Jelita masih terpaku di depan pintu rumah Baruno. Bibirnya kelu membisu. Sesekali Jelita mencoba menelan air liurnya, sembari perlahan mencerna kata-kata yang masih terngiang di telinganya. Namun nampaknya Jelita tidak kuat berlama-lama mematung. Pundaknya bergetar sembari menahan tusukan angin malam, ia mulai terisak. Baruno merengkuhnya. Dipeluknya kekasihnya tersebut dalam-dalam.
“Sepertinya susah ya, No…” tangis Jelita pecah dalam dekap Baruno.
“Kita masih punya banyak waktu, Ta. Aku mau kita tidak menyerah begitu saja.” Baruno meyakinkan Jelita. Entah sudah berapa kali Jelita berusaha mengimani dan mengamini seluruh janji Baruno untuk mendapatkan restu kedua orang tua Baruno atas hubungan yang telah memasuki tahun kedua ini.
Baruno menuntun Jelita masuk ke mobilnya untuk diantarnya pulang. Jelita memasang sabuk pengaman mobil sambil masih menatap lurus ke depan dengan nanar. Sebenarnya setiap kali Jelita berkunjung ke rumah Baruno, hatinya selalu berkecamuk dan rasa kecewa yang timbul setelahnya turut menguasai pikirannya bahkan hingga ia sampai di rumah. Bagaimana tidak, orang tua Baruno sangat menentang hubungan anak lelaki satu-satunya itu dengan Jelita. Sehingga setiap kali Jelita mengunjungi kediaman keluarga Baruno, ia selalu disuguhkan dengan tatapan mata tajam dan respon yang ketus nan dingin dari kedua orang tua Baruno. Namun kali ini seolah kecamuk dan kecewa itu semakin bergelora tatkala apa yang selalu menjadi ketakutannya benar-benar menjadi kenyataan. Ibu Baruno dengan gamblang, lantang, dan jelas melarang kelanjutan hubungan mereka.
Mobil Baruno melaju dengan kecepatan sedikit di bawah rata-rata. Baruno enggan menanjak gas dalam-dalam dengan keadaan yang tidak kalah kalut dengan kekasihnya. Bukannya tidak mau memperjuangkan, tetapi Baruno paham betul watak kedua orang tuanya yang keras dan berpendirian teguh tersebut. Dua tahun lamanya ia mencari cara agar Jelita dapat diterima dengan baik oleh keluarganya. Apa boleh buat, setiap kali Baruno mencoba melakukan pendekatan dengan kedua orang tuanya, ia harus selalu mengakhiri perdebatan dengan rasa kalah dan putus asa.
Baruno mendadak menginjak pedal rem. Ia tersentak karena hampir saja menabrak kucing yang melintas di depan mobil mereka. Lamunan Jelita juga ikut terpecah karenanya.
“Kamu kenapa, No, sepertinya tidak fokus menyetir?” tanya Jelita sekenanya. Bahkan saat bertanya, ia enggan menatap ke arah Baruno. Pandangannya tetap lurus ke depan.
“Hhhhmm….” gumam Baruno sambil menarik nafas panjang, mencari kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan pikirannya. Sebelum melanjutkan perkataanya, Baruno kembali menginjak pedal gas mobilnya perlahan. Mobil melaju kembali seperti sedia kala.
“Jelita, aku tidak mau kehilangan kamu.”
“Then? Please, do something, No! This whole journey with you is very tiring, you know that. Hubungan seperti ini sangat melelahkan dan perlakuan orang tua kamu terhadap aku itu sangat menyakitkan!” tangis Jelita kembali terpecah. Sepertinya ia telah menyimpan kesedihannya selama setengah perjalanan ini. Tanpa ia ketahui, rasa sedih yang sudah terbiasa bersarang itu tidak selamanya dapat tertahan begitu saja.
“Beri aku waktu sedikit lagi untuk mencari solusinya, Ta!” Baruno semakin tidak dapat berkonsentrasi selama menyetir. Jelita memejamkan matanya, berusaha menahan buliran air matanya agar tidak tejatuh lebih banyak lagi.
