Sekar membuang muka. Dia menggeleng lemah. "Gak papa." Katanya.
"Kar, kenapa? Apa ada hal lain yang belum kamu ceritain?" Louis mengusap sisi wajah Sekar. "Jangan sembunyiin lagi, ya. Kasih tau paman. Biar paman bisa selidiki semuanya. Paman janji akan menemukan orang itu. Tapi kamu harus percaya sama paman."Sekar memandang ke arah lain. "Sekar takut.""Apa? Kenapa Sekar takut?" Louis merangkum wajah Sekar. Mata Gadis itu berair lagi."Sekar takut ayah terlibat. Nanti ayah dipenjara. Sekar gak mau." Sekar menggeleng sedih. Dia lalu memeluk Louis. "Sekar udah kehilangan ibu. Sekar gak mau kehilangan ayah juga. Sekar gak mau ditinggal sendirian. Sekar gak mau."Louis mengeratkan pelukannya. Dia mengusap air matanya diam-diam.***Andrew, Kayden dan Elroy yang sedang duduk menunggu di depan kamar Sekar langsung menoleh begitu melihat Louis keluar. Mata mereka melotot."Om nangis?" Tanya Elroy."Ya." Jawab"Jangan menyalahkan diri sendiri. Kita semua tidak ada yang menyangka. Sekar menyembunyikannya dengan sangat rapi selama ini." Oda menghisap rokoknya dalam-dalam. "Besok aku tidak akan ikut ke pantai. Aku akan mengumpulkan orang-orangku di sini untuk memulai penyelidikan. Nanti jika kondisi Sekar sudah membaik ajak dia untuk menemui seseorang yang bisa membuat sketsa wajah orang itu." Kayden menganggukkan kepalanya. "Ajak dia menemui psikolog juga. Aku minta tolong." Kayden menggeleng. "Tidak perlu mengatakan tolong. Sekar juga adik Kayden, bang." Oda menganggukkan kepalanya. "Laporkan jika ada sesuatu yang mencurigakan, Kay." Kayden menganggukkan kepalanya. *** Sekar menggeliatkan tubuhnya. Dia menguap lebar-lebar. Seseorang menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Sekar mengernyit dan membuka matanya melihat orang itu.
"Bang Jaki jelek~" Sekar menjulurkan lidahnya. Dia kemudian menarik tangan Kayden. "Kalo udah surah al humazah udah sebelas, kan bang?" Tanyanya. Kayden tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Iya. Pinternya adek abang udah hafal banyak." Kayden menepuk-nepuk puncak kepala Sekar sayang. Sekar terkekeh, "tapi sebenarnya Sekar baru hafal tiga ayat. Cuma sampai Yahsabu anna maalahu~akhladah. Lanjutannya belum. Tapi yang surah al ashr Sekar udah hafal, kan cuma tiga ayat aja. Kalo gitu hafalan Sekar tetap sebelas, kan jadinya?" Sekar mendongakkan wajahnya. Louis diam-diam tersenyum menyimak. Kayden menganggukkan kepalanya lagi. "Iya. Masyaallah pinternya adek abang." Kayden mengusap puncak kepala Sekar dan mengecupnya singkat. Sekar meleleh melihat Kayden. "Abang tambah ganteng deh kalau pake baju alim begini. Bawaannya kayak mau ajak Sekar jadi makmum abang. Ayo kita ke KUA." Sekar
Shaka ingin marah, tapi begitu gadis cantik berkerudung putih muncul di depannya, semua amarah Shaka hilang tak berbekas. Hatinya dipenuhi bunga-bunga. "Hi, my angel." Shaka tersenyum manis. Sekar menunduk. Pipinya bersemu. Kayden memutar bola matanya. "Sono lo!" "Gue kan baru di sini, bang, jadi mau ikutin abang biar gak ilang." "Anak ayam lo jadi takut hilang!" Kayden melototi Shaka. Kemudian dia menggandeng tangan Sekar. Mereka berjalan paling depan. "Semoga cuaca hari ini cerah aja ya, bang. Biar nanti sampai habis sholat jumat lancar acaranya." Sekar memperhatikan awan yang berarak di atas sana. Matanya kemudian menatap tenda megah yang berdiri di depan rumah pakde. Di sebelah rumah itu juga terdapat bangunan baru. "Pakde sama yang lain udah bekerja keras buat nyiapin semua ini. Abang juga. Makasih ya." Kayden mengacak pucuk kepala Sekar. "Anak buah pakde nambah banyak tahun ini, selama nyiapin semua ini
