"Ouh, si anak sampah tengah menikmati sepotong kue, dan dia merasa jika dia adalah pemeran utama di pesta ini," ucap seseorang dengan nada sarkas, membuat Carmen yang sedang asyik menikmati kue langsung mendongak pada sosok tersebut. Mata Carmen melebar persekian detik, cukup kaget melihat orang yang berbicara tadi. Namun, Carmen langsung mengatur ekspresi. Dia berusaha tetap tenang dan santai meskipun hatinya tiba-tiba terasa sakit saat melihat orang-orang ini. Mereka adalah paman, bibi, dan kakak sepupunya. Dulu, orang-orang ini menyayangi dan melindungi Carmen. Akan tetapi setelah perempuan di sebelah kakak sepupunya muncul, mereka berubah membenci Carmen. Parahnya, sesuatu yang seharunya menjadi milik Carmen, mereka berikan pada Clarissa dan ibunya.Selain rasa sakit, ada dendam serta kemarahan yang menyelingkup di hati Carmen. Raut wajah yang selalu ceria seketika berubah dingin, tatapan mata yang selalu memancar bahagia langsung berganti dengan sorot penuh kebencian. Dendam m
Namun, sebelum tangannya menyentuh kulit wajah Carmen, tiba-tiba sebuah tinju keras dan kuat-- lebih dulu menyapa pipinya. Bug' "Argkk." Armen berteriak kesakitan, tubuhnya terpental ke arah putranya. Akan tetapi, Arjuna tidak bisa menopang tubuhnya dan ayahnya hingga ayahnya serta ia sendiri berakhir terjatuh kasar ke lantai. "Jangan mencoba-coba menyentuh istriku dengan tangan kotor, Tua Bangka sialan!" geram Raymond, melayangkan tatapan membunuh ke arah Armen yang masih berbaring di lantai. Armen melebarkan mata, begitu terkejut ketika melihat Raymond berdiri tepat di depannya. Rasa takut dan panik perlahan menyelimuti dirinya, suara Raymond menusuk dan aura pria ini sangat menyeramkan. Dia dan putranya mencoba berdiri, akan tetapi Raymond menendang pundaknya sehingga dia dan putranya kembali tersungkur kasar. "Sebelum kau berdiri, berlutut dan meminta maaf pada istriku," dingin Raymond, berkata dengan geraman halus, penuh aura mengancam sehingga membuat Armen semakin takut p
"Bagaimana dengan putraku tadi? Apa bertemu dengannya adalah sebuah keberuntungan juga?" tanya Lennon dengan nada datar. Armen menatap panik pada Lennon, dia mulai gugup karena pertanyaan tersebut. Entah apa maksud Lennon menyinggung Raymond serta masalah tadi. "Ah, Tuan Lennon, tentu kami merasa senang bertemu dengan Tuan Raymond," ucap Clarissa–angkat bicara, "akan tetapi ada sedikit kesalah pahaman sehingga hal tak mengenakkan terjadi, Tuan. Kami menyesali hal tersebut dan kami berharap Tuan Raymond dapat memaafkan kesalahan kami." "Humm." Lennon berdehem singkat. "Oh iya, Tuan. Keluargaku ingin mengundang anda makan malam bersama. Kami … ingin membicarakan hal penting pada anda, Tuan." Clarissa yang merasa didengarkan oleh Lennon, segera to the point, "keluarga kami akan merasa jauh lebih beruntung apabila anda bersedia datang." "Yah, kebetulan aku juga ingin berkunjung ke keluarga Wijaya. Kebetulan menantuku–Carmen bagian dari kalian, jadi … baiklah," jawab Lennon den
Akan tetapi, untuk makan hari ini dan esok, anak itu harus bekerja sangat keras. "Oleh sebab itu, Nona sangat senang bertemu dengan anda, Tuan. Nona kekurangan kasih sayang seorang ayah dan dia bisa merasakannya lagi setelah bertemu dengan anda." "Dia anak yang baik, Vior. Putraku sangat beruntung mendapatkannya." "Benar, Tuan." Selama obrolan itu, Selin hanya diam di sebelah Lennon. Carmen pernah menceritakan bagian hidupnya yang menyedihkan namun dia tetap sedih saat mendengar cerita yang sama dari Vior. Entahlah, akan tetapi Selin merasa hidup Carmen jauh lebih berat. Sebab-- Selin sendiri hanya anak angkat yang mengharapkan cinta dari orangtua angkatnya. Sedangkan Carmen, dia anak kandung yang kehilangan seluruh cinta keluarganya–kalah oleh seorang anak tiri yang licik. Namun, Selin sedikitnya bersyukur. Sekarang hidupnya jauh lebih baik, bahkan dia merasa cukup senang karena tadi-- Lennon memperkenalkannya sebagai istri. Ini pertama kalinya Lennon membawanya ke sebu
"Awas saja jika kau bergerak!" peringat Raymond pada istrinya–Carmen menganggukkan kepala, memperlihatkan cengiran lebar pada sang suami. Sedangkan Raymond, dia mulai memasak makan malam untuk istrinya. Dia memulai dengan mengambil bahan. Saat dia menoleh ke arah Carmen untuk memastikan keadaan perempuan itu, entah kenapa Raymond merasa posisi Carmen sedikit lebih dekat. Namun, sepertinya Raymond salah sebab istrinya terlihat sangat anteng di tempatnya–tengah memperhatikan kalung di lehernya. Raymond menghela napas pelan, memilih melanjutkan aktivitas. Dia mencuci bahan, setelahnya lagi-lagi menoleh pada istrinya untuk memeriksa. Kembali lagi dia merasa jika Carmen bergeser, duduk semakin dekat ke tempatnya. Namun, Raymond memilih mengabaikan. Dia lanjut memasak. Hingga tiba-tiba saja saat dia ingin mengambil wadah berisi potongan tomat, sebuah tangan lebih dulu meraihnya. "Ini, Mas Kaizer," ucap Carmen, menyerahkan potongan tomat pada suaminya. Tak lupa dia memperlihatkan ceng
"Umm … kenapa perempuan suka berbelanja?" tanya Carmen pada Raymond. "Karena dia punya uang?" jawab Raymond tak yakin. "Salah." Carmen menyalahkan dengan antusias. Seperti sebelumnya, dia suka saat Raymond tidak bisa menjawab. "Jadi, apa jawabannya?" Raymond menaikkan sebelah alis, wajahnya masih datar karena tak ingin memperlihatkan antusiasnya pada sang istri. "Perempuan suka berbelanja karna … kalau yang suka Mas Kaizer itu aku," jawab Carmen, setelah itu langsung merapatkan bibir agar tak tersenyum lalu menutup wajah dengan tangan. Astaga! Carmen sangat malu dan lagi-lagi dia salah tingkah meski dia yang menggombal. "Cih." Raymond langsung berdecih pelan, berakhir terkekeh geli karena merasa lucu pada jawaban istrinya. Raymond mengulurkan tangan, mengacak rambut di pucuk kepala Carmen. "Besok pagi, aku akan menagih lagi, Wifey," ucap Raymond, mencium kening istrinya setelah itu beranjak dari sana dengan perasaan senang. Raymond kembali ke kamar dengan bibir yang terus
Clarissa memasuki ruang makan kemudian langsung menyerahkan sebuah paper bag pada Carmen. Dia memperlihatkan senyuman lembut dan ekspresi senang agar semua orang percaya kalau Clarissa tulus memberikan hadiah tersebut pada Carmen. "Semoga kamu suka dengan kado pemberianku, Carmen," ucap Clarissa dengan nada lembut dan manis. Jika mungkin ada orang baru di sini, orang tersebut pasti mengira kalau Clarissa adalah perempuan baik hati, lemah lembut, dan penyayang. Saking manisnya sikap yang. Clarissa tunjukkan. Sebetulnya, orang jahat dan berbahaya-- kerap kali ditemukan pada orang yang dari luar kelihatan baik. Orang tersebut kerap kali suka berkata manis, lembut, dan ramah. Carmen membuktikan itu, karena dia menghadapinya secara langsung. Clarissa orang seperti itu. Orang seperti Clarissa berbahaya karena kejahatan serta keburukannya sulit diungkap, meskipun diungkap dengan bukti sekalipun, orang-orang yang terlanjut senang pada sikap baiknya, akan menyangkal dan tak percay
Tentu saja, orang-orang seperti Raymond sangat membenci sikap angkuh. Setelah Carmen meraih paper bag tersebut, Raymond merampasnya kasar kemudian secara mengejutkan melempar paper bag itu ke arah wajah Clarissa. Bug' "Auu …." Clarissa menjerit, antara kaget dan kesakitan karena lemparan Raymond. Jantung Clarissa berdebar kencang, dia kaget sekaligus takut. Tindakan Raymond sangat kasar, dan pria ini berani melakukannya di hadapan banyak orang. Dia tidak menduga jika Raymond akan melempar paper bag tersebut ke arah wajahnya. Di-dia kira Raymond akan memarahi Carmen karena menganggap Carmen angkuh serta tak menghargai pemberian Clarissa. Ternyata Clarissa sendiri yang kena! Clarissa salah besar menilai Raymond. "Istriku memang tidak membutuhkan kado sampahmu!" dingin Raymond, menatap marah ke arah Clarissa. Setelah itu, Raymond melayangkan tatapan serupa pada satu per satu keluarga istrinya. "Yah, Carmen Gaura Abraham adalah istriku, dan aku senang dia angkuh pada orang-o
"Ini, Mas." Carmen memperlihatkan foto tersebut pada suaminya, setelah dia dan Raymond ada di tempat itu. Talita turun dari gendongan kakaknya lalu segera membereskan mainannya yang ada di meja, takut Raymond yang galak memarahi. "Ini Juhi. Aku kenal soalnya Mama punya poster Juhi waktu muda. Tapi … ini siapa?" Carmen menunjuk foto pemuda tampan di sebelah Juhi, "Talita dan dia mirip. Eh-- sepertinya dia lebih mirip ke Mas Kaizer deh," ucap Carmen, sudah duduk di sebelah suaminya dan sambil bertopang dagu. Dia menatap suaminya secara teliti, ingin melihat apakah suaminya dan pemuda dalam foto itu sungguhan mirip. "Ternyata memang sangat mirip. Apa jangan-jangan …-" Carmen melebarkan mata, menatap foto itu memudian menatap suaminya lagi. Di sisi lain, Raymond sudah tersenyum lebar. Sepertinya Carmen sudah bisa menebak siapa Juhi dan apa hubungannya dengan Raymond. Ah, Carmen pasti bangga memiliki suami sepertinya. Karena selain dia seorang CEO, dia juga merupakan koki hebat dan mer
"Kamu gila yah? Aku menikah dengan Paman Lennon?!" Siran melayangkan tatapan tak percaya pada Zack, menatap saudara kembarnya tersebut dengan marah bercampur tak terima. Dulu, dia memang gila dengan menjebak Lennon supaya bisa mendapatkan benih pria tua itu. Namun sekarang … ah, tidak mungkin! "Kau keberatan, Heh? Ingat! Dulu kau menjebaknya tanpa ada yang menyuruhmu! Kenapa sekarang kau menolak menikah dengannya, Hah?! Bukankah ini rencanamu dulu?" Zack menggeram kesal, melotot marah pada Siran karena menolah menikah dengan Lennon, "toh, kau juga telah melahirkan putri untuknya. Sudah sewajarnya kau dan Paman menikah.""Dulu, Raymond pincang dan bukan apa-apa dikeluarga Abraham. Tetapi sekarang, Raymond lah penguasanya! Paman Lennon-- dia akan melakukan apapun demi Raymond," ucap Siran, setengah berteriak pada Zack. Dulu, dia menginginkan Lennon demi harta dan gelar 'nyonya Abraham. Namun, seorang dia tidak mau. Raymond sudah tak lumpuh, lebih tampan dari yang sebelumnya, punya ke
"Terimakasih, Sayang," ucap Carmen manis, tersenyum lembut pada adik suaminya. Dia lalu menoleh ke arah Raymond yang terlihat sedang mencari sesuatu di sebuah rak yang ada di dalam kamar ini. Sedangkan Raymond, setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia langsung menghampiri Carmen. "Ini buku untukmu," ucap Rayamond, menyerahkan sebuah buku pada istrinya. Carmen meraih buku tersebut lalu menatapnya terkejut. Ini buku legendaris milik chef favoritnya, idolanya, Juhi. Buku ini sempat diberikan oleh ayah mertuanya padanya, akan tetapi dia mengembalikannya pada Raymond karena buku ini milik suaminya–sempat disita oleh Lennon karena Raymond menolak fokus pada bisnis keluarga. Namun, kenapa buku ini Raymond berikan padanya? Apa Raymond tidak ingin lagi? "Sebenarnya saat Ayah menyerahkan buku ini padamu, aku tidak mempermasalahkan sama sekali. Hanya saja, aku sudah berjanji akan memberikan buku ini jika kau sudah hamil. Jadi aku mengambil lagi dan memberikannya padamu sekarang," jel
Setiap hari Carmen bercermin, mempertanyakan apa yang salah darinya sehingga ayahnya tak lagi mencintainya. Sekarang, Carmen takut hal lama tersebut terulang kembali. Dia takut cinta Raymond yang saat ini menggebu-gebu hilang. "Aku tidak akan berhenti mencintaimu, Sweetheart. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku tidak akan seperti ayahmu," ucap Raymond lembut, menegakkan kepala lalu mencium ubun-ubun istrinya. Dia memahami apa yang istrinya khawatirkan, dan Raymond sangat percaya diri bahwa cinta pada istrinya tak akan berkurang. Jika istrinya pernah kehilangan cinta ayahnya, Raymond pernah merasakan cinta palsu dari ibunya. Raymond bahkan baru tahu itu setelah dia dewasa. Menyedihkannya, demi sebuah cinta palsu yang membuatnya tersesat jauh, Raymond membenci ayahnya yang sangat mencintainya. Walau lukanya dan istrinya tak sama, tetapi Raymond memahami dengan benar. Jadi dia tak akan berhenti mencintai perempuan ini. "Kau khawatir cinta yang kau dapat dariku berhenti, dan
"Hello, Wifey," sapa Raymond, tersenyum cerah dengan tatapan berseri-seri pada sang istri. Carmen menatap Raymond konyol, cengar-cengir kaku bercampur malu. Kemungkinan Raymond telah melihat video itu, oleh sebab itu suaminya terlihat kegirangan. Mungkin! Raymond menarik pinggang Carmen, membuat tubuh perempuan itu merapat dengan tubuhnya. Raymond mendekatkan wajah ke wajah Carmen kemudian mencium bibir perempuan itu secara singkat. "Sweetheart, aku membawakan mangga muda untukku." "Hah?" Carmen mendongak untuk menatap Raymond yang jauh lebih tinggi dibandingkan dirinya. Dia menampilkan ekspresi bingung dan konyol secara bersamaan. "Wanita hamil biasanya suka mangga muda. Dan kau juga pasti ingin, bukan?" Raymond menggendong Carmen–membawa istrinya ke arah sofa terdekat. Dia duduk di sofa sambil memangku Carmen. Sejujurnya, Carmen sudah terbiasa dipangku oleh suaminya. Akan tetapi, hari ini kembali merasa tak biasa. Jantungnya berdebar kencang, punggung panas dingin, dan dada
'V!' 'Nuga narul magado ….' Semua orang dalam ruangan tersebut terlonjak kaget saat mendengar suara notifikasi yang sangat mengejutkan jantung. Brak' Namun, mereka jauh lebih terkejut ketika meja rapat yang panjang digebrak kuat oleh sang CEO yang mengerikan. "Handphone siapa itu?!" marah Raymond, melayangkan tatapan membunuh pada semua orang di ruang rapat, "mau cari mati, Hah?!" lanjutnya membentak marah. Mereka sedang rapat, sedang serius membahas sebuah proyek penting. Namun, tiba-tiba saja notifikasi sialana itu berbunyi keras. Siapa yang tak matah?! 'V!' 'Nuga narul magado.' Suara notifikasi tersebut lagi-lagi terdengar. "Kurang ajar!" Raymond lagi-lagi memukul meja, samakin marah karena merasa si pemilik handphone semakin lancang. "Ekhmm." Tiba-tiba saja Diego berdehem, mendekat ke arah Raymond lalu berbisik pada sang tuan. "Itu handphonemu, Tuan." "Tidak mungkin!" Raymond mengelak. Namun, lagi-lagi notifikasi kematian itu kembali terdengar, di mana sumber s
"Wahhh … Tuan Raymond sweet banget ke kamu. Ugh! Kalian memang serasi," puji Teresia, ikut senang karena Carmen akhirnya mendapatkan rumah ibunya dan gembira karena suami sahabatnya ini membantu Carmen dengan baik. "Ehehehe …." Carmen cengengesan malu, salah tingkah mendengar ucapan Teresia. "Oh iya. Aku lupa bilang ke kamu tentang … sini-sini." Teresia menarik Carmen untuk menjauh sedikit dari tempat memasak, mengeluarkan handphone lalu menunjukkan sebuah video pada Carmen. Mata Carmen melebar horor, menatap dirinya dalam video tersebut. Rekaman video itu berisi Carmen dan Nicolas yang sedang berdebat, di mana Carmen menjelaskan kalau dia mencintai suaminya dan lebih memilih Raymond dari segi apapun dibandingkan Nicolas. Mendengar dia berbicara mencintai Raymond secara lantang, pipi Carmen seketika memerah. "Ya ampun!" Carmen menepuk pipi yang terasa panas, "si-siapa yang merekam? Aaa … aku malu banget.""Si Lina," jawab Teresia, menertawakan ekspresi Carmen yang tengah malu-mal
"Talita akan tinggal dengan kita?" beo Carmen, melebarkan mata sambil menatap Raymond dengan ekspresi kaget. Raymond menganggukkan kepala, tersenyum tipis melihat ekspresi istrinya. Sepertinya Carmen keberatan dan juga cemburu, terlihat dari wajah Carmen yang tegang dan matanya yang melebar. "Asyikkk! Aku ada teman!" seru Carmen selanjutnya, berhasil memudarkan senyuman tipis Raymond, "atau … apa aku perlu berhenti bekerja yah, Mas, agar bisa menjaga Talita secara maksimal? Kan …-""Tidak perlu," jawab Raymond cukup ketus, langsung memalingkan wajah ke arah jendela mobil–memilih menatap jalanan. Menyebalkan! Hanya sebuah harapan kecil yang dia panjatkan dalam hati, akan tetapi kenapa harapan itu sulit di dapat?"Aku belum selesai berbicara, Mas," cicit Carmen pelan, menatap ragu pada suaminya. Sepertinya dia melakukan kesalahan sehingga Raymond terlihat marah, tiba-tiba berkata dengan nada ketus dan memalingkan wajah dari Carmen. "Humm." Raymond hanya berdehem singkat. Pada akhirn
"Aaah … aku malas banget untuk bangun," gumam Carmen, menyandar pada kepala ranjang sambil mengucek mata. Alarm sudah terdengar, waktunya dia bangun. Namun karena dia sangat kelelahan, Carmen malas bangun. Hanya saja, dia harus bekerja. "Aaaa ...-" Carmen menjerit tertahan, reflek membekap mulut supaya tak berkelanjutan untuk menjerit, dia kaget luar biasa ketika mendongak mendapati Raymond duduk bersila sambil bertopang dagu. Pria itu menghadap ke arahnya dan ada bantal di pangkuan pria itu–tempat ia meletakkan siku yang menopang dagu. "A-aku kaget," ucap Carmen pelan, menatap bingung pada suaminya. "Mas Kaizer kenapa?" "Teka-teki." "Ah, ya ampuuuuun!" keluh Carmen, seketika melototkan tubuh lalu berakhir berbaring ke samping. Nyawa saja belum terkumpul, tetapi suaminya sudah memberi beban pikiran pada Carmen. "Cepatlah, Ura. Waktuku tidak banyak!" tagih pria itu, "jika kau tidak memberiku teka-teki seperti kemarin, aku tidak akan berangkat kerja." 'Kupikir ujian pernikahan