Mentari pagi menyapa dengan pantulan keemasannya yang membelah birunya laut. Sinarnya yang hangat menembus celah di bilik kamar kabin kapal tempat Baruno terlelap semalam, membuat Baruno merasakan sedikit kesilauan. Pelan-pelan dibuka kelopak matanya yang bulat itu. Dengan dahi yang berkerut dan mata yang belum sempurna terbuka, Baruno melirik jam di ponselnya. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Baruno tersadar bahwa ia terlambat mengikuti jadwal senam pagi bersama di geladak utama kapal. Ah, shit, terlambat ikutan senam bareng yang lainnya! rutuknya dalam hati yang setengah peduli.
Setelah merapihkan dan melipat sarung yang menyelimuti dirinya semalaman, Baruno mengambil sebotol air mineral dan berjalan menuju sebuah bilik kayu kecil di bagian belakang kapal. Ia mencuci muka dan menyikat giginya sebelum bergabung dengan para rombongan outing yang sedang mengikuti olahraga pagi di geladak utama kapal.
“Enam… enam… tujuh.. delapan. Oke, sekarang kaki kiri diangkat sedikit, usahakan tumitnya sejajar dengan lutut kanan ya. Siap? Yuk, tahan ya hingga hitungan ke delapan! Satu… dua…” seru Tama memberikan aba-aba kepada rombongan yang berbaris rapi dan sejajar. Sungguh nikmat sekali berolahraga bersama di pagi hari di atas kapal yang sedang berlayar menuju pulau yang sangat cantik.
Perjalanan outing ini benar-benar dinantikan oleh para tim sukarelawan yang berasal dari berbagai kota besar di penjuru nusantara ini. Siapa, sih, yang tidak suka menjadi sukarelawan yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat desa sembari berpetualang ke sebuah pulau yang sangat tersohor keindahannya? Belum lagi kegiatan ini hampir selalu dibanjiri anak muda yang berminat untuk bergabung, maka sudah barang tentu banyak gejolak romansa yang melimpah ruah sepanjang sejarah program sukarela di bawah asuhan yayasan Pak Miko ini berlangsung. Namun karena keelokan Pulau Renjana bukanlah hal yang baru bagi Baruno, maka kobaran semangat yang ia miliki tidak sama dengan anggota tim sukarelawan yang lainnya. Buatnya, perjalanan ini biasa saja dan mengikuti program sukarela ini semata-mata untuk memenuhi persyaratan kelulusan dari kampusnya. Satu hal yang belum ia sadari sepenuhnya ialah ia tidak bisa mengelak saat gejolak cinta lokasi menyapa dirinya sepanjang perjalanan ini.
Baruno yang telah selesai membersihkan diripun melangkah menuju geladak kapal, menemui kerumunan anak muda yang sedang melakukan olahraga senam pagi tersebut.
“Pagi, semua!” sapa Baruno tanpa ragu. Rombongan yang berjumlah sekitar lima belas orang itupun spontan menoleh ke arah Baruno yang baru bergabung dengan mereka.
“Dari mana aja, No? Baru bangun ya? Siang amat baru bergabung, Sini, ayo pemanasan! Dasar pemalas! Hahaha.” Tama yang mulai kegerahan akibat paparan matahari pagi terkekeh sembari menyingsingkan lengan bajunya. Fokus peserta outing lainnya buyar tatkala Baruno dengan santainya mengambil posisi duduk bersila di hadapan barisan.
“Wah, Tama belum tahu, ya? Baruno kesiangan tuh, kelelahan semalam tertusuk panah cinta yang mendadak menyapa! Cieee, Baruno! Pulang dari sini langsung resepsi nih, jangan-jangan.” timpal Suluh yang diiringi tawa peserta outing lainnya. Jelita yang berada di tengah rombonganpun ikut tertawa mendengar celetukan Suluh. Jelita yakin bahwa mulai saat ini ia dan Baruno sudah tidak dapat menutupi perasaan mereka di hadapan seluruh peserta outing, radar mereka cukup jeli dalam menangkap getaran rasa antara ia dan Baruno.
“Duh, sok tahu deh si Suluh! Hahahaha.” Baruno turut larut dalam tawa lalu beranjak berdiri dan menempatkan dirinya masuk ke dalam barisan untuk bergabung dalam sesi olahraga itu.
“Ya udah, kita tunggu Helena dulu, deh, teman-teman. Setelah itu baru lanjut lagi ya olahraganya,” kata Tama kepada rombongan outing yang sudah bersiap melanjutkan olahraga pagi itu.
“Lho, masih ada yang terlambat lagi? Wah, ternyata bukan Baruno saja yang terlambat. Helena juga, ya? Luar biasa, benar-benar berjodoh! Hahahaha.” kali ini Rahmi ikut berkomentar.
“Lagian baru satu hari berlayar udah tancap gas aja, sih, No? Kebelet banget kayanya si Baruno. Untung ngga bertepuk sebelah tangan ya. Hahaha.” Suluh kembali memecahkan tawa yang masih saja diikuti oleh para peserta outing. Jelita yang semula ikut dalam arus tawa itu mendadak terdiam sejenak. Nafasnya seolah terhenti selama beberapa detik. Helena? Helena ini siapa? Helena ini yang mana? Apa hubungannya gadis ini dengan Baruno? Bukannya orang-orang di sini sedang membicarakan kisahku dengan Baruno? Bukannya yang dimaksud cinta yang menyapa itu cintaku terhadap Baruno? Dalam hati, Jelita menyerbu dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Walaupun ia sendiri sibuk menelaah jawaban-jawabannya, hati kecilnya sedikit mengakui ada kejanggalan di sini dan ia belum siap menerima segala kemungkinan yang akan menyakiti batinnya.
“Nah itu dia si Helena. Panjang umur, orangnya datang,” timpal Rahmi. Mendengar suara Rahmi, Jelita buru-buru melempar pandangannya ke arah sosok yang baru saja datang. Sosok itu menyapa dengan riang. Langkahnya mantap, lajunya penuh keceriaan, namun yang paling menarik dari sosok yang baru saja bergabung dalam barisan peserta outing yang masih dalam formasi olahraga ini ialah aura percaya diri dan sorot mata kecerdasan yang dapat dirasakan seketika oleh sekitarnya.
“Hai, semua. Maaf sekali aku terlambat, huhuhu. Masih boleh bergabung, kan?” tanya Helena ramah yang disambut dengan anggukan antusias dari sebagian besar rombongan anak muda itu. Kecuali Jelita, yang mematung dan terus memperhatikan setiap inci seorang Helena. Tanpa Jelita sadari, Baruno yang berjarak beberapa langkah di hadapannya turut merasakan kegundahannya. Baruno diam-diam mencuri pandang ke arah Jelita yang sedang memperhatikan gerak-gerik Helena dari kejauhan. Ia berusaha mencerna mimik dan reaksi Jelita saat itu.
Namanya Helena Moeis, anak dari seorang profesor sosiologi ternama, Profesor Agus Moeis. Sebagai mahasiswi sosiologi, jelas Jelita tidak asing dengan nama ayah Helena. Banyak sekali buku bacaan Jelita yang merupakan buah karya Profesor Moeis. Bahkan beberapa kali Jelita hadir di berbagai acara akademik yang mengundang sang profesor tersebut sebagai pembicara utama. Helena mewarisi kecerdasan ayahnya dan keanggunan ibunya yang merupakan mantan peragawati kondang. Gadis manis itu kini mengambil jurusan sosial dan politik di salah satu universitas ternama di Singapura dan memanfaatkan waktu liburan semesternya kali ini dengan bergabung dalam program sukarelawan pemberdayaan masyarakat ini sebagai ketua tim.
Kegiatan olahraga pagi terasa sangat lama bagi Jelita yang ingin buru-buru mengakhiri sesi ini. Beruntung Tama, salah satu anggota tim sukarela yang menjadi instruktur olahraga pagi ini tidak sabar ingin melakukan snorkeling ketika Pak Miko menginformasikan kepada para peserta bahwa sebentar lagi kapal akan menepi di sekitar Pulau Renjana yang juga terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Tama bergegas menyelesaikan sesi olahraga yang diikuti seruan setuju oleh para rombongan.
“Alhamdulillah ya, Kak, kita sudah sangat dekat dengan Pulau Renjana,” kata Rani sembari menyerahkan handuk kecil kepada Jelita selepas sesi olahraga. Rani dapat membaca raut wajah Jelita yang dirundung pilu sejak kejadian beberapa menit lalu itu.
“Terima kasih, Rani,” Jelita menerima handuk itu dan menyeka keringatnya.
“Kak Lita, sudah jangan terlalu dipikirkan yang tadi. Nanti kita cerita-cerita deh, Kak, supaya Kakak merasa lega. Aku juga mau cerita tentang kejadian kemarin sore itu.”
“Iya, Rani. Sekarang kita makan, yuk!” ajak Jelita. Jelitapun meraih dua piring kosong beserta dua pasang sendok dan garpu dari tumpukan yang tidak jauh dari tempat duduknya. Hidangan laut yang seadanya namun tampak nikmat luar biasa itu telah disiapkan oleh kru kapal bagi para peserta outing. Melihat santap pagi menjelang siang yang akan segera mengisi perutnya yang cukup keroncongan itu, Jelita merasa sedikit terhibur. Secepat kilat ia menyambar nasi putih, ikan bakar, beberapa potong ketimun, dan sambal. Rani tertawa kecil melihat kelakuan Jelita yang terlihat kelaparan itu.
“Hahaha, sabar kak, pelan-pelan mengambil makanannya. Semangat isi perut ya, Kak, sebelum snorkeling?” bahkan saat Rani belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mulut Jelita sudah terjejal dengan nasi dan lauk pauk yang baru saja ia suapkan ke mulutnya. Jelita hendak menanggapi pertanyaan Rani namun tak kuasa menahan banyaknya makanan di mulutnya. Rani kembali tergelak melihatnya.
“Kak Lita, ih, sampai penuh begitu mulutnya, kaya ngga pernah makan. Hahaha.”
“Hai, kalian semua. Aku boleh duduk dan makan di sini bersama kalian? Kamu pasti Jelita, ya? Dan kamu Rani, anak Pak Miko. Betul?” mendadak muncul seorang gadis manis yang mencoba bergabung dalam percakapan antara Jelita dan Rani. Gadis itu sedikit kerepotan membawa makanan dan minumannya. Rani mengangguk dan mempersilakannya duduk di sebelahnya, bahkan membantu membawakan gelasnya untuk ditempatkan di meja. Jelita yang masih berusaha mengunyah makanan yang memenuhi rongga mulutnya, masih tidak bisa membalas sapaan gadis itu. Ia berusaha mengunyah makanan yang melebihi kapasitas normal mulutnya itu, hingga ada beberapa serpihan makanan yang jatuh ke bawah, buru-buru Jelita menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Gadis itu menatap Jelita yang sedang gelagapan, hingga akhirnya ikut menertawakan Jelita bersama Rani.
“Hahaha. Sebentar, kuambilkan air minum ya!” tanpa meminta persetujuan dari Jelita, gadis itu sekonyong-konyong bangkit dari duduknya dan berjalan mengambilkan Jelita minuman. Jelita dan Rani terpana akan aksinya. Kenalan saja belum, sudah mau mengambilkan air minum.
“Nih, minuman untuk Jelita. Hati-hati, biar tidak tersedak. Oh iya, namaku Helena!” dengan penuh percaya diri gadis itu kembali duduk di antara Jelita dan Rani lalu menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Jelita melirik ke arah piring Helena. Wah, bahkan porsi makannya elegan sekali, jauh lebih sedikit ketimbang porsi makanku, tutur Jelita dalam hati. Diam-diam ia mulai membandingkan dirinya dengan Helena.
“Jelita, kamu ketua tim sukarelawan angkatan sebelumku, kan?” Helena bertanya kepada Jelita yang masih sibuk membandingkan dirinya sendiri dengan Helena dalam hati. Sesaat sebelum menjawab pertanyaan Helena, Jelita menyambar gelas dan menenggak air minum di dalamnya.
“Iya. Kenapa?” tanya Jelita sedikit ketus.
