Tak jauh dari Lembah Pasir, tepatnya di bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun tengah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merangkap di depan dada. Setelah hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-biru yang tidak lain Peramal Darah ini bersemadi, dadanya terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat menyembuhkan luka dalamnya akibat pertarungannya melawan Jejaka.
Namun baru saja Peramal Darah menghentikan semadi dengan sebuah napas panjang, mendadak penciumannya yang tajam merasakan bau busuk yang sangat luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata, ujung hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemudian seraya membuka kelopak matanya perlahan, kepalanya berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan anehnya lagi, makin lama bau busuk itu makin menyengat hidung!
"Ah...! Bau busuk apa lagi ini? Kok, terasa begitu menyengat?" gumam Peramal Darah.
Ketika lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan sebelah barat, sepasang mata kelabunya me
Sejenak tubuh Dewa Abadi tergetar hebat begitu mendengar julukan anak manusia yang terlahir bersama Naga. Dan sejenak itu pula kepalanya mengangguk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir keriputnya."Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya. Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu," gumam Dewa Abadi dengan kepala mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas keteranganmu."Baru saja Dewa Abadi akan berkelebat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba...."Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragukan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pemuda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan meninggalkan aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he?!" hardik Peramal Darah, langsung menghadang."Ada apa lagi, Sobat? Apa kau juga bermaksud menghalang-halangi langkahku?" pancing Dewa Abadi."Tua bangka tak tahu diri! Kau harus membayar mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas pun belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Seka
KENDATI sinar matahari berusaha menembus kerimbunan hutan di Bukit Karang Kanjen, tetap saja suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab. Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut pendek tak beraturan membentuk poni tengah asyik menikmati daging kelinci panggang. Sepasang mata pemuda yang mengenakan pakaian dibalut rompi berwarna merah dan bersisik keemasan tanpa lengan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke dalam perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap."Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesukaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar hangus, toh masih terasa daging," celoteh pemuda yang tak lain Jejaka pada diri sendiri.Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Jejaka Emas ini segera menyantap paha kelinci panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipedulikannya. Meski lidahnya terasa sepert
"Jangan buang air matamu percuma, Nona! Aku takut burung-burung akan beterbangan dan matahari malas bersinar begitu mendengar suara tangismu yang teramat menyayat hati," usik Jejaka lagi, mulai kambuh penyakitnya."Diam! Namaku bukan Nona! Aku Ningrum! Dan lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku, Pemuda Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat lain kek. Apa pedulimu?" bentak si gadis yang ternyata Ningrum, murid tunggal si Raja Pedang Kupu-kupu."Cccck...! Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ningrum? Bagus juga namamu. Oh, ya Ningrum. Apa kau tidak lihat kalau burung-burung kontan beterbangan, begitu mendengar suara tangismu?" goda Jejaka."Pemuda nyinyir! Apa telingamu budek? Aku bilang diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?" sungut si gadis jengkel.Si pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tanpa mempedulikan kemarahan si gadis, Jejaka meletakkan pantat di depannya."Uh... genit!"Sambil memaki begitu, si gadis menyingkir agak menjau
Ningrum terus berkelebat cepat meninggalkan puncak Bukit Karang Kanjen. Saat ini, rasa dendam bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid Raja Pedang Kupu-kupu itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Abadi. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti terhadap gurunya. Makanya, kini Ningrum bertekad mencari Dewa Abadi untuk meminta pertanggungjawabannya."Dewa Abadi...!" desis Ningrum penuh kemarahan. "Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku harus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebenarnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai murid bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus meminta pertanggungjawabanmu Dewa Abadi atas tewasnya guruku!"Ningrum sejenak menghentikan langkahnya. Dadanya yang membusung bergerak turun naik, memendam kemarahan membludak. Udara segar di luar hutan Bukit Karang Kanjen terasa sesak."Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seorang anak manusia yang terlahir bersama naga seperti yang di inginkan Dewa Abadi? Hm...! Rasa
Ningrum mengeluh dalam hati. Meski belum pernah bertemu, namun menurut keterangan dari mendiang gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki kesaktian tinggi. Bahkan sama sekali tidak mengenal belas kasihan."Hm...! Rupanya hari ini aku tengah berhadapan dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus hati-hati. Sebab menurut keterangan Guru, tokoh sesat ini sangat licik dan keji!" kata Ningrum dalam hati."Hm...! Algojo Angin Timur! Kukira, dosamu sudah bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila orang-orang macam kau ini lekas-lekas enyah dari bumi. Dan akulah yang akan mengirim nyawa busukmu menemui kakek moyangmu di alam kubur!" dengus murid Raja Pedang Kupu-kupu ketus.Algojo Angin Timur tertawa bergelak. Saking gelinya, tokoh sesat dari Hutan Karang Kanjen ini sampai mengeluarkan airmata!"Lucu! Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat seorang gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan kebolehanmu, bagaimana caranya menghajarku! Tapi kalau tak s
Menyadari kehormatannya terancam, murid Raja Pedang Kupu-kupu itu mulai putus asa. Tanpa disadari airmata pun menitik. Dengan suara tersendat-sendat, berkali-kali Ningrum minta dirinya dilepaskan. Namun suara-suara itu dianggap sebagai rintihan penuh nikmat oleh lelaki kasar itu."Jangan menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku sakiti. Aku malah akan membawamu terbang jauh ke langit tingkat tujuh," desis Algojo Angin Timur."Boleh-boleh saja kau ajak gadis cantik itu terbang jauh. Tapi, hati-hati! Nanti malah kau sendiri yang jatuh ke comberan!""Heh...?!"Tiba-tiba terdengar suara dari arah samping yang disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo Angin Timur. Lelaki sesat ini cepat menggulingkan tubuhnya, kalau tak ingin celaka.Brakkk!Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan manusia yang tak jauh dari tempat itu kontan tumbang dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan nyasar. Debu-debu pun langsung membubung tinggi menyelimuti tempat
Melihat datangnya serangan, murid Begawan Tapa Pamungkas itu segera membuka jurus-jurus 'Naga Pamungkas' yang menjadi andalannya. Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut tenaga 'Inti Es'."Heaaa!”Dan begitu serangan-serangan Algojo Angin Timur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan Jejaka yang membentuk dua cakar naga pun segera bergerak lincah.Plakkk! Plakkk!Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan sulit terduga Algojo Angin Timur melayangkan bogem mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh Jejaka. Namun pada saat itu, si pemuda segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat segera dipapakinya pukulan-pukulan Algojo Angin Timur dengan gerakan cakaran telapak-cakaran telapak kedua telapak tangannya.Plakkk! Plakkk!Serangan-serangan Algojo Angin Timur berhasil ditangkis oleh cakaran telapak-cakaran telapak kedua tangan Jejaka. Seketika buku-buku tanga
Wajah cantik murid si Raja Pedang Kupu-kupu mendadak jadi berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak tersungging di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya tadi sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit Karang Kanjen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah."Ah...! Aku benar-benar minta maaf, Jejaka. Demi Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Jejaka Emas yang sedang banyak dibicarakan orang," ucap Ningrum gugup.Jejaka alias Jejaka Emas hanya tersenyum. Sementara sepasang matanya yang tajam tak henti-hentinya memandangi buah dada Ningrum yang membusung indah. Dan tanpa sadar, si pemuda jadi menelan ludahnya sendiri.Ningrum yang kini menyadari keadaan dirinya jadi malu bukan main. Semburat rona merah pun kontan menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak menutupi buah dadanya, gadis cantik itu jadi mengeluh. Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat digerakkan."To.... Tolonglah bebaskan totokanku, Jejaka!" pinta Ningrum malu-malu.Jejaka yang masih