Carmen seketika membeku, menoleh pada ayah mertuanya dengan ekspresi kaget luar biasa. "Ju-juhi … neneknya Mas Kaizer?" Carmen berkata terbata-bata, saking kaget dan syok. Dia beralih menatap suaminya yang sudah tersenyum lebar ke arahnya, "Mas cucunya Juhi?" tanyanya kembali untuk meyakinkan. "Humm." Raymond menganggukkan kepala. Carmen segera menjauh dari Raymond, menatap pria itu kesal bercampur malu. Menyebalkan! Raymond sangat menjengkelkan dan juga jahat. Tega-teganya dia menipu Carmen. Astaga! Pantas saja Raymond membolehkannya menikah dengan cucunya Juhi. Carmen kira suaminya sudah tak cinta lagi, ternyata suaminya sendiri lah cucu Juhi tersebut. "Jahat!" ketus Carmen, memukul pundak Raymond secara kuat lalu duduk dengan muka ditekuk. Dia bersedekap di dada, alisnya menekuk tajam dan pipi menggembung. Carmen menahan malu dan kesal pada suaminya. "Ray!" panggil Lennon dengan nada tegas dan penuh peringatan. Setiap kali dia marah pada putranya, dia akan memanggil putranya d
[Bersenang-senanglah sepuas mu, Carmen. Karena setelah ini, aku akan mengacaukan hidupmu.] Carmen menaikkan kedua alis saat membaca pesan dari nomor tak dikenal itu. Namun, wajahnya sama sekali tak panik. Dia tetap santai walau pesan itu mengandung ancaman dan misterius. [Halo, Sobat akhir Zaman. Untuk memastikan dan mendapatkan pelayanan pemakaman terbaik dari tim catatan calon mayat, kami memberikan anda penawaran peti mati dari berbagai bahan. Kami juga menyediakan berbagai jenis pestisida dan fungisida, apabila anda tak sabar menghampiri kemarin. Tenang! Kami memberikan layanan terbaik untuk anda yang merupakan sobat akhir zaman. Bosan hidup? Mata berkunang kuning dan kepala nyut-nyutan? Putus asa? Kebanyakan dosa? Kami adalah solusinya. Segera pesan peti mati anda pada kami.] Balas Carmen, cengengesan saat mengetik pesan panjang tersebut. Di sisi lain, penerima pesan tersebut mengerutkan kening–heran sekaligus bingung. "Kau yakin ini nomor Carmen-- istri Raymond?" tanya Z
"Entah kenapa Lennon mempertahankan wanita rendahan sepertimu! Seharusnya Lennon membunuhmu! Cih." Pria paruh baya itu menatap remeh pada Selin, berdecih lalu beranjak dari sana–meninggalkan Selin yang hanya menundukkan kepala. Setelah pria itu cukup jauh, Selin mendongak. Dia menghela napas pelan kemudian segera beranjak dari sana. Sejujurnya dia sakit hati akan tetapi dia memilih mengabaikan rasa sakit tersebut. Selin sudah terbiasa direndahkan dan dihina. Ketika dia akan beranjak dari sana, tiba-tiba saja suara seorang perempuan dari belakangnya menyahut. "Tunggu, Rendahan." Selin menoleh ke belakang, menatap seorang perempuan paruh baya yang masih cantik tersebut dengan ekspresi bercampur aduk. Wanita ini tak lain adalah istri dari pria tadi. Bukan hanya wanita ini saja yang ada di sana, tetapi ada keluarga Tama serta Abraham lainnya. Selin sejujurnya bertanya tanya kenapa keluarga Tama dan keluarga Abraham datang ke rumah ini? Meskipun Lennon adalah pemimpin keluarga Abraha
