Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.
“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawah sana. Setelah itu kita kembali ke kapal dan berlayar pulang,” Pak Miko menerangkan agenda selanjutnya. Terdapat raut sedih di wajah para peserta outing karena perjalanan ini akan berakhir dan mereka harus bersiap untuk terjun langsung menangani program sosial di Desa Balarambe seusai outing ini.
Hari itu terasa cepat berlalu. Mungkin karena para peserta outing cukup letih menghadapi agenda yang berjubel. Bahkan ketika selesai turun bukit dan kembali naik ke kapal yang sedari kemarin masih menepi di sisi Pulau Renjana, sebagian besar peserta outing memilih untuk tidur dalam perjalanan laut itu. Suasana kapal menjadi tidak seramai saat para peserta outing memulai perjalanannya dua hari yang lalu. Dalam perjalanan pulang ini karena kapal tidak dituntut banyak berhenti, maka waktu yang ditempuh menjadi jauh lebih singkat dibandingkan ketika awal perjalanan.
Jelita banyak melamun di dalam kapal. Jam-jam pertama di atas kapal menuju arah pulang itu ia habiskan untuk membaca buku yang baru seperempat halamannya ia selesaikan. Berkali-kali ia membetulkan posisi earphone yang menancap di lubang telinganya, sebagai kode ia tidak mau diusik oleh siapapun. Baruno sadar bahwa Jelita menghindarinya, tetapi ia belum tahu persis alasan di balik semua ini.
“Jelita!” sapa Baruno di geladak kapal. Jelita hanya diam membisu tak menyadari ada Baruno di dekatnya. Ia masih sibuk dengan buku yang ia baca dan earphone yang bertengger manis di kupingnya. Baruno melepas earphone dari telinga Jelita dan memanggil Jelita kembali.
“Hei! Jelita!” panggilnya. Jelita sedikit kaget.
“Jelita, sepertinya kamu harus cerita. Ada kejadian apa tadi pagi di Bukit Renjana?”
“Hhhmm… oh, ngga kok, No! Lupakan saja, lah.” Jelita merebut earphonenya dari tangan Baruno dan kembali memasangnya di telinganya. Acuh.
“Jelita, cerita!” Baruno kembali melepas earphone Jelita. Kali ini dengan lancang ia juga merebut buku yang Jelita baca, menutup dan lalu menyingkirkannya dari Jelita. Jelita melengos malas.
“Sudah, jangan sok suci, pura-pura tidak tahu apa-apa. Ambil saja buku dan earphoneku, ngga ngefek. Aku tetap malas membahasnya!” Jelita berdiri dan berjalan melenggang. Baruno menundukkan kepalanya, tiba-tiba ia merasa sakit kepala. Ia duduk menyandarkan diri dan menarik nafas panjang lalu dihembuskannya pelan-pelan nan lambat. Rani datang menghampiri Baruno. Rani akhirnya memilih untuk membuka suara, ia menceritakan tentang apa yang dilihat Jelita tadi pagi di dalam tenda Baruno. Baruno menyimak dengan seksama, tak mau sedikitpun ia ketinggalan cerita. Sepanjang Rani bercerita, Baruno hanya dapat merutuk dalam hati.
Baruno menyusuri lorong kabin kapal dengan amarah yang membara. Dicarinya bilik kamar Helena saat itu juga. Setelah menemukannya, Baruno mengetuk dengan kasar sembari memerintahkan Helena untuk segera membukakan pintu itu untuknya.
“Helena! Buka! Buka pintunya, Helena! Helena!”
“Duh ada apa sih, No, ribut-ribut?”
Baruno menarik paksa lengan Helena, menggiringnya ke tempat yang lebih sepi. Dilepaskannya tarikan itu dengan sedikit gerakan mendorong. Helena yang belum siap untuk melawan kekuatan Baruno yang lebih besar darinyapun agak terpelanting hingga menabrak tembok.
“Aduh! No, sudah gila kamu, ya?”
“Sudah gila, sudah gila. Kamu tuh yang gila! Sebenarnya kamu ada masalah apa sih denganku dan Jelita?” ditanya Baruno seperti itu, Helena bergeming. Baruno mulai kehilangan kesabarannya, ia menggebrak meja yang ada di hadapannya. Helena bergetar akan gertakan itu.
“Helena, Jawab!” desak Baruno.
“A… aku tidak su… suka melihatmu dengan Je.. Jelita!” Helena gemetar dan bergidik ngeri, matanya sedikit berkaca-kaca. Belasan tahun ia bersahabat dengan Baruno, baru kali ini ia menyaksikan kemarahan Baruno yang membludak karenanya.
“Kenapa? Kamu kira bagus bikin drama seperti itu? Sudah cukup kamu permalukan aku di hadapan semua orang, bahkan aku sudah menganggapnya lalu. Bukannya membenahi diri, kamu malah balik menyerang Jelita saat diskusi di balai. Kamu kira kami semua tidak tahu tujuanmu itu untuk menjatuhkan Jelita? Lalu kamu menyusup ke tendaku untuk membuat fitnah murahan yang bodohnya, itu semua berhasil! Sedari dulu aku mengenalmu, kamu selalu begini, selalu ingin menang sendiri, selalu ingin mengambil kendali. Buatmu, kamu harus jadi yang nomor satu. Semua selalu tentang kamu. Semuanya. Tapi kali ini, Helena, aku tidak mengijinkanmu melakukan itu pada Jelita!”
“Hei, kenapa kamu malah menjadi membela Jelita?”
“Kenapa? Karena Jelita kekasihku!” selepas menjawab itu Baruno mengatupkan mulutnya tak mempercayai apa yang baru saja dikatakannya. Helena tercekat, setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya sedetik lalu itu.
“Baruno… asal kamu tahu, tidak semuanya tentang diriku. Selama aku kuliah di Singapura, aku tetap selalu ada untukmu. Saat kamu begitu terpukul selepas putus dari Sandra, aku menyempatkan diri pulang ke Jakarta. Demi kamu. Ingat saat ibumu harus dirawat di Singapura? Aku kerap membolos kuliah demi memantaunya di rumah sakit, itu semua demi kamu. Agar kamu di Jakarta selalu tahu perkembangan ibumu. Dan ini, program sukarelawan ini, siapa yang memintaku untuk berpartisipasi? Kamu. Sebenarnya aku bisa saja memilih untuk berlibur dan bersenang-senang selama libur semester ini. Tapi karena kamu yang minta aku temani menjadi tim sukarelawan, maka aku mau. Tidak semua tentang aku No! Ini semua tentang kamu. Selalu kamu.” tangis Helena pecah. Baruno tertegun.
“Helena…”
“Kamu tahu kenapa kamu tidak pernah peduli?”
“Hhhmmm….”
“Karena kamu tidak pernah membalas perasaanku sedari dulu,” ujar Helena sembari tertunduk. Sejujurnya ia malu kalau harus mengakui perasaan terpendamnya itu kepada sang sahabat. Namun menurutnya ini adalah saat yang tepat.
“Helena…” Baruno sedikit merasa bersalah.
“Baruno, betul apa yang kamu bilang. Aku selalu ingin jadi yang nomor satu. Tapi itu hanya di hadapanmu, No. Kenapa? Karena, aku tidak pernah menjadi yang nomor satu bagimu,” ucap Helena perlahan seraya mengusap air matanya. Kini berganti Baruno yang bergeming dan tak mengucap sepatah katapun. Ia sibuk berpikir memproses serangkaian pengakuan Helena ini.
