"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
"Kok kesini, Mas?" Radit menatap Ramon dengan wajah bingung. Pasalnya Ramon tidak membawanya ke apartemen seperti yang dia janjikan, melainkan ke rumah Lilik. Ya, Ramon memilih kabur daripada terus meladeni pertanyaan- pertanyaan dari Mira. Calon mertua yang disodorkan Anton. Dari bicaranya, Ramon tahu kalau Mira tipe mertua yang menilai segala sesuatu dari materi. Sedangkan Attaya, Ramon belum bisa menilai, karena gadis itu tak banyak bicara. Tapi kalau ibunya saja seperti itu, hampir bisa dipastikan anaknya pun tak jauh beda. Sedangkan Ramon mendambakan wanita yang tulus mencintainya, menerima dirinya apa adanya. Karena Ramon sadar, sebagai manusia dia punya banyak kekurangan, apalagi dia trauma terhadap pernikahan orang tuanya. Tak ingin salah mencari calon istri, Ramon memilih buru-buru pergi, setelah membayar semua tagihan. Tentu dia tidak ingin membuat Anton rugi. "Eh, Anak Setan! Kamu mau ke kampus ngesot? Kita kesini ambil motor dulu!" ketus Ramon. Radit langsung terdiam m
Baru saja Ramon beres memarkirkan mobil tiba-tiba seseorang memanggil namanya. "Ramon!" Ramon menoleh, mendapati Anton yang terburu-buru melangkah ke arahnya dengan wajah gusar. "Kenapa lagi kamu? Itu muka butek amat?" tanya Ramon sambil melangkah meninggalkan basement. "Kampret lo, ah! Pakai nanya kenapa. semalam aku diomelin Tante Mira gara-gara kamu main kabur, tau nggak!" Ramon menjengah, pagi-pagi bukannya disambut dengan senyum manis, ini malah kena omel Bapak-Bapak bermulut sadis."Derita, Lo!" sahut Ramon cuek. Siapa suruh main jodoh-jodohin tanpa konfirmasi, dia sendiri, kan? Kenapa sekarang menyalahkan Ramon? Aneh memang. "Sialan lo! Ngapain juga kamu pakai cerita, kalau bapakmu kawin lagi. Tante Mira jadi ilfeel sama kamu." Ramon terkekeh mendengar ucapan Anton. Memang itu yang dia inginkan, Tante Mira dan Attaya ilfeel dan langsung mundur teratur. Memang apalagi? "Bodo amat!" jawab Ramon santai, hingga memancing emosi Anton. "Plak!" Anton menggebuk punggung Ramon ker
Jam menunjukkan pukul 9 malam, saat Ramon keluar dari ruangannya. Suasana terlihat sepi, sepertinya dia orang terakhir yang berada di kantor ini. "Tolong ....! Tolong ....!" Saat Ramon sampai di basement, terdengar suara wanita minta tolong. Buru-buru Ramon berlari menuju sumber suara. Di depannya nampak wanita yang sangat dia kenal sedang ditarik-tarik oleh seorang pria. Ardia. "Lepaskan!" bentak Ramon dengan suara menggelegar. Sontak laki-laki menoleh ke arah Ramon, hingga menyebabkan pegangannya mengendur, dan langsung dimanfaatkan oleh Ardia untuk melepaskan diri, lalu sembunyi di belakang punggung Ramon. "Jangan ikut campur, kamu! Ini urusan keluarga!" sentak laki-laki itu tak terima."Pak Ramon, tolong saya, Pak! Saya nggak mau ikut orang ini," melas Ardia, tangannya memegang erat baju Ramon bagian belakang. "Pergi, atau aku panggil security!" ancam Ramon, tapi sepertinya laki-laki itu tak takut sama sekali. "Silahkan! Silahkan panggil security, atau polisi sekalian. Saya
"Oke, oke, saya mengerti. Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu, Ar?" Ardia mengangkat kepala, menengadah menatap Ramon lekat-lekat. Laki-laki itu menawarkan bantuan? Bantuan yang seperti apa?"Mas, mau bantu saya?" Ramon mengangguk mantap. "Bantu apa?" Ramon tergagap. "Mm .... Apa yang bisa aku lakukan? Maksudku kalau kamu ada masalah, jangan sungkan-sungkan minta bantuan padaku" ucap Ramon akhirnya.Ardia mengangguk, lalu membuang pandangan ke tempat lain. Suasana jadi serba canggung, apalagi tangan Ramon masih bertengger di pundaknya. Entah mengapa, dia merasa nyaman dipeluk Ramon begini. Ardia menatap pundaknya, kemudian beralih menatap Ramon. Membuat laki-laki itu segera menarik tangannya. "Maaf," ucapnya canggung. Hening, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. "Kita pulang sekarang," ucap Ramon tegas. Dia kembali pada mode songongnya. "Ah, iya. Kita pulang sekarang, Pak. Eh, Mas." Kalau tadi Ardia merasa nyaman, dan tak canggung menceritakan permasalahannya