"Loh?" Andrew pura-pura kaget. "Katanya Kayden Anna sudah dijodohkan sama orang tuanya." "Kapan gue ngomong begitu?" Sambar Kayden. "Ck. Kemaren pas di bandara. Bang Elroy saksinya." Elroy mengulum senyumnya dan mengangguk kecil. Wajah Kayden langsung pias. "Papa mau jodohin Anna sama siapa, pa? Kok mama gak dikasih tau?" Sandra menatap Broto heran. *** "Mas, aku mau kamu segera ninggalin kota ini." "Kamu ini kenapa penakut sekali, sayang~ Lagipula sudah dua belas tahun berlalu. Siapa yang masih curiga? Orang-orang udah pada lupa sama kasusnya." Laki-laki itu menarik si wanita hingga duduk di pangkuannya. Dia mulai menciumi tengkuk belakangnya. "Mas~" erang si wanita sambil menahan gairah yang mulai terpancing. "Pergi, yha... Ah-aku udah pesenin kah-mu tiket buat nanti sore mhh." "Tunda saja. Kamu sudah memesankan hotel ini sampai akhir pekan. Sayang
Shaka menghela nafas berat. "Intinya dia minta aku jauhin kamu." Sekar membuang wajah. Binar di matanya meredup. "Kar, aku tau aku gak punya malu karena ngomong ini, tapi aku beneran berharap bisa milikin kamu sekali lagi. Aku gak bisa lupain kamu, Kar. Aku masih cinta kamu." Sekar menekan dadanya yang berdebar-debar. Dia takut Shaka akan mendengarnya. "Kar," panggil Shaka lagi. "A-apa?" Suara Sekar tergagap. Kepalanya semakin tertunduk dalam. "Kamu mau tunggu aku, ya? Tunggu aku buat berjuang biar dapat kepercayaan dari paman kamu. Dari Kayden juga. Mau, kan?" Sekar menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya. Kenapa dia malah jadi ingin menangis dan memeluk Shaka sekarang. "Kar," panggil Shaka lagi. "Paman Louis larang aku buat macarin kamu lagi. Tapi dia gak bisa larang hati aku buat cinta sama kamu, Kar. Gimanapun di hati
Shaka menghela nafas kasar. Bibirnya tersenyum getir. "Apa gue lompat aja?" Shaka melihat motor-motor yang terparkir di bawah sana. "Tapi bego, lompat dari lantai dua mana mati sih. Patah tulang doang yang ada." Shaka terkekeh miris. Dia kemudian menghisap lagi rokoknya kemudian terbatuk-batuk hebat. Dia menepuk dadanya sendiri. "Andai gue gak terlalu bego waktu itu, kita gak akan pisah kayak gini, sayang." Shaka menatap jauh. Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang. Saat itu di tengah acara tiba-tiba seorang pria membisikinya mengatakan bahwa Louis ingin berbicara empat mata dengannya. Shaka yang tidak tau ada apa segera mengikutinya. "Apa yang kau lakukan tadi?" tanya pria paruh baya itu begitu Shaka duduk di hadapannya. Shaka meneguk ludahnya. Tatapan Louis yang tajam membuat Shaka merasa gelisah. Ada apa? Pikirnya. "Kau apakan anak gadisku tadi setelah dia
"Halo, kamu di mana? Gak pulang lagi malam ini?" Ratna langsung mengomel begitu Shaka mengangkat panggilannya. Shaka tersenyum getir sembari melihat langit yang sudah gelap. Cahaya kemerahan di ufuk barat sudah tidak terlihat lagi. "Kamu masih nungguin pacarmu itu di rumah sakit? Pulang dulu sebentar, nanti malah kamu yang ikutan sakit." Ratna berdecak tidak puas. "Shaka lagi di markas, ma. Nginep di sini malam ini." "Terus pacarmu itu di mana?" "Sudah sama keluarganya." Jawab Shaka lirih. "Kalo gitu pulang? Ingat kamu juga masih sakit, Shaka." 'Gak sesakit hati Shaka, ma.' Andai Shaka bisa menjawab seperti itu. "Shaka udah istirahat di sini. Udah di kamar. Rasanya malas kalo harus bangun lagi. Shaka nginap sini aja." "Loh, baru habis maghrib udah mau tidur? Kamu benar baik-baik aja?" Ratna mengernyitkan dahinya.
"Heh, enak lu ngomong!" Ricko melototinya. "Lu kagak liat sempitnya kayak gimana. Udah kagak ada space. Kalo masih ada juga kagak sudi gue sebelahan sama lu!" Shaka terkekeh. "Ya salah lu tadi beli tendanya yang kecilan." Ricko melototkan matanya. "Heh, ini udah yang paling gede, ya! Lagian tadi belinya pake uang gue. Gue itung hutang!" Shaka terkekeh. "Iya. Besok gue ganti lima kali lipat." "Awas lu boong. Gue slepet!" Ricko memeragakan mengg-orok leher dengan tangannya. "Apa sih lo bedua. Gak siang gak tengah malam, cekcok mulu perasaan!" Vernon duduk sambil mengucek-ucek matanya. Dia menatap sebal Shaka dan Ricko. "Dia tuh duluan!" Ricko menunjuk-nunjuk Shaka. Mulutnya cemberut macam perempuan merajuk. "Kalo lu cewek sama cowok udah gue nikahin lo pada. Ribut mulu macam pasutri." Vernon menggelengkan kepalanya. "Tu