“Aku sangat menyayangimu, Baruno. Sama sepertimu, aku juga ingin hubungan ini bertahan selamanya. Tapi menurutku, sampai kapanpun kedua orangtuamu tidak akan bisa menerima latar belakang sosial dan ekonomi keluargaku yang sangat timpang dengan keluargamu. Sudah cukup aku ketahui bahwa menurut mereka aku tidak pantas untukmu. Kamu butuh waktu sampai kapan lagi, No? Sudahlah, lepaskan saja aku! Orang tuamu sudah memilihkan jodoh yang terbaik untukmu, kan? Bahkan wanita pilihan mereka itu juga sangat menyukaimu.” tepat saat Jelita menyelesaikan kalimatnya, mereka telah sampai di depan rumah Jelita yang sangat sederhana. Baruno menepikan mobilnya perlahan hingga mobil berhenti dengan sempurna. Jelita mengusap air matanya, mengecup sejenak bibir Baruno, lalu turun sambil berpamitan.
“Terima kasih, Baruno. Hati-hati ya kamu di jalan.” Jelita menutup pintu mobil Baruno dan berjalan melenggang menuju pintu rumahnya. Tidak ada jawaban dari Baruno. Ia hanya diam memperhatikan kekasihnya berlalu hingga masuk ke dalam rumah.
**
“Hah? Ibunya Baruno bilang gitu? Sinting kali, ya! Lagian ngapain sih, Ta, masih aja bertahan sama Baruno. Buang-buang waktu deh menjalin hubungan sama laki-laki yang ngga bisa perjuangin pacarnya ke orang tuanya!” tutur Arina pada Jelita, keesokan harinya setelah kejadian malam itu.
“Paham sih, Na. Tapi namanya…”
“Namanya cinta? Namanya sayang? Kalau cinta atau sayang, ya diperjuangkan. Ta, inget ya, ini baru tahap awal hubungan kalian. Belum ada apa-apanya dibandingkan masalah yang mungkin muncul ke depannya. Apalagi kalau kalian ada rencana menikah.” Arina memotong dengan sedikit emosi sembari memainkan ponselnya. Mendengar itu, Jelita tampak sedikit gusar, karena jauh di relung hatinya ia mengakui perkataan sahabatnya itu benar adanya. Dipandanginya Arina yang duduk di seberangnya itu dalam-dalam sambil menghela nafas panjang. Kantin kampus pagi itu masih agak sepi, namun rasanya nyawa dan semangat Jelita sudah melayang terbang entah kemana. Jelita melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, lima menit lagi kelasnya akan dimulai.
“Na, aku pergi dulu, ya!” ujar Jelita seraya merapikan alat tulisnya yang bergeletakkan di atas meja kantin.
“Lah, buru-buru amat, Ta?” tanya Arina. Lalu Arina mengangguk paham setelah melihat sekilas jam digital melalui layar ponselnya, ia tahu kelas Jelita akan segera dimulai. Pagi itu Arina tidak ada kelas. Ia sengaja datang lebih awal ke kampus untuk meladeni permintaan sahabatnya itu untuk berbagi cerita tentang hubungannya dengan Baruno yang tidak ada habisnya itu.
“Kelasnya hanya satu jam, kok! Tunggu di sini ya, Na,” pinta Jelita pada Arina. Arina mengangguk sekilas sambil memesan satu gelas teh hangat pada penjaga kantin.
**
Malam harinya, Jelita berusaha memejamkan matanya, namun lelap tak kunjung hinggap menyelimuti pikirannya. Semenjak hari itu rasanya perjalanan cinta Jelita dan Baruno semakin tak menentu.
“Kamu sudah Tante ingatkan berkali-kali, tolong berhenti berharap dengan anak Tante. Sampai kapanpun kami sebagai orang tua Baruno tidak akan memberikan restu untuk hubungan kalian!” ucapan Tante Sinta, ibu Baruno malam itu begitu membekas di benak dan hati Jelita. Bahkan tatapan mata Tante Sinta, hingga baju yang dikenakannyapun masih tergambar jelas dalam ingatan Jelita.
