Ramon menatap Radit tanpa berkedip, baru kali ini dia melihat ada orang serakus itu. Makan dengan porsi besar, masih nambah pula. Entah doyan atau lapar. "Lho, Mas. Kenapa nggak dimakan nasinya?" Radit menghentikan suapan, ketika menyadari Ramon sama sekali belum menyentuh makanannya. Laki-laki dingin itu justru sibuk mengamati dia makan. "Sudah kenyang lihat kamu makan," ketus Ramon, yang ditanggapi senyum lebar oleh Radit. Seperti tekadnya, seketus apapun sikap Ramon padanya, dia tidak akan tersinggung. Cukup disenyumin aja. "Kalau gitu buat aku saja, Mas, nasinya. Sayang kalau nggak kemakan." Tangan Radit terulur hendak mengambil piring di depan Ramon, tapi tangannya dipukul dengan sendok. "Auw! Sakit, Mas." Radit mengadu kesakitan. "Berapa hari nggak makan?" Radit garuk-garuk kepalanya, mendapat pertanyaan seperti itu. "He .... He .... Sejak pagi belum makan, Mas," ucap Radit malu-malu. "Pantes makannya kayak orang kesetanan. Anak setan, emang!" gerutu Ramon, sambil mendoron
Saking tergesa-gesanya untuk kembali ke ruangannya, Ramon tak memperhatikan sekitarnya. Hingga sesosok tubuh menubruknya."Aduh." Ardia mengadu kesakitan, ketika kepalanya terbentur dagu Ramon.Tubuh dua anak manusia itu saling menempel tanpa jarak, hingga Ramon bisa melihat dengan jelas wajah cantik Ardia. Hanya beberapa detik, kemudian mereka saling menjauh. Meski hanya sekilas tapi menimbulkan gelenyar aneh dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Ramon sedekat ini dengan wanita. "Eh, maaf-maaf. Kamu nggak pa-pa?" ucap Ramon ditengah rasa gugup yang mendera. Ardia mengelus keningnya yang memerah, wajahnya ditekuk. Tapi demi melihat yang menabraknya ini, adalah laki-laki yang beberapa bulan ini mengganggu pikirannya, justru membuatnya bahagia. "Sakit, Pak ...," Ardia meringis kesakitan, sambil mengelus keningnya. "Iya, ya. Sampai merah gitu." Ramon memegangi tangan Ardia dan yang berada di kening, agar dia bisa melihat lukanya. "Aku obatin, ya? Di ruanganku ada k
"Eh, Anak Setan! Siapa yang suruh kamu tidur di situ?!" pekik Ramon lantang, ketika mendapati Radit tidur pulas di atas kasurnya. Ramon baru pulang saja pulang dari kantor, tubuh dan pikirannya lelah, apalagi hari ini pekerjaannya lumayan banyak. Jelas dia marah besar melihat Radit seenaknya meniduri ranjangnya. Bukankah anak setan itu janji tidur lantai? Radit bergeming, sama sekali tak terganggu dengan suara Ramon yang lumayan keras itu. "Eh, anak setan! Bangun! Kamu tidur apa mati?" sekali lagi Ramon berusaha membangunkan Radit yang tidur begitu pulas itu. Pemuda sembilan belas tahun itu masih tak bergerak, rupanya dia begitu nyenyak. Hingga suara Ramon tak sanggup membangunkannya. Ramon yang sudah sangat jengkel dengan Radit itu, menarik kasar kaki Radit dan mengocangnya. Akhirnya tubuh pemuda itu merespon, dia mengeliat. Dan sialnya dia mengeluarkan suara menjijikkan. "Duuut .... " Radit mengeluarkan angin busuk dari pantatnya, yang membuat Ramon buru-buru menutup hidung.
Radit terbangun dari tidur nyenyaknya, saat mendengar suara gaduh entah dari mana. Seperti suara mesin, tapi Radit tidak tahu mesin apa. Dia melongok ke arah tempat tidur, dimana Ramon semalam tidur. Tapi tempat itu nampak kosong, diliriknya jam yang menempel di dinding. Masih pagi ternyata, baru jam 3. Batin Radit. Karena tak bisa tidur lagi, Radit memutuskan pergi ke dapur. Sepertinya suara gaduh itu dari arah sana, sekalian ambil minum. Radit tertegun melihat pemandangan di depannya. Lilik dan anak-anaknya sedang sibuk membuat kue, dibantu si jutek Ramon. Gila! Kalau tidak melihat dengan kepalanya sendiri, Radit tak akan percaya. Laki-laki gagah dan berwibawa, dengan wajah tampan dan karier cemerlang, tanpa sungkan sibuk di dapur. Mengangkat kue yang sudah matang, lalu menggantinya dengan adonan yang sudah siap dioven. Kegiatan yang biasa dilakukan wanita itu, nampak begitu luwes dilakukan Ramon. Jelas Terlihat kalau pekerjaan ini biasa dia lakoni. Sisi lain Ramon, yang baru Radi
"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
"Ardia!" lantang suara Ramon memanggil gadis berambut sebahu itu, bukannya berhenti Ardia justru mempercepat langkahnya. Sampai hari ini, meski sudah tiga bulan berlalu, sejak peristiwa ciuman tak sengaja itu. Ardia masih malu kalau bertemu Ramon, kalau nggak penting banget, sebisa mungkin dia menghindari pria yang jarang senyum itu. "Anak itu kenapa, sih? Dipanggil kok malah kabur? Memang mukaku menyeramkan, apa?" gerutu Ramon dalam hati. Dia mencoba mengingat-ingat kembali, punya salah apa dia sama gadis berwajah lembut itu. Apa yang pernah dia lakukan? Hingga Ardia selalu menghindarinya? Nihil, Ramon tak menemukanya. "Bro!" Sebuah tepukan mendarat di bahu Ramon, yang masih menatap Ardia. "Lagi lihat apa, sih?" Anton mengikuti arah tatapan Ramon. "Oh, Ardia? Kenapa dia? Kok kayak dikejar hantu gitu?" Ramon mengangkat bahu, menjawab pertanyaan Anton. Dia sendiri tak tahu kenapa Ardia bisa begitu. "Kalian ada masalah?" tanya Anton lagi. "Aku juga nggak tahu, Ton. Ardia selalu ka
"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
"Kok kesini, Mas?" Radit menatap Ramon dengan wajah bingung. Pasalnya Ramon tidak membawanya ke apartemen seperti yang dia janjikan, melainkan ke rumah Lilik. Ya, Ramon memilih kabur daripada terus meladeni pertanyaan- pertanyaan dari Mira. Calon mertua yang disodorkan Anton. Dari bicaranya, Ramon tahu kalau Mira tipe mertua yang menilai segala sesuatu dari materi. Sedangkan Attaya, Ramon belum bisa menilai, karena gadis itu tak banyak bicara. Tapi kalau ibunya saja seperti itu, hampir bisa dipastikan anaknya pun tak jauh beda. Sedangkan Ramon mendambakan wanita yang tulus mencintainya, menerima dirinya apa adanya. Karena Ramon sadar, sebagai manusia dia punya banyak kekurangan, apalagi dia trauma terhadap pernikahan orang tuanya. Tak ingin salah mencari calon istri, Ramon memilih buru-buru pergi, setelah membayar semua tagihan. Tentu dia tidak ingin membuat Anton rugi. "Eh, Anak Setan! Kamu mau ke kampus ngesot? Kita kesini ambil motor dulu!" ketus Ramon. Radit langsung terdiam m
"Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk
"Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena
"Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu
Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be
"Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,
Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se