Belasan tahun saling mengenal, tidak pernah sedikitpun terbesit di benak Baruno untuk memacari Helena walaupun gadis itu memiliki begitu banyak pengagum bukan hanya karena manis wajahnya dan penampilannya yang elegan, namun karena kecerdasan dan pembawaannya yang membuat orang lain nyaman berada di dekatnya. Aura yang terpancar dari diri Helena membuat siapapun merasa segan, ia begitu karismatik meskipun sekilas terkesan angkuh. Tetapi bagi Baruno, semua kualitas dalam diri Helena itu tidak cukup menimbulkan getaran yang membuatnya ingin mendekati dan menjalin romansa dengan gadis itu. Helena terlalu kuat untuknya. Helena terlalu mandiri, seolah tidak ada celah dalam diri Helena yang dapat Baruno isi. Di mata Baruno, Helena selalu kokoh berdiri sendiri, itulah mengapa ia selalu mengandalkan Helena terutama dalam kondisi genting, namun tidak pernah mengijinkan Helena untuk menyentuh hatinya.
Tetapi bersama Jelita, Baruno merasa memiliki peran yang dapat membuat Jelita merasa lebih baik. Jelita selalu mengagumi dan mengandalkan Baruno dalam menemukan perspektif yang baru. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Rupanya perasaan merasa dibutuhkan ini menjadi candu bagi Baruno.
“No… maaf, aku tidak bisa melanjutkan ini semua. Sepertinya aku mundur dari program sukarelawan ini. Berada di sinipun pada dasarnya bukan kemauanku. Aku hanya ingin menyenangkan hatimu. Tapi ternyata tugasku cukup sampai di sini, sudah ada yang lain yang bisa menyenangkan hatimu.”
“Tidak, Helena! Kamu tidak bisa memutuskan seperti ini!”
“Kenapa tidak? Kali ini aku ingin semua tentang diriku, seperti yang kamu bilang. Sesampainya di Balarambe, aku akan segera mengurus kepulanganku. Biar kucari alasan yang bagus untuk Pak Miko,” Helena melampiaskan kesedihannya dengan amarah. Ia melangkah pergi tanpa mempedulikan Baruno yang hanya bisa diam mematung.
Sisa perjalanan pulang itu dihabiskan oleh Baruno dengan merenung. Bahkan Jelitapun tak disapanya. Diulangnya kembali pembicaraannya dengan Helena di kepalanya yang masih terasa seperti mimpi. Suara Helena seakan-akan memenuhi benaknya, sedikit berharap pernyataan itu tadi hanya sebatas canda. Baruno terlalu gengsi mengakui bahwa ada sedikit rasa bersalah yang kemudian mulai tumbuh di dadanya.
“Teman-teman, satu jam lagi kapal akan menepi sempurna dan itu tandanya kita sudah sampai kembali di Desa Balarambe. Jika sudah sampai nanti teman-teman diharapkan segera kembali ke akomodasi masing-masing untuk beristirahat ya, kalian pasti lelah sekali. Jangan sampai sakit. Oh iya, Bapak ada dua informasi. Yang satu berita baik, yang satu lagi berita kurang baik. Mau dengar yang mana dulu?” sapa Pak Miko dari pengeras suara. Keletihannya dalam mengorganisir acara outing ini tidak membuat suaranya melemah. Suaranya selalu menunjukkan semangat menggelegar yang dapat terdengar dari segala penjuru sisi kapal.
“Kabar baik dulu saja, deh Pak!” Tama angkat bicara
“Kabar baiknya, kalian bapak berikan waktu libur dua hari. Di hari Rabu, kalian semua berkumpul di kantor yayasan mulai pukul 10.00 pagi dan akan Bapak traktir makan siang. Kita makan sambil kita berdiskusi mengenai program sosial yang akan kita jalankan untuk masyarakat Balarambe.”
“Itu sih keharusan, Pak, bukan kabar baik!” seru Suluh kembali dengan celetukannya seperti sedia kala yang seperti biasa mengundang gelak tawa teman-temannya.
“Lho, bukan begitu. Kalau kalian dengar berita kurang baiknya pasti yang barusan terlihat baik sekali,” kata Pak Miko membuat seisi kapal penasaran.
“Ada apa sih, Pak? Tentang acara perpisahan tim sukarelawan angkatan ini ya?” Maria tergelitik penasaran.
“Bukan, bahkan perpisahan dengan salah satu tim sukarelawan angkatan yang akan datang,” suara Pak Miko memelan. Ia gagal menutupi rasa sedih dan kecewanya. Para peserta outing nampak berbisik-bisik dan saling menyikut. Namun usaha mereka sia-sia, tidak ada satupun dugaan mereka yang benar. Para peserta outingpun mendesak Pak Miko untuk langsung membahas kabar yang disebutnya kurang baik itu.
“Saya sebagai pengurus yayasan sedih sekali menyampaikan hal ini. Bahwa teman kita, Helena Moeis terpaksa harus mengundurkan diri dari program sukarelawan, jabatannya sebagai tim sukarelawan angkatan yang akan datang akan dilimpahkan kepada Baruno.” Baruno menggerutu dalam hati walaupun sebenarnya resiko ini sudah terukur baginya. Siapa lagi yang tahu betul mengenai seluk beluk program sosial yang dicetuskan oleh Helena kalau bukan Baruno.
Di tengah gerutunya, Baruno sayup-sayup mendengar begitu banyak ekspresi kekecewaan, penasaran, kesedihan, bahkan tersirat kemarahan yang dilontarkan oleh para rombongan.
**
Hari yang ditunggu-tunggupun akhirnya tiba. Hari Rabu ini merupakan hari pertama bagi tim sukarelawan yang kini diketuai Baruno untuk mengunjungi kantor yayasan. Kali ini tanpa Helena yang telah memutuskan untuk tidak melanjutkan keikutsertaannya dalam program sosial sukarelawan di Desa Balarambe itu. Oleh karenanya, Helena buru-buru memutuskan untuk hengkang dari desa tersebut tanpa melibatkan siapapun. Tak satupun dari para tim sukarelawan yang persis mengetahui kapan dan dengan moda transportasi apa Helena pergi dari Desa Balarambe menuju Singapura. Yang mereka tahu, kini mereka harus menjalani hari-hari tanpa Helena yang memiliki peran sangat besar dalam tim sukarelawan itu. Mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan program mereka yang kini diketuai Baruno.
Jelita beserta timnyapun ikut bergabung di hari itu untuk memberikan arahan untuk menyerahkan jabatan serta mengurus kelanjutan program sosial yang sudah ia lakukan selama dua bulan terakhir bagi warga Balarambe.
“Jelita, apakah seluruh tim angkatan yang baru sudah melaksanakan tugasnya dengan baik?” tanya Pak Miko di sela-sela waktu makan siang.
“Sudah, Pak!”
“Baik. Minggu depan kamu dan tim sukarelawan angkatanmu sudah pulang ke Jakarta ya?”
“Iya, Pak. Tim yang sekarang semuanya bagus, Pak. Bahkan sepertinya mereka sudah dapat melaksanakan program sosial sendiri tanpa bantuan dari kami,” kata Jelita.
“Wah kalau benar begitu, jangan-jangan kamu ingin buru-buru pulang ke Jakarta?”
“Hehehe ngga juga, sih, Pak. Saya suka di sini, asri dan penduduknya ramah sekali. Sangat berbeda dengan Jakarta,” tutur Jelita sembari menyudahi makan siangnya dengan tatapan menerawang ke depan. Melihat pemandangan itu, Daisy menyikut Maria, lalu keduanya saling berpandangan. Daisy yang sudah termakan oleh fitnah Helena mengenai kedekatan Jelita dan Pak Miko nampaknya sudah menyebarluaskan berita itu ke hampir seluruh tim sukarelawan baik yang termasuk dalam angkatanya maupun angkatan yang diketuai oleh Jelita.
“Tuh kan, dia ngga mau pulang. Betah deh kayanya sama Pak Miko. Hahaha,” bisik Daisy ke telinga Maria. Mereka berduapun terkekeh.