Pukul tiga dini hari. Jelita masih gelisah dan membolak-balikan badannya di atas kasur. Segal acara sudah ia coba semata untuk merasa sedikit lelap. Jelita mencoba memejamkan mata beberapa saat. Gagal. Ia tetap terjaga. Akhirnya Jelita memilih untuk memutar ulang memori di kepalanya tentang kisah kasihnya bersama Baruno.
Hari itu, dua tahun lalu, dua minggu sebelum kepulangan Jelita ke Jakarta dari Balarambe, sebuah desa di pesisir pantai yang berjarak satu jam penerbangan dari ibu kota, tempat ia menghabiskan libur semesternya dengan menjadi tenaga sukarela untuk sebuah yayasan pemberdayaan masyarakat di desa tersebut. Jelita yang menggeluti bidang sosial sangat mudah mengakrabkan diri dengan warga sekitar, apalagi selama dua bulan lamanya Jelita mendapat kesempatan untuk tinggal di salah satu rumah warga, yaitu Pak Miko, salah satu pengurus yayasan tersebut.
“Kakak Lita, esok lusa ikut outing yayasan tidak?” Rani, anak dari Pak Miko, salah satu pengurus yayasan tersebut bertanya pada Jelita.
“Mau, tapi Kakak lelah sekali, Rani. Rani ikut?”
“Iya, Rani ikut untuk bantu Papa organisir acara. Ah, Kak Lita tidak seru, nih! Yang bulan lalu Kakak juga sudah tidak ikut. Oh iya, Kak, outing besok itu sekalian acara penyambutan tim sukarelawan yang baru, lho. Siapa tahu Kak Lita jadi banyak kenalan dengan minat yang sama. Apalagi, kan, selama menjadi sukarelawan di sini, program-program sosial Kak Lita banyak diminati warga. Jadi, Kak Lita bisa outing sekaligus berbagi pengalaman dengan tim yang baru, agar mereka siap menjadi sukarelawan di sini. Banyak lho yang dari Jakarta!”, bujuk Rani. Jelita memutar bola matanya perlahan, menunjukkan sedikit ketertarikan.
“Hhhmm.. menarik. Jadi yang akan jadi penerus program Kakak selama menjadi sukarela di sini juga pada ikut outing lusa?”, Jelita memastikan bahwa keraguannya kini dapat ia sirnakan.
“Iya, Kak!”
“Memangnya tujuan outing akan ke mana sih? Dan berapa lama?”
“Kita akan berlayar ke Pulau Renjana, Kak, selama tiga hari dan akan menginap di kapal sederhana milik yayasan, serta satu hari camping di Pulau Renjana.”
“Wah, mau mau mau mau! Kok Rani baru bilang sekarang, sih kalau kita berlayar ke Pulau Renjana?”
“Ih, orang Kak Lita yang jarang perhatikan pengumuman yayasan, kok. Makanya jangan terlalu serius, Kak, nanti cepat tua, lho!”, canda Rani yang diiringi dengan pukulan manja Jelita. Keduanyapun tertawa lepas.
Dua hari kemudian, kapal sederhana milik yayasan sedang bersiap untuk mengantarkan para penumpangnya menuju Pulau Renjana. Satu persatu anggota outing tampak memasuki kapal tersebut. Jelita dan Rani sudah berdiam di atas kapal untuk menyambut tim sukarelawan yang akan menjelajah Pulau Renjana bersama mereka. Jelita melayangkan pandangannya ke seluruh sudut, mencoba mencari wajah-wajah yang ia kenal. Sayang sekali, percobaan itu tidak berhasil. Lalu ia menengok ke sisi kirinya, ada Rani yang sedang mengangkat alis seolah bertanya apa yang sedang dilakukan Jelita sehingga nampak seperti anak ayam sedang kebingungan mencari induknya di tengah keramaian. Jelita menggelengkan kepalanya perlahan, lalu berpaling menjauh dari Rani yang sedang membaca buku di atas kapal menuju Pulau Renjana.
