-sama. Sudah siap, semua?”

“Siap!!” seru para peserta outing bersamaan.

“Baiklah, sebelum mendaki mari kita semua berdoa dulu sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah itu, saya, Tama, dan Rani akan menjadi pemandu pendakian kecil ini. Tama akan memimpin pendakian, Rani akan berada di tengah-tengah kalian. Dan saya akan menutup barisan pendakian di belakang. Sekarang, mari kita berdoa terlebih dahulu.”

Setelah berdoa dan bersiap, pendakianpun dimulai. Tama memimpin barisan sembari memberikan arahan, sesekali ia melirik ke arah kompas digitalnya untuk memastikan ia mengambil jalur yang benar. Helena, yang cukup terbiasa mendaki gunung, berada di barisan depan. Tidak jarang ia menuai pujian dari teman-teman sukarelawan tentang betapa lincahnya ia dalam mendaki. Tanpa tongkat besi atau dahan kayu yang kuat, Helena dapat dengan sigap sedikit meloncat dari satu tanjakan ke tanjakan lainnya. Ia memilih untuk tidak berbicara atau bercanda selama mendaki, menghindari terbuangnya tenaga dengan sia-sia.

Lain halnya dengan Jelita yang kurang sigap. Ia dan Baruno berada di barisan tengah agak belakang dan berkali-kali mengeluhkan kakinya yang tertusuk tanaman tajam atau sekedar menghentikan langkahnya untuk mengatur nafas dan menenggak air mineral. Baruno nampak kewalahan karena harus mendaki sembari mengikuti kemauan Jelita yang beberapa kali merengek manja.

“Ayo, Jelita. Tahan dulu lelahnya, ya. Semangat, kamu bisa! Kalau sudah sampai di atas sana pasti semua lelah akan terbayar. Yuk, jalan lagi?” ajak Baruno kepada Jelita sambil menawarkan tangannya. Jelita menyambut tangan itu. Ia kembali mengatur nafasnya.

“Masih jauh, ya, No?” Jelita memejamkan matanya, menghalau sinar matahari yang panasnya cukup menusuk kulit dan matanya. Angin sepoi yang meniupkan pepohonan hingga daun-daunnya mengangguk lembut bahkan tidak dapat mengalahkan panasnya mentari saat itu. Di kiri dan kanan jalur pendakian terlihat banyak semak yang cukup tinggi dengan bunganya yang bermekaran kecil, sangat kontras dengan hijaunya daun yang menutupi sebagian besar Bukit Renjana. Sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengalir terhalang bebatuan, membuat arus air terpecah dan menimbulkan suara yang begitu menyejukkan di telinga.

“Tuh, ada suara air mengalir, kan? Berarti ada kehidupan di sini. Itu berarti juga, kita sudah lumayan dekat dengan puncak Bukit Renjana,” tanggap Baruno optimis walaupun ia juga tidak terlalu yakin bahwa mereka sudah dekat dengan tujuan. Tetapi setidaknya, hal itu dapat sedikit melegakan rasa lelah Jelita. Jelita melanjutkan pendakiannya dengan sedikit terseok-seok.

“Kok jalannya begitu, masih sakit ya betismu karena tadi tertusuk tumbuhan Duri Jarum?” tanya Baruno.

“Oh, itu tadi namanya Duri Jarum?” Jelita bertanya balik.

“Hahaha, iya. Nenekku orang asli Renjana, sejak kecil aku sudah beberapa kali mengunjungi Pulau Renjana dan mendaki Bukit Renjana. Jadi aku tahu beberapa tanaman berbahaya di sepanjang jalur pendakian, untuk berjaga-jaga.”

“Wah…” Jelita sedikit kaget mendengar cerita Baruno dan menghentikan langkahnya saking terpukaunya.

“Aduh, kok malah berhenti, sih? Ayo, dong! Nanti kita terlambat sampai di puncak bukit. Masih jauh, lho, perjalanan kita ini.” ajak Baruno sembari sedikit menyeret tangan Jelita agar mau melanjutkan langkahnya.

“Lho tadi katamu kita sudah dekat dengan puncak?” Jelita sedikit kesal sembari menekuk wajahnya dengan manja, sedikit merengek seperti yang sudah berkali-kali ia lakukan sepanjang pendakian. Baruno lupa bahwa ia sudah membohongi Jelita, lalu ia tertawa.

“Hahaha, ketauan, deh! Ya sudah, sebagai permohonan maafku karena sudah membohongimu, aku akan menggendong kamu selama sepuluh menit perjalanan, mumpung jalur di depan cukup landau, nih.s Tapi setelah itu kamu janji ya akan berjalan sendiri lagi dengan semangat! Oke?” Baruno memang mudah memikat hati Jelita. Sebenarnya tidak hanya Jelita saja, kepiawaian Baruno dalam membawa diri membuatnya menjadi orang yang mengasikkan dan disukai di pergaulannya. Akan tetapi, kasus Jelita kali ini berbeda. Jelita yang sedikit pemurung dan mudah patah semangat merasa sangat beruntung mengenal Baruno yang dapat mengimbangi kepribadiannya itu. Baruno sebagai laki-laki merasa amat berguna dan berharga tatkala semangat yang ditularkannya kepada Jelita membuat Jelita melihat dunia dari perspektif yang lebih optimis.

Begitulah cara jatuh cinta bekerja. Ia melengkapi apa yang dirasa kurang dalam diri kita, dialirkannya hangat perasaan itu hingga yang kosong dalam diri kita terasa penuh, terasa genap. Memang benar bahwa kita harus bahagia dengan diri kita sendiri sebelum membahagiakan orang lain, namun getaran kasih sayang tahu bagaimana membuat proses mencintai diri sendiri dan orang lain itu menjadi lebih indah.

Kebetulan saat itu jalur pendakian yang akan Baruno dan Jelita dihadapi tidak terlalu dipenuhi dengan tanjakan yang berarti, bahkan cenderung landai. Maka dari itu, Baruno menyanggupi untuk menggendong Jelita selama sepuluh menit ke depan. Jelitapun beranjak naik ke punggung tegap Baruno. Jantung Jelita berdegup lebih kencang saat tubuhnya bersentuhan dengan punggung Baruno. Aroma parfum Baruno yang bercampur sedikit keringatnya yang sedang menghalau alam seketika membuat Jelita merasa lebih aman dan nyaman. Baruno memindahkan ransel bawaannya ke bagian depan tubuhnya. Dengan tubuh Jelita yang melingkar di punggungnya, Baruno berjalan dengan mantap walaupun bebannya bertambah sedikit berat.

“Seperti  sedang memikul kayu ya, No?” Jelita melempar canda untuk menenankan dirinya yang sedikit gugup dipikul Baruno.

“Enak saja kamu bilang kamu setara dengan kayu. Lebih berat, tahu ngga?” Baruno berjalan lebih cepat untuk mengejar beberapa peserta yang sudah agak jauh di depan mereka.

“Terus, seperti memikul apa, dong?” tanya Jelita sembari melingkarkan tangannya ke bagian leher Baruno. Baruno tak dapat menampik bahwa ia juga merasakan getaran yang sama di sekujur tubuhnya terutama saat Jelita mencoba memeluknya dari belakang seperti sekarang ini.

“Ya udah deh, seperti memikul kayu. Hehehe”

“Yes, asik! Berarti aku ngga berat ya, No!”

“Eh, tapi kayunya serratus kilogram, lho!”

“Hahaha, enak saja kamu, No!”

Karena Baruno terus mempercepat langkahnya, kontan saja ia dapat menyusul beberapa peserta yang berjalan di depannya. Sambil masih memikul Jelita di punggungnya, serta tas ransel yang ia pindahkan ke bagian depan tubuhnya, Baruno menyapa beberapa temannya yang berhasil disusulnya. Pemandangan itu sontak membuat para peserta outing menjadi bersorak. Tidak sedikit dari mereka yang mengamini agar Jelita dan Baruno menjalin cinta dengan serius.

“Ya ampun kalian sempat-sempatnya mendaki bukit masih tetap romantis, ya. Langgeng deh kalian sampai kakek nenek. Hahaha,” seru Maria yang menjadi orang pertama disapa Baruno sembari berjalan menyusuri jalur pendakian.

“Hahaha, gemas sekali kalian, ya! Nampaknya Baruno sudah menentukan pilihannya. Eh, hati-hati ya, No, itu yang digendong anak orang, bukan anak monyet. Awas, hati-hati di depan situ sudah mulai tanjakan lagi!” seru Rahmi yang berjalan di depan Maria.

“Ya iyalah ini anak orang. Memangnya kalau ini anak monyet, tidak boleh berhati-hati?” timpal Baruno menggoda Rahmi.

“Ya bukan begi…” belum selesai Rahmi berbicara, Baruno buru-buru memotongnya.

“Kalau anak macan?”

“Hhhm…”

“Kalau anak kucing?”

“Duh, No…”

“Kalau anak paus?”

“Kalau anak paus ya ngga ke bukit, tinggalin aja dia di kapal! Dasar!” tutur Rahmi setengah berteriak dengan sedikit kesal karena dipermainkan Baruno.

“Ya ampun, Rahmi sih lagian orang jatuh cinta kok ditanggapi. Capek sendiri, kan?” tutur Maria yang dibarengi dengan sorakan peserta outing lainnya.

Keseruan itu terdengar hingga barisan depan. Helena menoleh ke belakang. Dipelototinya Baruno dari kejauhan yang sedang menggendongJelita di punggungnya. Jelita menggelayut di atas punggung Baruno dengan amat senang seperti anak balita yang sedang bermain dengan kakaknya. Perlahan Jelita kembali melingkarkan kedua tangannya di leher Baruno dan menempelkan pipi kanannya di tengkuk belakang Baruno. Baruno yang meringis menahan beban dan terpapar panasnya mentari mendadak tersenyum kecil. Walaupun kecil, senyuman itu tertangkap mata oleh Helena secara amat jelas dari kejauhan.

“Baruno! Hei, Baruno!” Helena berteriak sangat kencang memangil Baruno dengan nada tinggi. Baruno menengadahkan kepalanya yang sedikit tertunduk dan mencari sumber suara yang memanggilnya. Didapatinya Helena yang masih membelalakan mata ke arahnya.

“Ya?” jawabnya sembari mengambil nafas panjang dan menurunkan Jelita dari gendongannya setelah menyadari tanjakan kembali muncul di hadapannya. Sesuai janji, Baruno hanya akan menggendong Jelita selama sepuluh menit perjalanan.

“Apa-apaan kamu ini, malah bermesra-mesraan? Ini acara outing program sukarelawan, sangat tidak pantas dan tidak sopan kalau kita semua mendapatkan pemandangan seperti itu. Perilakumu seperti orang tidak berpendidikan. Tahu?” tegur Helena dalam satu tarikan nafas dengan matanya yang masih terbelalak. Matanya mendadak terasa panas, hembus nafasnya berantakan, dan tangannya mengepal. Helena marah. Baruno terpaku karena merasa dibuat malu di depan para peserta outing yang berhenti sesaat karena mendengar seruan Helena. Kini belasan pasang mata memandang Baruno, Jelita, dan Helena secara bergantian. Jelita menundukkan wajahnya, ia merasa bersalah karena telah membuat malu Baruno.

“Nah, kan, kejadian nih! Istri pertama marah nih akhirnya gara-gara Baruno kebanyakan cewe. Hahaha” celetuk Suluh yang kali ini tidak diikuti oleh tawa riuh peserta outing lainnya. Sebaliknya, beberapa dari mereka justru memberikan kode kepada Suluh untuk diam. Suluh sekonyong-konyong berhenti tertawa dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya, ia baru menyadari bahwa ia salah menempatkan diri. Tidak seharunya kejadian yang serius ini dibawanya dalam canda. Helena benar-benar marah terbakar api cemburu, ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya terhadap Baruno yang selama ini hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat. Helena berpaling, meninggalkan Baruno yang masih tidak dapat berkata-kata dan beberapa peserta yang masih berdiri melingkari kejadian itu. Helena terus melanjutkan pendakian dan tidak mau peduli dengan drama ciptaannya itu.

Helena kembali mendaki dengan lincah. Kali ini ia memimpin pendakian itu bersama dengan Tama. Begitulah Helena, perempuan cerdas dan tegas yang suka mengambil alih kendali. Buatnya, ia harus selalu memenangkan keadaan. Baruno masih terpaku, seperti sedang mencerna dan memproses sesuatu yang ada di kepalanya. Ia dapat mengenali betul perasaan yang mendadak bersarang di dadanya. Ia geram dipermalukan seperti tidak punya harga diri di hadapan banyak orang, dan lebih marah lagi saat dijadikan bahan olokan ketika ia sedang merasa malu. Tanpa berpikir lebih panjang, direngkuhnya kaos Suluh yang berdiri di dekatnya, lalu didaratkannya beberapa pukulan keras yang menghantam tubuh Suluh.

“Hei, Suluh! Tahu ngga tempatnya bercanda di mana? Bukan di sini, bukan sekarang! Apa kamu bodoh? Tolol? Stupid?” bentak Baruno di telinga Suluh. Bak, buk, bak buk! suara beberapa pukulan yang dilayangkan Baruno ke arah Suluh membuat Suluh jatuh tersungkur di tanah. Suluh berusaha bangkit dan mengumpulkan sisa tenaga untuk membalas pukulan itu. Melihat hal itu Pak Miko datang melerai keduanya. Jelita menahan tubuh Baruno, dan Pak Miko mencoba menarik mundur badan Suluh. Beberapa peserta outing yang semula kembali melanjutkan perjalanan terhenti dan berhamburan untuk melerai Suluh dan Baruno. Baruno meronta agar semua yang menahan tubuhnya dapat segera melepaskannya. Tubuhnya yang tinggi tegap dan kuat itupun dapat dengan mudah melepaskan semua yang menahannya dalam satu kali kibasan.

“Aaarrgghhh!!” teriak Baruno setelah ia dapat kembali lepas. Ia kembali melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya mencerminkan amarah, ditinggalkannya orang-orang yang sedari tadi mengerumuninya. Bahkan Jelitapun tidak lagi ia pedulikan.

Selang satu jam kemudian, semuanya telah berkumpul dengan selamat di atas Bukit Renjana. Pak Miko kembali memberikan arahan bagi para peserta untuk mendirikan tenda yang telah disiapkan oleh yayasan tempat mereka menjadi sukarelawan. Rencananya, satu buah tenda akan ditempati oleh dua hingga tiga orang. Jelita dan Rani memutuskan untuk berada pada satu tenda.

Setelah mendirikan tenda mereka, Jelita berjalan di sekitar lingkungan tempat mereka mendirikan tenda. Didapatinya Baruno yang sedang duduk seorang diri di kursi kayu yang membentang cukup panjang di tepi tebing. Di tangannya terdapat segelas plastik kopi instan hangat dan matanya menatap lurus ke depan. Benar-benar tidak ada siapa-siapa di situ selain Baruno. Jelita menghapiri Baruno dengan langkah yang cukup hati-hati, ia masih menebak-nebak suasana hati lelaki pujaannya itu.

“Ba… Baruno,” sapa Jelita lembut sembari mencolek pundak Baruno. Baruno menoleh kea rah Jelita yang berdiri di belakangnya. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi dengan tatapan mata yang mengarah pada kursi yang sedang ia duduki itu.

“Duduk!” pinta Baruno singkat. Jelita duduk di sebelah Baruno. Gadis itu terkagum-kagum melihat pemandangan yang membentang dari tempat ia duduk. Nampak dari sana lautan dengan gradasi biru yang terlihat jelas. Debur ombak dan suara air laut bersatu padu. Laut Renjana yang tenang itu dikelilingi beberapa pulau yang cantik, namun jelas Pulau Renjana yang paling terkenal akan kemolekannya. Angin laut berhembus menembus baju yang Jelita kenakan, membuatnya sedikit bergidik dan mengusap-usapkan telapak tangannya ke lengannya. Melihat Jelita kedinginan, buru-buru Baruno melepas jaketnya dan dilingkarkanya ke tubuh Jelita. Jelita tersenyum dan mereka saling berpandangan begitu dalam. Angin yang sama ternyata turut membuat rambut Jelita menutupi wajahnya. Baruno merapikan rambut Jelita yang menghalau pandangannya ke wajah manis Jelita. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut keduanya.

“No…” Jelita membuka suara.

“Aku minta maaf ya, No. Mungkin kalau aku tadi tidak banyak mengeluh sepanjang pendakian, kamu tidak akan menggendongku dan dengan begitu kamu tidak akan malu dengan segala olokan dan teguran yang…” Jelita berusaha melanjutkan kata-katanya, namun belum sampai habis ia mengutarakan rasa bersalahnya, bibirnya terkunci oleh sesuatu yang hangat. Baruno mengecup lembut bibirnya. Jantung Jelita seolah jatuh ke laut, lalu melambung tinggi hingga langit ke tujuh, lalu jatuh diantara bintang-bintang. Sensasi yang selama ini ia bayangkan akhirnya dapat ia rasakan. Jelita memejamkan mata, menikmati ciuman itu dan berharap tidak melepaskannya.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin aku yang terlalu lancang. Seperti yang baru saja terjadi. Aku lancang mencium bibirmu tanpa seijinmu,” jawab Baruno sedetik setelah menyudahi ciuman yang amat Jelita nikmati itu. Baruno menyeruput kopinya yang sudah tidak terlalu hangat itu.

“Lancang yang seperti apa maksudmu?”

“Aku seperti menganggap sekitarku terlalu enteng. Terlalu santai. Helena ada benarnya, mungkin aku harus lebih serius dalam mengikuti program ini. Bagaimanapun perjalanan ini bagian dari program sukarelawan. Dan program itu sendiri bukan semata-mata untuk tujuan hura-hura.” Mendengar penjelasan Baruno, Jelita mengangguk mengerti.

“Sudah, yuk, kita bergabung dengan yang lainnya di sana. Kata Pak Miko kita semua akan menikmati sunset bersama-sama,” ajak Jelita.

“Oh iya, nanti kamu akan menjadi salah satu pembicara diskusi di balai ya?”

“Iya, nih, No. Hhhmm… Helena juga akan presentasi nanti.”

“Semangat ya, Jelita! Yuk, kita bergabung dengan yang lain!"

Bab terkait

  • Jelajah Jelita   Petang di Bukit Renjana

    Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Jelajah Jelita   Serangan Fajar

    Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • Jelajah Jelita   Menjelang Pulang

    Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-16
  • Jelajah Jelita   Cerita Tengah Malam

    “Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Jelajah Jelita   Selangkah Mengenal Jelita

    Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-12
  • Jelajah Jelita   Teruntuk Pak Miko

    Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-13
  • Jelajah Jelita   Nyanyian Malam

    Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14
  • Jelajah Jelita   Sepasang Mata Bola

    Hari Sabtu sore Jelita sudah bersiap diri untuk menunggu jemputan Baruno. Ia mematut dirinya di depan cermin panjang yang berdiri manis di tembok kamar belakang rumah Pak Miko. Diperhatikannya setiap detil dan lekukan di wajah dan tubuhnya sembari memperbaiki posisi kalung emasnya yang ia beli dari hasil jerih payahnya memberi kursus bagi siswa sekolah.Rani mengetuk pintu kamar Jelita. Tanpa menunggu Jelita mempersilakannya, cepat-cepat Rani menyelinap masuk ke kamar Jelita.“Rapi sekali, Kak Lita? Mau kemana?” Rani takjub melihat penampilan Jelita sore itu yang terlihat jauh lebih anggun dari biasanya. Jelita tercekat, tidak berani mengatakan sebenarnya. Entah apa reaksi Rani apabila ia mengetahui apa yang tim sukarelawan lakukan di belakangnya.“Oh, hhhmmm… ngga kok, Rani. Ini… mau pergi dengan Baruno saja hehe,” tukas Jelita berbohong. Rani menangkap raut yang berbeda dari Jelita.“Hahaha. Kok mendadak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14

Bab terbaru

  • Jelajah Jelita   Sebuah Publikasi

    Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant

  • Jelajah Jelita   Strategi untuk Bu Novi

    Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang

  • Jelajah Jelita   Memulai Sebuah Perjalanan Baru

    Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s

  • Jelajah Jelita   Bekerja tanpa Rama

    Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka

  • Jelajah Jelita   Pengakuan Rama

    Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun

  • Jelajah Jelita   Menjaga Hati

    Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta

  • Jelajah Jelita   Menerima Kenyataan Manis

    Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka

  • Jelajah Jelita   Riuh Canda dan Senyum Hangat

    Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,

  • Jelajah Jelita   Sebuah Kesalahan yang Impas

    Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status