Jejaka memasuki sebuah kedai dengan langkah lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya di sungai, Jejaka jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun.
Kadang-kadang tersenyum sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu sewaktu dipergoki tengah mandi di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini menjadi murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi membencinya karena persoalan itu.
"Hhh...!" Desah Jejaka pelan.
Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering dicobanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak mampu. Selalu terbayang kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga, keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi. Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa, Tuan?" Sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Jejaka dari lamunan. Dengan suara agak gagap, disebutkan
Srattt! Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada Jejaka."Keluarkan senjatamu, Jejaka Emas! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!" Teriak Larasati yang dijuluki Bidadari Penyebar Maut itu. Namun demikian, suaranya terdengar agak gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang melawan perasaannya sendiri.Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk lebih menguatkan hatinya."Nini," Ucap Jejaka sambil menengadahkan kepala.Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah cantik yang berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu. Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis yang dikagumi ini nampak membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya."Bukankah telah kukatakan padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja. Aku....""Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" Potong Larasati cepat. Wajahnya seketika menyemburat merah."Lalu masalah apa, Nini? Rasanya baru dua kali
Larasati menghela napas berat. Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati."Bajing Ireng..."Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya tidak demikian bagi Jejaka."Apa?!"Jejaka terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena getaran tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya. "Siapa nama Ayahmu, Nini...?" Pemuda bermata biru ini mengulangi pertanyaannya dengan suara gemetar."Bajing Ireng!" Ulang Larasati. Kali ini suaranya lebih keras."Tidak mungkin!" Teriak Jejaka lantang. Benda-benda yang terletak di atas meja, bergetaran keras. Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam dahsyat."Apanya yang tidak mungkin!"“Orang setengik Bajing Ireng memiliki anak secantik bidadari seperti nini” ucap Jejaka menggoda. Wajah Larasati tampak bersemu merah mendengar hal itu, bukannya marah, tapi ada perasaan bangga dihatinya mendengar ucapa
"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh. Dan telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya. Pikirlah, Jejaka Emas! " Suara gadis itu kian pelan.Dan Jejaka menangkap ada isak tertahan di dalamnya, sehingga membuat hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung dalam hati gadis itu.Hal ini membuatnya terdiam."Bersiaplah, Jejaka Emas," Tegas Larasati lagi. Kini suaranya sudah kembali terdengar seperti biasa. Dingin."Eh! Apa maksudmu, Nini?" Tanya Jejaka kaget."Tidak usah banyak cakap, Jejaka Emas! Aku harus membuat perhitungan padamu atas kematian ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!""Tahan dulu, Nini!" Teriak pemuda ini mencegah.Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di tangan kanannya berkelebat menebas leher Jejaka. Suara berdesing nyaring mengawali tibanya serangan itu.Buru-buru Jejaka melempar tubuhnya ke belakang.Wut...! Tappp! Pedang L
Dalam pertarungannya melawan gadis ini, pemuda bermata biru ini hanya menggunakan jurus-jurus tingkat dasarnya saja. Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu andalannya. Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus.Larasati penasaran bukan main ketika menyadari tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat. Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung. Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu menangkisnya tanpa terhuyung.Kini gadis ini sadar kalau Jejaka Emas tadi tidak bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya. Hal ini membuat Bidadari Penyebar Maut yang memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung. Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam serangan selanjutnya.Ilmu 'Cakar Naga Emas'-nya menyambar-nyambar buas ke arah Jejaka."Tahan...!" Jejaka Emas berseru keras sambil melentingkan
SEMENTARA Jejaka mengesampingkan masalah gadis cantik yang telah mencuri perhatiannya. Jejaka ingin mencari tahu dimana keberadaan neneknya. Dan kini pandangan mata Pemuda bermata biru itu terpaku pada sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Setelah cukup lama bersikap seperti itu, baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.Di ambang pintu itu, langkah kaki Jejaka terhenti. Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di bawah kakinya.Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan. Jejaka Emas lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah dugaannya. Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan, yang kini sudah hancur berantakan."Perguruan Gorila Hitam," Gumam pemuda itu pelan. Perguruan itu memang didirikan Gonggola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Iblis sesat itu mengasingkan diri.Dengan la
Dari situ Jejaka Emas mengintai ke arah suara langkah kaki tadi berasal. Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu.Wajah maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh. Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya.Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar dengan berindap-indap. Melihat tindak-tanduk orang itu, Jejaka menjadi curiga. Keadaan tempat itu sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya.Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan. Dia sengaja bersembunyi di situ. Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Jejaka melompat turun dari tempat persembunyiannya.Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu. Dengan sikap waspada, Jejaka melangkah masuk.Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu. Begitu kotor, kumuh dan tak terurus. Debu dan sarang laba-laba berserakan
Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini? Pemuda bermata biru ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu.Jalan yang paling mudah adalah menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu. Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.Tanpa membuang-buang waktu lagi, Jejaka segera keluar dari gedung itu. Diintainya keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini kembali ke tempat persembunyiannya semula.Menunggu.Cukup lama juga pemuda bermata biru ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan. Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh. Sebelum melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga.Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam
"Barangkali saja hanya suara kucing melompat..." Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih.Sebentar kemudian muncullah? seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu. Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya.Gonggola tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Jejaka menunggu sampai tubuh Gonggola lenyap di balik ruangan. Kemudian, dipmerah keemasantnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah Sentaka.Singgg .! Tukkk! Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan.Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda bermata biru itu telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah itu dengan hati-hati, Jejaka melangkahkan kakinya menuju arah Gonggola tadi lenyap.Pemuda