Kapal mulai berlayar. Detik-detik pertama pelayaran disambut sukacita dan riuh tepuk tangan para peserta outing. Anak-anak muda itu saling berkenalan dan mulai membaur. Semuanya nampak ceria dalam perjalanan menuju Pulau Renjana dan menciptakan suara tawa yang cukup ramai, seperti tidak ada yang membatasi keakraban antara anggota tim sukarelawan yang lama maupun yang baru. Alih-alih berbaur dengan tim sukarelawan yang telah berkumpul di geladak utama kapal itu, Jelita yang kurang suka keramaian lebih memilih menyusun koleksi buku yayasan di kabin kapal agar para peserta outing dapat membaca buku-buku pilihannya. Jelita menyeka keringatnya dan melenguh kecil. Dipandanginya buku-buku yang telah tersusun rapi itu dengan senyum. Namun tiba-tiba, braaakkk, sontak Jelita terperanjat akan suara tersebut dan merasa kesal.
“Maaf, aku tak sengaja!” laki-laki muda dengan badan yang tegap itu buru-buru meminta maaf melihat raut Jelita yang mulai dipenuhi amarah. Jelita menatap lekat laki-laki itu, diam-diam ia menilai sosok yang membuatnya kesal di depan mata itu. Wajahnya begitu asing di matanya, pasti ia salah satu anggota tim sukarelawan yang baru.
“Lain kali hati-hati, ya kalau jalan. Lagian ngapain kamu bawa barang bawaan sebanyak itu sampai ngga sadar ada tumpukan buku di depan mata?”
“Eh.. iya, hehe. Oh, tas bawaan ini isinya buku-buku juga, buku-buku bekas. Sumbangan dari tim kami untuk perpustakaan yayasan. Ini mau aku pilah-pilah dulu mana yang masih layak.”
“Kamu anggota tim sukarelawan yang baru ya?”
“Iya, betul.” Lelaki itu menyungging senyum lega melihat Jelita tetap ramah walaupun merasa kesal dengan dirinya. Jelita tersenyum, kali ini lebih lebar. Ia yakin, laki-laki di hadapannya ini juga menikmati senyum manisnya. Entah apa yang merasuki Jelita hingga ia tidak peduli dengan keadaan sekitar. Menikmati sosok lelaki ini dalam tatapannya saja rasanya sudah cukup membuat harinya begitu cerah, tak terasa ia hanyut dalam lamunannya.
“Baruno!”, lelaki muda tersebut berseru memecah kesunyian diantara mereka
“Eh, hah? Apa? Gimana?”, Jelita tersadar dari lamunannya.
“Baruno. Iya, namaku Baruno. Kamu siapa? Dari tadi ditanyain kok malah melamun. Kan takut, kirain kerasukan jin laut. Hahaha.”
“Duh.. maaf, ya. Maklum kurang tidur, nih, hahaha. Aku Jelita,” dengan sedikit panik, Jelita buru-buru menjawab. Mampus, ketauan ngeliatin nih dari tadi, batin Jelita.
“Oh. Hai, Jelita. Sesuai namanya ya, kamu cantik jelita.” dipuji begitu pipi Jelita bersemu merah.
“Ah, bisa aja kamu, No! Oh iya, kalau mau pilah-pilah buku, feel free untuk memilah di sini. Nanti aku bantu,” Jelita menawarkan untuk berbagi tempat di kabin kapal, Baruno menyambutnya dengan anggukan antusias.
