"Siapa kau, Orang Tua? Kenapa mengganggu kami berlatih?" tanya Raja Pedang Kupu-kupu berusaha menenangkan dirinya.
Melihat kehadiran orang tua renta berpakaian putih-putih yang tidak diketahui sebelumnya, membuat Raja Pedang Kupu-kupu dan Ningrum kagum setengah mati. Betapa tidak? Kehadiran yang tanpa suara itu menandakan kalau lelaki tua ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Dan ini membuat mereka merasa harus berhati-hati. Tanpa sadar lelaki setengah baya itu meraba gagang pedang yang terselip di balik pinggang. Sedang Ningrum makin mempererat pegangan pedang di tangan kanannya.
"Kukira aku harus hati-hati. Melihat kemunculannya yang tidak diketahui, bukan mustahil kalau orang tua renta itu memiliki kepandaian di atasku. Sorot matanya yang tajam jelas membuktikan kalau tenaga dalamnya tinggi sekali," gumam Raja Pedang Kupu-kupu dalam hati
"Bukan main kemunculan orang tua renta ini! Kenapa aku maupun Guru tidak dapat mendengar langkah-la
"Kukira jawabanku pun sama dengan Guru, Orang Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum pernah aku mendengar orang yang dilahirkan bersama naga," timpal Ningrum."Baiklah kalau kalian memang tidak tahu. Tapi, apakah barangkali kalian dapat membantuku pada siapa aku bertanya?""Keparat! Sudah kubilang tidak tahu, masih saja mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut mendengar nama besarmu, he?!" bentak Raja Pedang Kupu-kupu mengkelap bukan main."Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak ingin bermusuhan denganmu," jawab Dewa Abadi enteng."Setan alas! Aku jadi ingin lihat apa kehebatanmu juga, sehebat bacotmu?!"Si Raja Pedang Kupu-kupu langsung melompat menyerang dengan jurus-jurus ganas.Dewa Abadi mengeluh dalam hati. Tentu saja ia tidak ingin membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan Raja Pedang Kupu-kupu. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya ke samping, tiba-tiba tepukan tangannya telah bergerak amat cepat. Bahkan sama sek
DEWA ABADI terus berkelebat cepat tanpa tujuan pasti. Ke mana kakinya melangkah, ke situlah arah tujuannya. Sementara dalam pikirannya terus berkecamuk, bagaimana agar secepatnya dapat menemukan pemuda si anak yang terlahir bersama naga yang lahir bersama naga seperti kabar gaib yang diterimanya."Ah...! Kukira ucapan Raja Pedang Kupu-kupu tadi benar. Tak mungkin aku menemukan anak yang terlahir bersama naga. Hm...! Bagaimana ini? Rasanya mustahil. Tapi biar bagaimanapun, aku harus dapat menemukannya. Aku sudah jenuh hidup di dunia ini," desah Dewa Abadi dalam hati.Hampir semalaman tokoh sakti dari Hutan Situ Waras itu menempuh perjalanan yang tak jelas juntrungannya. Dan selama melakukan perjalanan, banyak sudah tokoh sakti dunia persilatan yang dimintai keterangan. Namun, tak ada satu pun yang dapat menunjukkan di mana anak manusia yang dimaksudkan."Sulit! Bagaimana mungkin aku dapat menemukan anak manusia yang kumaksudkan? Dari sekian banyak tokoh dunia per
Namun sewaktu Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi tengah beristirahat setelah melakukan pencarian, tiba-tiba melihat sesosok bayangan putih tengah berkelebat cepat melintasi tempat mereka. Apalagi ketika menyadari ilmu meringankan tubuh bayangan putih yang semula dikira Jejaka tampak demikian hebat. Maka kedua tokoh hitam itu berkesimpulan kalau bayangan yang tengah diikuti itu adalah orang yang tengah dicari. Namun sayangnya di saat tengah melakukan pengejaran terhadap bayangan putih yang sebenarnya Dewa Abadi, mendadak mereka kehilangan jejak. Melihat buruannya lenyap bak ditelan bumi, maka kedua orang itu pun memutuskan untuk beristirahat kembali."Ya ya ya...! Harus kita akui kalau pemuda yang bergelar Jejaka Emas itu hebat. Tapi, aku sedikit pun tidak gentar menghadapinya. Pokoknya, sekarang kita lanjutkan pengejaran. Mungkin pemuda tengik itu telah berhasil mengecoh kita, lalu kembali meneruskan perjalanan," ajak Iblis Muka Bayi."Ya ya ya...! Kalau begitu bua
"Kau akan menyesal seumur hidup berani bertindak lancang di hadapan Dewa Abadi!" sahut Dewa Abadi, tak kalah gertak.Kali ini rasa kaget Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama Dewa Abadi disebut. Namun kekagetan mereka hanya sebentar. Setelah dapat mengendalikan perasaan, kedua orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai tokoh tua dunia persilatan, mereka jelas pernah mendengar tokoh sakti tanpa tanding yang bergelar Dewa Abadi, walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi sifat mereka yang sombong mengalahkan segalanya. Apalagi mereka juga belum pernah menjajal kesaktian Dewa Abadi."Setan! Tak kusangka Dewa Abadi yang sudah lama menyembunyikan diri kini kembali muncul di dunia persilatan," dengus batin Iblis Pocong."Hm...! Bukankah Dewa Abadi sudah mati? Tapi, kenapa mendadak muncul ke dunia persilatan? Ah...! Jangan-jangan kabar bohong yang telah kudengar tentang kematian Dewa Abadi hanyalah dusta belaka. Dan tak kus
Dewa Abadi tersenyum kecut. Dipandanginya kedua lawan yang tengah merintih-rintih."Sungguh sayang sekali... Kalian orang-orang tua yang berkepandaian, namun tak mau mengamalkannya pada jalan kebenaran. Tapi, tak apa-apalah! Barang kali kalian masih bermurah hati untuk memberitahukan, di mana aku dapat menemukan pemuda yang kumaksudkan" kata Dewa Abadi, lembut.Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nyalinya sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian Dewa Abadi amat tinggi, sejenak saling berpandangan. "Mana sudi aku memberi keterangan padamu, Dewa Abadi! Tanyakan saja pada arwah-arwah gentayangan hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.Dewa Abadi tersenyum arif. Tentu saja ia masih ingin membutuhkan keterangan dari Iblis Pocong dan Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan ocehan Iblis Muka Bayi, Dewa Abadi melangkah tenang mendekati."Maaf! Bukannya aku yang menyakiti kalian. Tapi, apakah kalian tidak ingin memberitahuku, pada siapa aku harus bertan
Tak jauh dari Lembah Pasir, tepatnya di bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun tengah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merangkap di depan dada. Setelah hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-biru yang tidak lain Peramal Darah ini bersemadi, dadanya terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat menyembuhkan luka dalamnya akibat pertarungannya melawan Jejaka.Namun baru saja Peramal Darah menghentikan semadi dengan sebuah napas panjang, mendadak penciumannya yang tajam merasakan bau busuk yang sangat luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata, ujung hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemudian seraya membuka kelopak matanya perlahan, kepalanya berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan anehnya lagi, makin lama bau busuk itu makin menyengat hidung!"Ah...! Bau busuk apa lagi ini? Kok, terasa begitu menyengat?" gumam Peramal Darah.Ketika lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan sebelah barat, sepasang mata kelabunya me
Sejenak tubuh Dewa Abadi tergetar hebat begitu mendengar julukan anak manusia yang terlahir bersama Naga. Dan sejenak itu pula kepalanya mengangguk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir keriputnya."Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya. Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu," gumam Dewa Abadi dengan kepala mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas keteranganmu."Baru saja Dewa Abadi akan berkelebat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba...."Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragukan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pemuda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan meninggalkan aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he?!" hardik Peramal Darah, langsung menghadang."Ada apa lagi, Sobat? Apa kau juga bermaksud menghalang-halangi langkahku?" pancing Dewa Abadi."Tua bangka tak tahu diri! Kau harus membayar mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas pun belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Seka
KENDATI sinar matahari berusaha menembus kerimbunan hutan di Bukit Karang Kanjen, tetap saja suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab. Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut pendek tak beraturan membentuk poni tengah asyik menikmati daging kelinci panggang. Sepasang mata pemuda yang mengenakan pakaian dibalut rompi berwarna merah dan bersisik keemasan tanpa lengan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke dalam perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap."Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesukaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar hangus, toh masih terasa daging," celoteh pemuda yang tak lain Jejaka pada diri sendiri.Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Jejaka Emas ini segera menyantap paha kelinci panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipedulikannya. Meski lidahnya terasa sepert