Semoga suka dengan 3 bab hari ini, MyRe. Jangan lupa terus dukung novel kita yah ...
"Tanpa sadar kau memperlihatkan sisi iblismu sebagai seorang ibu tiri sialan!" geram Raymond, menatap Tiara dengan sorot mata tajam–bagai alpha serigala marah saat teritorial-nya diusik oleh makhluk lain. Cara Raymond menatap Tiara seakan dia ingin mencabik-cabik perut perempuan ini lalu mengeluarkan isi perutnya dan melemparnya kehadapan semua orang-orang sialan di keluarga Wijaya. Kesabaran Raymond sangat tipis, sedangkan orang-orang seperti Tiara sangat menguji. "Hanya karena dia putrimu, kau mengatakan semua hal baik tentangnya. Sedangkan pada istriku-- kau menjelek-jelekkannya habis-habisan hanya karena dia anak tirimu," kesal Raymond, tidak terima istrinya dikatai bodoh, jelek, dan pembawa malapetaka. Bagi Raymond, Carmen adalah pembawa pekeberuntungan. Istrinya cerdas dan tak ada yang secantik Ura-nya di mata Raymond. Sedangkan Clarissa-- dia yang lebih cocok disebut bodoh, sebab ada banyak bukti ataupun jejak kalau perempuan ini bodoh. Cih, Clarissa pintar dan cerda
"Gaura dan Kaizer!" Deg deg deg' Mendengar ucapan ayah mertuanya itu, jantung Carmen seketika berdebar kencang. Dia reflek menatap Lennon dengan tampang muka kaget, setelah itu beralih menatap suaminya dengan ekspresi tak percaya. Namanya-- Gaura adalah pemberian dari kakek pria ini, dan nama itu diberikan agar bersanding dengan nama Kaizer–nama tengah suaminya. Ya Tuhan! Carmen tidak menduga ini. Dia kira dia dan Raymond berjodoh karena sebuah kebetulan. Ayahnya mantan kepercayaan kakek Raymond, dan juga … dia hanya pengantin pengganti. Namun, faktanya Carmen telah disiapkan untuk Raymond, bahkan saat dia baru terlahir di dunia ini. "Perjodohan tersebut memang maju mundur karena beberapa faktor. Mulai dari kondisi Raymond yang sempat lumpuh, di mana kami takut Carmen akan menolaknya. Serta faktor perbedaan usia antara keduanya. Semua menjadi pertimbangan bagiku dan ayahku sehingga kami tidak memberatkan atau memaksa Tuan Herlando agar menerima perjodohan ini. Ketika kondisi
Ucapan itu dilontarkan untuk Tiara yang mengaku peduli pada Carmen, tetapi mereka juga merasa itu untuk mereka. Seketika mereka ingat waktu itu, di mana mereka semua memarahi Carmen yang mengamuk karena Clarissa merebut pacarnya. Mereka semua membela Clarissa dan menyalahkan Carmen. Saat Carmen dipaksa ayahnya untuk menikah dengan Tuan muda lumpuh dari keluarga Abarham, tak ada dari mereka yang khawatir-- entah pada pendidikan Carmen ataupun masa depan Carmen yang saat itu masih sangat muda. Malah, mereka ikut mendesak Carmen agar menerima pernikahan itu, tanpa peduli Carmen terlalu muda untuk sebuah pernikahan, hanya supaya mereka selamat dari amukan keluarga Abraham yang mengerikan. Dulu, mereka tidak memperdulikan itu karena bagi mereka Carmen adalah orang jahat dan sampah keluarga Wijaya. Namun, sekarang … ucapan Raymond tadi, menusuk hati! "Karena … karena … saat itu Carmen melakukan kenakalan dan menikahkan Carmen dengan anda akan menjadi hukuman sekaligus pelajaran untuk C
"Mas, terimakasih yah, sudah membelaku di hadapan mereka-mereka tadi," ucap Carmen tiba-tiba, saat setelah mereka sampai di rumah–lebih tepatnya dalam kamarnya dan Raymond. Wanita cantik dengan mata bulat itu, menatap suaminya dengan teduh. Seulas senyuman lembut mengukir di bibirnya, memancarkan perasaan bahagia, senang, dan haru. Sepanjang perjalanan pulang, Carmen sudah ingin mengatakan ini pada suaminya–berterimakasih. Namun, rasanya momentnya tidak pas sehingga Carmen memilih menahan diri hingga akhirnya mereka pulang. "Kau tak perlu berterimakasih, Sweethert. Sudah kewajiban ku untuk melindungimu," ucap Raymond, tersenyum tipis pada istrinya. Carmen mendekati Raymond, tanpa disuruh ataupun diminta oleh pria itu, dia duduk di pangkuan Raymond. Hal tersebut membuat Raymond terkejut, karena biasanya harus dialah yang meminta barulah istrinya bersedia duduk di pangkuannya. Itupun-- kerap kali Carmen menolak serta protes. Namun, kali ini Carmen sendiri yang datang padanya. "Aku
"Bukan." "Jadi apa, Mas?" Carmen menatap ragu pada suaminya. "Cinta tak memiliki masa, Sweetheart. Contohnya, cinta ibumu padamu atau cintamu pada ibumu. Bukankah sampai detik ini kau masih mencintai ibu?" Carmen menganggukkan kepala, sampai kapanpun dia tetap akan mencintai mamanya–sosok malaikat yang mengajarkan banyak kebaikan padanya. Meskipun ibunya sudah beda dunia dengannya, akan tetapi cintanya pada sang ibu tak akan pernah pudar. Raymond benar! Cinta ibu pada anaknya sepanjang masa, dan bagi Carmen cintanya pada ibunya juga setiap saat. Hanya saja, kenapa ayahnya tidak? "Tapi, Ayahku … dia seperti melupakanku setelah dia memiliki kehidupan baru. Itu yang disebut cinta yang memiliki masa. Masa dia dengan ibuku, dia mencintaiku, dan masanya dia dengan istri barunya, dia mencintai putri dari istri barunya. Aku dilupakan begitu saja," jelas Carmen. "Aku jadi takut … semisal aku pulang lebih dulu dari Mas Kaizer, dan Mas Kaizer menikah lagi--" Carmen menjeda sejenak, m
"Bukan karena cinta ada masanya, tetapi mereka yang tak ingin kau merusak cinta baru dalam kehidupan mereka." Carmen menatap intens pada suaminya, terkesima sekaligus merasa perkataan suaminya ada benarnya. Benar sepertinya, ayahnya takut Carmen merusak kebahagiaan barunya sehingga dia mengurangi cintanya pada Carmen, bahkan tak tersisa sedikitpun. Raymond menangkup pipi istrinya kemudian mendaratkan ciuman singkat di atas bibir ranum Carmen. "Kau mau sesuatu, Sweetheart?" Carmen menggelengkan kepala, akan tetapi detik berikutnya dia menganggukkan kepala. "Aku ingin tidur tetapi aku mau Mas Kaizer mengusap kepalaku sampai aku tertidur." "Humm." "Tidak apa-apa kan, Mas?" tanya Carmen ragu-ragu, "atau … aku merepotkan?" "Tidak sama sekali. Aku suka menyentuh rambutmu, ini sama sekali tidak merepotkan," jawab Raymond, tersenyum lembut agar Carmen berhenti merasa tak enak. Semenjak istrinya hamil, Carmen menjadi lebih perasa, sensitif, dan mudah tersentuh. Oleh sebab itu Carmen m
"Kau juga harus angkat kaki, Bitch! Rumah ini milik istriku, bukan milikmu, Jalang rendahan!" Suara bariton yang terdengar dingin dan mengintimidasi, mengalun di ruangan tersebut. Clarissa dan orang-orang di sana langsung menoleh ke arah suara tersebut. Clarissa melebarkan mata, menatap terkejut ke arah Raymond dan Carmen. Kedua orang itu tiba-tiba sudah ada di rumah ini, tak hanya berdua akan tetapi membawa banyak bodyguard. "Kalian." Raymond yang tengah merangkul mesra pinggang istrinya, menoleh ke arah kepala bodyguard. Dia ingin menurunkan sebuah perintah penting dan menyenangkan, "usir orang-orang tidak berguna ini.""Baik, Tuan." Kepala bodyguard menganggukkan kepala dengan patuh. Di sisi lain, Clarissa dan Tiara terlihat panik. "Tu-tuan Raymond, to-tolong jangan mengusir kami dari rumah ini." Clarissa mendorong seorang bodyguard yang berniat menyeretnya keluar. Dia segera berlari ke arah Raymond, berhenti tepat di depan pria itu kemudian langsung berlutut, "a-aku dan Mamaku