Selin sedang mengemasi pakaian, memasukkannya dalam koper. Sebenarnya dia tidak yakin Lennon mau menikahi Siran, karena Lennon sangat membenci wanita itu. Namun, mengingat perkataan mama angkatnya yang mengatakan 'sebelum dia menjadi badut yang dijadikan bahan tertawaan keluarga Abraham, lebih baik secepatnya dia kabur. "Tuan Lennon juga membenciku, akan tetapi karena keadaan, dia menikahiku," ucap Selin, memasukkan beberapa buku favorit miliknya dalam koper, "mungkin Tuan juga bersedia menikahi Siran setelah tiga keluarga mendesaknya. Tak ada yang tak mungkin, apapun bisa terjadi. Yang tak mungkin terjadi hanya satu, Tuan mencintaiku," gumam Selin sambil tersenyum miris, dalam hati menertawakan diri sendiri yang punya nasib sangat buruk. Ketika tanpa sengaja matanya menatap cincin di jari manisnya, air matanya kembali tumpah. Ini satu-satunya harta berharga yang dia punya, cincin pernikahan yang suaminya pasangkan saat mereka menikah dulu. Selin mendekatkan tangannya ke bibir ke
Selin menatap sekitar, memperhatikan orang-orang yang juga sedang menatapnya. Mereka semua melayangkan tatapan penuh kebencian serta ketidak sukaan, akan tetapi orang-orang itu langsung tersenyum manis saat Raymond ataupun Lennon menoleh ke arah mereka. 'Kalian semua orang-orang munafik. Kalian penjilat paling hebat dibandingkan hewan penggonggong.' batin Selin, masih diam di tempat karena mencoba mengumpulkan keberanian.Tiba-tiba saja Lennon menoleh ke arahnya, pria tua yang merupakan suaminya tersebut terlihat memasang wajah datar. Hal itu membuat Selin susah menebak apa yang sedang pria itu pikirkan. "Kemari lah," panggil Lennon datar, masih mengamati istrinya. Ada yang berbeda dari perempuan ini, wajah Selin terlihat murung dan matanya seperti barusan menangis. Dulu, Lennon sering mendapati ekspresi ini. Namun, akhir-akhir ini dia tak lagi mendapati wajah sendu ini. Akhir-akhir ini, dia perhatikan istrinya memasang wajah ceria dan happy. Namun, entah kenapa hari ini raut sedih
"Selin, cepat kemari dan bawakan aku cup cake strawberry," titah seorang wanita angkuh secara tiba-tiba, melayangkan tatapan arogan dan sinis ke arah Selin. Selin menghela napas, meraih cup cake yang kebetulan berada dekat dengannya dan Carmen. Namun, Carmen mengambil cup cake tersebut dari tangannya. Perempuan yang ia anggap bocah itu, langsung memaksanya cup cake tersebut secara santai. Masalahnya, hanya tinggal satu cupcake rasa strawberry! "Maaf, tapi Tante punya tangan dan kaki. Kenapa harus menyuruh-nyuruh Mamaku? Semisal malas bergerak, Tante punya maid. Jadi suruh mereka supaya tidak makan gaji buta," dengus Carmen, menatap kesal ke arah perempuan paruh baya yang berani memerintah Selin. Mata Selin melotot lebar, panik bercampur gugup karena Carmen berani pada sosok itu. "Carmen!" bisik Selin, ketakutan karena yang Carmen lawan bukan orang sembarangan. Dia Rihana, istri dari Tuan besar yang kedua Abraham. Rihana menahan dongkol dalam hati, tiba-tiba bangkit dari sof
"Sayang, kau tidak apa-apa?" tanya Frans Abraham–adik Lennon dan suami Rihana. Setelah membantu istrinya keluar dari kolam renang, Frans mendudukkan Rihana di sebuah kursi. Lalu Frans mendekat ke arah Lennon kemudian melayangkan pukulan kuat pada Lennon. Namun, Lennon dengan cepat menghindar sehingga Frans hanya memukul angin. "Frans Abraham, jaga sikapmu pada Tuanku!" marah Vior, melayangkan tatapan marah pada Frans dan memberi isyarat supaya para bodyguard mengepung pria itu. "Kurang ajar!" Frans mengamuk, "Lihat apa yang putra sampahmu lakukan pada istriku?! Dia seperti orang gila, dia mendorong istriku-- Tantenya sendiri ke dalam kolam. Dia sudah gila, Kak!" marah Frans, tak terima dengan apa yang terjadi pada istrinya. "Raymond-- hiks … Raymond bukan hanya mendorongku ke kolam, Kak. Tetapi dia juga memukulku dan menjambak rambutku, dia menyerutku lalu mendorongku secara tidak manusiawi ke kolam yang dingin," adu Rihana, suaranya parau dan gemetar–sisa rasa takut yang menyeli