“Tidak apa, aku hanya ingin mengapresiasi beberapa program pemberdayaan masyarakat yang kamu inisiasi. Aku sebagai ketua tim sukarelawan yang baru akan sangat happy melanjutkan program kamu. Tapi aku juga ada beberapa pertanyaan, nih, Ta.” ungkap Helena sambil menyuapkan sejumput nasi ke mulutnya. Sebenarnya Jelita selalu semangat dengan segala pertanyaan terkait program sosial ciptaannya itu. Tetapi mengingat kejadian pagi tadi yang cukup menguras hati dan perasaan Jelita, sikapnya kini mulai subyektif terhadap Helena.
“Helena, simpan saja pertanyaan-pertanyaan kamu buat nanti, ya. Aku sedang tidak berselera. Yuk, Rani, kita siap-siap snorkeling.” Jelita merespon dengan tegas, menyudahi makannya, dan beranjak meninggalkan Helena sendirian. Mendapat perlakuan seperti itu, Helena terkejut dan membelalakan matanya, namun beberapa detik kemudian ia sudah sibuk dengan ponselnya. Ia memilih untuk tidak mengambil pusing atas sikap ketus Jelita kepadanya.
Di sisi yang lain, nampak Jelita dan Rani yang sibuk dengan perlengkapan snorkeling di hadapan mereka. Setelah siap dengan pakaian berenang masing-masing dan perut yang terisi penuh setelah makan, mereka saling membantu mengenakan peralatan snorkeling. Mereka sudah tidak sabar untuk bergabung dengan teman-teman yang sudah menunggu mereka di bawah sana.
Sesi snorkeling ini menjadi aktifitas yang sangat melegakan bagi Jelita untuk sejenak melupakan kekesalannya. Menilik kehidupan di bawah laut sana membuka matanya lebih luas lagi akan ciptaan ilahi. Jelita mulai berenang di atas gradasi biru jernihnya laut yang selama ini hanya dapat dilihatnya dari atas kapal saja. Arus laut menghantam lembut tubuhnya hingga menciptakan sensasi naik turun yang dirasa sangat menyenangkan bagi Jelita. Ia seolah melayang-layang diantara air laut sembari menikmati indahnya warna-warni biota laut yang terpampang di dalam sana. Hamparan terumbu karang yang bersemu kuning kecokelatan menyapa Jelita yang semakin menenggelamkan dirinya ke dalam laut. Jelita memperhatikan hamparan terumbu karang itu lebih dekat. Ternyata di sela-sela rongga terumbu karang itu terdapat kawanan ikan kecil berwarna cerah yang berenang meliuk-liuk. Jelita terkesima dengan cantiknya ikan-ikan kecil tersebut, ia spontan mengikuti kemana kawanan ikan kecil itu berenang kian kemari.
Setelah puas menikmati kecantikan laut Renjana, Jelita muncul ke permukaan, hendak menyudahi kegiatan snorkelingnya. Rupanya Rani sudah menunggu di pesisir laut yang sepi, dekat dengan kapal mereka yang sedang menepi.
“Kak Lita! Ke sini, Kak!” seru Rani yang diiyakan oleh Jelita. Jelita berenang menuju ke pesisir itu, lalu disusurinya pesisir berpasir putih sambil terus memandangi panorama di hadapannya. Berkali-kali ia memuji keindahan alam itu dalam hati.
“Sini Kak, duduk di atas pasir sini,” ajak Rani. Jelita duduk bersila di sebelah Rani. Mereka lalu menenggak air kelapa murni yang terasa begitu segar mengalahkan dahaga mereka.
“Segar sekali, Ran, air kelapa ini. Dapat dari mana buah kelapanya? Pasti kamu ambil buah yang jatuh dari pohon itu ya? Kan ngga mungkin juga kamu memanjat pohon itu.” tanya Jelita. Rani menggeleng dan sedikit tergelak.
“Hahaha, tidak dong, Kak! Tuh yang manjat pohonnya lagi berdiri di belakang Kakak. Hihihi.” Setelah mengatakan itu, Rani berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Jelita yang masih kebingungan. Rani lalu melangkah riang menuju kapal sambil tersenyum lebar. Jelita memalingkan wajahnya ke belakang, mencari sosok yang dimaksud Rani. Ternyata Baruno sudah berdiri tersenyum menatapnya.
“Have fun ya, kalian. Aku tunggu di kapal, ya!” sorak Rani dari kejauhan dengan mimik jahil.
“Eh… Ngapain kamu di sini? Helena mana?” tanya Jelita kepada Baruno dengan nada cemburu.
“Ada tuh, Helena di dalam kapal bersama yang lainnya.” Baruno mengambil posisi duduk di sebelah Jelita.
“Oh, begitu. Ngapain kalian semalam?”
“Hahaha. Niatnya main catur berdua sebentar. Tapi aku penasaran mengalahkannya yang jago main catur itu. Keterusan, deh!”
“Hhhmm… Pasti senang sekali ya kasmaran di tengah perjalanan seperti ini.”
“Iya, dong!” jawab Baruno cepat. Jelita sedikit melotot mendengar jawaban itu. Kok diiyakan, sih? Apa dia tidak paham aku sedang menyindirnya? Tanyanya dalam hati.
Tanpa ragu, Baruno menggenggam tangan Jelita, Jelita hanya bisa pasrah. Pun sebenarnya dia tidak memiliki hak untuk marah kepada Baruno. Bagaimanapun, Baruno bukan kekasihnya.
“Ta… Helena dan aku, hanya sepasang sahabat. Orang tua kami memang berniat menjodohkan kami. Tapi setelah saling bertemu, kami sadari bahwa kami hanya cocok sebagai sahabat. Tidak lebih. Bahkan Helena sudah memiliki kekasih di Singapura.”
“Jadi kamu sudah lama kenal dengan Helena? Bukan kenal karena satu tim sukarelawan di sini?”
“Kami sih memang janjian untuk ikut program ini. Kebetulan diterima di angkatan yang sama, ya angkatan yang sekarang ini. Hayo… Kamu cemburu ya?” goda Baruno. Jelita tidak mengelak, ia hanya tersipu malu.
“No, tadi kamu mengiyakan kalau sekarang sedang kasmaran. Jadi kasmarannya dengan siapa?”
“Siapa ya? Ah males deh, sok pakai nanya. Ini nanya apa mancing, Ta? Kalau mau mancing, mancing sendirih gih, tuh…mumpung beneran lagi di laut!” kelakar Baruno sembari melepas genggaman tangannya dari tangan Jelita. Jelita terbahak mendengarnya.
Suluh yang baru selesai snorkeling dan menepi ke pesisir tempat Baruno dan Jelita berbincang berdua itu tidak sengaja melihat pemandanan mesra tersebut dengan penuh rasa tanya.
“Wah, beneran playboy ternyata Baruno. Baru dua hari di kapal sudah gonta-ganti wanita. Ini dua-duanya pada akur kan, No? Jangan sampai pada jambak-jambakan di atas kapal, nih. Hahaha.” diledek begitu, Baruno tidak terima. Dikejarnya Suluh yang lari terbirit-birit menuju kapal sambil terbahak seru. Suluh berteriak minta ampun sambil sesekali melempar ejekan untuk Baruno.
“Ampun, No! Ampun! Gila ini sang penakluk wanita cepet juga larinya, hahaha.”Baruno tak henti mengejar Suluh dengan tawanya yang tidak kalah menggelegar. Sontak para peserta outing yang sudah berada di dalam kapal mendadak menyeruak keluar dari kabin menuju geladak luar kapal, hendak mengetahui suara ramai yang bersumber dari pesisir itu, tanpa terkecuali Helena.Ada apa, sih, suara ribut-ribut dari luar sana? Ujar Helena dalam hati, penasaran. Helena memicingkan mata mencoba memperjelas pandangannya. Nampak Baruno mencoba mengejar Suluh yang berlari tak terlalu jauh di depannya dan Jelita yang turut berlari kecil berusaha merengkuh lengan Baruno. Ketiganya tertawa terbahak-bahak tanpa beban dan terus berkejaran. Menyaksikan itu dari geladak kapal, Helena melipat tangannya sambil mengangguk paham, kini ia tahu mengapa Jelita memperlakukannya dengan ketus.
Hhhhmm... dasar wanita! begitu rutuknya. Helenapun melenggang masuk kembali ke dalam kabin kapal.Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno m
Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.
Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masi
Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk