Share

4. Tidak Menerima Penolakan

"Ceritakan pada Ayah, bagaimana bisa kamu baru pulang pagi ini?" tanya Anton.

Selepas menidurkan Ara, Akira segera menemui ayahnya. Gadis itu menghela napas. Cerita mengalir lancar begitu saja dari mulut Akira. Semua diceritakan tanpa ada kebohongan.

"Bagaimana keadaan Samudra sekarang?"

"Dia tidak kenapa-napa. Lukanya juga tidak terlalu parah."

Anton bernapas lega. "Syukurlah."

"Apa perampok itu juga melukaimu?"

Akira menggeleng. "Tidak. Karena waktu itu yang keluar hanya Samudra, Akira menunggu di dalam mobil."

Selesai bercerita kepada Anton perihal kejadian yang dialaminya bersama Samudra, Akira memutuskan untuk masak. Dan Akira sangat bersyukur, hari ini Samuel memberinya ijin untuk tidak berangkat.

"Mbak mau ke mana?" tanya Aji yang sedang membuat layang-layang.

Akira yang sudah siap dengan pakaiannya tak lupa kardigan berwarna hitam melekat pada tubuhnya. "Mbak mau ke pasar. Aji mau ikut?" tawar Akira.

Aji langsung berdiri, tersenyum mengangguk. "Mau!"

Akira terkekeh. "Yaudah ayo!"

Mereka berjalan beriringan, melewati jalan setapak yang kumuh dan becek karena sehabis hujan. Jika ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang berpapasan dengan Akira, gadis itu tidak sungkan untuk menyapanya.

"Akira, mau ke mana?" tanya ibu paruh baya yang sedang duduk di kursi panjang.

Akira memberhentikan langkahnya, dengan tersenyum ramah gadis itu menjawab. "Pasar, Bu."

"Oalah, yowes ati-ati." (Oalah, yaudah hati-hati)

"Iya, Bu," jawab Akira. "Akira pergi dulu," pamitnya yang diangguki ibu tadi.

Sesampainya di pasar yang tidak terlalu ramai, mengingat hari sudah mulai siang. Terik matahari yang menyengat tidak membuat Akira mengurungkan niatnya. Membuat kulitnya yang putih bersih sedikit kusam dan berkeringat di pelipisnya.

Akira langsung menuju penjual sayur-sayuran. Tadi, Ara bilang padanya jika adiknya itu ingin Akira memasakkannya sop ayam. Mendapat yang diinginkan, Akira menuju penjual ayam. Lalu membeli setengah kilo ayam filet.

"Mbak, Aji mau pukis," ujarnya pada Akira.

Akira menatap Aji. "Iya sebentar."

Selesai melakukan transaksi, Akira menuju penjual pukis yang diinginkan Aji. "Mas, pukisnya lima ribu."

Penjual pukis itu mengangguk, lalu memasukkan beberapa pukis berasa coklat dan keju ke dalam mika.

*****

Samudra menatap layar tv dengan serius. Acara yang ditampilkan membuat Samudra enggan mengalihkan pandangannya.

Lalu tiba-tiba Samudra tergelak, bahkan tawanya memenuhi ruang kamarnya. Ya, Samudra sedang menonton Mr. Bean. Siapa yang tidak mengenal pria konyol yang selalu membawa boneka teddy bear kesayangannya. Bahkan tidak menyangka jika di balik wajahnya yang konyol, beliau adalah dosen.

Pintu terbuka, Samuel masuk tanpa menunggu si pemilik kamar mengijinkan. "Sam, Ayah akan berangkat ke Manila, besok."

Samudra yang sedang tertawa tiba-tiba berhenti. "Manila?" ujarnya mengulang, "Untuk apa?"

"Apa Ayah memiliki pekerjaan di sana? Bahkan Samudra bisa menggantikannya dan ayah beristirahatlah di rumah."

Ini yang Samuel suka dari anaknya. Samudra sangat menyayanginya. Bahkan ketika Samudra sudah beranjak dewasa ia yang mengambil alih perusahaannya. Samuel terkekeh. "Ayah tidak ada pekerjaan di sana. Ayah hanya ingin berlibur.''

Samudra cengo. Lalu mendengus. "Bahkan Ayah bisa berlibur di Bali atau Lombok.''

"Apa harus ke Manila? Ayah pasti tau itu jauh," lanjut Samudra.

Samuel menggeleng. "Tidak. Masih satu benua dengan Indonesia, Sam."

Samudra menggeleng tak percaya. "Yasudah terserah Ayah. Yang penting Ayah bahagia, Samudra juga."

"Dan Yah, Samudra ingin meminta persetujuan Ayah. Eh tapi Ayah harus setuju, dan tidak boleh menolak."

Samuel mendengus. "Kau tidak usah meminta persetujuan Ayah pun, kau tetap akan melakukannya."

Samudra terkekeh, menyetujui kalimat ayahnya. Katakan Samudra keras kepala, ya memang pada nyatanya seperti itu. "Samudra ingin tinggal di apartemen."

Samuel menaikkan sebelah alisnya, heran. "Kenapa kau tiba-tiba berpikir ingin tinggal di apartemen Sam?"

"Samudra ingin mandiri. Lagipula Ayah bisa sering berlibur nanti."

"Tapi Akira bersamaku," lanjutnya.

Samuel memicingkan matanya. "Jangan bilang kau memiliki hubungan terlarang dengan Akira, Sam."

"Tidak!" sergah Samudra cepat. "Hanya saja Samudra masih sedikit meminta bantuan padanya," jelasnya.

Samuel mengangguk. ''Akan Ayah pertimbangkan."

*****

Samudra menyeringai mendengar jawaban ayahnya, setidaknya Samuel memberikan peluang untuk mengijinkan Akira dibawanya nanti ketika Samudra pindah ke apartemen.

Persetan dengan dirinya yang ingin memonopoli Akira, karena pada nyatanya seperti itu tujuannya. Samudra hanya ingin Akira melayaninya. Entahlah, kadang berjauhan dengan Akira membuatnya tidak nyaman. Mungkin-faktor bibir gadis itu yang sudah menjadi candunya.

Sejak pertama kali Samudra bertemu, tingkat kenapsuannya menjadi tinggi. Hanya berdekatan dengan Akira saja sudah membuatnya bergairah, apalagi melakukan hal yang sangat intim. Tapi selama itu Samudra menahannya, hingga ketika Samudra menyuruh Akira menyiapkan air hangat untuknya mandi. Disaat itulah Samudra sudah tidak kuat menahan hasratnya.

Samudra jadi membayangkan, tubuh Akira yang polos di bawahnya bergairah karenanya. Membayangkan saja sudah membuatnya tersiksa. Apalagi mendapatkannya, butuh kerja keras. Ah, ditambah wajah Akira yang berkeringat pasti sangat sexy.

Samudra mendesah, bagaimana bisa dirinya membayangkan Akira yang notabenya adalah pembantu di rumah ini?! Sepertinya Samudra benar-benar sudah gila. Mungkin Samudra perlu mendatangi seorang psikiater.

Ponselnya bergetar membuat semua khayalan Samudra hancur. Mendengus, Samudra mengambil ponselnya yang berada di saku celana lalu menggeser tombol hijau.

"Ada apa Raf? Ah, sepertinya aku tidak bisa .... Oke, baiklah aku akan mengusahakannya .... Membawa seorang wanita?" Samudra mendengus. "Ya baiklah, tapi aku tidak berjanji," ujarnya lalu menutup sambungan telpon.

Akira. Satu kata yang terlintas dari otaknya ketika Rafi menyuruhnya untuk membawa seorang wanita. Nanti siang, ayahnya akan berangkat ke Manila dan Samudra akan mengantarkannya ke bandara Ahmad Yani. Mungkin setelah itu Samudra langsung menjemput Akira.

Tapi, tunggu dulu Samudra tidak tau rumah Akira lebih tepatnya. "Aish!" geramnya. Samudra berdecak, lalu kembali membuka ponselnya mencari nomor Akira karena memang Samudra menyimpannya.

Samudra menempelkan ponselnya pada telinga, dering telpon menyambung lalu ketika dering ketiga suara lembut seorang gadis menyapa pendengarannya.

"Nanti siang datanglah ke rumah .... Ada yang harus aku bicarakan .... Aku bahkan tidak menerima penolakan, Akira." Dengus Samudra di akhir kalimat sebelum memutus sambungan telpon sepihak.

Tadi, Akira sempat menolak karena yang Akira tau Samuel memberinya cuti sehari. Ah, sepertinya Samudra harus membelikan gaun untuk Akira sekarang.

Oh, mungkin lebih baik bersama Akira membelinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status