"Tega, kamu! Dia itu papa tirimu, kenapa kamu rayu!" Renita yang dibutakan cintanya pada Roy, justru menuduh Ardia yang menggoda Roy. Dia tidak melihat wajah lebam Ardia, dan luka di beberapa tubuh Ardia. Tiba-tiba Roy bangkit dari posisinya. "Hai Nenek peyot! Kamu sudah pulang," ucap Roy, sambil cengengesan khas orang mabuk. "Diam kamu, Roy!" bentak Renita emosi. "He ..., he ..., jangan marah, Sayang. Nanti keriputmu tambah banyak." Roy memeluk tubuh Renita dan menciumi wajahnya. "Dasar laki-laki sinting! Mabuk aja kerjamu! Apa kamu lakukan di sini, heh!" Aroma alkohol yang menguar dari mulut Roy, membuat Renita sadar, kemungkinan bukan Ardia yang menggoda Roy. Melainkan Roy yang memaksa Ardia. Apalagi dia bisa melihat dengan jelas beberapa bekas cakaran di tubuh putri semata wayangnya. "Plak!" Tamparan Renita melayang di pipi Roy. "Dasar laki-laki tidak tahu terimakasih! Aku capek-capek kerja memberimu makan, tapi kamu malah menggagahi anakku!" "Kamu berani menamparku Nenek P
Ardia menyeka air matanya, lalu kembali duduk dengan posisi normal. "Tapi, Mas. Gerbang kosan ditutup jam sebelas malam.""Hah? Terus kamu tidur dimana malam ini?" Ardia menggeleng lemah. "Kita ke hotel saja, kalau begitu." Giliran Ardia yang terperangah. Ke hotel berdua dengan Ramon? Mau ngapain? "Ho--ho--tel?" Ardia tergagap. Mendengar kata hotel, otak Ardia memberi respon negatif. "Iya, hotel? Katamu kosan Alya sudah ditutup, kita juga nggak mungkin ke rumah temanmu yang lain tengah malam begini, kan?" Ardia menggeleng. "Antar aku kosan Alya," tegas Ardia. Ramon menghela nafas, sepertinya Ardia belum percaya sepenuhnya padanya. Wajar, mereka tidak dekat sebelumnya, ditambah lagi Ardia pernah mengalami hal terburuk dalam hidupnya. Korban pelecehan biasanya mengalami trauma terhadap lawan jenis. Tapi ide untuk membawa Ardia ke hotel, hanya agar gadis itu bisa istirahat, tanpa mengganggu atau merepotkan orang lain. Tidak ada maksud terselubung, apalagi memanfaatkan Ardia yang sed
"Kamu harus menjelaskan apa yang sudah kalian lakukan, hingga cewek itu nggak sadarkan diri," tuntut Lilik. Setelah Ramon selesai memindah Ardia dari mobil ke kamar Sesil. "Ardia bukan pingsan, Bulek. Tapi tidur karena kecapekan," jelas Ramon, sambil terus melangkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang, berniat membersihkan diri. "Kecapekan? Emang kalian ngapain aja?" Ramon mendesah lelah. " Ceritanya besok aja ya, Bulek? Aku bener-bener capek," keluh Ramon. Dilihat dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau Ramon memang lelah, dia kusut banget. "Ck, banyak alasan kamu, Ram. Oke. Bulek tunggu besok. Awas saja kalau kamu masih terus mengelak," ancam Lilik kemudian berlalu. Dia juga lelah sebenarnya, tapi rasa penasaran yang menguasai hatinya, membuat Lilik mengabaikan rasa lelahnya. * * * * * * * * *"Mas! Ramon! Bangun, Mas!" Suara cempreng Sesil berhasil mengganggu tidur nyenyaknya Ramon. Ramon mengeliat. "Aku ngantuk banget, Sil." Ramon berkata tanpa membuka mata.
"Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk
"Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena
"Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu
Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be
"Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,
Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se