Pohon kelor! Cepat laksana kilat, tubuh Jejaka melesat ke atas. Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun.
Kini di tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat. Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula tubuh Jejaka Emas melayang ke arah Raksasa Kulit Baja.
Daun kelor yang tergenggam di tangannya disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu.
Prattt! "Akh...!"
Dengan telak sabetan itu mengenai badan Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari mulut manusia raksasa yang kebal ini.
Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas terluka. Bidadari Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal ini.
Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya barusan. Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan daun kelor! Dan sebaliknya, begitu Jejaka melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor y
"Aku muridnya...," pelan dan tenang suara pemuda itu."Apa!” sepasang mata Begawan Tapa Pamungkas terbelalak bagaikan melihat hantu."Kau terkejut, Begawan Tapa Pamungkas" Aku yakin sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini, bukan?"Belum juga gema ucapannya habis, murid Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Begawan Tapa Pamungkas. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus. Tangan kanannya bergerak menusuk ke arah leher, sementara tangan kiri terpalang di depan dada.Angin berdecit tajam, berdesing dan mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang amat tajam mengibas-ngibas mencari sasaran. Sebagai pendekJejakang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan, Begawan Tapa Pamungkas mengenal betul serangan berbahaya. Maka, buru-buru digeser kakinya ke samping. Sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya. Tetapi sesuatu yang mengejutkan kakek itu terjadi.Brettt...! Baju di bagian dadanya robek memanjang,
"Sani! Cepat pergi dari sini! Cepat...!" teriak Begawan Tapa Pamungkas kalap. Setelah berkata demikian, kakek itu segera menerjang pemuda berbaju coklat di hadapannya dengan serangan-serangan yang mematikan. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian pemuda itu dari Nyi Sani.Nyi Sani adalah seorang wanita cerdik. Ia tahu, Begawan Tapa Pamungkas tak akan menyuruhnya pergi dengan nada begitu keras, kalau tidak ada sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas dibalikkan tubuhnya dan berlari ke arah kedatangannya tadi.Tapi baru beberapa langkah, wanita itu teringat sesuatu. "Bagaimana dengan kau sendiri?!” tanya Nyi Sani sambil mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya suara pertempuran."Jangan pikirkan aku! Aku akan menyusul belakangan!"Untuk sesaat Nyi Sani terdiam. Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat rasanya meninggalkan Begawan Tapa Pamungkas itu sendirian yang menghadapi lawan tangguh
"Tidaaak...!"Jeritan keras melengking terdengar memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda berwajah jantan dan bermata biru, tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh.Wajah pemuda berpakaian merah keemasan itu basah oleh keringat. Di dalam mimpi tadi, pemuda itu melihat ada banjir besJejakang tiba-tiba melanda. Kakek dan Neneknya pun tak luput dari amukan air bah. Betapapun kedua orang yang disayanginya itu mencoba bertahan, tapi air itu terlalu kuat buat mereka. Maka keduanya hanyut dilanda air bah itu!"Ah...!" pelahan pemuda itu mengeluh.Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa saat lamanya, dibiarkan kedua tapak tangannya hinggap di sana. Kemudian pelahan-lahan diusap keringat yang membasahi wajah."Mimpi itu lagi...," keluh pemuda itu lagi pelan. "Mimpi yang sama. Aneh! Ataukah ini merupakan suatu petunjuk dari Dewata?" duga pemuda itu tiba-tiba.Teringat hal itu, pemuda yang tak lain adal
Kusir yang ternyata seorang pria berusia sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, halus, dan mulus. Rasanya terlalu tampan untuk seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya merah. Kalau saja Jejaka tidak melihat sebaris kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya, pasti pemuda ini menduga kalau kusir itu seorang wanita. Dandanan rambutnya digelung ke atas.Pakaiannya serba hitam, sehingga terlihat kontras sekali dengan kulitnya yang putih. "Mengapa kau memandangiku seperti itu, Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa jengah dipandangi Jejaka terus-menerus."Ah...! Eh..., maaf. Maksudku, aku hanya terpana saja. Maaf," ucap Jejaka gugup.Kini pemuda berpakaian merah keemasan ini menyadari betapa tidak sopan sikapnya barusan."Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tertawa."Boleh aku mengenal namamu. Namaku Gumala."Jejaka tersenyum simpul. Entah kenapa ia merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini. Mungkin karena sikapnya yang lucu, ata
SEBUAH kereta kuda yang ditumpangi dua orang pemuda yang sama-sama tampan melaju pelahan-lahan memasuki pintu gerbang Desa Bajubang. Mereka adalah Jejaka dan kawan barunya, Gumala. Selama beberapa hari menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda bermata biru ini banyak melihat keanehan terhadap pemuda itu.Pernah suatu ketika mereka singgah di penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar. Dia selalu memaksa untuk menyewa dua buah kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur berdua. Sejak kecil sampai dewasa pemuda itu terbiasa tidur sendiri. Apabila dipaksa tidur berdua, matanya tak akan bisa terpejam sampai pagi hari. Begitu alasannya jika didesak Jejaka.Mendengar alasan pemuda itu, Jejaka tentu saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih mengherankan, Jejaka sering memergoki Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata aneh. Sampai saat ini kelakuan Gumala memang menjadi beban pikiran Jejaka Emas itu. Dan sekarang ini Jejaka Emas memperhatikan ke adaan sekelilingnya. Sepi.
Apa yang diperkirakan Jejaka Emas ini memang tidak salah. Ketika Gumala balas menyerang, satu demi satu lawannya berjatuhan. Ke mana saja tangan atau kaki pemuda itu bergerak, di situ pasti ada saja yang rubuh."Akh...!""Ugh...!"Terdengar jerit kesakitan saling sambut. Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan penghadang itu sudah bergeletakan di tanah. Ada yang patah kakinya, ada yang patah tangannya, dan ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak ada satu pun di antara mereka yang terluka parah.Plok! Plok! Plok!Suara tepuk tangan terdengar seiring rubuhnya penghadang terakhir. Gumala memandang ke arah kereta. Ditatapnya Jejaka yang tengah duduk sambil bertepuk tangan. Dikebut-kebutkannya tangan dan pakaiannya sebelum berjalan menghampiri kereta.“Tidak kusangka kau selihai itu, Adi Gumala!" puji Jejaka tulus."Kau ini memuji atau meledek, Kang Jejaka! Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan dengan kepan
"Jejaka...!" teriak laki-laki tua pemilik kedai itu gembira. "Syukur pada Dewata kau datang kemari.""Memangnya ada apa, Ki?" tanya Jejaka. Tenang saja terdengar suaranya.Kakek pemilik kedai itu merenung sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan Jejaka. Karena pemuda ini pernah singgah di kedainya dan menginap di situ."Nanti saja Aki ceritakan, Den. Sekarang mungkin Den Jejaka dan Den....""Gumala," sahut Gumala singkat, begitu dilihatnya kakek pemilik kedai itu memandang ke arahnya."Oh ya..., Den Jejaka dan Den Gumala mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu pesanan Aden berdua." Jejaka yang memang sudah lapar, segera saja memesan makanan untuk mereka berdua.Kakek pemilik kedai itu segera melangkah masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan makanan. Sambil menunggu pesanan siap, Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari meja mereka, memang dapat melihat bebas ke luar melalui pintu."Hei...!" tiba-tiba Gumala berteriak keras.
Jejaka Emas tercenung, Perguruan Garuda Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Perguruan itu ternyata runtuh oleh seorang pemuda tidak dikenal."Bagaimana keadaan si Paruh Garuda?" tanya Jejaka menyebut nama pemimpin Perguruan Garuda Emas."Beliau tewas di tangan pemuda itu. Yang selamat dari maut hanya si Cakar Garuda. Itu pun karena kebetulan ia tidak berada di tempat.""Lalu, apakah pemuda itu masih berada di sini, Ki?""Tidak! Sehabis menghancurkan bangunan Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa ini. Yang tinggal di sini hanya para penjahat yang menjadi anak buahnya," jelas kakek pemilik kedai itu lagi."Bisa Aki tunjukkan di mana markas penjahat itu?" pinta Jejaka."Den Jejaka tahu rumah kepala desa?" kakek itu malah balik bertanya.Pemuda bermata biru itu menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahat- penjahat itu bermarkas di sana?""Ya!" jawab kakek pemilik kedai itu singkat."Kalau begitu, ka