Mendengar ucapan Selin, Rihana seketika tersenyum manis. Dia senang karena Rihana berpihak padanya. Namun, ucapan Selin selanjutnya membuat Rihana memucat. "Sebelumnya, Nyonya Rihana menyuruhku untuk mengambil cup cake strawberry untuknya. Mendengar aku diperintah oleh Nyonya Rihana, Carmen menegur. Kurasa Carmen menegur dengan kalimat dan nada yang sopan, Tuan Lennon. Carmen bahkan mengucapkan kata maaf dalam kalimatnya, Carmen hanya mengatakan 'Ada maid di sini jadi kenapa bukan maid yang Nyonya Rihana perintahkan untuk mengambilnya kue. Akan tetapi Nyonya Rihana menganggap Carmen lancang dan dia memarahi Carmen--" "Carmen memang salah. Aku memintamu mengambil kue karena kebetulan kamu ada di dekat kue. Apa salahnya? Carmen yang sok-sokan dan tidak punya sopan santun!" kesal Rihana, buru-buru mencari pembenaran untuk dirinya supaya Lennon tidak marah padanya. Selin tak memperdulikan ucapan Rihana. Dia melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong oleh Rihana, "Aku menyerahkan
Lennon mengangkat pandangan, menatap putranya dengan tatapan kagum bercampur tak percaya. Yah, pria yang sering diteriaki iblis tak berhati itu adalah putranya. Dia orang yang sama dengan anak kecil yang melihat ayahnya membunuh ibunya yang sedang hamil besar. Dia anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang sangat kurang, dan mental yang terluka. Namun, kenapa dalam hal ini, putranya terlihat seperti seseorang yang tumbuh tanpa luka?! Lennon tahu Raymond sangat ingin punya adik, dan dulu-- dia sangat menunggu kelahiran adiknya. Lennon juga tahu Raymond melindungi Talita karena gadis kecil itu adiknya. Hanya saja, Lennon tetap tak percaya bahwa putranya bisa melakukan hal ini; membuat adiknya percaya pada hari baik, menjaganya, dan menjamin kehidupan bagi adiknya. Lennon tak menyangka kalau Raymond sangat tulus pada Talita. Ketulusan anak itu sampai di titik-- membuat Talita lebih memilih kakaknya dibandingkan ibu ataupun ayahnya. "Kemari," panggil Raymond pelan pada Talita. Anak
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …-Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayangi Mam
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus
"Hah?" Carmen melongo kaget mendengar penuturan Harlen. Menurut Carmen, pria ini sangat tidak sopan dan keterlaluan karena membahas hal seperti itu pada Carmen. Pertama, mereka tak sedekat itu dan yang kedua, apa hak nya membongkar masalah 'itu seseorang? 'Kupikir Abraham paling tak sopan itu Mas Kaizer, ternyata masih ada Fir'aun satu ini.' batin Carmen, menatap malu bercampur meringis mendengar ucapan Harlen barusan. Namun, Carmen mencoba tenang dan tak terpancing kemarahan. "Yah, suamimu seorang hyper. Dan suatu saat, setelah kau tidak bisa memuaskannya lagi, kau akan dicampakkan. Lebih baik sekarang minta cerai lah padanya, Carmen, sebelum kau dicampakkan," lanjut Harlen, menyunggingkan smirk tipis karena merasa Carmen terhasut oleh ucapannya. Lihatlah! Raut muka Carmen seperti menahan jijik. Tentu saja! Perempuan baik-baik seperti Carmen akan sangat menghindari pria hyper. Karena itu dianggap tidak benar. "Sok tahu! Orang Mas Kaizer tank kok," ucap Carmen tiba-tiba. R
"Pipiku sudah tidak apa-apa, Mas," ucap Carmen, di mana saat ini dia dan suaminya telah di rumah mereka. Raymond tengah mengompres pipinya, padahal sebelumnya pria ini juga sudah mengobatinya. "Syuttt." Raymond memberi isyarat supaya Carmen diam, "pipimu merah karena wanita gila itu. Apa masih sakit, Sweetheart?" tanya Raymond kemudian, menyentuh pipi istrinya dengan lembut pada pelan. Dia sangat berhati-hati karena takut menyakiti istrinya. Carmen menggelengkan kepala. "Ini tidak sakit, Mas. Percaya deh padaku," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat masih sangat khawatir. "Seharusnya aku tidak membawamu ke sana." Raymond menarik Carmen dalam pelukannya, mendekap istrinya secara hangat, "maaf," lanjutnya. "Ti-tidak perlu meminta maaf, Mas Kaizer," cicit Carmen, merasa tak enak pada Raymond. Suaminya tidak salah sama sekali dan Carmen juga tak punya pikiran untuk menyalahkan Raymond. Malah, dia sangat senang! Karena ketika dia mendapat masalah di keluarga
"Mama, ada Ayah," ucap Carmen, setelah membawa Lennon masuk dalam kamar tersebut. Selin mendongak, memasang wajah kaget bercampur gugup. Matanya membulat, menatap panik bercampur malu pada Lennon. Sedangkan pria itu, terlihat memasang muka datar. Sehingga Selin sulit menebak apa yang pria pikirkan. "Oh." Selin buru-buru duduk, membungkuk pada suaminya untuk memberi hormat, "a-ada apa Tuan? Kenapa anda datang ke sini? Apa Tuan butuh sesuatu?" tanya Selin dengan bahasa yang begitu formal. Carmen menggaruk pipi, memperhatikan mertuanya yang berbicara sangat formal. Dia ingin mengatakan aneh, tetapi bukankah dulu dia juga berbicara formal pada Raymond?! "Tidak ada." Lennon menjawab santai, berjalan ke kasur lalu duduk di pinggir. Dia menepuk tempat di sebelahnya, isyarat supaya Selin duduk di sana. Selin menurut, mendekat pada suaminya lalu duduk di sebelah Lennon. "Apa Tuan ingin membicarakan sesuatu?" tanya Selin kembali. "Humm." Lennon berdehem singkat, dia menoleh sejenak
"Chestnut, Ayah tidak …-" "Cukup tahu, Ayah!" ucap Carmen dengan nada ketus, meraih pergelangan Selin lalu menariknya supaya pergi dari sana. "Ayo, Mama, kita pergi dari sini. Aku akan membantu Mama mengemasi barang, Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku juga akan membantu Mama mengurus surat perceraian dengan Ayah," ucap Carmen dengan nada lantang, bergegas masuk sambil menarik paksa Selin. Raymond menghadang saat di pintu, dia berniat marah karena Carmen kabur. Namun, mengejutkannya, Carmen mendorongnya cukup kuat lalu menyenggol lengan Raymond secara sengaja–saat dia melewati Raymond. "Damn!" umpat Raymond pelan, berkacak pinggang sambil memperhatikan punggung istrinya yang kian menjauh. Kening Raymond mengerut karena bingung. Apa dia melakukan kesalahan? Di sisi lain, Lennon terdiam dan membeku mendengar ucapan Carmen tadi. Hell! Kenapa anak kecil dengan cengiran manis itu mendadak menyeramkan?! 'Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku ju