Lilik menangis terharu demi melihat pemandangan langka di depannya. Ramon berjongkok di sisi makam Alina, dan melantunkan doa. Bukan itu saja, sebelumnya Ramon yang melunasi biaya perawatan Alina, karena ada beberapa obat yang tidak ter-cover askes milik Hadi. Ramon juga yang membayar biaya pengurusan, dan pemulangan jenazah Alina ke tanah kelahirannya. Satu hal yang luar biasa, mengingat Ramon sangat anti pati pada ibu sambungnya itu. Lilik berharap, hubungan Ramon dan ayahnya segera mencair. Mengingat Ramon sudah menunjukkan kepeduliannya pada Hadi, dengan membantu kesulitannya. Rasanya Lilik sudah tidak sabar melihat keluarga mereka bersatu lagi. Lilik bisa melihat, bagaimana paniknya Ramon saat diberi tahu kalau Alina sudah meninggal. "Terus biaya rumah sakitnya, siapa yang baya, Bu Lek? Dia punya askes, kan?" Meski belum mau memanggil Hadi dengan sebutan Ayah, nyatanya Ramon masih mempedulikan Hadi. "Punya, tapi masih harus karena ada beberapa biaya yang tidak ter-cover, dan
Mata Ramon mendelik kesal, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruangan kantornya. Dari mana anak ini tahu alamat kantornya? Sedangkan dia tidak pernah memberitahukan dimana tempatnya bekerja. "Assalamu'alaikum, Mas," sapa suara itu riang seraya meraih tangan Ramon dan menciumnya takzim. Tak peduli pada ekspresi dingin Ramon, yang seolah siap menerkamnya. Kalau bukan sedang berada di kantor, rasanya Ramon ingin menghajar anak satu ini. Berani-beraninya menyambangi dirinya ke kantor. Mau apa dia? Batin Ramon bertanya. "Waalaikum salam .... Masuk!" Suara Ramon terdengar dingin dan ketus. Bukan karena ingin bersikap ramah pada pemuda yang disebutnya anak setan itu, Ramon hanya tidak mau orang kantor tahu masalah pribadinya. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Radit segera masuk ke ruangan yang terlihat rapi itu. "Duduk!" perintah Ramon masih dengan nada ketus. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Ramon setelah duduk di kursi kebesarannya. "Aku mengikuti SNMPTN, Mas. Tapi nggak
Ramon menatap Radit tanpa berkedip, baru kali ini dia melihat ada orang serakus itu. Makan dengan porsi besar, masih nambah pula. Entah doyan atau lapar. "Lho, Mas. Kenapa nggak dimakan nasinya?" Radit menghentikan suapan, ketika menyadari Ramon sama sekali belum menyentuh makanannya. Laki-laki dingin itu justru sibuk mengamati dia makan. "Sudah kenyang lihat kamu makan," ketus Ramon, yang ditanggapi senyum lebar oleh Radit. Seperti tekadnya, seketus apapun sikap Ramon padanya, dia tidak akan tersinggung. Cukup disenyumin aja. "Kalau gitu buat aku saja, Mas, nasinya. Sayang kalau nggak kemakan." Tangan Radit terulur hendak mengambil piring di depan Ramon, tapi tangannya dipukul dengan sendok. "Auw! Sakit, Mas." Radit mengadu kesakitan. "Berapa hari nggak makan?" Radit garuk-garuk kepalanya, mendapat pertanyaan seperti itu. "He .... He .... Sejak pagi belum makan, Mas," ucap Radit malu-malu. "Pantes makannya kayak orang kesetanan. Anak setan, emang!" gerutu Ramon, sambil mendoron
Saking tergesa-gesanya untuk kembali ke ruangannya, Ramon tak memperhatikan sekitarnya. Hingga sesosok tubuh menubruknya."Aduh." Ardia mengadu kesakitan, ketika kepalanya terbentur dagu Ramon.Tubuh dua anak manusia itu saling menempel tanpa jarak, hingga Ramon bisa melihat dengan jelas wajah cantik Ardia. Hanya beberapa detik, kemudian mereka saling menjauh. Meski hanya sekilas tapi menimbulkan gelenyar aneh dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Ramon sedekat ini dengan wanita. "Eh, maaf-maaf. Kamu nggak pa-pa?" ucap Ramon ditengah rasa gugup yang mendera. Ardia mengelus keningnya yang memerah, wajahnya ditekuk. Tapi demi melihat yang menabraknya ini, adalah laki-laki yang beberapa bulan ini mengganggu pikirannya, justru membuatnya bahagia. "Sakit, Pak ...," Ardia meringis kesakitan, sambil mengelus keningnya. "Iya, ya. Sampai merah gitu." Ramon memegangi tangan Ardia dan yang berada di kening, agar dia bisa melihat lukanya. "Aku obatin, ya? Di ruanganku ada k
"Eh, Anak Setan! Siapa yang suruh kamu tidur di situ?!" pekik Ramon lantang, ketika mendapati Radit tidur pulas di atas kasurnya. Ramon baru pulang saja pulang dari kantor, tubuh dan pikirannya lelah, apalagi hari ini pekerjaannya lumayan banyak. Jelas dia marah besar melihat Radit seenaknya meniduri ranjangnya. Bukankah anak setan itu janji tidur lantai? Radit bergeming, sama sekali tak terganggu dengan suara Ramon yang lumayan keras itu. "Eh, anak setan! Bangun! Kamu tidur apa mati?" sekali lagi Ramon berusaha membangunkan Radit yang tidur begitu pulas itu. Pemuda sembilan belas tahun itu masih tak bergerak, rupanya dia begitu nyenyak. Hingga suara Ramon tak sanggup membangunkannya. Ramon yang sudah sangat jengkel dengan Radit itu, menarik kasar kaki Radit dan mengocangnya. Akhirnya tubuh pemuda itu merespon, dia mengeliat. Dan sialnya dia mengeluarkan suara menjijikkan. "Duuut .... " Radit mengeluarkan angin busuk dari pantatnya, yang membuat Ramon buru-buru menutup hidung.
Radit terbangun dari tidur nyenyaknya, saat mendengar suara gaduh entah dari mana. Seperti suara mesin, tapi Radit tidak tahu mesin apa. Dia melongok ke arah tempat tidur, dimana Ramon semalam tidur. Tapi tempat itu nampak kosong, diliriknya jam yang menempel di dinding. Masih pagi ternyata, baru jam 3. Batin Radit. Karena tak bisa tidur lagi, Radit memutuskan pergi ke dapur. Sepertinya suara gaduh itu dari arah sana, sekalian ambil minum. Radit tertegun melihat pemandangan di depannya. Lilik dan anak-anaknya sedang sibuk membuat kue, dibantu si jutek Ramon. Gila! Kalau tidak melihat dengan kepalanya sendiri, Radit tak akan percaya. Laki-laki gagah dan berwibawa, dengan wajah tampan dan karier cemerlang, tanpa sungkan sibuk di dapur. Mengangkat kue yang sudah matang, lalu menggantinya dengan adonan yang sudah siap dioven. Kegiatan yang biasa dilakukan wanita itu, nampak begitu luwes dilakukan Ramon. Jelas Terlihat kalau pekerjaan ini biasa dia lakoni. Sisi lain Ramon, yang baru Radi
"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
"Ardia!" lantang suara Ramon memanggil gadis berambut sebahu itu, bukannya berhenti Ardia justru mempercepat langkahnya. Sampai hari ini, meski sudah tiga bulan berlalu, sejak peristiwa ciuman tak sengaja itu. Ardia masih malu kalau bertemu Ramon, kalau nggak penting banget, sebisa mungkin dia menghindari pria yang jarang senyum itu. "Anak itu kenapa, sih? Dipanggil kok malah kabur? Memang mukaku menyeramkan, apa?" gerutu Ramon dalam hati. Dia mencoba mengingat-ingat kembali, punya salah apa dia sama gadis berwajah lembut itu. Apa yang pernah dia lakukan? Hingga Ardia selalu menghindarinya? Nihil, Ramon tak menemukanya. "Bro!" Sebuah tepukan mendarat di bahu Ramon, yang masih menatap Ardia. "Lagi lihat apa, sih?" Anton mengikuti arah tatapan Ramon. "Oh, Ardia? Kenapa dia? Kok kayak dikejar hantu gitu?" Ramon mengangkat bahu, menjawab pertanyaan Anton. Dia sendiri tak tahu kenapa Ardia bisa begitu. "Kalian ada masalah?" tanya Anton lagi. "Aku juga nggak tahu, Ton. Ardia selalu ka