"Mas Kaizer!" pekik Carmen, sudah gemetaran karena tak sanggup melihat kekerasan di depan matanya. "Cukup!"Raymond langsung menoleh ke arah istrinya, seketika berdecak karena kesenangannya diganggu oleh Carmen. "Kita sudah sepakat. Jangan menghentikanku, Ura!" peringat Raymond pada istrinya. "Mas Kaizer menyayangiku kan?" cicit Carmen, berkata pelan dan lirih sambil menatap sayu pada Raymond. Raymond berdehem. "Humm. Jadi kau mau apa?" ucap Raymond datar. Dia tak suka Carmen menghentikan kesenangannya akan tetapi dia tak berdaya oleh perkataan dan tatapan Carmen."Cukup usir mereka dari rumah ini, dan … memastikan mereka tidak akan bertemu denganku lagi. Itu saja, Mas," pinta Carmen, tersenyum tipis supaya Raymond luluh dan mendengarkan permintaannya. Carmen sangat ingin Tiara dan Clarissa dikirim ke desa terpencil yang dipenuhi orang-orang budi pekerti dan sederhana. Kehidupan Tiara dan Clarissa selalu bergelimang harta, dengan mengirim mereka ke desa tersebut, keduanya akan ters
"Nona muda," pekik para pelayan di rumah itu, berlari berhambur pada Carmen--setelah suasana jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Carmen tak tahu apa yang akan Raymond lakukan pada Clarissa, Tiara dan keluarganya yang lain. Dia hanya berharap suaminya tak terlalu kejam. Yah, Tiara, Clarissa telah dibawa oleh para bodyguard–disuruh oleh Raymond. Begitu juga dengan keluarga Wijaya lainnya. Sekarang Carmen lebih tenang, lega karena rumah ini akhirnya menjadi miliknya. Jika bukan karena rumah ini milik mamanya, Carmen tak akan bersikeras memilikinya! "Ibuuu …." Carmen memekik senang, berpelukan pada para maid. Tadi, saat Raymond di sini, Carmen sudah melihat mereka–pelayan di rumahnya. Akan tetapi, mereka terlihat mengintip dari balik tembok, sepertinya takut menghampiri Raymond. Lalu setelah Raymond pergi, mereka langsung berlari ke arah Carmen. "Kami sangat merindukan Nona," ucap kepala maid dengan nada bergetar, terharu karena akhrinya kembali bertemu dengan nonanya. "Aku juga me
"Mas Kaizer!" pekik Carmen, sudah gemetaran karena tak sanggup melihat kekerasan di depan matanya. "Cukup!"Raymond langsung menoleh ke arah istrinya, seketika berdecak karena kesenangannya diganggu oleh Carmen. "Kita sudah sepakat. Jangan menghentikanku, Ura!" peringat Raymond pada istrinya. "Mas Kaizer menyayangiku kan?" cicit Carmen, berkata pelan dan lirih sambil menatap sayu pada Raymond. Raymond berdehem. "Humm. Jadi kau mau apa?" ucap Raymond datar. Dia tak suka Carmen menghentikan kesenangannya akan tetapi dia tak berdaya oleh perkataan dan tatapan Carmen."Cukup usir mereka dari rumah ini, dan … memastikan mereka tidak akan bertemu denganku lagi. Itu saja, Mas," pinta Carmen, tersenyum tipis supaya Raymond luluh dan mendengarkan permintaannya. Carmen sangat ingin Tiara dan Clarissa dikirim ke desa terpencil yang dipenuhi orang-orang budi pekerti dan sederhana. Kehidupan Tiara dan Clarissa selalu bergelimang harta, dengan mengirim mereka ke desa tersebut, keduanya akan ters