Tanpa menunggu berlama-lama, Baruno dan Jelita terhanyut dalam pertukaran ide dan cerita yang cukup intens sembari merapihkan tumpukan buku yang ada di hadapan mereka. Terkadang tatapan mereka tidak lepas satu sama lain. Bahkan tidak jarang Jelita membayangkan tangannya digenggam oleh Baruno dan ia mendekatkan dirinya untuk merengkuh Baruno dalam dekapan. Sayangnya, lamunan Jelita terpecahkan oleh suara Pak Miko yang mulai memandu acara penyambutan tim sukarelawan di atas kapal ini. Pak Miko memberikan instruksi kepada seluruh peserta outing berkumpul di geladak utama kapal untuk membuka acara bersama-sama. Mendengar suara Pak Miko menyapa menggelegar dari pengeras suara, Jelita dan Baruno bergegas menuju geladak kapal.
“Yuk!” ajak Baruno yang sedetik kemudian tanpa ragu menggandeng tangan Jelita dan menariknya dengan halus. Jelita terkejut sesaat. Lututnya lemas, rasanya ia ingin menjatuhkan dirinya ke dada bidang Baruno. Merekapun menyimak kata sambutan dari Pak Miko.
“Intinya, mari lakukan yang terbaik bagi masyarakat melalui program-program leadership yang sudah dan akan kalian ciptakan nantinya. Dan kepada tim sukarelawan yang baru bergabung, selamat datang. Semoga kita semua menikmati acara outing yang indah ini. Terima kasih. Ayo, boleh pada makan semua, ya!” tutur Pak Miko mengakhiri sambutan acara. Peserta outingpun kembali membaur dan menciptakan hiruk pikuk yang sempat terhenti sesaat.
* *
Kapal terus melaju memecah air laut hingga menimbulkan suara riuh renyah, bersahutan dengan suara mesin kapal. Jelita terduduk di lorong luar kapal sembari membaca buku favoritnya. Tidak jarang percikan air laut menyeka wajah mungilnya. Jelita memalingkan wajahnya dari buku yang dibacanya, pemandangan biru terpampang nyata sejauh matanya memandang, Jelita tersenyum menyaksikan keindahan ilahi itu. Sepoi angin tak menghalanginya untuk terus melemparkan pandangan di depannya seluas mungkin. Benar kata Pak Miko, ini akan menjadi sebuah perjalanan yang indah. Angin laut yang cukup kencang membuat Jelita kesulitan membuka lembaran buku yang ia baca. Alih-alih masuk ke dalam kabin kapal, Jelita memilih mengalah dengan keadaan, ia menutup buku bacaannya dan menikmati indahnya bahari.
Hembusan angin berpadu dengan gemericik air hampir saja membawa Jelita ke alam mimpi, sampai sayup-sayup terdengar Jelita menyadari ada suara isak tangis tak jauh dari tempat ia bersantai. Jelita memekakan telinganya, mencoba mencari sumber suara. Ia bangkit dari posisi bersantai untuk bersiaga mencari tahu suara tersebut berasal. Jelita mengendap perlahan ke dalam badan kapal, ditelusurinya satu persatu ruangan yang berada di kapal tersebut. Suara deru mesin kapal terkadang mengganggu fokus Jelita yang terus berwaspada sambil berjalan perlahan, namun tidak lama berselang, akhirnya Jelita menemukan sumber suara isak tangis tersebut. Jelita tercekat, aksinya terhenti sejenak.
Jelita mengendap-endap mendekati sumber suara isak tangis itu secara hati-hati. Dibiarkannya kepalanya sedikit melongok ke salah satu kamar sederhana di dalam kapal itu tempat di mana suara itu berasal. Jelita menoleh ke belakang, menyapu pandangan untuk memastikan tidak ada orang lain yang memergoki gerak-geriknya.
Ada Rani di dalam bilik kamar tersebut. Jelita hanya dapat melihat punggung Rani yang terguncang akibat tangisannya. Tak lama kemudian dilihatnya sosok Pak Miko berjalan mendekati anaknya tersebut. Jelita mengoreksi posisinya, ia hanya tidak ingin Rani dan Pak Miko mengetahui keberadaannya yang sedang mengintip mereka berdua.
“Kenapa Papa harus lakukan itu ke Mama? Papa jahat sekali!” tutur Rani sambil mengatur nafasnya di tengah-tengah tangisannya yang pecah. Pak Miko memperhatikan Rani sambil menahan tangis. Seolah tidak siap dengan realita yang ada, Pak Miko menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan tertunduk pasrah.
“Jawab, Pa! Jawab! Kenapa Papa tega? Apa tidak cukup beban keluarga kita selama ini?” Rani mendesak ayahnya untuk meresponnya. Seketika Pak Miko bangkit berdiri dan dengan setengah berteriak, ia melayangkan tamparannya ke pipi Rani. Pak Miko tidak dapat menahan amarahnya yang seketika membuncah.
“Cukup, Rani! Jangan tanyakan hal itu ke Papa. Diam! Kamu anak kecil tahu apa?” Pak Miko menampar Rani sekali lagi. Melihat tamparan Pak Miko ke pipi Rani membuat Jelita sedikit menjerit dari tempat persembunyiannya. Pak Miko dan Rani mendengar suara jeritan kecil Jelita dan mulai menyadari ada orang lain yang sedari tadi memperhatikan kejadian itu. Refleks, Rani dan Pak Miko menoleh ke arah ujung pintu. Mata Jelita beradu dengan mata Rani dan Pak Miko. Mereka menatap Jelita tajam. Jelita tidak bisa berkata apa-apa. Sembari memegang pipi dan menahan rasa sakit, Rani berjalan ke arah pintu dan dibantingnya daun pintu tersebut yang menambah rasa kejut bagi Jelita. Mendengar daun pintu yang terbanting hanya beberapa senti di depan wajahnya, Jelita spontan mundur dan terpelanting ke belakang. Namun, tidak sampai tersungkur, Jelita dapat merasakan badannya ditopang oleh seseorang. Jelita menoleh, ternyata ada Baruno yang menahan tubuh Jelita agar tidak terjatuh. Baruno memalingkan wajahnya ke arah wajah Jelita yang sedang menatapnya dengan kaget. Jarak antara wajah merekapun semakin tipis, bahkan Jelita dapat merasakan hembusan nafas Baruno. Buru-buru Baruno berjalan sedikit menjauh.
“Ternyata tidak hanya aku yang harus hati-hati. Kamu juga harus berhati-hati. Tadi pagi aku menabrak tumpukan bukumu, sore ini kamu malah hampir menabrak pintu,” seloroh Baruno. Jelita tersenyum kikuk, mencoba menutupi rasa terkejutnya yang ia alami bertubi-tubi. Baruno menunggu reaksi Jelita, setengah berharap Jelita membuka obrolan diantara mereka.
“Kamu kenapa?” tak sabar menanti respon Jelita, Baruno membuka pembicaraan.
“Ngga apa-apa, hanya kaget saja.”
“Tadi kamu kenapa, kok sepertinya ada yang membuatmu kaget dari dalam kamar Pak Miko?” Baruno berusaha mengorek cerita, Jelita mengajak Baruno untuk beranjak dari tempat mereka berdiri, menuju ke tempat yang dirasa Jelita cukup aman untuk bercerita. Jelita menghentikan langkahnya saat mereka telah sampai di lorong luar kapal.
Jelita mulai menghela nafas panjang. Baruno menyimak kata demi kata dari mulut Jelita yang menceritakan kronologi kejadian yang baru saja dialaminya. Sebenarnya terdapat pergolakan batin dalam diri Jelita untuk menceritakan hal tersebut, namun nampaknya pesona Baruno seakan meruntuhkan benteng pertahanan Jelita hingga tanpa pikir panjang ia menumpahkan semuanya kepada Baruno. Mendengar penjelasan itu, Baruno mengangguk.
“Aku sudah tahu tentang semua ini,” kata Baruno.
“Bagaimana bisa?” tanya Jelita penasaran.
“Ibu aku adalah teman baik Bu Miko, istri Pak Miko. Aku juga sudah mengenal keluarga mereka sejak aku kecil, termasuk Rani. Baru-baru ini keluarga mereka mendapat cobaan, Bu Miko divonis menderita kanker kelenjar getah bening. Finansial dan kesetiaan keluarga mereka diuji. Beberapa kali Pak Miko kedapatan berduaan bersama dokter yang memvonis Bu Miko. Yah, kamu tahu pasti maksudku, kan?”
Mendengar hal itu, Jelita terbelalak. Belum sempat Jelita memproses seluruh informasi yang ia dapat dari Baruno, Baruno melanjutkan ceritanya.
“Dan kau tahu, tahun lalu Pak Miko hampir saja dipecat dari yayasan karena ketahuan mengambil uang yayasan. Bukan bermaksud sombong, tapi kenyataannya pada akhirnya Ibuku yang menyanggupi untuk mengganti seluruh dana itu karena kasihan dengan keluarga mereka.”
“Lalu, tujuan kamu menjadi sukarelawan di sini, apakah itu bagian dari kejadian ini, No?”
“Oh, ngga kok. Keikutsertaanku dalam program sukarela di yayasan ini hanya salah satu syarat tugas kuliah saja. Di akhir program sukarela nanti aku harus membuat laporan ke kampus yang akan dipresentasikan sebagai syarat salah satu kelulusanku. Karena Ibu aku kenal baik dengan keluarga Pak Miko, ya sudah aku pilih yayasan ini saja untuk program sukarela.”
“Sebentar, kita sudah cukup banyak berbincang, tapi aku belum tahu kamu kuliah di mana. Astaga, kamu kuliah di mana, No? Di Jakarta juga, kan?”, Jelita memberondong Baruno dengan pertanyaan-pertanyaannya. Baruno terkekeh dan mengangguk, bahkan ia sudah tahu bahwa sejatinya ia dan Jelita belajar di kampus yang sama di Jakarta. Baruno dengan sedikit tawa membeberkan di fakultas mana ia belajar di kampus tersebut. Mengetahui bahwa mereka belajar di universitas yang sama, sontak Jelita kegirangan sembari memeluk Baruno.
“Wah ternyata kita satu kampus, yeay! Berarti kamu fakultas teknik ya? Fakultas kamu itu di seberang fakultas aku, No! Seneng banget ternyata kita masih bisa ketemu sepulang dari sini!” seru Jelita gembira tanpa melepaskan pelukannya. Baruno nampak sedikit kelimpungan akibat dekapan Jelita yang cukup kencang dan berayun-ayun. Di luar ekspektasi Jelita, Baruno membalas pelukannya sembari tetap mengayun-ayunkan pelukan itu, kali ini dengan lebih lembut dan melambat. Keduanya tersenyum tanpa menatap wajah satu sama lain. Saat itu, suara debur air laut terdengar lebih merdu bak melodi bahari, pemandangan ilahi di luar sana seolah menyaksikan kedua insan yang sedang jatuh cinta tanpa harus mengungkapkannya. Kehangatan dan spontanitas Baruno membuat Jelita merasa seperti sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.
Keduanya berdekapan sembari menyaksikan terbenamnya mentari dengan cantik temaramnya, sesekali Jelita terpukau dengan siluet kawanan burung yang pulang kembali ke habitatnya, menembus remang senja. Baruno menghentikan ayunannya. Keduanya kini bertatapan dalam pelukan, senyum bahagiapun menghiasi raut keduanya.
“Kak Lita, Mas Baruno?” suara Rani menyadarkan mereka yang sekonyong-konyong melepaskan pelukan itu dan saling menjauhkan diri masing-masing.
Rani membelalakan matanya tidak percaya. Ia menatap Jelita dan Baruno secara bergantian tanpa sedetikpun mengatupkan bibirnya. Jelita dan Baruno tersipu saling bertatapan dan menggarukan kepala yang tidak gatal itu. Wajah Jelita memerah, sembari menahan senyum, pandangannya ia buang jauh-jauh agar tidak bertemu mata dengan Rani yang masih tercengang di hadapan mereka. Baruno berjalan dengan mantap menghampiri Rani dan menepuk-nepuk lembut pundak gadis remaja itu.
“Ran, bangun! Kamu ngga lagi mimpi, kok!” canda Baruno. Tidak sampai satu menit kemudian, mereka bertiga telah hanyut dalam tawa.
Matahari semakin tenggelam. Sesaat sebelum gelap menyapa, Rani menyadari ia adalah saksi akan kisah yang mulai bersinar di penghujung hari.
Mentari pagi menyapa dengan pantulan keemasannya yang membelah birunya laut. Sinarnya yang hangat menembus celah di bilik kamar kabin kapal tempat Baruno terlelap semalam, membuat Baruno merasakan sedikit kesilauan. Pelan-pelan dibuka kelopak matanya yang bulat itu. Dengan dahi yang berkerut dan mata yang belum sempurna terbuka, Baruno melirik jam di ponselnya. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Baruno tersadar bahwa ia terlambat mengikuti jadwal senam pagi bersama di geladak utama kapal. Ah, shit, terlambat ikutan senam bareng yang lainnya! rutuknya dalam hati yang setengah peduli.Setelah merapihkan dan melipat sarung yang menyelimuti dirinya semalaman, Baruno mengambil sebotol air mineral dan berjalan menuju sebuah bilik kayu kecil di bagian belakang kapal. Ia mencuci muka dan menyikat giginya sebelum bergabung dengan para rombongan outing yang sedang mengikuti olahraga pagi di geladak utama kapal.“Enam&hel
Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno m
Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.
Daisy masih terlelap dalam tidur nyenyaknya di dalam tenda ketika Helena sudah terbangun. Pukul empat dini hari. Helena sengaja memasang alarm melalui ponselnya sepagi itu untuk mulai mengeksekusi rencana yang sudah ia rancang di kepala. Helena membuka bilik tendanya perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin Daisy terbangun karena suara-suara yang ia hasilkan.Setelah berhasil membuka tendanya, dengan sedikit menunduk ia mengendap-endap berjingkat keluar tendanya, masih dengan sangat hati-hati. Helena menengok ke sisi kiri dan kanannya, memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya melancarkan aksinya. Kini ia sudah sepenuhnya berada di luar tenda. Ditinggalkannya Daisy yang masih tidur sendirian.Helena berlari kecil menuju tenda berwarna hijau yang terletak di paling ujung. Ya, dia menuju ke tenda tempat Baruno dan Ahmad beristirahat. Sepertinya saat itu Helena sedang mujur, tenda hijau tersebut ternyata sedikit terbuka, bahkan punggung Ahmad yang masi
Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawa
“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor
Ketika itu semua terjadi, Jelita merasa sedang berada di tempat yang salah. Bagaimana tidak, Jelita sudah mengetahui secara lengkap cerita keluarga Pak Miko bahkan dari mulut Rani sendiri yang telah mencurahkan isi hatinya di dalam tenda saat itu. Jelita beranjak keluar meninggalkan Dokter Lisa, Dokter Budi, Pak Miko, Bu Miko, dan Rani. “Hei, kalian!” sapa Jelita yang menemui Daisy, Maria, dan Rahmi di halaman rumah Pak Miko. “Ha… hai, Jelita!” sapa Daisy yang sedari tadi menunggu Jelita keluar rumah. Kali ini kepala dan hati Jelita tidak lagi diliputi amarah, sepertinya kejadian di dalam rumah itu sudah cukup menguras energinya sehingga tidak ada lagi waktu baginya untuk melampiaskan kekesalannya. “Maaf, tadi aku panik sekali. Jadi sebenarnya mengapa kalian ada di sini tengah malam?” Jelita kembali mengulik alasan mereka. “Oh, tidak, kok. Jadi, aku dan Maria sedang menginap satu malam di kamar kost Rahmi. Lalu kami tidak bisa tidur dan bosan, ya suda
Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk