“Oh, jadi mall tadi benar-benar milikmu?” tanya Valerie, tiba-tiba teringat perkataan Aldrich saat di butik Elizabeth tadi.Aldrich yang fokus mengemudi menatap sekilas pada Valerie. Dia tersenyum tipis. "Hanya salah satu properti milik keluarga," katanya santai dengan bahu terangkat.Mulut Valerie membentuk huruf ‘O’. Tapi melihat betapa mewahnya kehidupan Aldrich, dia tak heran jika pria itu sangat kaya. Bahkan bisa sesukses itu di usianya yang baru tiga puluhan.“Bagaimana? Kau tertarik untuk jatuh cinta padaku?” canda Aldrich, mengerling genit.Perut Valerie serasa dikocok-kocok. Dia merasa mual. Buru-buru Valerie memasang wajah jijik yang dibuat-buat.Melihat itu, Aldrich pun memasang wajah sakit hati yang dibuat-buat. “Padahal aku tampan dan sempurna,” keluhnya.Valerie menyetujui perkataan Aldrich barusan. “Ya, untuk ukuran gigolo, kau memang sempurna.” katanya, mengangguk-angguk kecil.Aldrich mencibir, mengingat pertemuan pertama mereka di Paris. Mau tak mau, keduanya pun ter
"Ah, kasurku yang empuk!"Valerie menjatuhkan dirinya ke atas ranjang dengan penuh kepuasan, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan kasurnya yang sudah lama tak ia tiduri. Beberapa hari terakhir, ia terlalu sibuk di mansion Aldrich sehingga jarang pulang ke apartemen.Matanya melirik sekilas ke jam di dinding. 17.30. Masih ada beberapa jam sebelum pesta yang diadakan ayahnya dimulai.Pesta ulang tahunnya yang ke-24. Sekaligus pengumuman pertunangannya dengan Aldrich.Valerie mendesah, awalnya ia tidak terlalu bersemangat menghadiri acara itu. Namun, mengingat siapa saja yang akan datang, terutama Charlos dan Jennifer, senyum licik langsung tersungging di wajahnya."Bagaimana ekspresi mereka nanti, ya? Apakah Charlos akan menyesal?" gumamnya sambil tersenyum penuh arti.Charlos. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa tahun. Hubungan mereka dulu terlihat stabil di mata orang lain, tapi pada kenyataannya, Charlos mengkhianatinya.Valerie masih ingat bagai
"Aldrich."Aldrich menoleh, dan mendapati Valerie berdiri di depannya. Wanita itu tampak mempesona dalam balutan gaun mermaid dusty pink. Untuk beberapa detik, Aldrich terdiam, pria itu bahkan hampir meneteskan liurnya sendiri. Membuat Valerie terkekeh, lalu berjalan mendekat ke arah Aldrich dan langsung menggandeng tangan pria itu."Matamu hampir keluar, Tuan," bisik Valerie geli.Aldrich mengusap kasar wajahnya, "Sial, babe. Kau seksi sekali, rasanya aku ingin menyeretmu masuk kembali ke apartemen. Kau benar-benar menggoda. Aku tak rela kau dilihat pria lain di luar sana," katanya dengan satu tarikan napas.Valerie mendecih, lalu Aldrich pun membukakan pintu untuknya."Sayang sekali, kau harus berbagi keindahanku dengan semua tamu malam ini," ujar Valerie menggoda.Gantian Aldrich mendecih sambil menyalakan mesin mobil. "Sial. Aku benci berbagi.""Silakan, Tuan Putri." Aldrich berkata lagi.Malam ini, Aldrich menggunakan setelan jas dusty pink dengan potongan tailored-fit yang semp
“Akhirnya kamu datang juga, sayang.”Bastian berkata dengan nada puas, tatapannya bergantian antara Valerie dan Aldrich. Ia kemudian menepuk pundak Aldrich dengan akrab, menandakan persetujuan dan rasa hormatnya.“Acaranya belum dimulai, karena memang pemeran utamanya belum datang.” Bastian menambahkan dengan senyum penuh arti.Di seberang ruangan, Jennifer yang tengah bercakap dengan Charlos langsung membelalak marah saat melihat interaksi itu.Wanita itu berdiri anggun dengan gaun off-shoulder berwarna merah menyala, membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Belahan gaun yang tinggi di salah satu sisi memperlihatkan kakinya yang jenjang, sementara rambut panjang bergelombangnya disanggul setengah, membiarkan beberapa helaian jatuh di bahunya dengan kesan menggoda.Wajahnya dipoles sempurna dengan riasan bold—lipstik merah pekat yang serasi dengan gaunnya, eyeliner tajam yang membuat tatapannya semakin menusuk, serta highlighter yang menambah kilauan di tulang pipinya. Perhiasan be
"Kau wanita murahan!" pekik Jennifer, suaranya melengking tajam hingga menarik perhatian beberapa tamu di sekitarnya.Langkah Valerie terhenti, tetapi alih-alih tersinggung, ia justru tersenyum tenang. Senyum itu—yang terlihat seperti ejekan terselubung—hanya semakin memanaskan amarah Jennifer."Kau bahkan sampai menjual tubuhmu yang murahan itu hanya demi gaun terbaru?" tambah Jennifer lagi, suaranya dipenuhi cemoohan.Bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Suasana yang tadinya dipenuhi percakapan santai kini berubah menjadi lebih tegang, hingga akhirnya perhatian beralih ke tempat Jennifer dan Valerie berdiri.Dari kejauhan, Bastian dan Aldrich, yang sedang berbicara dengan Dylan—ayah Aldrich—menyadari ketegangan itu.Valerie, tetap dengan ekspresi santainya, menatap Jennifer seolah baru saja mendengar sesuatu yang mengejutkan. "Oh, kau menuduhku atas perilakumu sendiri?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dibuat-buat.Tawa tertahan terdengar dari beberapa tamu di sekit
"Ti—tidak. Mana mungkin Valerie anak Bastian."Jennifer menggelengkan kepalanya, suaranya hampir tak terdengar. Matanya membelalak, menatap Valerie dengan kebingungan, lalu beralih ke Bastian yang kini berdiri di atas panggung."Tidak! Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun, dia bukan putri orang kaya!" gumamnya lagi, kali ini dengan nada panik.Di sebelahnya, Charlos tampak gelisah. Pria itu menggigit bibir bawahnya, tubuhnya menegang. Ada firasat buruk yang menggerogoti pikirannya, namun ia masih berharap semua ini hanya lelucon belaka.Namun, harapannya hancur seketika saat suara lantang Bastian menggema di seluruh ruangan."Valerie Brianna Caitlin!"Suara itu terdengar tegas dan penuh wibawa, seolah menegaskan otoritasnya.Jennifer merasakan lututnya lemas. Nafasnya tercekat, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Va—Valerie?" ulang Charlos tak percaya.Tatapannya terpaku pada Valerie, wanita yang dulu ia tinggalkan demi Jennifer. Wanita yang dulu ia anggap tidak memiliki masa dep
"Val... Valerie, tunggu!"Langkah Valerie terhenti di depan koridor menuju toilet ketika mendengar suara yang sudah lama tak ingin ia dengar dengan nada penuh harap. Ia mendesah pelan, merapikan gaunnya yang elegan sebelum berbalik dengan ekspresi malas.Charlos sudah berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi kecemasan dan rasa bersalah yang terlambat. Pria itu mengulurkan tangan, berusaha menggenggam pergelangan Valerie, namun dengan sigap wanita itu menepisnya."Apa!" sentak Valerie dengan nada tajam.Charlos menatap Valerie dengan sorot mata terluka, seolah ia adalah korban di sini."Maafkan aku," ujarnya dengan suara rendah, penuh kepura-puraan. "Kita kembali seperti dulu lagi, ya? Aku masih mencintaimu."Jika kata-kata itu diucapkan Charlos dulu, mungkin Valerie akan luluh. Mungkin ia akan menangis, mempertimbangkan untuk memaafkan. Namun, sekarang?Perasaan itu sudah lama mati.Valerie menyeringai kecil, memandang Charlos dengan tatapan penuh ejekan."Lucu sekali," katanya pelan,
“Kenapa lama sekali?”Aldrich bersandar di meja bar, tatapannya tajam saat melihat Valerie berjalan dengan ekspresi kesal.Tanpa menjawab, Valerie langsung meraih gelas koktail dingin dan meneguknya habis dalam sekali tegukan. Gelas berkaki itu diletakkannya kembali dengan sedikit hentakan, seolah ingin melampiaskan kekesalannya.“Charlos mencegatku!” desisnya, nafasnya sedikit naik turun.Alis Aldrich terangkat. Tatapan matanya berubah dingin, rahangnya mengeras.“Dia bilang masih mencintaiku. Cih, siapa yang sedang dia bohongi?” Valerie tertawa sinis, menggeleng tak percaya.Aldrich tetap diam. Namun sorot matanya semakin tajam, seolah menilai sesuatu yang tak diungkapkan Valerie.“Jadi, apa kau masih mencintainya?” tanyanya datar.Valerie yang baru saja meneguk minuman keduanya nyaris tersedak. Matanya melebar, menatap Aldrich dengan tak percaya.“Serius kau bertanya begitu?” Valerie menghela nafas, lalu mendekat, tatapannya penuh ketidakpercayaan.“Kalau aku masih mencintainya, ak
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas