Di dekat sang pemuda yang tak lain adalah Jejaka itu, tampak berdiri sosok tua Ki Nogomurkho. “Inilah Pedang Naga Murkha itu Jejaka. Selamat! Kau sudah berjodoh dengannya”
“Boleh ku ambil kek?”
“Tentu saja boleh, itu sudah menjadi hakmu”
Jejaka mengulurkan tangan kirinya yang tadi digunakannya untuk bergetar ke kiri dan ke kanan dibawah Pedang Naga Murkha mengambang itu.
“Akh!”
Tiba-tiba Jejaka berteriak kaget seraya menarik cepat tangannya sebelum menyentuh gagang Pedang Naga Murkha.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Ki Nogomurkho ikut kaget.
“Tanganku seperti tersambar petir kek!”
Ki Nogomurkho tentu saja heran mendengar apa yang dikatakan oleh Jejaka. Sejenak Ki Nogomurkho terlihat menatap kearah Pedang Naga Murkha yang ada dihadapannya, lalu pandangannya beralih kearah Jejaka, cukup lama. Lalu beralih kembali menatap kearah Pe
KI NOGOMURKHO sudah mulai menyingkir dari hingar-bingar dunia persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun bahkan mungkin beratus-ratus tahun. Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah seorang yang bisa mewarisi jurus Naga Murkha yang langka itu. Jejaka beruntung bisa bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi dongeng kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan terakhirnya yang amat dahsyat! Jurus Naga Murkha. Maka ketika Jejaka telah berhasil dan keluar dari Inti Pusat Bumi, Ki Nogomurkho pun menyerahkan jiwanya kehadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum puas di bibir keriputnya.Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga. Ayam jantan liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang pagi. Gumpalan awan berarak di cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk melengkapi lahirnya hari ini.Dalam terpaan lembut hawa pagi, Jejaka mematung di puncak bukit ya
Siang di Desa Panerokan. Pasar di tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan. Para pedagang tetap gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di atas kepala. Sama halnya para pembeli yang datang kesiangan. Mereka menyatu dalam satu irama bising.Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berambut poni dan bermata biru dengan pakaian yang lusuh. Dan orang itu ternyata Jejaka yang baru saja tiba di desa ini. Langkah pemuda itu tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.Perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus. Belum sempat menemukan kedai nasi, Jejaka dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.Semula pemuda ini tidak peduli. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik. Saat itu mata tajam Jeja
Tak heran dalam sekejap saja, Jejaka sudah tiba di tempat kejadian. Dan tubuhnya langsung melenting ke udara. Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api. Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang pemuda. Mereka memukul, menendang, menginjak, dan menyeret secara bergantian. Bagi kelima lelaki itu, pemuda yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.“Aaakh!” rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah. Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari mulutnya.“Kau harus memohon ampun pada kami! Lalu akui kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut!” perintah salah satu dari lima lelaki.Wajah orang itu nampak bersih. Namun sinar matanya mencorong kejam. Hidungnya yang melancip terlihat seperti paruh burung pemakan bang
“Nanti kalau menyerang, kalian bergerak sekaligus, ya? Jangan satu-satu! Aku biasa kerja borongan, kok...,” oceh Jejaka seraya bangkit berdiri.“Hiaaat!”Keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu. Dibenak masing-masing hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-potongan kecil tubuh pemuda yang telah mempermainkan mereka.Dua lelaki serempak membabat. Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada Jejaka.“Eit!”Jejaka hanya menggeser tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya memakan angin. Sedangkan tangan kanannya bergerak sekejap, menyabet ke bawah.Bugh! Bugh!Begitu cepat gerakan Jejaka, sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari. Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Jejaka lebih dulu, mendapat rejeki lumayan. Kantung menyan di selangkangan masing-masing kontan terasa pedih berdenyut-denyut, terkena sabetan Jejaka. Bahkan ngilunya sampai ke ulu hati. Dan kedu
“Siapa dia, ya? Kalau dia pendekar, kenapa tingkahnya konyol? Apa ada Pendekar Konyol?” kata salah seorang dari mereka.“Hus! Nanti dia dengar, lho! Kamu mau 'perkutut' kamu disentil!”“Hiiiy!”Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, Jejaka jadi geleng-geleng kepala.“Hey! Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku sampai di sini? Kalau kalian ingin terus nonton, silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar milik kalian habis terbakar!”seru Jejaka, seraya menunjuk api besar yang melalap sebuah kedai kelontong.Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian kemari, mereka langsung mencari ember dan air untuk memadamkan api yang sudah berhasil menghanguskan satu bangunan.“Air! Air! Ambil air!”“Ember, ember! Ambil ember!” Teriak mereka kalang kabut.“Goblok.... Goblok! Kalian goblok!” rutuk Jejaka seten
Sementara, Jejaka masih menatap wajah Jaka. Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka memutuskan ceritanya.“Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk mengantarkan ke kedai kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,” lanjut Jaka. “Maka aku mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di tempat itu, dia membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang. Benar-benar sial nasibku hari itu. Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi, lebih sial lagi ketika datang lima orang bertampang seram yang menuduhku mata-mata.”“Mata-mata siapa?” tanya Jejaka, memotong cerita Jaka.“Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan mereka, membakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang kudekati. Ah! Aku jadi tidak mengerti.
SENJA merayap. Sinar matahari telah meredup merata. Hamparan langit terlihat kian sayu. Bersama jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam singgasana malam. Dan Jejaka sekarang sudah mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya. Setelah kejadian siang tadi, dia memutuskan untuk mencari Srikandi yang lebih terkenal berjuluk Naga Wanita. Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar itu. Tapi, wanita yang dicarinya belum juga ditemukan.Badan Jejaka mulai menuntut istirahat. Pegal dan linu melantakkan seluruh persendiannya. Yang terbaik baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun pencarian terus dilakukan, akan sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya. Dan saat ini, dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar. Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu bibirnya tersenyum. Kemudian....Hup!Jejaka langsung melesat ke atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah tinggi tingkatannya. Dan manis sekali kakinya menjejak
Kemudian Srikandi bangkit. Dihampirinya lelaki itu. Lalu. Sret!Srikandi mencabut pedangnya di punggung. Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki- laki yang digantung.“Aaakh!”Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak darah meleleh dari paha yang tersayat itu. “Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?” desak Srikandi.Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan sinar mata dendam. Sementara di tempat persembunyian, Jejaka mengutuk perbuatan Srikandi yang telengas itu.Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai utusan adipati, kini terbukti.Darah Jejaka menggelegak hingga ke ujung kepala. Dadanya berderu keras dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar. Terlebih, saat benaknya dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh Srikandi ketika bertempur melawan Bajing Ireng dulu. Seketika saja, tangannya meraba sesuatu di tanah. Lalu....