"Kau juga harus angkat kaki, Bitch! Rumah ini milik istriku, bukan milikmu, Jalang rendahan!" Suara bariton yang terdengar dingin dan mengintimidasi, mengalun di ruangan tersebut. Clarissa dan orang-orang di sana langsung menoleh ke arah suara tersebut. Clarissa melebarkan mata, menatap terkejut ke arah Raymond dan Carmen. Kedua orang itu tiba-tiba sudah ada di rumah ini, tak hanya berdua akan tetapi membawa banyak bodyguard. "Kalian." Raymond yang tengah merangkul mesra pinggang istrinya, menoleh ke arah kepala bodyguard. Dia ingin menurunkan sebuah perintah penting dan menyenangkan, "usir orang-orang tidak berguna ini.""Baik, Tuan." Kepala bodyguard menganggukkan kepala dengan patuh. Di sisi lain, Clarissa dan Tiara terlihat panik. "Tu-tuan Raymond, to-tolong jangan mengusir kami dari rumah ini." Clarissa mendorong seorang bodyguard yang berniat menyeretnya keluar. Dia segera berlari ke arah Raymond, berhenti tepat di depan pria itu kemudian langsung berlutut, "a-aku dan Mamaku
"Bukan karena cinta ada masanya, tetapi mereka yang tak ingin kau merusak cinta baru dalam kehidupan mereka." Carmen menatap intens pada suaminya, terkesima sekaligus merasa perkataan suaminya ada benarnya. Benar sepertinya, ayahnya takut Carmen merusak kebahagiaan barunya sehingga dia mengurangi cintanya pada Carmen, bahkan tak tersisa sedikitpun. Raymond menangkup pipi istrinya kemudian mendaratkan ciuman singkat di atas bibir ranum Carmen. "Kau mau sesuatu, Sweetheart?" Carmen menggelengkan kepala, akan tetapi detik berikutnya dia menganggukkan kepala. "Aku ingin tidur tetapi aku mau Mas Kaizer mengusap kepalaku sampai aku tertidur." "Humm." "Tidak apa-apa kan, Mas?" tanya Carmen ragu-ragu, "atau … aku merepotkan?" "Tidak sama sekali. Aku suka menyentuh rambutmu, ini sama sekali tidak merepotkan," jawab Raymond, tersenyum lembut agar Carmen berhenti merasa tak enak. Semenjak istrinya hamil, Carmen menjadi lebih perasa, sensitif, dan mudah tersentuh. Oleh sebab itu Carmen m
"Bukan." "Jadi apa, Mas?" Carmen menatap ragu pada suaminya. "Cinta tak memiliki masa, Sweetheart. Contohnya, cinta ibumu padamu atau cintamu pada ibumu. Bukankah sampai detik ini kau masih mencintai ibu?" Carmen menganggukkan kepala, sampai kapanpun dia tetap akan mencintai mamanya–sosok malaikat yang mengajarkan banyak kebaikan padanya. Meskipun ibunya sudah beda dunia dengannya, akan tetapi cintanya pada sang ibu tak akan pernah pudar. Raymond benar! Cinta ibu pada anaknya sepanjang masa, dan bagi Carmen cintanya pada ibunya juga setiap saat. Hanya saja, kenapa ayahnya tidak? "Tapi, Ayahku … dia seperti melupakanku setelah dia memiliki kehidupan baru. Itu yang disebut cinta yang memiliki masa. Masa dia dengan ibuku, dia mencintaiku, dan masanya dia dengan istri barunya, dia mencintai putri dari istri barunya. Aku dilupakan begitu saja," jelas Carmen. "Aku jadi takut … semisal aku pulang lebih dulu dari Mas Kaizer, dan Mas Kaizer menikah lagi--" Carmen menjeda sejenak, m
"Mas, terimakasih yah, sudah membelaku di hadapan mereka-mereka tadi," ucap Carmen tiba-tiba, saat setelah mereka sampai di rumah–lebih tepatnya dalam kamarnya dan Raymond. Wanita cantik dengan mata bulat itu, menatap suaminya dengan teduh. Seulas senyuman lembut mengukir di bibirnya, memancarkan perasaan bahagia, senang, dan haru. Sepanjang perjalanan pulang, Carmen sudah ingin mengatakan ini pada suaminya–berterimakasih. Namun, rasanya momentnya tidak pas sehingga Carmen memilih menahan diri hingga akhirnya mereka pulang. "Kau tak perlu berterimakasih, Sweethert. Sudah kewajiban ku untuk melindungimu," ucap Raymond, tersenyum tipis pada istrinya. Carmen mendekati Raymond, tanpa disuruh ataupun diminta oleh pria itu, dia duduk di pangkuan Raymond. Hal tersebut membuat Raymond terkejut, karena biasanya harus dialah yang meminta barulah istrinya bersedia duduk di pangkuannya. Itupun-- kerap kali Carmen menolak serta protes. Namun, kali ini Carmen sendiri yang datang padanya. "Aku
Ucapan itu dilontarkan untuk Tiara yang mengaku peduli pada Carmen, tetapi mereka juga merasa itu untuk mereka. Seketika mereka ingat waktu itu, di mana mereka semua memarahi Carmen yang mengamuk karena Clarissa merebut pacarnya. Mereka semua membela Clarissa dan menyalahkan Carmen. Saat Carmen dipaksa ayahnya untuk menikah dengan Tuan muda lumpuh dari keluarga Abarham, tak ada dari mereka yang khawatir-- entah pada pendidikan Carmen ataupun masa depan Carmen yang saat itu masih sangat muda. Malah, mereka ikut mendesak Carmen agar menerima pernikahan itu, tanpa peduli Carmen terlalu muda untuk sebuah pernikahan, hanya supaya mereka selamat dari amukan keluarga Abraham yang mengerikan. Dulu, mereka tidak memperdulikan itu karena bagi mereka Carmen adalah orang jahat dan sampah keluarga Wijaya. Namun, sekarang … ucapan Raymond tadi, menusuk hati! "Karena … karena … saat itu Carmen melakukan kenakalan dan menikahkan Carmen dengan anda akan menjadi hukuman sekaligus pelajaran untuk C
"Gaura dan Kaizer!" Deg deg deg' Mendengar ucapan ayah mertuanya itu, jantung Carmen seketika berdebar kencang. Dia reflek menatap Lennon dengan tampang muka kaget, setelah itu beralih menatap suaminya dengan ekspresi tak percaya. Namanya-- Gaura adalah pemberian dari kakek pria ini, dan nama itu diberikan agar bersanding dengan nama Kaizer–nama tengah suaminya. Ya Tuhan! Carmen tidak menduga ini. Dia kira dia dan Raymond berjodoh karena sebuah kebetulan. Ayahnya mantan kepercayaan kakek Raymond, dan juga … dia hanya pengantin pengganti. Namun, faktanya Carmen telah disiapkan untuk Raymond, bahkan saat dia baru terlahir di dunia ini. "Perjodohan tersebut memang maju mundur karena beberapa faktor. Mulai dari kondisi Raymond yang sempat lumpuh, di mana kami takut Carmen akan menolaknya. Serta faktor perbedaan usia antara keduanya. Semua menjadi pertimbangan bagiku dan ayahku sehingga kami tidak memberatkan atau memaksa Tuan Herlando agar menerima perjodohan ini. Ketika kondisi
"Tanpa sadar kau memperlihatkan sisi iblismu sebagai seorang ibu tiri sialan!" geram Raymond, menatap Tiara dengan sorot mata tajam–bagai alpha serigala marah saat teritorial-nya diusik oleh makhluk lain. Cara Raymond menatap Tiara seakan dia ingin mencabik-cabik perut perempuan ini lalu mengeluarkan isi perutnya dan melemparnya kehadapan semua orang-orang sialan di keluarga Wijaya. Kesabaran Raymond sangat tipis, sedangkan orang-orang seperti Tiara sangat menguji. "Hanya karena dia putrimu, kau mengatakan semua hal baik tentangnya. Sedangkan pada istriku-- kau menjelek-jelekkannya habis-habisan hanya karena dia anak tirimu," kesal Raymond, tidak terima istrinya dikatai bodoh, jelek, dan pembawa malapetaka. Bagi Raymond, Carmen adalah pembawa pekeberuntungan. Istrinya cerdas dan tak ada yang secantik Ura-nya di mata Raymond. Sedangkan Clarissa-- dia yang lebih cocok disebut bodoh, sebab ada banyak bukti ataupun jejak kalau perempuan ini bodoh. Cih, Clarissa pintar dan cerda