“Eh ada apa kalian? Sepertinya sedang membicaraan hal yang seru. Bagi-bagi dong!” ternyata walaupun tak sanggup mendengarnya dari tempat duduknya, Jelita mengamati betul tingkah Daisy dan Maria. Dari situ Jelita mulai sedikit menyadari bahwa ia menjadi bahan perbincangan Daisy dan Maria.
“Hehe… Ng… nggak kok, Ta!” Daisy tergagap dan menjawab dengan senyum yang dipaksakan. Jelita semakin mencium sesuatu yang mencurigakan. Namun untuk saat ini, ia enggan mengulik dan mempermasalahkan hal tersebut. Benaknya sudah terlalu penuh menampung segala kekesalan yang tersisa, ditambah dengan berjuta pertanyaan tentang alasan kepergian mendadak Helena, dan sikap Baruno yang lebih dingin kepadanya dibandingkan sebelumnya. Jelita percaya seluruh rangkaian kejadian yang terjadi secara bertubi-tubi itu tentu saling berkaitan satu sama lain.
Jelita berjalan ke arah pekarangan belakang kantor yayasan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman yang membuat suasana kantor itu menjadi semakin asri. Kantor yayasan berjarak tidak jauh dari pusat kota, namun karena kantor ini terletak di area yang datarannya lebih tinggi dari jalan utama, maka siapapun yang berada di kantor itu dapat melihat pemandangan laut dari kejauhan dan halaman kantor yayasan itu menawarkan spot terbaik untuk menikmati pemandangan itu.
Jelita berjalan dengan sedikit melompat menyusuri bebatuan kecil yang membentuk jalur setapak di halaman belakang kantor yayasan. Tanpa disadarinya, Baruno dan Tama yang sedang duduk memojok di ujung halaman memperhatikan tingkah jenaka Jelita itu. Tawa kecil kedua pemuda itu ternyata terdengar oleh telinga Jelita.
“Ngapain, Neng lompat-lompat kaya bocah?” goda Tama yang disahut oleh tawa Baruno. Jelitapun meringis salah tingkah mengetahui tingkah konyolnya dilihat diam-diam oleh Tama dan Baruno.
“Eh, ada Tama dan Baruno. Hehehe… Tak apa, iseng aja, lagi suntuk, nih!” Jelita mencari alasan seadanya.
“Sini, duduk sini Ta, di sebelah Baruno!” ajak Tama menawarkan bangku kecilnya untuk diduduki Jelita. Tama seolah mengetahui bahwa diantara Jelita dan Baruno ada yang berbeda. Maka saat kesempatan itu tiba, Tama tak segan memberikan waktu bagi Jelita dan Baruno untuk berbicara empat mata.
“Memang kamu mau kemana, Tama?” tanya Jelita. Tama menggeleng sambil tersenyum. Tama bangkit dari bangkunya dan pergi meninggalkan mereka berdua. Baruno menatap Jelita cukup lama.
“Jelita, duduk, sini…” Baruno seolah menegaskan tawaran Tama tadi. Jelita berjalan menuju bangku kecil di sebelah Baruno.
“Hi, No! Hhhmmm… apa kabar? Sudah beberapa hari ini kita tidak mengobrol, ya,” ujar Jelita sedikit kikuk. Baruno tersenyum tipis, tak bisa memungkiri ia amat rindu oleh canda dan tawanya bersama dengan Jelita.
“Hehe, iya. Anyway, kamu sudah bersiap pulang? Senin minggu depan?” dengan sedikit hati-hati Baruno bertanya kepada Jelita.
“Iya, No. Sisa libur semester ini biar aku habiskan di Jakarta saja, bersama teman-teman dan keluarga.”
“Yah, jauh deh, kita!” tutur Baruno tak bersemangat.
“Iya. No. Tapi terima kasih ya!”
“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk perkenalan kita, mungkin sepulang dari sini semuanya akan berbeda. Tapi tak apa, aku sih sudah cukup senang mengenalmu. Nanti kalau kita bertemu di kampus, jangan pura-pura tidak mengenalku ya. Hahaha.” Jelita tidak dapat menyembunyikan mimik kekawatiran yang tergambar jelas pada rautnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sedikit cemas apabila hubungannya dengan Baruno hanya berstatus cinta lokasi.
“Memangnya siapa yang akan melupakanmu begitu saja?” Baruno mendesak penjelasan.
“Bukan gitu, No…”
“Beberapa hari belakangan ini seperti ada yang mengganjal buatku. Akupun masih berhutang penjelasan dan cerita padamu. Maaf kalau aku terkesan menghindarimu. Apa kamu masih marah kepadaku?” tukas Baruno memotong perkataan Jelita yang belum selesai.
“Tidak apa, No. Lupakan saja. Toh aku sebenarnya tidak punyak hak marah kepadamu. Kamu kan…. hhhmm… kamu kan… kita kan…. Kita kan bukan sepasang kekasih. Seharusnya terserah kamu juga mau tidur dengan siapa di tenda, kan? Maaf ya, No” kata Jelita dengan ragu dan penuh perasaan bersalah.
“Kamu mau punya hak marah terhadapku?”
“Maksudmu?”
“Aku mau kamu punya hak marah kepadaku. Aku mau kamu memprotesku apabila kamu cemburu. Aku mau kamu mencariku dalam keadaan apapun dan kapanpun!” tegas Baruno.
“Bagaimana bisa aku punya hak untuk….”
“Jelita, mulai detik ini, kita adalah sepasang kekasih!” Baruno tidak membutuhkan jawaban Jelita, ia dapat menjamin seratus persen bahwa Jelita mau menerima cintanya.
“Baruno…”
“Berjarak denganmu, ternyata cukup menyiksaku. Dan hari itu, Helena memang sengaja menyusup ke dalam tendaku. Aku bisa pastikan diantara aku dan Helena tidak ada apa-apa!”
Baruno kemudian menceritakan seluruh rangkaian kejadian yang membuat kepala Jelita penuh dan bertanya-tanya selama beberapa hari terakhir. Hati kecilnya dapat bernafas lega, namun rupanya ia masih membutuhkan ketegasan dan validasi dari Baruno bahwa perkataannya untuk menjadikannya kekasih pemuda itu adalah benar keputusan Baruno, bukan pernyataan sesaat.
“Kata-katamu tadi, yang memintaku untuk menjadi kekasihku, apa itu benar?” kali ini Jelita tidak membutuhkan jawaban, ia hanya membutuhkan kepastian sekali lagi. Tangannya kini digenggam lembut namun erat oleh Baruno seraya menganggukkan kepala. Jelita mengamati jemari lentiknya yang bersatu berselingan dengan jemari Baruno. Buatnya, genggaman itu sudah menunjukkan lebih dari sebuah kepastian. Mereka berpandangan dan saling bertukar senyum.
“Cieee… pegang-pegangan tangan. Kalian jadian, ya? Cieee!” rupanya Tama masih memperhatikan mereka. Digoda seperti itu, tidak biasanya Baruno hanya diam dan tersenyum simpul. Karena kini celetukan itu memang benar adanya.
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe
Hari Sabtu sore Jelita sudah bersiap diri untuk menunggu jemputan Baruno. Ia mematut dirinya di depan cermin panjang yang berdiri manis di tembok kamar belakang rumah Pak Miko. Diperhatikannya setiap detil dan lekukan di wajah dan tubuhnya sembari memperbaiki posisi kalung emasnya yang ia beli dari hasil jerih payahnya memberi kursus bagi siswa sekolah.Rani mengetuk pintu kamar Jelita. Tanpa menunggu Jelita mempersilakannya, cepat-cepat Rani menyelinap masuk ke kamar Jelita.“Rapi sekali, Kak Lita? Mau kemana?” Rani takjub melihat penampilan Jelita sore itu yang terlihat jauh lebih anggun dari biasanya. Jelita tercekat, tidak berani mengatakan sebenarnya. Entah apa reaksi Rani apabila ia mengetahui apa yang tim sukarelawan lakukan di belakangnya.“Oh, hhhmmm… ngga kok, Rani. Ini… mau pergi dengan Baruno saja hehe,” tukas Jelita berbohong. Rani menangkap raut yang berbeda dari Jelita.“Hahaha. Kok mendadak
Nadine melanjutkan tangisnya dengan beberapa dari para rombongan itu mulai merasa kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa.“Maka dari itu, aku ingin mengumpulkan teman-teman semua di sini. Dukungan terhadap Bu Miko yang tengah menderita penyakit berat, bukan hanya tentang uang. Aku ingin kita menghentikan perselingkuhan Pak Miko dan Lisa, kakakku,” ucap Nadine melanjutkan pembicaraannya dengan lesu.“Hhhmmm… kalau boleh tahu, mengapa kamu tadi tidak ikut kami?” Suluh mulai bertanya“Aku menunggu kakakku selesai praktek di sini dan rencananya tadi aku ingin mencegahnya untuk menuju Kafe Senja bersama Pak Miko. Aku menunggu di depan sini, namun ternyata aku kecolongan. Kak Lisa keluar lewat pintu belakang,” jelas Nadine.“Lalu sejak kapan kamu tahu mengenai perselingkuhan mereka?” tanya Daisy.“Kak Lisa gagal menikah sesaat sebelum aku memulai program sukarelawan di yayasan Pak Miko. Calon s
Baruno mencoba menggesekkan punggungnya yang terasa basah itu. Pelan-pelan ditengoknya ke belakang, nampak Jelita yang telah duduk membonceng sedang menyembunyikan tangisannya.“Hei… kok kamu menangis? Kita kan mau jalan-jalan sore bersama. Kamu kenapa, Jelita?” Baruno terlihat sedikit panik. Jelita secara cepat menggeleng, ia enggan curahan perasaannya itu diketahui oleh teman-teman lainnya.“Eh Jelita kenapa, sih?” Suluh mulai terlihat panik. Hal ini semakin menarik perhatian teman-teman lainnya. Kini semua mata tertuju pada Jelita yang sudah tidak dapat lagi menutupi isaknya itu.“Duh, teman-teman. Aku tidak apa-apa, kok! Mungkin hanya terbawa perasaan dan suasana saja. Rasanya belum siap meninggalkan kalian semua dan kebersamaan kita di Balarambe ini. Besok aku dan teman-teman angkatanku sudah harus pulang ke kota masing-masing. Yuk, kita bersenang-senang di hari terakhir ini!” Jelita berseru sembari menghibur dirin
Jelita masih mencoba untuk tertidur pulas walaupun ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Seluruh kejadian di Desa Balarambe itu terjadi sudah dua tahun yang lalu lamanya, namun rekam ingatan Jelita akan kenangan di Desa Balarambe begitu tajam melekat hingga ia dapat menghafal segala kejadian secara rinci.Satu hal yang pasti adalah, ternyata Baruno mampu membuktikan janji dan perkataannya bahwa ia akan tetap menjaga hubungan asmaranya dengan Jelita. Bahwa ternyata hubungan cinta yang terjalin saat mereka mengikuti program sukarelawan dua tahun silam itu bukanlah sebatas cinta lokasi biasa. Bahkan lebih dari itu, berkali-kali Baruno menyelamatkan hubungan mereka yang hampir kandas karena tidak kunjung mendapatkan restu orang tua Baruno.Sepulangnya mereka dari Desa Balarambe, hubungan itu justru bertambah hangat dan mesra. Apalagi ternyata Jelita dan Baruno berkuliah di kampus yang sama dengan gedung fakultas mereka yang berseberangan. Baruno
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk