"Kau wanita murahan!" pekik Jennifer, suaranya melengking tajam hingga menarik perhatian beberapa tamu di sekitarnya.Langkah Valerie terhenti, tetapi alih-alih tersinggung, ia justru tersenyum tenang. Senyum itu—yang terlihat seperti ejekan terselubung—hanya semakin memanaskan amarah Jennifer."Kau bahkan sampai menjual tubuhmu yang murahan itu hanya demi gaun terbaru?" tambah Jennifer lagi, suaranya dipenuhi cemoohan.Bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Suasana yang tadinya dipenuhi percakapan santai kini berubah menjadi lebih tegang, hingga akhirnya perhatian beralih ke tempat Jennifer dan Valerie berdiri.Dari kejauhan, Bastian dan Aldrich, yang sedang berbicara dengan Dylan—ayah Aldrich—menyadari ketegangan itu.Valerie, tetap dengan ekspresi santainya, menatap Jennifer seolah baru saja mendengar sesuatu yang mengejutkan. "Oh, kau menuduhku atas perilakumu sendiri?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dibuat-buat.Tawa tertahan terdengar dari beberapa tamu di sekit
"Ti—tidak. Mana mungkin Valerie anak Bastian."Jennifer menggelengkan kepalanya, suaranya hampir tak terdengar. Matanya membelalak, menatap Valerie dengan kebingungan, lalu beralih ke Bastian yang kini berdiri di atas panggung."Tidak! Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun, dia bukan putri orang kaya!" gumamnya lagi, kali ini dengan nada panik.Di sebelahnya, Charlos tampak gelisah. Pria itu menggigit bibir bawahnya, tubuhnya menegang. Ada firasat buruk yang menggerogoti pikirannya, namun ia masih berharap semua ini hanya lelucon belaka.Namun, harapannya hancur seketika saat suara lantang Bastian menggema di seluruh ruangan."Valerie Brianna Caitlin!"Suara itu terdengar tegas dan penuh wibawa, seolah menegaskan otoritasnya.Jennifer merasakan lututnya lemas. Nafasnya tercekat, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Va—Valerie?" ulang Charlos tak percaya.Tatapannya terpaku pada Valerie, wanita yang dulu ia tinggalkan demi Jennifer. Wanita yang dulu ia anggap tidak memiliki masa dep
"Val... Valerie, tunggu!"Langkah Valerie terhenti di depan koridor menuju toilet ketika mendengar suara yang sudah lama tak ingin ia dengar dengan nada penuh harap. Ia mendesah pelan, merapikan gaunnya yang elegan sebelum berbalik dengan ekspresi malas.Charlos sudah berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi kecemasan dan rasa bersalah yang terlambat. Pria itu mengulurkan tangan, berusaha menggenggam pergelangan Valerie, namun dengan sigap wanita itu menepisnya."Apa!" sentak Valerie dengan nada tajam.Charlos menatap Valerie dengan sorot mata terluka, seolah ia adalah korban di sini."Maafkan aku," ujarnya dengan suara rendah, penuh kepura-puraan. "Kita kembali seperti dulu lagi, ya? Aku masih mencintaimu."Jika kata-kata itu diucapkan Charlos dulu, mungkin Valerie akan luluh. Mungkin ia akan menangis, mempertimbangkan untuk memaafkan. Namun, sekarang?Perasaan itu sudah lama mati.Valerie menyeringai kecil, memandang Charlos dengan tatapan penuh ejekan."Lucu sekali," katanya pelan,
“Kenapa lama sekali?”Aldrich bersandar di meja bar, tatapannya tajam saat melihat Valerie berjalan dengan ekspresi kesal.Tanpa menjawab, Valerie langsung meraih gelas koktail dingin dan meneguknya habis dalam sekali tegukan. Gelas berkaki itu diletakkannya kembali dengan sedikit hentakan, seolah ingin melampiaskan kekesalannya.“Charlos mencegatku!” desisnya, nafasnya sedikit naik turun.Alis Aldrich terangkat. Tatapan matanya berubah dingin, rahangnya mengeras.“Dia bilang masih mencintaiku. Cih, siapa yang sedang dia bohongi?” Valerie tertawa sinis, menggeleng tak percaya.Aldrich tetap diam. Namun sorot matanya semakin tajam, seolah menilai sesuatu yang tak diungkapkan Valerie.“Jadi, apa kau masih mencintainya?” tanyanya datar.Valerie yang baru saja meneguk minuman keduanya nyaris tersedak. Matanya melebar, menatap Aldrich dengan tak percaya.“Serius kau bertanya begitu?” Valerie menghela nafas, lalu mendekat, tatapannya penuh ketidakpercayaan.“Kalau aku masih mencintainya, ak
Valerie terperangah, napasnya tercekat. Tatapan Aldrich begitu dalam, begitu membara, seolah pria itu benar-benar akan melakukannya.Musik masih mengalun, tetapi bagi mereka, dunia terasa berhenti. Hanya ada Aldrich. Hanya ada ketegangan di antara mereka yang kian menyala.Valerie tahu seharusnya dia menjauh, menghindar, tetapi tubuhnya terasa terpaku di tempat. Kenapa godaan pria ini begitu kuat, begitu menggoda?Aldrich semakin mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari Valerie. Napas hangatnya menyapu kulitnya, menciptakan sensasi aneh yang membuat jantung Valerie berdebar tak karuan.Matanya menatap bibir Valerie, lalu kembali menatap mata wanita itu, seolah memberi kesempatan untuk menolak. Namun, Valerie tetap diam, tidak mundur, tidak menghindar.Saat itulah Aldrich kehilangan kendali.Tangannya melingkar di pinggang Valerie, menarik tubuh wanita itu lebih dekat. Lalu, tanpa peringatan, bibirnya menyapu bibir Valerie—lembut, namun mendalam.Valerie terkejut, tapi buka
"Dalam mimpimu!" Valerie mendesis sebelum menginjak kaki Aldrich dengan cukup kuat.Aldrich meringis, tapi senyumnya tetap terpatri di wajah. Valerie juga tersenyum, meski giginya rapat menahan gemas."Lihat betapa mesranya mereka." Dylan tertawa kecil, melirik ke arah Bastian. "Sepertinya kita harus memberikan waktu untuk sepasang kekasih yang sedang kasmaran ini."Bastian dan yang lainnya mengangguk setuju. Sebelum pergi, Bastian menepuk bahu Aldrich dengan santai, seakan memberi restu yang tak perlu.Begitu orang tua mereka menghilang dari pandangan, Valerie langsung melepaskan dirinya dari Aldrich. Ia menatap pria itu dengan tajam."Dasar tidak tahu tempat!" gerutunya, meninju dada Aldrich dengan gemas.Aldrich hanya terkekeh, tangannya terangkat menahan serangan kecil Valerie. "Tapi kau menikmatinya, kan, babe?" godanya, matanya berkilat nakal.Valerie mendelik tajam. “Berhenti memanggil aku ‘babe’!” katanya, tapi pipinya masih bersemu merah.Aldrich terkekeh. “Baiklah, sayang?”
"Valerie!"Suara klakson mobil membelah pagi yang tenang, disusul oleh panggilan seseorang yang sangat dikenalnya.Valerie yang baru saja keluar dari gedung apartemennya sontak terlonjak. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena terkejut dengan kehadiran seseorang yang tak diundangnya, tetapi karena rasa muak yang langsung menjalar dalam dirinya.Di seberang jalan, Charlos bersandar santai di bodi mobil sport hitamnya, satu tangan menyelip di saku celana, sementara tangan lainnya memegang rokok yang belum dinyalakan. Kemeja putihnya digulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat di lengannya yang tegang. Rambutnya yang selalu tertata rapi kini sedikit berantakan, menambah kesan kasual yang sengaja dibuat.Matanya menyipit di bawah sinar matahari pagi, menatap Valerie dengan senyum yang tak bisa dijabarkan—entah itu senyum menggoda, mengejek, atau mungkin penuh kepemilikan. Sesekali, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menahan diri.Sepatu kulitnya yang mengila
"Kau pikir kau siapa? Aku lebih dulu mengenal Valerie! Kau hanya pria yang kebetulan beruntung!" Charlos menatap Aldrich dengan penuh kebencian. Aldrich tersenyum miring, tetapi ada nada dingin dalam suaranya. "Beruntung? Oh, aku tidak percaya pada keberuntungan, Charlos. Aku percaya pada kepemilikan. Dan Valerie adalah milikku."Charlos tertawa sinis. "Milik? Hah! Dia hanya menggunakanmu sebagai pelampiasan! Dia tidak benar-benar mencintaimu, Aldrich. Pertunangan ini hanyalah caranya untuk membalas dendam padaku."Valerie menegang. Ia ingin menampar Charlos atas tuduhan tak masuk akal itu, tetapi Aldrich lebih cepat.Bug!Tinju Aldrich menghantam rahang Charlos begitu keras hingga pria itu terhuyung ke belakang, hampir jatuh ke aspal. Valerie terkejut, tetapi diam-diam merasa puas melihat Charlos mendapatkan balasannya.Aldrich mendekat, menatap Charlos yang kini memegangi rahangnya dengan mata membelalak. "Sekali lagi kau mengatakan omong kosong seperti itu atau menyentuh Valerie
“Ada apa ini?”Suara berat Aldrich menggema di ruangan. Langkahnya terhenti begitu melihat Alicia terduduk di lantai, separuh tubuhnya basah kuyup, sementara para karyawan berusaha menahan tawa mereka.Alicia, yang masih sibuk mengatur emosinya, segera berusaha bangkit. Tatapannya beralih pada Aldrich, berharap pria itu akan menolongnya. Namun, Aldrich hanya menatapnya dengan ekspresi datar selama sepersekian detik sebelum perhatiannya beralih kepada Valerie, yang baru saja keluar dari ruangannya.“Selamat pagi, Pak Aldrich. Anda sudah datang?” sapa Valerie dengan senyum tipis, seolah tidak terjadi apa-apa.Sudut bibir Aldrich berkedut. Wanita itu benar-benar tahu cara bermain peran. Dengan wajahnya yang tenang dan sedikit jahil, Valerie paling cantik saat seperti ini. Alicia, yang tidak terima melihat interaksi itu, segera membuka mulutnya dengan nada memanas. “Ini semua salah Valerie, Pak! Dia yang mendorong saya!” serunya, berusaha menuntut pembelaan.Aldrich mengangkat alisnya
Valerie melangkah masuk ke lobi perusahaan dengan penuh percaya diri. Sepasang kaki jenjangnya yang terbungkus stiletto hitam mengayun anggun, berpadu dengan rok pensil selutut yang membentuk lekuk tubuhnya. Blus putih berpotongan rapi membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, dipermanis dengan blazer tipis yang menggantung di lengannya. Rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna di bahu, mempertegas aura elegan seorang wanita yang tahu betul caranya membawa diri.Namun, baru saja ia hendak menuju ruangannya, suara nyaring yang sudah tak asing lagi terdengar memenuhi ruangan.“Kau datang ke perusahaan ini seolah milik ayahmu saja!”Valerie menghela napas pelan sebelum mengangkat dagunya sedikit. Di hadapannya berdiri Alicia, dengan ekspresi sinis dan tangan yang terlipat di dada. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah marun, dengan potongan rendah yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Rambut panjang lurusnya tergerai, dengan riasan yang sedikit berlebihan untuk
Valerie berdiri di depan pantry dengan wajah sedikit mengantuk, mengenakan kemeja Aldrich yang kebesaran di tubuhnya. Kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang indah, sementara ujung kemeja jatuh hingga pertengahan pahanya. Rambut panjangnya berantakan, bukti dari malam yang panjang dan panas bersama Aldrich.“Garam, penyedap... apalagi ya?” gumamnya pelan, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil berpikir.Dia bukan seseorang yang ahli dalam memasak. Seumur hidupnya, selalu ada pelayan atau chef yang menyiapkan makanan untuknya. Namun, setelah hidup mandiri dan semakin dekat dengan Aldrich, Valerie merasa ingin mencoba sesuatu yang baru—termasuk membuat nasi goreng dadakan pagi ini.Lagipula, Aldrich juga pernah memasakkan sesuatu untuknya. Rasanya tidak adil jika dia hanya menerima tanpa memberi balasan.Menghela napas, Valerie membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan yang menurutnya bisa digunakan. Dia menatap bawang merah dan bawang putih di tangannya
Aldrich menyeringai kembali, matanya berbinar penuh hasrat. Tanpa ragu, ia menarik tengkuk Valerie, memperdalam ciuman mereka setelah mendengar wanita itu mengatakan tidak akan pulang malam ini.Ciumannya semakin dalam, semakin menuntut. Aldrich melumat bibir Valerie dengan intensitas yang membuat napas mereka saling bercampur. Tangannya merambat ke punggung Valerie, menekan tubuhnya lebih erat ke dadanya yang bidang.Saat Valerie mulai kehilangan kendali, Aldrich pun melepaskan ciumannya, hanya untuk menurunkan bibirnya ke rahang Valerie, menelusuri garis lembutnya sebelum akhirnya mendarat di leher jenjang wanita itu. Ia mengecapnya pelan, kemudian menggigit kecil, menikmati bagaimana tubuh Valerie menegang di bawah sentuhannya."Vanila yang kurindukan," bisiknya, suaranya serak dan dalam, menggema di kulit Valerie, membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa memberi kesempatan Valerie untuk berpikir, Aldrich kemudian melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu dan dengan mudah merebah
"Kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Aldrich, suaranya lebih dalam dari biasanya.Menatap Valerie dengan mata yang sulit ditebak. Ada keraguan, ada penasaran, dan sedikit—hanya sedikit—kesedihan yang terselip di sana.Valerie terkekeh, nada tawanya sedikit berat karena efek alkohol yang mulai menguasai dirinya. Ia mengangkat gelas wine ke dahinya, membiarkan dinginnya menyentuh kulitnya sejenak sebelum matanya terpejam. Beberapa detik berlalu, lalu ia membuka matanya lagi, menatap Aldrich dengan sorot yang sulit diartikan."Aku suka," katanya, suaranya samar dan menggoda.Aldrich mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah serius. "Lalu mengapa kau menolakku?" tanyanya, ada nada sedih.Valerie tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya juga, jari-jarinya menyentuh bahu Aldrich dengan lembut. "Dengar," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja, seolah ingin lebih fokus pada percakapan mereka. "Kau itu lelaki pil
"Aku tidak tahan!"Valerie hampir saja berdiri, tapi sebelum dia sempat menggeser kursinya, Jennifer dan Charlos sudah lebih dulu bangkit. Wanita itu menempel mesra di lengan Charlos, tangannya melingkar erat seolah menandai kepemilikannya.Valerie menyipitkan mata, mengamati keduanya yang berjalan keluar dari kafe dengan penuh percaya diri, seakan tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Jennifer bahkan tertawa kecil sambil menepuk dada Charlos sebelum mereka benar-benar menghilang di balik pintu kaca."Akhirnya mereka pergi juga," keluh Valerie, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan napas panjang.Aldrich, yang sejak tadi menyaksikan reaksinya dengan ekspresi terhibur, terkekeh santai. "Apa kau juga ingin pergi? Tidak perlu menebak, mereka pasti berakhir di hotel malam ini."Valerie menoleh cepat, menatap Aldrich dengan wajah setengah kesal. "Aku tidak peduli!" ketusnya, memutar bola mata.Tapi Aldrich tidak tertipu. Dia melihat bagaimana Valerie meneguk minumannya
“Aku tidak tahu mengapa bisa sebuta itu dan menyukai dia!” keluh Valerie, sebelum meneguk minumannya dengan gerakan cepat dan kesal.Di hadapannya, Aldrich hanya terkekeh kecil. Saat pelayan datang membawa cangkir espresso keduanya, ia mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Valerie.“Wajar saja jika manusia khilaf,” komentarnya santai, nada suaranya penuh hiburan melihat ekspresi kesal Valerie.Valerie menghela napas panjang, lalu diam-diam mengangguk, mengakui kebenaran ucapan Aldrich. Dahulu, ia benar-benar menganggap Charlos sebagai pria baik. Seseorang yang ia pikir akan selalu ada untuknya. Namun kenyataannya, pria itu dengan mudah mengkhianatinya, memilih sahabatnya sendiri, Jennifer—dan meninggalkan Valerie begitu saja.Dan sekarang? Mendengar sendiri rencana busuk serta percakapan menjijikkan antara Charlos dan Jennifer membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia begitu bodoh hingga menangisi pria brengsek seperti
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga
“Kau tersenyum?” tanya Valerie tak percaya.Aldrich baru saja memintanya menemani lembur, tapi tiba-tiba pria itu malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Valerie yang menunggu dengan tumpukan berkas di depan. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, kantor mulai sepi, hanya tersisa mereka berdua di ruangan ini.Aldrich yang baru saja menerima pesan dari mata-matanya tentang pergerakan Charlos dan Jennifer terkekeh pelan. Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja sebelum menatap Valerie dengan senyum yang membuat wanita itu kesal sekaligus penasaran.“Maaf, babe. Aku terlalu fokus.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.Valerie mendengus, lalu melipat tangan di depan dada, sikapnya seperti seseorang yang sedang merajuk. Namun, detik berikutnya, ia tersadar akan reaksinya sendiri. Mengapa ia bisa bertingkah seperti ini di depan Aldrich dengan begitu alami? Padahal, saat pria itu menyatakan perasaannya, ia dengan tegas menolak.Namun kini, me